Jalan Pedang 2: KIM TAYHIAP (Episode 1)

HomeBacaanJalan Pedang 2: KIM TAYHIAP (Episode 1)

avatar danivn
26 April 2007 jam 5:41pm

JALAN PEDANG 1 mengisahkan tokoh si Pedang Karat (yang menggunakan kosa kata "aku" untuk menyebut diri, "kamu" untuk orang kedua, dan "dia") dan Kim Tayhiap (yang menyebut "saya" untuk diri, "kau" untuk orang kedua, dan "ia") yang tampil bersama.

Sejak awalnya, JALAN PEDANG 1 dimaksudkan untuk ditulis dalam format yang tidak sependek cerpen dan tidak sepanjang novel, yang kita sebut sajalah sebagai novelete. Demikian pula JALAN PEDANG 2, format novelete sedapat mungkin akan dipertahankan.

JALAN PEDANG 2 berfokus pada tokoh "saya" (Kim Tayhiap) sementara JALAN PEDANG 3 berfokus pada tokoh "aku" (si Pedang Karat). Akankah JALAN PEDANG 4 harus lahir sebagai epilog dari seluruh rangkaian novelete serial JALAN PEDANG ini?

Sekedar latar, JALAN PEDANG lahir karena "tantangan" kawan-kawan di milis Tjersil untuk menulis dengan pendekatan lain. Yang - malangnya - saya justeru tertantang. Pendekatan lain yang saya pilih adalah "rima". Maka, dalam JALAN PEDANG, setiap "kata" sengaja dicacah, dirajah, dicincang, dirajang, ditata kembali, disajikan.

Awalnya memang sebuah "tantangan". Dalam prosesnya, saya justeru menemukan tantangan baru: bagaimana menemukan "formula (resep) rahasia di balik kata ber-rima"?

Dalam pencarian ini, dalam proses belajar ini, dalam upaya menemukan formula rahasia di balik kata berima itu, eh tiba-tiba sebuah buku terbit, bertajuk PURNAMA DI BUKIT LANGIT. Dari buku ini saya belajar shi, ci, dan qu, walau saya tidak bermaksud menulis shi, ci, dan qu. Karena yang saya lakukan sebetulnya hanya menulis sebuah cersil dengan gaya "prosa berirama".

Saat JALAN PEDANG 1 ditulis, datang tantangan lain: menampilkan perempuan.

Akar kata dari per-empu-an adalah "empu". Hakikatnya, seperti "empu", ia layak dipuja, diagungkan, disucikan, dan tindak perbuatannya pun menjadi panutan. Perempuan adalah seorang ibu, seorang "lady", dengan keanggunan murni. Dalam konteks ini, bagi saya, perempuan berbeda dengan wanita. Karena pada kata wanita terkandung segala hasrat, gairah, keliaran, kebinalan, bahkan kejalangan.

Manakah yang harus saya tampilkan? Wanita atau perempuan?

Untuk menguji ini, SMARADHANI (yang saya tulis sebagai wanita dan bukan perempuan) saya luncurkan, walau hanya untuk 24 jam saja karena kewanitaannya itu menuntut ratting dewasa++. Atau, haruskah saya menulis satu "sampel" lagi misalnya AYUNTA yang lebih perempuan ketimbang SMARADHANI yang wanita? AYUNTA: Ayu nan jelita?

Maka, apakah wanita atau perempuan yang akan tampil dalam novelete serial JALAN PEDANG ini? Karena "saya" (Kim Tayhiap) dan "aku" (si Pedang Karat) sudah digunakan, lantas bagaimana menampilkannya?

Tantangan-tantangan inilah yang coba saya hadapi dan cari solusinya pada novelete serial JALAN PEDANG ini.

Sembari saya coba mencari jalan pemecahannya, selamat membaca serta mohon kritik serta sarannya.

Sodjah,
danivn@yahoo.com

Pengarang danivn
Tamat Ya
HitCount 15.235
Nilai total rating_0

Bab

1 KIM TAYHIAP (Episode 1)
danivn 26 April 2007 jam 5:43pm

7 komentar

icon_comment Baca semua komentar (7) icon_add Tulis Komentar

#3 avatar
DeVe 21 Mei 2007 jam 4:29pm  

dani-heng, saya suka dgn bab V: kata2 nya mengalir liar menggambarkan suasana hati "saya" tp tetap dalam rima. juga di sini ada 'filosofi' yang intinya kalau belajar pedang (atau apa pun juga misalnya belajar menulis cersil :) ) gak usah niru siapa2 tapi "be Ur-self". dan ternyata sang tokoh bisa juga memendam trauma. apa Yen harimau ini si pedang karat?

#4 avatar
Wandi 22 Mei 2007 jam 10:32pm  

When I pay more attention to this literature, i think i could guest one of your formula/receipt  ;) that you never described any detail of physical characteristics of the people. Even the main role (Yen Liong): what does he look like? Not even Yen Hou and others. You only described the nuance of a situation. Not the physical situation it self. i.e. you only mentioned “geladak”. But what/how does it look like?

Strange but astonishing and brilliant! Keep posting!

#5 avatar
danivn 24 Mei 2007 jam 8:33pm  

DeVe menulis:
dani-heng, saya suka dgn bab V: kata2 nya mengalir liar menggambarkan suasana hati "saya" tp tetap dalam rima. juga di sini ada 'filosofi' yang intinya kalau belajar pedang (atau apa pun juga misalnya belajar menulis cersil :) ) gak usah niru siapa2 tapi "be Ur-self". dan ternyata sang tokoh bisa juga memendam trauma. apa Yen harimau ini si pedang karat?
Lha kok malah ada yang suka? Terus terang saya sendiri kurang suka! :? Terlalu mendayu dan berputar-putar begitu. Malah sempat terpikir untuk membuang saja bagian ini. Mmm jadi bingung nih!

#6 avatar
danivn 24 Mei 2007 jam 9:22pm  

Wandi menulis:
When I pay more attention to this literature, i think i could guest one of your formula/receipt  ;) that you never described any detail of physical characteristics of the people. Even the main role (Yen Liong): what does he look like? Not even Yen Hou and others. You only described the nuance of a situation. Not the physical situation it self. i.e. you only mentioned “geladak”. But what/how does it look like?

Strange but astonishing and brilliant! Keep posting!

Dear Wandi-heng,
Terima kasih, tapi saya pakai Bahasa Indonesia aja yah... :)

Terus terang "menu" ramuannya memang masih terasa aneh. Gak semua orang lho suka resep yang "ekstreem" begini, yang kalo makanan pasti rasanya pedaaaas sekali, atau asiiiin sekali.

Saya pribadi merasa masih ada sesuatu yang kurang pas, entah di mana,... tapi yah inilah bagian dari pencarian di luar "mainstreem" itu ... akhirnya malah "ekstreem" begitu ... he.. he...

Dan buat semua,
berhubung banyak urusan kerja yang minta dibenahi, antara lain Grmd dan Ghl yang udah tanya apa saya mau lakukan edisi revisi (textbook nonfiksi) karena mereka sudah harus cetak ulang, dan saya gak mau seperti tahun lalu yang terpaksa bilang, "Yah sudah, cetak ulanglah sana gak perlu revisi!", maka saya putuskan untuk sementara pamit dulu dari urusan nulis fiksi di sini ... (soalnya JP yang awalnya iseng di luar perhitungan saya jadi panjang begini)...

Tapi saya tetap mencatat hutang-hutang ini: menuntaskan JP2, melanjutkan JP3 (karena seluruh jawaban sebetulnya ada di JP 3), melakukan pembenahan Smaradhani, dan kemungkinan lahirnya Smaradhani2: Ayunta. Pokoknya, seluruh kegiatan eksperimental tentang gaya penulisan di luar "mainstreem" ini mudah-mudahan akan tetap saya lanjutkan (he... he... siapa tahu hasilnya bisa jadi textbook nonfiksi saya berikutnya kan?) :)

Oya, buat teman-teman penulis cersil dan fiksi lainnya, salam... Mungkin sekali-kali kita perlu kopi darat....

Selamat berkarya.

Sodjah,

#7 avatar
danivn 28 Mei 2007 jam 2:24pm  

Dear All,

saya baru saja melakukan penggabungan Bab dalam JP2 Kim Tayhiap ini (dari lima bab terpisah menjadi satu kesatuan) serta melakukan editing seperlunya. Penggabungan ini saya satukan dalam JP2 Kim Tayhiap Episode 1 yang akan berlanjut pada JP2 Kim Tayhiap Episode 2 yang langsung masuk pada bab "Kutukan Malam Sembilan-sembilan.

Kim Tayhiap saya pecah menjadi dua karena merasa sudah terlalu panjang. Biarlah JP2 Kim Tayhiap Episode 1 sebagai persiapan setting untuk terbunuhnya Kakek Yen si Srigala (dimana setiap orang sudah punya motif untuk membunuh si Kakek) termasuk karakterisasi, latar belakang, dan masa lalu Kim Tayhiap (aka Yen Liong si Naga).

Dan biarlah peristiwa terbunuhnya Kakek Yen dan pemecahannya ada pada Kim Tayhiap Episode 2 yang juga membuat Yen Liong memutuskan "berubah" menjadi Kim Tayhiap.

Namun demikian, perkenankan saya mengaso beberapa waktu (mengerjakan kerjaan kantor dan lain-lain) sebelum melanjutkan JP2 Kim Tayhiap Episode 2. Mudah-mudahan pada episde lanjutan itu saya bisa kerjakan sekaligus (sehingga tidak perlu ada penggabungan bab seperti sebelumnya).

Salam,