Baru Klinthing yang tidak sengaja jadi legenda

HomeBacaanBaru Klinthing yang tidak sengaja jadi legenda

avatar Gedongsongo
8 Agustus 2009 jam 4:44am

Namanya sebuah legenda, tentu ada bagian imajinasinya, semacam tempat bagi otak manusia menempatkan sosok sempurnanya, dan sejenak memaklumi diri sendiri yang cela.

Setiap tempat punya legenda. Setiap tokoh dalam cerita kebanyakan bersifat legendaris, Rama, Arjuna, Anoman, Coh Liu Hiang, Kwee Ceng, Putri Salju, sampai Batman, atau Jason Bourne. Bahkan disadari atau tidak, setiap orang biasanya pernah berangan-angan untuk jadi legenda, tentu legenda dirinya sendiri.

Tapi ada berapa di dunia ini legenda yang berjelujur air mata?

Kalau diantara kawan pernah, atau sedang memandangi peta pulau jawa, maka tepat ditengahnya mesti terlihat setitik warna biru, warna biru yang bukan laut. Warna biru yang sebening air mata perawan. Menggumpal seakan hendak pecah.

Para kawan yang pernah naik bus jurusan Jogja-Semarang akan tahu bahwa air mata itu berwujud sebuah rawa. Nama lengkapnya rawa pening, bening sebening tikaman belati, bening sebening hati bayi. Hal ini banyak orang yang tahu, tapi berapa yang paham bahwa titik bening itu menyimpan sejuta rasa pedih? Siapa yang merasa bahwa dalam gumpalan air mata itu terpendam dendam dari sosok yang terbuang?

Ada sebagian dari legenda ini yang saya lupa, maka bagian yang lupa itu akan saya tambal-tambal seadanya dengan keinginan saya terhadap ‘monumen’ ini sebagai legenda.

Tersebutlah seekor ular sakti yang besar ngampar-ngampar, mampu jungkir balik diantara langit bumi, meludahi tempat yang disangka hujan, terbatuk-batuk yang seakan halilintar. Malam-malam ia bersenandung puisi-puisi diantara gemetar embun. Fajar ia mementang mata meningkahi matahari. Saat terik memanggang ia tidur berselimut awan seputih bantal pengantin.

Seluruh sisi hidup ular bernama Baru Klinthing ini boleh dikatakan mewah tak terbeli, Raja pun tidak sanggup menikmati. Hanya satu kegundahan hatinya. Hal yang menghantui sepi di pucuk rembulan, membuatnya meneteskan air mata berbutir-butir. Ia tak tahu siapa ayah bundanya. Besar hasratnya untuk mencari, tapi yang namanya informasi kadang seperti perawan pingitan, kau kejar, ia bersembuyi di balik kuali, sampai mampus otakmu memikirkan ribuan strategi, kepadamu ia tetap alergi.

Sampai suatu saat Tuhan memperkenankannya menilik sekalimat informasi itu. Ibu bapaknya ternyata sepasang petani yang hidup saleh di lereng sebuah gunung. Tanpa menunda waktu Baru Klinthing pun berangkat sowan ke haribaan ibu bapaknya, sedikit penasarannya kenapa dari sepasang manusia terlahir seekor ular seperti dirinya, maka sekalian ia ingin minta konfirmasi.

Kaget tak kepalang-kepalang sepasang petani ketika menjumpai ular segede lima kali pohon klengkeng bergulung di depan rumahnya. Tambah kaget sampai hampir semaput saat mereka mendengar pengakuan sang ular bahwa ia adalah buah daging mereka. Cuma petani pun ada beberapa macamnya, semacam ada yang maunya selalu memerkosa tanahnya, untuk hasilnya dibelikan gelang, herli, atau si cantik Suzuki. Tak peduli apakah sang bumi meregang nyawa atau hangus tandus, yang penting hasil panenan. Namun ada serupa petani yang terhadap bumi ia bersahabat, kepada padi ia memanggil Dewi Sri. Orang semacam ini sekalipun angin ngamuk wereng bersimaharaja juga tidak akan jelek prasangkanya. Paling-paling akan bilang, ‘ah, memang sudah waktunya kok’.

Sepasang petani saleh itu sudah tentu masuk golongan yang terakhir ini. Kalau mereka adalah macam yang pertama, maka legenda ini bukan legenda lagi namanya.

Maka mereka pun hanya menuntut janji laku, semacam bukti dari rasa bakti sang ular. Mengenai janji laku ini, setiap orang tua, sadar atau tidak, mesti ada rasa tuntutannya kepada seorang anak. Inipun tidak salah. Tuhan sendiri mewanti-wanti kepada yang jadi anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Hanya yang banyak dilupakan, seberapa besar kesadaran berbakti ini tertanam dalam diri seorang anak sebagiannya bergantung dari seberapa berbakti si Bapak kepada Embahnya, si Ibu kepada Eyangnya. Dimana-mana, ada contoh ada jawaban, ada budi ada balas. Kau tanam batu jangan harap panen tebu.

Janji laku itu adalah Baru Klinthing disuruh bertapa mengelilingi sebuah gunung dengan tubuhnya yang besar panjang dalam jangka waktu tertentu.

Bagi ‘seorang’ yang biasa hidup serba ada, makan tinggal mangap, minum tak usah ngangsu, tak kenal kesulitan, bebas malang melintang di delapan penjuru langit, sudah tentu paling berat kalau disuruh puasa. Apalagi sambil meregangkan tubuh memeluk sebuah gunung, yang tentu tak seempuk bantal guling.

Tapi betapa kerinduan yang bersamudra-samudra akan belai kasih seorang Ibu, siapa yang dapat menahannya? betapa menyakitkannya lubang kosong dari cinta seorang ayah, siapakah yang sanggup menanggungnya? Ayah bagaikan pohon yang melindungi dari air mata, Ibu seperti sejuk segar es di padang sahara, hanya seorang yatim piatu saja yang sanggup memahaminya.

Maka legenda ini adalah legenda kerinduan, kerinduan seorang yatim piatu tentang sepenggal kenangan masa kecil. Apabila kerinduan seorang kekasih masih berobat peluk dan cium, maka kerinduan seorang yatim piatu adakah obat yang berani kau tawarkan?

Legenda ini juga legenda patah hati. Patah hati seorang pacar bisa berganti, tapi kehilangan ayah bunda hendak mencari kemana lagi?

Maka pantas kalau tanpa minta korting atau diskon Baru Klinthing segera mengiakan.

Dipilih sebuah gunung yang lumayan kekar, namun setelah ukur punya ukur rupanya tubuhnya tak cukup mengelilingi sang gunung. Apa mau dikata, Baru Klinthing pun menjulurkan lidahnya dan ternyata pas sampai ekor. Maka dengan cara seperti ini ia berpuasa bermasa-masa, berwaktu-waktu, sampai tubuhnya berlumut kayu, sampai kenyang lapar tak ia rasakan lagi, hanya suwung, hanya kebaktian.

Belakangan orang desa memotong lidahnya untuk makan-makan. Maka dengan menjelma seorang bocah cilik Baru Klinthing menuntaskan laku itu dengan Sayemboro Sodo. Lalu dari lubang lidi yang ia tancapkan menyemburlah air berwarna bening. Bening sebening air mata. Bening sebening hati bayi. Menandai titik biru dalam peta. Tepat di tengah-tengah.

Maka air bening adalah air kerinduan, berharap ia pernah memekat seputih susu ibu.

Ia juga air kebaktian, karena luka yang parah setidaknya bisa dibersihan dengan air bening. Ayah Bunda yang telah tiada bukankah masih terbuka pintu untuk menghaturkan bakti?

Pengarang Gedongsongo
Tamat Ya
HitCount 538
Nilai total rating_5

Bab

2 komentar

icon_comment Baca semua komentar (2) icon_add Tulis Komentar

#1 avatar
rafhyadi 8 Agustus 2009 jam 9:37am  

mas gedungsongo, kapan nih kelanjutan arya?

#2
albar 5 November 2009 jam 1:32pm  

Keknya ceritanya udah tamat tuh, kan sampe terciptanya rawa pening