Home → Ulasan → Novel → Antologi Puisi Tiongkok Klasik: PURNAMA DI BUKIT LANGIT
“Tidak belajar sajak, tiada yang bisa dibicarakanâ€
(Confucius)
Tahukah Anda di mana negeri puisi?
Jawabnya: Tiongkok. Julukan ini diberikan berkat karya puisi klasiknya yang dihasilkan ribuan tahun dalam jumlah mengagumkan, yang diperkirakan lebih banyak daripada puisi bangsa lain di dunia.
Bagaimana menurut Anda jika 560 puisi klasik Tiongkok disajikan dalam dua bahasa (Indonesia dan Mandarin), dimulai dari periode Negeri Berperang ratusan tahun sebelum Masehi hingga dinasti terakhir sebelum republik, yakni Dinasti Qing, terkumpul dan tertata rapih dalam sebuah buku antologi puisi?
Gramedia baru-baru ini (April 2007) menerbitkan sebuah buku bertajuk Purnama di Bukit Langit. Buku ini merupakan kumpulan sanjak, syair, dan lirik Tiongkok klasik yang diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan. Usaha Zhou Fuyuan menterjemahkan dan mengumpulkan puisi dari berbagai zaman Tiongkok klasik ini patut kita acungi jempol.
Prof. Dr. Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center, Singapura, yang sering dirujuk oleh M-Tjersil (Masyarakat Tjerita Silat) bahkan menyempatkan diri menulis pengantar buku ini. Dalam pengantarnya Suryadinata mengakui, sejak dulu beberapa karya sastra Tiongkok telah dialihkan ke bahasa Indonesia. Karya yang paling banyak diterjemahkan adalah cerita silat dari hampir seluruh pengarang cersil besar. Namun, menurut Suryadinata, cersil tidak termasuk sastra klasik karena sebagian besar dihasilkan pada kurun abad ke-20.
Roman klasik yang diangap sebagai karya agung adalah Batas Air, Kisah Tiga Negara, Merantau ke Barat, dan Impian di Kamar Merah. Tiga yang pertama adalah karya Dinasti Ming, pernah diterjemahkan dalam bahasa Melayu/Indonesia pada akhir abad-19 dan awal abad-20, dan diterjemahkan kembali setelah Perang Dunia II, namun terjemahannya masih jauh dari sempurna. Bahkan Impian di Kamar Merah, dari Dinasti Qing, terjemahannya belum lengkap karena diperkirakan sukar diterjemahkan.
Jika prosa klasik Tiongkok mencapai puncak pada Dinasti Ming dan Qing, puisi klasik Tiongkok mencapai kegemilangan pada Dinasti Tang dan Song. Tang terkenal dengan sanjak yang bernama shi dan Song dengan ci.
Suryadinata menyatakan, â€Menterjemahkan puisi tidak mudah. Karena puisi merupakan bentuk kata yang tertinggi. Bukan saja bahasanya sudah di-’tempa’, metafor dan nuansanya juga kaya raya.â€
Seorang penterjemah tidak saja memerlukan penguasaan dua bahasa yang sama baiknya, tapi juga pemahaman kebudayaan yang bersangkutan secara mendalam. Zhou Fuyuan selaku penterjemah tampaknya cukup competent menjalankan tugasnya. Dari pilihan bibliografi yang tercantum, Anda bisa melihat usaha yang telah dibuatnya dalam menyelesaikan antologi ini.
*
Puisi yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan dalam buku ini terbagi dalam tiga kategori utama, yakni: shi, ci, dan qu.
Shi atau sanjak merupakan jenis utama dari puisi klasik. Yang dimaksud sanjak sebetulnya mencakup berbagai bentuk puisi. Secara garis besar, sanjak dapat dibedakan atas sanjak sebelum Tang dan sanjak sesudah Tang.
Sebelum Tang, sanjak belum terlalu kaku. Belum ada aturan yang ketat mengenai jumlah kata dalam satu lariknya. Demikian pula pola nada atau rima. Sanjak dalam Kitab Nyanyian Dinasti Zhou misalnya memiliki empat kata dalam satu larik.
Dalam puisi chu, jumlah kata bisa berubah-ubah. Pada Dinasti Han, ada yang lima kata, tujuh kata, atau panjang pendek. Pada Dinasti Wei, Jin, dan terutama Enam Dinasti, sepertinya mulai dimatangkan pola lima kata dengan pola rima yang belum terbakukan. Pembakuan baru dilakukan pada Dinasti Tang.
Demikianlah, maka sanjak yang dapat Anda jumpai di buku antologi ini dikelompokkan oleh Zhou Fuyuan dalam tujuh sub-bab dengan tema masing-masing, seperti: Rembulan di Rantau, Bumi Pertiwi, Nyanyian Musim, dll.
Bentuk puisi Tiongkok klasik berikutnya adalah ci atau syair. Awalnya syair adalah bagian dari lagu yang populer di perkotaan. Struktur syair sangat bervariasi mengikuti jenis lagunya. Jumlah kata dalam satu larik tidak seragam, kalimat panjang pendek berselang. Rima mengikuti pola lagunya, meski ada penyair yang terkadang melanggar. Karena bentuknya lebih luwes, gaya bertutur syair lebih bebas dibanding sanjak, cenderung lebih prosaik, dengan struktur kalimat lebih mendekati pola bahasa lisan. Dengan begitu, syair lebih memungkinkan bertutur secara intens mencurahkan perasaan: riang, sedih, atau marah. Syair cenderung lebih sentimental, sehingga jadi ladang subur tema asmara.
Menurut Zhou Fuyuan mengutip Li Zehou dalam Mei Dei Licheng sebagaimana ia tulis pada Kata Pendahuluan buku ini, â€Suasana yang dihasilkan sanjak lebih makro dan melebar, sedangkan syair lebih mikro dan menyempit.†Jika sanjak mengajak kita melihat keluar, syair lebih menarik kita ke dalam. â€Sanjak terasa lebih anggun, syair lebih cantik,†kata Wang Yubao dalam Zhongguo Shi.
Bentuk ketiga puisi Tiongkok klasik adalah qu atau lirik. Sebenarnya lirik sama dengan syair, digubah berdasarkan lagu populer. Karena sumber lagu berbeda, lahir gaya puisi berbeda pula. Perbedaan utama adalah cara bertuturnya. Lirik lebih lincah, pola ucap lebih bebas. Puisi lirik ini mulai berkembang pada Dinasti Yuan.
Dalam buku Purnama di Bukit Langit, yang tampil dengan tebal 367 halaman dan ukuran 21,5 cm x 21,5 cm ini bab lirik dan syair disatukan, terbagi dalam tujuh sub-bab, antara lain: Derita Pengembara, Ratapan Tanah Air, Sendandung Air dan Bukit, dll.
*
Dalam teori penterjemahan, dikenal dua pendekatan, yaitu terjemahan yang â€berorientasi sumber†(source-oriented) dan â€berorientasi target†(target-oriented). Suatu penterjemahan yang â€berorientasi sumber†sedapat mungkin harus membawa pembacanya memahami apa yang dipikir dan dikatakan sang penulis asli. Sebaliknya, penterjemahan yang â€beroreintasi target†lebih mementingkan apakah terjemahannya secara komunikatif bisa dimengerti oleh pembacanya. Sebagai contoh, terjemahan buku-buku See Yan Tjin Djin relatif lebih â€berorientasi sumber†sementara Boe Beng Tjoe lebih "berorientasi target".
Umberto Eco pakar Semiotic, pengarang The Name of the Rose, Faucaults’s Pendulum, the Island of the Day Before, dll yang selalu coba melibatkan diri dalam penerjemahan buku-bukunya ke berbagai bahasa dunia, menulis:
â€Untunglah saya bukan penyair. Karena persoalannya menjadi lebih pelik dan dramatis dalam menterjemahkan puisi, sebuah seni di mana pikiran ditentukan oleh kata-kata. Dan jika Anda mengubah bahasanya, Anda mengubah pikirannya. Namun demikian terdapat contoh-contoh yang baik sekali dari puisi-puisi terjemahan yang dihasilkan melalui kolaborasi pengarang–penterjemah. Seringkali hasilnya adalah sebuah kreasi baru. Sebuah teks yang sangat dekat dengan puisi karena kompleksitas lunguistiknya adalah Finnegans Wake karya James Joyce. Salah satu bab diterjemahkan ke dalam bahasa Itali dengan Joyce sendiri yang berkolaborasi. Terjemahan ini jelas sekali berbededa dari bahasa Inggris aslinya. Itu bukanlah terjemahan. Itu seperti Joyce sendiri telah menulis ulang teksnya dalam bahasa Itali.â€
Demikian dinyatakan Profesor Eco. Maka, kita bisa simak sebuah contoh misalnya karya Li Bai berjudul Ye Shi atau Jing-ye-shi oleh empat orang berbeda berikut ini.
Rindu di Malam Sepi
Rembulan penuh menyinari di lantai depan ranjang
Membuat orang menyangka yang penuh di lantai itu embun beku musim gugur
Sambil mendongak kepala, memandang rembulan
Ketika menunduk, kampung halaman terbayang-bayang
(penterjemah: Wilson Tjandinagara)
Merenung di Malam Sunyi
Terang bulan di depan dipan
disangka embun beku memutih di lantai ruang
Muka mendongak bulan ditatap
kepala merunduk kampung dikenang
(penterjemah: Liang Liji)
Samadi di Malam Sepi
Kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku
Barangkali salju lembut telah melayang jatuh?
Kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit
Kemudian tertunduk kembali merenungi bumi
(penterjemah: Sapardi Djoko Damono)
Rindu Malam
Sinar purnama di depan pembaringan,
embunkah yang membeku di pelataran?
Tengadah menatap rembulan purnama,
tertunduk mengingat kampung halaman
(penterjemah: Zhou Fuyuan)
Bagi saya pribadi, bahasa Sapardi Djoko Damono lebih enak dibaca, tapi terjemahannya agak menyimpang dari puisi aslinya. Tidak demikian halnya dengan Zhou Fuyuan. Maka, terlihatlah bahwa Sapardi lebih “berorientasi target†sementara Zhou Fuyuan dalam Purnama di Bukit Langit lebih “berorientasi sumberâ€.
Manakah yang Anda suka?
Jawabnya lebih baik Anda temukan sendiri dalam buku ini. Secara keseluruhan buku ini dilengkapi sebuah pendahuluan yang menghantar pembaca untuk mengenal apa itu puisi Tiongkok klasik serta sejarah perkembangannya. Buku ini juga dilampiri dengan ulasan khusus 17 tokoh penyair penting serta ulasan pengantar oleh Leo Suryadinata dan ulasan penutup oleh Sapardi Djoko Damono.
Bagi Anda pecinta sastra Tiongkok, selain cersil, buku antologi ini layak Anda koleksi.
Nilai | ![]() |
---|---|
Kategori | Novel |
Negara | Indonesia |
Tahun | 2007 |
HitCount | 17.585 |
Baca semua komentar (3)
Tulis Komentar
#1 | ![]() |
danivn
30 April 2007 jam 5:52pm
 
Maaf, harusnya kategorinya bukan Novel. Tapi kategori yang lebih sesuai saya gak nemu di tag list yang tersedia. Jadi, maklumi aja yah... |
#2 | ![]() |
zhonghua
31 Juli 2011 jam 8:53am
 
review menarik , bolehkah dishare dan disebarluaskan ? |
#3 | ![]() |
agussetyaraharjo
22 Juni 2014 jam 9:12am
 
buku yang sangat menarik. dapatkah semua isi buku diupload di sini? mengingat buku tersebut sudah susah di cari di pasaran. |