JAVA JOE, RAHASIA KEBANGKITAN RORO JONGGRANG

HomeBacaanJAVA JOE, RAHASIA KEBANGKITAN RORO JONGGRANG

avatar ipank
13 Mei 2012 jam 11:15am

PERANG BARU USAI
Dari korban-korban yang bergelimpangan dan puing-puing yang berserakan di segala penjuru, orang bisa tahu perang maha besar baru saja lewat. Keraton Baka luluh lantak rata dengan tanah. Umbul-umbul kerajaan Pengging yang berkibar diantara puing menandakan siapa pemenangnya.
Api-api belum sepenuhnya padam. Satu-satunya bangunan yang membuat ciri bahwa reruntuhan itu bekas istana adalah kaputren yang sengaja dibiarkan utuh kendati dengan kerusakan disana-sini. Dalam perang manapun, penting bagi seorang kasatria mengancurkan kaputren, tempat bercengkrama para putri keraton.
Hari hampir malam kala itu. Matahari yang tinggal sepenggalah menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di tepian ngarai, sesosok lelaki tegap berdiri menatap lembayung merah arah benamnya matahari. Hiruk pikuk para senopati yang kelelahan, dan rintihan prajurit yang terluka, tidak membuatnya terusik. Hatinya lebih sering gundah ketimbang puas atas perang yang baru saja dimenangkannya.
Gema pertarungan puncak antara dirinya dan prabu Baka masih mengganggu benaknya. Bahkan darah hangat sang Prabu dibiarkan mengering di telapaknya. Ini adalah pertarungan yang paling dasyat yang pernah dilaganya. Hampir semua jurus andalannya telah dikerahkan, dan itu pun masih sulit membuat prabu Baka bertekuk lutut. Hanya berkat tekad dan kemurnian tenaga muda yang ia miliki, Prabu Baka yang sepuh akhirnya dapat ditaklukkan.
Namun, resah di hati tak urung pergi.
Bukan karena jeri. Ketika tadi dalam suatu gebrakan lawan, nyawanya memang nyaris pergi. Ia tak menduga akan mendapat serangan balik sekeras itu. Untung ia cepat berkelit. Kalau tidak, keris prabu Baka pasti tidak hanya menyentuh lehernya. Tapi bukan karena itu ia gundah. Sebagai ksatria ia rela mati di medan mana pun dan siap menang tatkala Dewata menijinkannya. Ia tak peduli siapaun yang mati ditangannya, toh itu suratan-Nya.
Angin malam mulai berembus, resah itu pun semakin nyata. Entah, ada semacam siratan yang ia sendiri belum jelas maknanya. Sesuatu yang diluar kehendaknya, seperti ada goresan bintang mencabik langit yang bakal mengubah peruntungannya.
Tak jauh dari situ, dibawah pohon beringin dekat kaputren, seorang putri duduk bersimpuh terpekur. Dihadapannya terbaring sesosok jenazah, lengkap dengan pakaian perang kebesaran seorang raja. Luka dalam yang parah, akibat bentrokan tenaga dalam tadi, agaknya telah menamatkan usia Sang Prabu. Para biyung emban dan dayang-dayang mnengelilingi sang putri menembangkan syair-syair duka.
Sang putri sendiri diam, tidak menangis. Air matanya seperti beku. Malah di sudut bibirnya yang indah terukir sedikit senyum, senyum bangga.
"Ramanda prabu mati ksatria, mati di medan laga. Sesuai wangsit para resi dan petunjuk bintang-bintang di langit, ayahanda kembali menemui leluhurnya dengan cara perwira" bibir itu bergetar. Ia menarik dan menghembuskan napas panjang, menahan duka yang membatu.
Ia kembali diam. Diam seperti diamnya gunung, seperti diamnya lembah sunyi.
Suara jengkerik dan kepak kelelawar cepat berbaur dengan gemeretak kayu terbakar. Bau asap dan anyir darah berbaur dengan segarnya napas malam. Gemintang mulai mengilaukan cahayanya. Sang putri tetap diam, tak bergerak barang seusik pun. Matanya tetap kosong, memandang jauh melampaui cakrawala.
Sampai tetesan embun pertama.
"Dinda Ayu Rara Jonggrang,"suara lelaki tegap itu memecah sunyi. "perabukan sang Prabu layaknya seorang raja diraja. Dinda dapat gunakan kencana perang untuk menyemayamkannya. Janganlah sedih dan duka dinda. Hamba hanya menjalankan daulat sang Prabu Pengging, janganlah disesali. Setiap manusia akan sowan kembali ke Eyang Gusti Penguasa Semesta. Hamba hanya perantara membantu prabu mencapai kesempurnaannya. Maafkan hamba kalau dinda bersusah hati."
Suara lelaki tegap itu berwibawa, kendati ada nada getir disana.
Putri yang dipanggil Roro Jonggrang hanya menunduk dalam. Dalam sekali, seakan hendak menyatu dengan bumi di bawahnya. Para dayang menyikir, membentuk setengah lingkaran besar, duduk bersimpuh menyembah.
"Temui hamba nanti setelah masa kabungmu lewat. Saat Purnama belum bunar benar,"sabda lelaki tegap itu lagi. Dan kejap berikut, dia telah mengilang dalam kelamnya malam.
Sang putri kembali terpekur.

bersambung........

Pengarang J.H. SETIAWAN
Tamat Tidak
HitCount 381
Nilai total rating_0

Bab

1 Bagian 1, Ayat 2
ipank 15 Mei 2012 jam 6:43pm
2 Bagian 1, ayat 3
ipank 17 Mei 2012 jam 8:23am

Belum ada komentar

icon_add Tulis Komentar