Nice Story.....-- satu kata MAAF
It's not easy to forgive someone that hurts you but when you do that, it'll
make a difference to someone's life. Please forgive anyone who has hurt you
no matter what the reason is as you live in this world temporarily. Once you
miss your chance to do it, you will regret it forever unless you are lucky
enough. Always live with LOVE as LOVE is a source of life for everyone.
Siantan, Pontianak
20 Juli 2004
Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di
sekujur tubuhnya. Komplikasi penyakit jantung, darah
tinggi, dan paru-paru menggerogoti bobotnya yang dulu
subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas
tulang-belulangnya tersembul. Sebentar-sebentar
kepalanya mendongak mencari aliran udara, menghirup,
dan mengeluarkan napas dengan tersengal-sengal. Ia
tampak tersiksa sekali.
Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk.
Bukan saja karena takut, tapi juga karena enggan.
Enggan melihat kondisi sakitnya, enggan bertegur sapa
dengan orang-orang yang mungkin ada di dalam ruangan
itu, dan enggan berdamai dengan perasaan sakit hati
yang selama belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku.
Tak mudah menghapus luka lama. Siang ini aku baru saja
sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti pameran
di Bali. Taksi yang kutumpangi dari bandara sudah
berhenti di depan rumah. Ponselku tiba-tiba berbunyi.
"Pulanglah, Mei Cen. Waktunya sudah tiba," suara yang
sudah sangat kukenal langsung menyergap pendengaranku.
Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak
sabar, hendak menagih ongkos. "Jangan keraskan hati
lagi, sudah saatnya mengakhiri semua kebencian.
Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!" suara
itu kembali terdengar, kali ini nadanya menyakitkan.
Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama
didengungkan terus oleh sang penelepon. Aku sudah
katakan padanya, tak perlu repot-repot membujuk lagi.
Aku tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi
keinginannya. Titik.
Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya
aku sibuk mengamati pernak-pernik kegiatan pameran,
aku malah sering terbengong-bengong. Seperti mantra,
isi pesan telepon itu berbalik menghantui, membuat
setiap detik hidupku menjadi seperti bara api.
Batinku bergolak hebat. Antara rasa sayang dan dendam.
Antara rasa iba dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah
merasa sangat letih menanggung beban ini. Mungkin, Tuhan
memang khusus merencanakan saat ini untuk
mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara
tentang kepahitan masa lalu.
Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku
menghitung dalam hati. Sudah berapa lama kenangan
buruk itu menyiksaku? Lebih dari lima belas tahun.
Sama sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam
lubuk hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
Mulai belajar memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi,
belajar melupakan segala sesuatu yang telah terjadi,
belajar untuk memiliki hati dan jiwa yang baru. Ya,
aku harus segera memulainya. Sekarang. Dengan mantap,
aku meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan
mengantarku ke bandara.
Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam
barulah pesawat mendarat di Pontianak. Untuk sampai di
rumah sakit tempat Mama dirawat, aku masih harus
meneruskan perjalanan sekitar empat puluh menit lagi
menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap
karena asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku
kembali mempertanyakan niat hatiku. Bagaimana jika
Mama menolak bertemu denganku? Bagaimana jika ternyata
seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu mengusirku?
Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan
remuk dua kali, tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan,
sudah benarkah keputusanku kali ini?
Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah
mondar-mandir tak keruan. Ternyata, bukan hal mudah
untuk masuk ke dalamnya, lalu menyapa, "Apa kabar,
Mama? Aku sudah datang!" Untuk menenangkan jantungku
yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku
segera menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan
gelisah aku bersandar di tembok, sambil berulang kali
mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.
Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu
teganya aku membiarkan dia terkapar sendirian di dalam
sana, sekarat menghadapi ajal. Padahal, aku sudah
mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu, tapi tak
pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi
mendampingi di saat-saat terakhirnya.
Tapi, hei. tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah
wanita itu jauh lebih jahat? Lihat saja apa yang
selama ini dia lakukan padaku! Dia bukan saja tidak
mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan
segala macam cara. Dia ingin membunuhku! Aku, darah
dagingnya sendiri
Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir,
yang terhebat, dan yang paling tak bisa kulupakan.
Setiap suku katanya bahkan masih aku hafal dengan
jelas.
"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen.
Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah,
cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak pikirkan
bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara,
sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian
pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu
sama sekali tidak tahu terima kasih. Tidak tahu balas
budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak
pembawa sial!"
Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial, itulah ungkapan yang paling
sering aku terima selama tinggal di rumah ini
"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai
sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan
mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku
bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi!
Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!" jeritku
membabi buta, lalu menerjang kamar, dan mengemas
barang-barangku
"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali
kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini
tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting!
Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah
besar tambah bikin masalah! Anak kurang ajar, anak
durhaka! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin
baik!" teriak Mama, melengking tinggi
Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi
ranjang. Malang benar nasibku. Lahir tak dikehendaki,
hidup pun tak punya arti. Berjam-jam lamanya aku
menangisi diri, sambil memasukkan barang-barangku yang
tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana.
Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh dan
tidak kembali lagi
Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata.
Kejadian yang lalu itu menyisakan dendam dan kebencian
luar biasa di antara aku dan Mama. Aku bertekad, tak
ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku.
Begitu juga sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng
pembenaran diri sendiri.Aku berjuang luar biasa
keras demi memenuhi sesumbar sumpahku, tanpa pernah
berpikir untuk kembali ke kota ini lagi.
Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat.
Sampai akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk
menatap langit, tak tahu harus berbuat apa. Bulan di
ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas menyembulkan
sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan
gemetar. Air mataku menetes lagi.
September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan
ini tak sama dengan yang kemarin. Tidak ada mainan
bola yang digantung di atas kepala. Tidak ada gambar
ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada balon
warna-warni melambai di dekat jendela. Sambil
menggeliat melemaskan otot yang masih agak kaku, aku
menelengkan kepala. Kenapa sepi sekali? Mana
teman-temanku? Bukankah semestinya mereka juga ada
di sini, berbaring berjajar dalam boks yang
bersekat-sekat? Biasanya teriakan mereka membuat aku
marah. Berisik sekali. Walaupun agak menyebalkan,
aku sayang pada mereka
Ingat soal minum, perutku lapar bukan main.
Biasanya, wanita berbaju dan bertopi putih selalu datang untuk
memandikan dan mendandaniku dengan bedak wangi.
Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil
menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku
mulai menggesek-gesekkan kaki, terasa lengket.
Kenapa, sih, tidak ada yang mengganti popokku? Basah dan
dingin menempel di kulit, belum lagi ditambah tiupan
angin dari jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu
sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi
putih akan muncul dan menyapaku seperti biasa, "Halo
manis, sudah bangun?" Tapi, setelah lama menunggu,
pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar
lagi
Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku
spontan berteriak kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa
wanita ini? Kenapa dia tidak berbaju dan bertopi
putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku
mencoba mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku
pikir dia akan segera menggendong dan memberiku minum,
tapi .. Hei, dia kembali berjalan ke arah pintu, membuka,
dan menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada
tangisanku
Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan
kedinginan seperti ini? Huh, lebih enak tinggal di
perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan akan
langsung sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat,
tinggal bergelung di selimut cairan ketuban. Semua
serba enak, tidak perlu capai-capai menangis jika
ingin sesuatu
Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita yang tadi datang
itu ibuku? Bisa jadi. Berarti, aku sudah ada di rumah
dan ini kamarku? Asyik juga, paling tidak aku tidak
perlu repot berdesak-desakan tempat dengan teman-teman
lain seperti kemarin. Tidak perlu berebut minum,
mainan, dan berebut minta perhatian. Aku sendirian.
Hore! Aku jadi raja! Enak juga, ya, punya ibu. Tapi,
mana dia? Oh, itu dia datang lagi. Tapi, kenapa, sih,
dia selalu membuka dan menutup pintu de-ngan suara
sekeras itu? Telingaku jadi sakit. Aku menangis
lagi.
Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan
menyekaku dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku
karena buang air besar. Lalu bagaimana lagi? Umurku
kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan
kotoranku
sendiri. Minumnya mana, Bu? Yah, kok, susunya
dingin..
Tapi, biarlah, daripada tidak sama sekali. Karena
kelaparan dan hanya disuguhi sedikit, aku
melengkingkan suara, tanda minta tambah. Walau
dengan
muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku
sedikit susu lagi.
Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan
menyeka dengan air hangat. Aku asyik memerhatikan
wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan bertopi putih
yang selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga
harum. Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak
gemuk
dan memiliki raut wajah keras. Pakaiannya mirip
seperti gorden. Tapi, tak apa, dia adalah ibuku.
Hmm... enaknya aku panggil apa, ya? Ibu, Mama, Mami,
atau Bunda? Lebih enak Mama. Mudah mengucapkannya.
Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau
masih
kedinginan. Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut
kain bedong, tanpa kaus kaki. Bawa aku berjemur di
luar, Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk
disapa pagi ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku
sebentar di dada Mama, karena aku ingin kehangatan.
Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan
senyum
termanisku, berharap ia akan tertawa dan
menggelitiki
pipiku. Tapi, Mama malah membenahi ember dan baju
kotor, lalu kembali menghilang dari balik pintu.
Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap ia
mau bermain denganku sejenak. Sepanjang sisa hari
itu
Mama hanya menjengukku tiga kali. Datang melongok
untuk mengganti popok dan menyodorkan botol susu
yang
isinya tak banyak
Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia
hanya mengayunku sebentar, tidak memberi pelukan
selamat tidur atau ciuman. Aku menangis sedih karena
ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta,
tapi yang kudapat adalah cubitan kecil di kaki.
Sakitnya.. Lagi-lagi aku menjerit. Makin melengking
suaraku, makin dalam Mama menekuk tubuhnya.
Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari
dengan terlalu banyak tangisan, akhirnya aku
tertidur
dengan mengulum jempol tanganku. Ini hari pertamaku
datang ke rumah, bertemu sosok Mama yang sudah
sembilan bulan mengisi bagian hidupku, tapi aku
sudah
merasa tertolak.
Januari 1972
Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku
menginjak tiga tahun. Walau setiap malam aku tidur
dengan Mama, aku hampir tak pernah mendapat pelukan
dan ciuman sayang. Paling-paling hanya usapan di
kepala. Kata-kata manis, nyanyian kecil, atau
dongeng
pengantar tidur juga tak aku dapatkan.
Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya
pendek-pendek
dan nadanya datar, kadang-kadang agak membentak.
Padahal, aku ingin tahu rasanya bermanja-manja,
apalagi jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh
tak enak, tidur tak nyenyak, makan pun tak suka.
Kalau
saja Mama mau sedikit memanjakan aku dengan pelukan,
aku sudah cukup terhibur.
Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja
Mama
bersikap pelit, soal keperluanku yang lain juga
begitu. Makan dijatah, minum susu dibatasi. Kalau
masih lapar, minum saja air putih banyak-banyak,
begitu kata Mama. "Di rumah ini bukan cuma kamu yang
butuh makan, Mei Cen. Masih ada enam kakak, dua
kakak
ipar, Tante Lin, Oma, dan Mama. Kita harus saling
berbagi, jelas?" tegur Mama galak, ketika suatu kali
aku merengek minta porsi daging gorengku ditambah.
Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari,
sekerat kecil daging dan separuh bagian telur satu
kali seminggu, sementara sisanya adalah sayur-mayur
saja. Mula-mula, tentu saja aku menolak aturan itu
dengan tangisan merajuk dan mulai menga-muk. Tapi,
setelah merasakan panasnya sabetan tangan Mama di
pantatku, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dan bisa
belajar menahan lapar lebih lama.
Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu
cuci muka saja sepanjang minggu. Irit air, irit
sabun.
Kalau kutanya mengapa, jawab Mama singkat saja,
"Karena kita bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah
sedikit." Tentu saja aku belum bisa mengerti apa
arti
perkataan itu, seperti juga ketidakmengertianku
tentang kondisi tangan dan kakiku.
Kedua kakiku selalu ditutup kain menyerupai sepatu
dan
tidak boleh dilepas kecuali mandi atau tidur.
Tanganku
juga. Padahal, aku sudah bilang pada Mama bahwa aku
kepanasan. Mama berkeras mengatakan bahwa tangan dan
kakiku sedang tumbuh membesar. Jadi, harus dibungkus
dengan telaten supaya pertumbuhan tulangnya bagus.
Seperti buah mangga saja, katanya. Rapat-rapat
dibungkus supaya cepat masak.
Kalau kain yang melilit tangan dan kaki itu sering
dibuka, nanti pertumbuhannya terganggu, begitu Mama
berpesan. Masih belum cukup dengan penjelasannya,
Mama
merasa perlu untuk mengancam akan memukuli dan
mengunciku di kamar gelap berhari-hari, jika aku
berani membuka ikatan di tangan dan kakiku, tanpa
seizinnya. Jadi, dengan sangat terpaksa aku
mengangguk
mengiyakan
Pekerjaanku setiap hari hanya duduk bermain di pojok
kamar, ditemani dua boneka bekas yang sudah kumal.
Mama tidak mengizinkanku keluar rumah. Tak pernah
aku
merasakan nikmatnya jalan-jalan pagi, melihat
kerumunan burung, berkejaran di tanah lapang, atau
naik sepeda di sore hari. Hari-hariku diisi dengan
sepi, tak punya teman bicara. Seisi rumah terlalu
si-buk untuk diajak bermain. Mama dan adiknya, Tante
Lin, harus banting tulang mencari uang karena Papa
sudah tak ada.
Mohan Liaw, ayahku yang berdarah Dayak-Tionghoa itu,
semasa hidupnya bekerja sebagai penggali sumur. Ia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku
masih berada dalam kandungan. Dua kakak laki-laki
tertua sudah menikah, tapi masih tinggal serumah.
Empat kakak lain punya urusan sendiri karena mereka
sudah beranjak remaja dan lebih senang bermain
dengan
teman pria daripada bermain masak-masakan dengan
aku.
Setiap hari pukul dua pagi, Mama dan dua kakak
laki-lakiku sudah beranjak pergi ke peternakan di
luar
kota untuk membeli puluhan ayam. Pulang ke rumah,
mereka dibantu empat kakak perempuan mencabuti
bulu-bulu ayam dan memotongnya. Pukul lima pagi,
Mama
dan dua kakak ipar membawanya ke pasar untuk dijual.
Pulang ke rumah saat menjelang sore, Mama sudah
kelihatan sangat lelah dan aku tidak boleh
mengganggunya dengan rengekan untuk menemaniku
bermain. Aku juga tidak boleh mengganggu Tante Lin
yang sudah lelah karena setiap hari harus membuat
kue-kue untuk dijual.
Bermain dengan Oma? Yang benar saja, umur Oma sudah
84
tahun. Kakinya lumpuh, bicaranya sudah tak jelas,
telinganya pun tak berfungsi baik. Kerjanya sama
denganku. Setiap hari hanya duduk-duduk melamun saja
di kursi. Walau begitu, Oma baik karena setiap hari
dia pasti memberiku uang, sekadar lima puluh atau
seratus rupiah. Aku rajin menyimpannya dalam kotak
kecil yang kuamankan di kolong ranjang.
Dibandingkan Mama yang banyak bepergian, Tante Lin
lebih memungkinkan untuk menemaniku berlama-lama di
rumah. Mengajariku bicara, membacakan buku cerita,
menyuapi makan, bahkan membopongku ke kamar mandi
karena aku belum bisa berjalan. Hal yang
mengherankan.
Karena, aku sering melongok dari jendela dan melihat
beberapa anak tetangga seumurku sudah pandai
berjalan,
bahkan berlari mengejar layang-layang. Sedangkan
aku.
berjalan saja tidak bisa. Kalau aku mencoba berdiri,
pasti jatuh. Sakit dan ngilu sekali rasanya.
"Mestinya aku sudah bisa berjalan kan, Ma?" tanyaku
suatu sore. Tampaknya, Mama tidak mendengar sehingga
aku harus mengulang pertanyaanku beberapa kali. Kali
keempat barulah Mama mengangkat wajah dari tumpukan
baju kotor yang tengah dicucinya. Ia terdiam
sebentar,
lalu menjawab lirih, "Kakimu belum kuat untuk diajak
berjalan."
Karena kakiku bengkok?"
"Bukan! Umurmu masih kecil, jadi belum bisa jalan
sendiri."
"A Ming dan Budi seumur denganku, tapi mereka sudah
pandai berjalan."
"Mereka lain! Mereka anak laki-laki, kaki mereka
lebih
kuat."
"Oh.." Aku mencoba mencerna penjelasan Mama.
Mungkin,
betul juga penjelasan Mama. Aku percaya padanya,
Mama
tak mungkin bohong
"Lalu, kapan kakiku kuat, Ma?
"Nanti, kalau kamu sudah besar.
"Kapan aku besar, Ma?"
"Nanti, kalau sudah berumur lima tahun."
"Oh.." Aku menghitung-hitung dalam hati. Itu berarti
aku harus menunggu dua tahun lagi. Hmm. tidak
terlalu
lama.
"Lalu, tanganku? Kenapa tanganku juga harus selalu
ditutup, Ma?"
Kali ini Mama menghela napas, sambil menghapus
keringat di dahi dengan punggung tangannya. "Supaya
tanganmu tidak kedinginan, Mei Cen. Kalau
kedinginan,
tanganmu sering kram.
"Kram itu apa?'
"Kejang, susah bergerak."
"Tapi, nanti tanganku bisa sembuh?"
"Ya, kalau kamu sudah besar.'
"Kalau aku sudah berumur lima tahun?"
"Ya."
"Tidak perlu pakai kain lagi?"
"Ya."
"Sungguh? Mama tidak bohong, 'kan? Mama janji?"
kejarku dengan nada menuntut. Dalam hati, aku
gembira
bukan alang kepalang. Asyik, sebentar lagi aku bisa
berjalan!
Aku begitu sangat merindukan datangnya hari ulang
tahunku yang kelima. Berharap bisa berjalan dan
berlari sekuat macan, dan tanganku tak lagi
disarungi
kain seperti bantal. Sambil menunggu saat yang Mama
janjikan itu, aku tetap berusaha belajar berjalan.
Minta ampun susahnya! Mencoba berdiri dengan
berpegangan pada semua benda yang ada, lalu menyeret
kaki untuk melangkah satu dua. Sakitnya jangan
ditanya, tapi aku tetap memaksakan diri. Lutut dan
siku sudah lebam biru keunguan terkena benturan
setiap
kali aku terjatuh. Tidak cuma itu. Aku juga sulit
menggerakkan jemari tangan untuk mengambil sesuatu,
apalagi barang yang kecil. Memegang sendok atau
menjumput kancing, misalnya. Jari-jari tangan
rasanya
kaku dan aneh.
Dan, lagi-lagi Tante Lin datang sebagai penyelamat.
Ia
berbaik hati meluangkan waktu istirahatnya untuk
melatihku menggerakkan kaki dan tangan, sementara
Mama
dan kakak-kakakku tidak bisa terlalu diharapkan.
Karena terlalu memaksa diri berlatih, aku jadi
sering
menangis karena kesakitan dan kelelahan. Tapi,
setiap
kali itu juga ucapan Mama bahwa pada umurku yang
kelima aku akan bisa berjalan, datang
menyemangatiku.
Setiap hari aku rutin mencoreti kalender dengan
spidol
merah, menghitung hari demi hari, takut kalau ulang
tahunku yang kelima bakal terlewat. Nanti aku akan
memakai baju terbagus dan mengundang semua teman
tetanggaku untuk merayakannya, sambil bermain
kejar-kejaran di halaman rumah. Pasti menyenangkan
sekali. Cepatlah datang, cepatlah datang! Aku sudah
tidak sabar menanti.
September 1973-1983
Sayangnya, mimpi itu tak pernah jadi kenyataan.
Tepat
di hari ulang tahunku yang kelima, saat ayam masih
belum berkokok, aku sudah bangun. Kunyalakan lampu,
turun dari ranjang, lalu me-rayap, sambil
berpegangan
pada besi tempat tidur. Sesampainya di depan lemari
kaca, aku mencoba berdiri tegak dan berjalan. Tapi,
baru beberapa langkah, aku jatuh dan menabrak meja.
Suara dentuman keras langsung membangunkan Mama,
berbarengan dengan jatuhnya botol-botol kaca dan
gelas.
"Apa-apaan, sih, Mei Cen?" teriak Mama, ketika
melihatku terduduk di antara remukan kaca. Mama
memapahku kembali ke ranjang.
Aku menangis keras. "Aku tak bisa jalan! Aku tetap
tidak bisa jalan!'
"Kamu kenapa? Kalau mau ambil sesuatu, bilang pada
Mama, nanti Mama ambilkan! Lihat, tuh, barang-barang
pecah semua!" suara Mama tinggi. Mungkin, ia gusar
karena tidurnya terganggu. Sudah dua hari Mama tidak
berjualan karena sakit flu.
"Hari ini ulang tahunku, Ma!"
"Iya, lalu kenapa?" bentak Mama, sambil memunguti
beling.
Tangisku menghebat. Ia tidak ingat janjinya.
"Mama bohong! Mama bohong!" teriakku, sambil
melempar
bantal dan guling ke arahnya. Tiba-tiba Mama
mendekati
aku. Tanpa kuduga, ia menampar mulutku dua kali.
"Bisa diam tidak? Subuh-subuh begini teriak-teriak
seperti orang gila! Diam! Diam tidak?" Tangan Mama
masih teracung di udara, siap menampar lagi. Raut
wajahnya bengis. Aku merapat ke tembok dan menangis
tanpa suara. Takut, marah, kecewa, dan sedih.
"Kenapa Mama bohong?" tanyaku, pelan.
"Bohong apa, sih?" jawab Mama, galak.
"Dulu Mama bilang, aku pasti bisa jalan kalau
berumur
lima tahun. Kata Mama, aku belum bisa jalan karena
aku
anak perempuan. Masih kecil, masih tiga tahun. Nanti
kalau sudah umur lima tahun, baru bisa jalan seperti
si Aming. Waktu itu Mama janji, 'kan? Sekarang
tanggal
9 September, Ma. Umur Mei Cen lima tahun. Tapi,
kenapa
Mei Cen masih jatuh kalau berjalan?" Aku menangis
lagi.
"Mama bilang begitu?" tanyanya, seakan lupa. Seolah
tak terjadi apa-apa, Mama memutar badan dan kembali
menyapu. "Mungkin, para dewa masih belum
mengizinkannya."
Aku bengong, tak mengerti.
"Kamu harus lebih banyak berdoa pada para dewa, Mei
Cen. Supaya dewa-dewa senang dan menyembuhkan tangan
dan kakimu. Kalau kamu rajin sembahyang dan tidak
nakal, pasti dewa akan cepat menyembuhkan," jawaban
Mama terdengar meyakinkan.
"Betul begitu? Mama tidak bohong?"
Mama menggeleng, lalu memaksaku merebahkan diri.
"Sekarang, kamu tidur lagi. Ayo!" perintahnya.
"Kenapa kita tidak sembahyang sekarang saja, Ma?
Lebih
cepat kita sembahyang, lebih cepat dewa
menyembuhkanku, 'kan?"
"Nanti siang saja. Mama masih mengantuk," katanya.
Mama menguap lebar-lebar lalu menggulingkan badan di
sisiku.
Jarum jam berdetak mengiringi gerakan bola mataku
yang
tak bisa dipejamkan lagi. Di dalam hati aku memendam
begitu banyak pertanyaan. Kenapa dewa memberiku
penyakit ini? Kenapa orang lain tidak? Penyakit apa
ini?
Ketika jarum jam menunjukkan angka delapan pagi, aku
menarik-narik selimut Mama. "Sudah siang, Ma! Ayo,
kita sembahyang!"
Walau agak susah dibangunkan, sambil
terkantuk-kantuk
Mama mau juga membopongku ke ruang tengah. Di sana
ada
altar kecil dipenuhi dupa dan lilin merah yang
setiap
hari menyala. Dupa dan lilin-lilin itu mengapit
beberapa botol kecil berisi abu leluhur keluarga.
Aku
mengambil tiga batang hio dan menyalakannya, lalu
membungkukkan badan dalam-dalam, tanda hormat kepada
dewa dan arwah leluhur. "Para dewa dan arwah
leluhur,
sembuhkanlah aku agar aku bisa berjalan," teriakku,
lantang.
Sepanjang hari, di sela-sela kegiatanku berlatih
berjalan, aku berdoa dengan suara keras, takut dewa
tidak mendengar suaraku. Aku menaruh beberapa piring
berisi apel dan jeruk sebagai sesajen.
Lepas beberapa hari, aku mulai gelisah. Akhirnya,
kuputuskan untuk tidak meninggalkan altar barang
sekejap pun. Seisi rumah menertawakan dan
mengolok-olok. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin
tidur
di depan altar saja supaya bisa berdoa kapan pun aku
mau. Mulanya, Mama marah, tapi belakangan dia diam
saja.
Aku sungguh-sungguh berdoa. Tak jarang aku menangis
karena begitu ingin bisa menggerakkan kakiku. Aku
tidak mengerti apa penyebab sakitku ini, tapi aku
mengharapkan kemurahan para dewa dan arwah leluhur
agar mau mengasihaniku.
Hampir setahun aku terus membungkukkan badan di
depan
altar dan berteriak-teriak sampai suaraku serak.
Tapi,
mimpiku belum terwujud. Aku mulai jemu. Sepertinya,
dewa tidak memperhatikan kerasnya usahaku. Mungkin,
dewa terlalu sibuk mengurusi hal penting dan tidak
mau
mengurusi permohonan anak kecil.
Di umurku yang ketujuh, aku makin rendah diri
mendengar ejekan orang sekampung. Kata-kata seperti
'Itu Si Pincang!' atau 'Hei, Ayam Buntung lewat!'
atau
'Kasihan, cantik-cantik, kok, cacat!' memerahkan
telinga dan juga menghancurkan hatiku. Mama tidak
ambil pusing dengan keluhanku. "Ah, mereka itu
nakal,
suka iseng. Biarkan saja, nanti akan diam sendiri,"
katanya, pendek.
Komentar Tante Lin lebih baik. "Kamu tidak pincang,
tidak buntung. Kamu bisa berjalan sedikit, 'kan?
Bilang saja, kakimu sekarang memang sakit, tapi akan
segera sembuh."
Tak tahan terus diganggu rasa penasaran, suatu hari
aku nekat membuka sepatu kain dan sarung yang
menyelubungi tangan dan kakiku. Dalam kamar
terkunci,
susah payah aku menggunakan gigi untuk menarik tali
kecil yang membelit gulungan kain di tangan. Apa
yang
kulihat sangat membuatku terpukul dan nyaris
histeris.
Tangan yang sejak dulu terlihat begitu aneh, tetap
pada bentuknya. Tak ada perubahan. Tak ada
pertumbuhan
tangan yang indah seperti penari, seperti yang Mama
janjikan. Masing-masing tangan harus puas hanya
punya
tiga jari. Jumlah kuku pun tak lengkap.
Aku membuka ikatan yang membelit kaki sepanjang
betis.
Pemandangan sangat tidak sedap pun kembali
menerpaku.
Kakiku memang ada dua, tapi tidak sempurna.
Bentuknya
ganjil. Kanan dan kiri tidak sama. Kakiku tidak
bertelapak dan berjari. Yang disebut telapak pada
kaki
kiriku adalah segumpal daging tanpa kuku, tak
berbentuk. Kaki kananku masih lebih baik. Telapak
kaki
masih sedikit berbentuk, walau tak panjang. Tapi,
hanya berjari tiga dan berkuku dua. Sayangnya, kaki
kanan yang agak lumayan itu melesak bengkok ke arah
dalam.
Aku menangis meraung-raung. Apa gunanya punya
tangan,
kalau tak bisa dipakai? Apa gunanya punya kaki,
kalau
tak bisa berjalan? Kini aku sadar mengapa semua
orang
menghinaku. Mereka semua benar! Aku seperti ayam
buntung pincang berwajah manusia. Aku cacat! Cacat!
Seharian aku mengunci diri di kamar. Tak mau makan
dan
minum. Hanya bergolek, terisak di tempat tidur. Tak
kupedulikan teriakan Mama dan Tante Lin yang
menggedor
pintu seperti orang kesetanan, berteriak memanggil
namaku. Lewat pukul tujuh malam, aku merangkak lemas
menggapai pintu dan meraih kunci. Bukan karena lapar
atau haus. Aku ingin bertanya pada Mama, kenapa
selama
ini ia berbohong.
Begitu aku membuka pintu, tangan Mama yang besar
langsung merenggut rambutku dan membenturkan ke
dinding berulang-ulang. Masih belum cukup, aku
dihadiahinya tamparan di pipi kiri dan kanan.
"Anak sialan! Untuk apa mengunci pintu seharian?
Coba
bilang, ngapain kamu di dalam? Ngapain?" teriak
Mama.
Air mataku meleleh lagi. Tapi, aku tak bisa melawan.
Tante Lin mencoba memapahku bangun. Kakak-kakakku
hanya menonton. Sedikit pun mereka tak tergerak
untuk
mengulurkan tangan. Wajahku yang memar berpaling
memandangi mereka. Kenapa mereka tidak mencegah
ketika
Mama menghajarku? Kenapa mereka tidak menghiburku,
memeluk, dan melindungiku? Aku adalah adik mereka.
Atau, mereka menganggapku makhluk aneh yang tidak
pantas jadi manusia?
Dengan mata nanar kutatap wajah Mama. Perlahan aku
menyorongkan kedua belah tanganku ke hadapannya.
"Kenapa Mama bohongi Mei Cen lagi?" desahku. Mama
dan
Tante Lin langsung terkesiap, sadar bahwa tangan dan
kakiku tidak lagi terbalut ikatan kain. Rona kaget
mereka tak bisa ditutupi. Mereka menoleh ke
belakang.
"Siapa yang buka? A Ling? Atau, kamu, Heng?" tanya
Mama.
Satu per satu mereka menggeleng, lalu beranjak
pergi.
Mama menatap lama ke dalam mataku. Kupikir ia akan
menghajarku lagi. Tapi, ia bangkit menuju ruang
dalam
dan kembali dengan sepiring nasi di tangan.
"Makanlah dulu. Kamu pasti lapar. Sesudah makan,
langsung tidur," katanya, acuh tak acuh.
"Tangan dan kaki Mei Cen kenapa, Ma? Kenapa
bentuknya
seperti ini?"
"Tidak sekarang," Mama bergegas menjauh, diikuti
Tante
Lin yang sempat mencium pipiku. Aku termangu
memandangi nasi di depanku, tanpa berniat
menyentuhnya. Kejadian hari ini terlalu pedih,
membunuh selera makanku.
Hari-hari berikutnya Mama bersikap seolah tak ada
apa-apa. Tante Lin juga berusaha menghindari
pertanyaanku, tapi tetap melayaniku. Bagaimana
mungkin
Mama begini, setelah kemarin menyiksaku sampai babak
belur? Tidakkah Mama tahu bahwa peristiwa itu
terekam
dalam jiwaku, menimbulkan luka emosi yang
mengobarkan
kebencianku?
Suatu siang, ketika aku sedang duduk melamun di
depan
rumah, seorang anak tetangga lewat dan mulai cari
gara-gara. Setelah beradu mulut yang diakhiri kontak
fisik, aku masuk ke rumah. Melihat lengan bajuku
terkoyak dan pipi merah, alis Mama terangkat.
Situasi
langsung diambil alih Tante Lin.
"Kenapa? Kok, seperti habis dipukuli?" tanya Tante
Lin, bergegas memeriksa lukaku. Aku menggigit bibir,
menahan tangis.
"Memang dipukuli," jawabku, pelan.
"Siapa yang memukuli?"
"Wanto. Ia mengatai aku ayam buntung. Aku tidak mau
dikatai seperti itu. Wanto marah, tidak terima.
Tahu-tahu, dia langsung memukul aku."
Aku menghambur ke arah Mama. "Kenapa tangan dan kaki
Mei Cen begini, Mama?" isakku, lirih.
"Ini sudah takdir, Mei Cen. Sabarlah. Jangan
dengarkan
omongan tetangga. Mereka juga akan diam sendiri."
"Ceritakan apa yang terjadi padaku, Ma.."
"Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kita ke dokter
saja, ya?" Mama masih berusaha mengelak. Aku
menggeleng berulang-ulang. "Tidak, Mama harus
cerita.
Cerita yang sebenarnya."
Beberapa menit kami berpandangan. Perlahan, Mama mau
juga bercerita. Sambil mengibaskan kemoceng di
sela-sela kursi, ia bertutur dengan suara yang
hampir
tak terdengar.
"Dulu, sewaktu kamu masih ada di perut Mama,
pagi-pagi
Mama pergi ke pasar membeli ayam. Menurut orang
Tionghoa, kalau sedang mengandung pantang memotong
ayam, apalagi kakinya. Kata orang tua zaman dulu,
bayi
yang dikandung bisa cacat. Hari itu Mama lupa pada
pantangan. Ketika kamu lahir cacat, Mama menyesal
karena melanggar pantangan itu."
"Aku cacat cuma karena Mama memotong ayam sewaktu
hamil?" jeritku, tak percaya.
"Percaya atau tidak, itulah yang terjadi."
"Apakah tak ada yang bisa mengobati cacatku?"
"Dokter di kota bilang, kamu harus dioperasi.
Badanmu
disayat, dipotong-potong. Biayanya mahal sekali.
Kita
tidak punya cukup uang untuk itu, Mei Cen. Kalaupun
bisa, rumah ini harus dijual. Lalu, kita harus
tinggal
di mana? Karena tidak punya uang dan tidak tega
melihatmu dioperasi, Mama membungkus kaki dan
tanganmu
supaya tidak ada yang tahu keadaanmu."
"Itu sebabnya aku tidak boleh main dan bersekolah
seperti anak lain? Karena Mama malu?"
"Mama takut kamu dihina."
Dihina. Ucapan itulah yang melecut semangatku.
Kupaksa
Mama mendaftarkanku ke sekolah. Miskin dan cacat
adalah dua hal yang tak bisa kuubah, tapi aku tak
mau
menambah satu lagi kekuranganku: menjadi bodoh.
Tergerak oleh tekadku, Mama membeli sepasang sepatu
besi khusus untuk penyandang cacat. Jika memakainya,
kakiku terasa berat sekali. Tapi, aku harus
mencobanya. Siapa tahu, telapak kakiku
perlahan-lahan
bisa normal.
Di sekolah aku makin sering menangis. Tak ada
seorang
teman pun yang mau bergaul denganku. Aku sering
kesulitan menulis cepat karena jari-jari tanganku
tak
sebanyak orang lain. Biarpun sudah berlatih keras,
hasilnya tetap mengecewakan. Bila tiba jam olahraga,
aku hanya gigit jari dan tinggal di kelas, sementara
teman lain berlarian bermain bola kasti.
Untunglah, keterbatasan fisik tidak memengaruhi
kemampuan berpikirku. Walau aku terlambat
bersekolah,
tidak berarti aku lambat dalam menangkap pelajaran.
Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima keadaanku.
Tidak masalah, aku yakin bisa mengatasinya. Nilai
raporku selalu jauh di atas rata-rata. Di akhir
tahun
pelajaran aku tersenyum bangga karena prestasiku
melebihi orang yang tak cacat. Sayang, Mama kurang
terkesan dengan keberhasilanku itu. Ia hanya
mengangguk, tanpa memberikan pujian sedikit pun. Ah.
begitu sulitnya aku merebut hati Mama.
Menginjak remaja, kegiatanku di rumah tak banyak
berubah. Tak mungkin aku membantu Mama memotong dan
mencabuti bulu ayam. Kupilih membantu Tante Lin
membuat kue. Mula-mula, hanya mengocok telur,
menuang
terigu, dan mengaduk adonan. Lama-kelamaan aku bisa
mencetak aneka bentuk kue kering. Iseng-iseng, aku
menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Hasilnya
kutabung sedikit demi sedikit.
Sayang, hubunganku dengan Mama tak banyak berubah.
Kami masih tidur pada satu ranjang. Tapi, rasanya ia
begitu jauh. Seperti ada tembok tebal yang
menghalangi
terciptanya kasih di antara kami. Aku sering menatap
wajahnya yang terlelap di sampingku. Ingin
berbicara,
selayaknya ibu dan anak. Ingin mencurahkan seluruh
isi
hatiku. Tapi, entah kenapa, aku tak bisa.
Hubunganku dengan semua kakak pun kurang harmonis.
Sejak kecil aku terbiasa dijadikan kambing hitam.
Keadaan rumah berantakan, aku yang kena marah.
Dagangan Mama tidak habis terjual, aku dapat omelan.
Uang kakak hilang, aku dituding sebagai pelaknya.
Pokoknya, tiada hari tanpa daftar kesalahanku.
Di rumah kuno sebesar ini, aku merasa begitu kecil.
Begitu tak bernilai. Terlebih setelah Oma meninggal.
Rasa kehilangan makin menerpa. Saat Oma masih hidup,
aku terbiasa menungguinya di ranjang, menyuapi, dan
membersihkan badannya. Hanya Oma satu-satunya orang
yang memerlukan kehadiranku. Sedikit banyak itu
membuatku merasa berarti. Namun, arti yang sedikit
itu
pun terampas tatkala Oma tiada. Aku kembali menjadi
katak dalam tempurung, sepi terasing dalam
kesendirian.
Oktober 1986
Jarum jam mendekati angka 5. Tergesa-gesa kuoleskan
lipstik warna pink, merapikan gaun, lalu memakai
sepatu. Aku berdandan agak istimewa untuk menghadiri
ulang tahun Dewi, teman sebangku.
Ketika bercermin, aku bersyukur karena wajahku bisa
dikatakan cantik. Gaun merah muda yang kupakai
sangat
cantik. Milik Mei Lan, kakak termudaku, yang
terpaksa
merelakannya.
Aku masih ingat sorot mata dan komentarnya yang
merendahkan, "Memangnya, temanmu yang ulang tahun
cacat juga, sampai merasa perlu mengundang kamu?
Jangan-jangan, kamu yang memaksa minta diundang?"
Aku hanya bisa menelan ludah. Tebakan Mei Lan kurang
lebih benar. Dewi hanya menyampaikan berita lisan
kepadaku, bukan kartu undangan. Aku tahu, itu cuma
basa-basi, karena selama ini aku membantunya
menghasilkan nilai 7 dalam setiap pelajarannya.
Tetapi, masa bodoh. Diundang atau tidak, aku tetap
pergi. Apalagi, aku sudah menyiapkan sepatu putih
dengan taburan mutiara imitasi di sekelilingnya. Aku
rela membobol tabunganku demi sepatu cantik ini.
Sepatu yang kuharapkan bisa menimbulkan kesan
berbeda
bagi kedua kakiku. Untuk malam ini, selamat tinggal
sepatu besi!
Karena rumah Dewi agak jauh, kami harus berkumpul di
sekolah dan kemudian akan berangkat bersama. Aku
berjalan kaki secepat mungkin. Tak kuhiraukan
gerimis
kecil yang mulai turun. sampai di sekolah tak satu
teman pun terlihat.
Setengah menangis aku melihat jam di pergelangan
tangan. Ya, ampun! Lewat 7 menit dari waktu yang
ditentukan! Mereka bilang akan menunggu dengan batas
toleransi 15 menit. Bagaimana mungkin mereka tega
berbuat begini?
Malam itu aku terseok-seok pulang. Sakit hati dan
sangat kecewa. Sambil terisak, aku memukuli kedua
kakiku. Kenapa aku tidak bisa berjalan lebih cepat?
Semua gara-gara kaki sialan ini, kaki brengsek! Kaki
cacat yang tidak berguna!
Bukan cuma karena itu aku marah. Untuk ulang tahun
Dewi, aku sengaja berdandan seteliti mungkin karena
di
situ ada Wisnu, sepupu Dewi. Aku ingin terlihat
istimewa di depannya. Kaki sialan ini sudah merusak
acaraku!
Sampai di rumah, tampak Mama dan Tante Lin sedang
duduk mengobrol di meja makan, ditemani beberapa
stoples kue kenari buatanku. Melihatku basah kuyup,
Mama hanya menoleh sekilas.
"Tidak jadi pergi?"
"Ketinggalan mobil," ujarku, tersendat.
"Oh," hanya itu komentarnya. Sungguh, dadaku sakit
sekali. Tak bisakah Mama bersikap lebih peduli pada
perasaanku, lebih menghargai? Sedikit saja? Agaknya,
ia lebih tertarik mengunyah kue kenari. Tak bisakah
ia
bertanya dengan sikap lebih keibuan?
Kuhabiskan sepanjang malam dengan simbahan air mata.
Tangan dan kaki yang buruk rupa adalah sumber
bencana
dalam hidupku. Tak pernah aku bahagia. Di rumah
diperlakukan seperti orang lain, di sekolah seperti
makhluk asing. Lengkap sudah penderitaanku!
Aku ingin merasakan kerlap-kerlip suasana pesta,
bergembira, dan bernyanyi. Aku ingin bertemu pria
pujaan. Siapa tahu, ada yang tertarik mengajakku
berdansa. Aku ingin merasakan manisnya jadi gadis
remaja. Salahkah keinginan itu?
Sejak peristiwa Sabtu malam itu, aku jadi makin
sensitif. Aku makin menarik diri dari lingkungan
mana
pun. Melihat sikapku yang aneh, Mama marah. Mama
menghabiskan waktu dengan menyumpahi dan mencercaku,
kegiatan yang mungkin dirasanya lebih bermanfaat
ketimbang memeluk atau menanyakan keadaanku.
Dalam keadaan tertekan, aku tenggelam dalam
kesibukanku sendiri. Pergi sekolah sebelum orang
lain
bangun. Siang hari aku berdiam di ruang praktikum
atau
di perpustakaan, membaca. Di sore hari kuhabiskan
waktu berjam-jam untuk membuat kue, disambung dengan
belajar sampai larut malam.
Aku ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi,
tapi Mama punya pandangan sendiri.
"Buat apa, Mei Cen? Tidak ada gunanya. Buang-buang
uang saja! Lebih baik uangnya ditabung, untuk biaya
usaha atau kawin."
"Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh
lulusan SMU, Ma. Paling-paling jadi pegawai toko
atau
pekerja pabrik. Gajinya kecil. Kalau Mei Cen kuliah,
kesempatan kerja pasti akan lebih luas," bantahku.
"Sok tahu kamu! Memangnya, kalau tidak kuliah tidak
bisa hidup? Semua kakakmu tidak ada yang kuliah.
Tapi,
buktinya mereka bisa hidup."
"Iya, hidup, sih, hidup. Tapi, tidak ada kemajuan
sama
sekali. A Heng berdagang ayam di pasar, dari dulu
sampai sekarang. Mei Lan jadi kasir di toko Ko Bun
Liong dan Mei Ling jadi pelayan di rumah makan.
Sekarang Mama suruh Mei Cen berjualan kue sampai
tua?"
suaraku meninggi.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina mereka?
Mereka sudah menyumbang untuk biaya kamu sekolah,
tahu! Jangan mimpi! Kuliah cuma untuk orang kaya!
Kamu
mau bayar kuliah pakai apa? Mama sudah tidak punya
uang lagi!" suara Mama tidak kalah menggelegar.
Sulit. Jika sudah bicara soal uang, aku mati kutu.
Biaya kuliah tidak murah. Aku juga harus merantau ke
kota besar. Butuh biaya perjalanan, kontrak rumah,
plus biaya hidup. Runyam. Sungguh runyam. Lebih
runyam
lagi kalau aku harus membuat kue sampai bongkok. Aku
tidak boleh menyerah! Pasti akan ada jalan keluar.
Sabar saja!
Mei 1987
Ketika ujian akhir dan ujian saringan masuk
perguruan
tinggi sudah dekat, aku memaksimalkan seluruh waktu
yang tersiksa untuk berlatih soal-soal.
Di kamar bekas Oma, yang akhirnya menjadi kamar
pribadiku, aku tergeletak letih, setelah menggarap
setengah buku latihan fisika. Sudah pukul satu dini
hari. Mataku penat luar biasa. Terdorong isi kandung
kemih yang penuh karena dua cangkir kopi, aku
melangkah ke kamar kecil. Sejenak langkahku
terhenti,
berganti menjadi rasa ingin tahu, ketika sayup-sayup
kudengar suara percakapan dari kamar Tante Lin.
"Kau tidak perhatikan bahwa dia makin tertutup dan
makin menjauh dari kita sejak peristiwa itu?"
"Ah. itu karena dia terlalu cengeng. Dia harus
belajar
menghadapi kerasnya hidup, harus belajar menerima
kegagalan."
"Jangan terlalu keras padanya, Giok. Bukan salah Mei
Cen dia lahir cacat, 'kan? Dia pasti sangat
menderita
karena keadaannya. Mestinya, kau bisa bersikap lebih
baik, karena dia menderita akibat kesalahanmu dulu.
Kalau saja kau tidak gegabah minum segala macam
ramuan
obat dari sinse itu, pasti tidak akan begini
kejadiannya!"
"Aku tidak pernah tahu bakal begini kejadiannya!
Sinse
Wang paling terkenal di daerah ini, obat-obatnya
selalu manjur. Tidak ada yang pernah menyangka anak
itu lahir cacat, Lin! Sudahlah, jangan diingat-ingat
lagi. Pedih rasanya. Setiap kali mengingatnya, aku
teringat pada pria gila itu. Aku melakukannya karena
terpaksa. Kau tahu, 'kan? Aku terpaksa, aku takut,
aku
tidak punya pilihan lain."
Cepat-cepat kubekap mulutku sendiri, sebelum
jeritannya keluar. Lututku lemas dan saling beradu,
hampir tak kuat menyangga tubuh. Astaga, jadi ini
rahasia besar yang selama ini sengaja disembunyikan
mereka berdua? Mama berniat menggugurkan kandungan.
Itu berarti, dia ingin membunuhku, melenyapkanku?
Anaknya sendiri? Bagaimana mungkin dia tega berbuat
begitu?
Sampai kokok ayam terdengar nyaring di pagi hari,
aku
masih tergolek dengan mata sembap. Semalaman aku
tidak
bisa memejamkan mata. Benakku dipenuhi banyak
pertanyaan, ketidakpuasan, ketidakpahaman. Cintakah
Mama padaku? Mengapa ia bisa setega itu? Mengapa
tidak
langsung dibunuhnya aku ketika lahir dulu? Bukankah
ia
terbebas dari masalah? Tapi, masalah apa yang
membuat
Mama bisa mengambil tindakan senekat itu? Apa
hubungannya dengan seorang pria yang disebutnya
kemarin?
Keadaan rumah kebetulan sedang sepi ketika kutemui
Mama di dapur pagi itu. Sambil mengiris sayuran,
sesekali ia mengaduk se-panci besar bubur di atas
kompor. Aku berdiri mematung, tak jauh dari
tempatnya
berdiri. Ia melihat padaku sekilas, tapi Mama tetap
asyik dengan kegiatannya, tak terusik oleh
kehadiranku.
"Kenapa selama ini Mama berbohong padaku?"
"Bohong apa?"
"Mama berbohong tentang cacatku! Mama pernah bilang,
tangan dan kakiku tak berkembang karena aku anak
perempuan yang pertumbuhannya tak sepesat anak
laki-laki. Lalu, Mama berganti cerita bahwa aku
cacat
karena waktu sehamil dulu Mama melanggar pantangan
memotong kaki ayam. Tapi, kenyataannya, cacat ini
terjadi karena disengaja. Betul begitu, 'kan?"
"Hei, kamu ngomong apa, sih? Pagi-pagi sudah
meracau!"
"Sekarang, Mama mau mengarang cerita baru lagi?
Sudahlah, terus terang saja! Mama pernah ingin
menggugurkanku, bukan?"
Saat itulah Mama berbalik menghadapku. Kedua
tangannya
berkacak pinggang, lalu menudingku lurus-lurus.
"Hei,
jangan asal kalau ngomong! Siapa yang bilang
begitu?"
"Tak perlu berkelit lagi, Ma. Mei Cen sudah dengar
semua percakapan Mama dan Tante Lin tadi malam.
Sebenarnya, obat apa yang Mama makan sampai aku
lahir
begini? Obat yang sengaja Mama pesan pada Sinse Wang
supaya janin di perut Mama tidak berkembang lagi?
Obat
yang sengaja Mama beli, Mama minum setiap hari,
supaya
janin itu mati seketika? Tapi, sayangnya, janin itu
tidak mati, bukan? Janin itu membesar, tidak mempan
oleh obat. Janin itu tetap hidup, dengan segala
kekurangan. Mei Cen ingin tahu, bagaimana perasaan
Mama sewaktu melihat bayi cacat itu untuk pertama
kalinya?" Mukaku memerah ketika mulai mengucapkan
dakwaan.
Dengan raut wajah tegang Mama terpaku. Sesaat
kupikir
dia akan menamparku, seperti kebiasaannya kalau
sedang
marah. Dalam tempo singkat, Mama berhasil menguasai
kekagetannya dan berucap dengan nadanya yang khas,
datar tanpa emosi.
"Kau tidak akan bisa mengerti."
"Apa yang tidak aku mengerti? Bahwa Mama tidak
menghendaki aku lahir? Bahwa Mama sengaja ingin
membunuhku?"
"Kamu tidak bisa mengerti! Mama sebenarnya sayang
padamu."
"Sayang? Coba katakan sekali lagi. Sayangkah namanya
jika menggugurkan anak sendiri? Sayangkah namanya
jika
membohongiku selama ini? Sayangkah namanya jika
selama
ini Mama bersikap tidak adil padaku? Aku mohon,
jangan
bohong lagi. Aku cuma ingin tahu, kenapa? Apa
salahku?
Apa salahku sampai Mama ingin membunuhku?" aku
memekik.
"Salahmu adalah karena kau lahir bukan di saat yang
tepat!" bentak Mama menggelegar, sambil memukul
meja.
"Papamu yang gila perempuan itu pergi begitu saja
meninggalkan rumah ini, kawin lagi di kota lain. Dua
bulan kemudian, Mama baru sadar bahwa Mama hamil.
Dalam keadaan bingung, datanglah kabar bahwa papamu
meninggal karena kecelakaan. Mama makin bingung dan
panik, karena ternyata ia tidak meninggalkan warisan
apa-apa, selain rumah tua ini. Masih belum cukup,
rupanya papamu sering main judi dan utangnya
bertumpuk
di mana-mana. Kalau kamu jadi Mama, apa yang akan
kamu
lakukan? Seorang janda dengan enam anak, ditambah
satu
calon anak di kandungan, tanpa penghasilan sama
sekali. Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen.
Kalau
kamu dibiarkan lahir, kamu hanya akan menderita
dalam
kemiskinan."
"Mama mengorbankanku?" Aku tercekat dengan pahit.
"Mama bingung, tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang
tidak punya, sementara semua orang di rumah ini
perlu
makan, belum lagi memikirkan soal utang. Mama tidak
sanggup menambah beban lagi dengan mengurusi bayi."
Begitu tenangnya Mama bicara. Aku ternganga, nyaris
tak percaya. Air bening dari pelupuk mataku
berjatuhan
satu-satu.
"Aaa. apakah Mama sedih melihat keadaanku waktu
itu?"
Sejenak Mama diam, lalu katanya, "Ya, Mama sedih.
Tapi, jangan dibicarakan lagi. Lupakan saja. Yang
lalu
biar saja berlalu."
Hah, enak saja Mama bilang begitu! Apa dia tidak
sadar
bahwa perbuatannya itu mengakibatkan tangan dan
kakiku
cacat? Hati dan jiwaku juga tergoncang? Apa dia
lupa,
gara-gara perbuatannya itu, sepanjang hidupku aku
harus dijejali oleh segala macam hinaan dan
olok-olok?
Dengan lunglai dan tertunduk, aku kembali ke kamar,
membenamkan diri sepanjang hari di sana. Tanpa perlu
diberi tahu pun, aku sudah paham bahwa pembicaraan
ini
sudah usai. Jelas sekali bahwa Mama tidak mau
mengakui
kesalahannya, malah memasang tameng pembelaan diri
dengan rupa-rupa alasan yang mengatasnamakan
'kemanusiaan'. Sungguh indah!
Baru aku sadar, dari dulu seolah ada tembok
penghalang
antara aku dan Mama. Ternyata, Mama menolak
kehadiranku. Bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku
dengan sepenuh hati, bila ia tak pernah mengharapkan
kelahiranku? Ini pukulan terhebat yang pernah
kualami.
Rasa kecewa karena tidak dicintai oleh teman dan
saudara kandung masih bisa kuatasi. Tapi, tidak
dicintai oleh ibu sendiri? Tidak, aku tidak sanggup
menanggungnya!
Setelah konfrontasi yang mengejutkan itu berlalu,
hubunganku dengan Mama makin berantakan. Setiap kali
berpapasan, aku membuang muka. Makanan yang
disediakannya pun tak pernah kusentuh lagi. Sebisa
mungkin, aku menghabiskan waktu lebih banyak di
sekolah.Tapi, apa daya, konsentrasiku pecah.
Pekerjaan rutinku kini hanyalah bergelung memeluk
bantal dan menangisi nasib. Sejak kecil aku
senantiasa
diolok, diperlakukan seperti makhluk aneh, dijauhi
seolah aku adalah penderita penyakit yang
menyebarkan
virus mematikan. Tak punya teman, tak punya
kekasih.Aku tak perlu mengalami semua ini, kalau
Mama
tidak mencoba menggugurkan kandungannya dulu. Itu
sebuah upaya pembunuhan. Itu suatu kesalahan, bukan?
Berbagai pikiran buruk berebut datang menghampiri.
Masa depan, apakah engkau masih menyisakan sedikit
tempat bagiku? Kalaupun ada, yang seperti apa?
Menjadi
penghuni panti cacat seumur hidup, sendirian dan
kesepian? Atau. menadahkan tangan, menjadi pengemis
di
pinggir jalan? Apakah kelak ada pria yang mau
menikahiku? Di manakah kesembuhan? Di manakah
keadilan? Aku tak punya keberanian untuk menggapai
impian. Aku sangat takut, benar-benar takut!
Juni 1987
Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran
kacau-balau. Aku menjawab soal-soal sekenanya. Aku
tak
bernafsu untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus
saja sudah bagus. Aku bukan saja kehilangan
cita-cita,
tapi juga semangat dan daya juang.
Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung
sendiri, aku jadi uring-uringan. Tiada hari tanpa
muka
masam dan keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya
tidak menyikat lantai kamar mandi atau lupa mencuci
piring kotor saja, kami bisa bertengkar hebat.
Sejujurnya, aku tak kuat lagi dan ingin angkat kaki
dari sini.
"Kenapa sekarang sikapmu jadi berubah, Mei Cen? Dulu
kamu tidak kurang ajar begini," tegur Tante Lin
suatu
kali.
"Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak
berkelahi
Kasihan mamamu. Ia kanseharian bekerja keras"
lanjutnya lagi.
"Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang
tua
itu pernah punya niat ingin membunuhku, maaf saja!
Aku
tidak bisa," dengusku, sambil memecahkan telur satu
per satu ke dalam adonan.
"Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan
diingat-ingat terus."
"Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak
hidup
seorang anak yang dirampas ibunya sendiri, masalah
anak yang terlahir cacat karena kesalahan ibunya.
Apakah sang ibu mengakui kesalahannya? Tidak. Apakah
sang ibu menyesali perbuatannya? Tidak. Apakah sang
ibu pernah meminta maaf kepada anaknya? Juga tidak.
Lalu, kenapa Tante memaksaku menghormati orang tua
yang demikian? Hanya karena dia sudah memberiku
makan
setiap hari?" Aku nyaris membanting baskom berisi
adonan.
"Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu
karena
umurnya yang sudah tidak muda. Dia mengalami
perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit.
Untuk membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual
perhiasannya. Paling tidak, hormatilah
pengorbanannya
itu!" Tante Lin mencoba menasihati.
"Oh. jadi sekarang dia menuntut penghormatan?"
"Bukan begitu, tapi.."
"Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma
pasti
tahu ketika Mama berniat untuk menggugurkan
kandungan," cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku
lemah, tapi tidak menjawab.
"Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya? Atau, malah
justru membantu dengan senang hati?" tanyaku, sinis.
"Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali
punya
keinginan, tidak ada orang lain yang bisa
melawannya.
Sifatnya keras sekali. Kami tak bisa berbuat
apa-apa,"
kata Tante Lin, berdalih.
"Ceritakan Tante, seberapa keras keinginan Mama
untuk
melenyapkan aku?" Aku segera duduk di depannya.
Tante
Lin terperangah, menyadari kata-katanya yang salah,
lalu meralatnya.
"Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang
sebenarnya.
Jangan khawatir, aku tak akan mati terkejut,"
desakku
lagi. "Coba ceritakan, apa lagi yang dilakukannya?"
Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika
matanya bertabrakan dengan mataku, ia akhirnya
menyerah. "Dia. dia. pernah membanting-banting
tubuhnya sendiri di lantai, memukuli perutnya dengan
kayu.," ujar Tante Lin terbata-bata.
"Apa lagi?" bisikku, mencoba menguatkan hati.
"Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum
gugur juga, dia nekat pergi ke dukun. Segala macam
alat digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai.
dukun itu berdiri di perut mamamu, lalu
menginjak-injaknya.," kata Tante Lin.
"Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah menyangka
kau
akan terlahir cacat dan menanggung malu seumur
hidup.."
"Apakah. Mama menyesal ketika melihat keadaanku?"
"Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus
bagaimana. Dia sempat menawarkan kepada orang lain
untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau menerima
bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri
karena
tidak siap menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia
mulai menyesal dan berniat untuk membesarkanmu."
Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya. Di
wajahnya terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal.
"Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak
pergi meninggalkannya, ini tidak akan terjadi. Ia
mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima
pengkhianatan papamu."
Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali
setiap
kata yang barusan kudengar. Kemudian, tanpa berkata
apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan menyendiri di
kamar. Membayangkan detail kisah itu tidak saja
membuat jiwaku tersiksa, tapi aku juga merasa tak
berharga sama sekali. Kini aku tahu, kenapa Mama
sulit
menerima kehadiranku sebagai anak. Penghalang
utamanya
adalah kebenciannya yang begitu dalam pada Papa.
Itulah yang ditumpahkannya padaku. Kenapa aku yang
dijadikan alat pelampiasan sakit hatinya?
Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga.
Tak
ada nilainya. Tak ada artinya. Selama beberapa hari,
hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di
otakku.
Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya
sinar kehidupan. Tiba-tiba, jalan keluar mulai
terlihat, menggoda hatiku untuk melakukannya.
Lama-kelamaan, pikiran itu makin mendekati kenyataan
ketika kemudian aku menemukan semprotan obat nyamuk
di
pojok kamar.
Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup.
Baik, aku akan membantunya sesegera mungkin
mewujudkan
keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada, kebencian
Mama
pada Papa mungkin bisa lenyap. Tanggungan hidup Mama
juga akan berkurang satu karena dia tak perlu
repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku. Kalau aku
mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam
pusaran
dendam pada ibu kandungku sendiri. Aku mencintainya,
aku tak ingin membencinya..
Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan
cairan berbau itu ke dalam kerongkonganku. Rasa
panas
yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha
menarik
apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda
beterbangan
jatuh. Suaranya berisik. Pandangan mataku mengabur,
lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku terempas,
sempat kuingat ada tangan yang merogoh mulutku,
sementara tangan yang lain menekan tengkukku dengan
kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang amat
sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku
terkapar.
Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari
benakku. Ketika membuka mata, aku mendapati diriku
tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher.
Setelah pandangan berkunang-kunang yang mengganggu
itu
hilang, aku menyeret kaki dan memaksanya keluar dari
kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang,
menandakan sudah pukul satu dini hari.
"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi?" gumamku
lirih, dengan tubuh lemas, bersandar di tembok
dapur.
Mama tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu.
Buktinya, ia masih meneruskan kegiatannya menjerang
air untuk menyeduh kopi.
"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? Biar
dendam
Mama terbalas. Biar hati Mama puas. Biar hidup Mama
tak lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama
ini?
Kematianku?" cecarku, sambil bergerak maju
menghampiri.
Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang
dipegangnya ke lantai. Cipratan kopi panas mengenai
kakiku yang telanjang.
"Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih,
diungkit-ungkit terus? Tidak bisakah kita hidup
tanpa
saling menyalahkan?" Tampak sekali Mama berusaha
menekan amarah. Mukanya tegang dan bibirnya gemetar.
"Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi,"
ujarku, sinis.
"Jangan kurang ajar, Mei Cen!"
"Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya? Setelah
usaha yang Mama dulu lakukan gagal, mestinya Mama
berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan
itu. Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama
tinggal
bilang saja, mau pakai cara apa? Terjun dari gedung
tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi? Dengan
senang hati aku akan melakukannya untuk Mama."
Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama
mengacungkan telunjuknya di depan hidungku.
"Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada
di kepalamu? Setiap hari kita bertengkar tentang hal
yang itu-itu juga! Kenapa Mama begini, kenapa Mama
begitu. Berkali-kali dijelaskan tentang situasi yang
menjepit waktu itu, kamu masih tidak bisa mengerti
juga. Mama tidak punya pilihan lain waktu itu, Mei
Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang
susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak
pikirkan bagaimana keadaan Mama? Seorang wanita
setengah tua, yang ditinggal mati suaminya tanpa
warisan? Sendirian bekerja untuk menghidupi seisi
rumah dengan penghasilan pas-pasan. Apakah itu beban
yang ringan?"
"Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu
sebagai
kesalahan. Itu masalahnya!" jeritku, sakit hati.
"Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat?
Tidak ada manusia yang bisa menentang kehendak
takdir.
Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada
yang
menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak
mampu membiayaimu berobat. Lihat sendiri keadaan
kita,
Mei Cen. Untuk makan saja kita harus berhemat, belum
lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain. Sekarang
kamu
bicara dengan lagak orang paling pintar sedunia!
Main
tuding. Ini salah, itu salah! Hei, kamu sadar tidak?
Semua yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih
payah
Mama. Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima
kasih,
tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung!
Benar-benar anak pembawa sial!"
Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial. Itulah ungkapan yang
paling
sering aku terima selama tinggal di rumah ini.
"Mama tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai
sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan
mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku
bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini
lagi.
Aku tidak akan pernah mengganggu hidup keluarga ini
lagi karena aku tidak pernah diharapkan ada di sini!
Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!"
jeritku
membabi-buta, menerjang kamar dan langsung mengambil
tas di atas lemari.
"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali
kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini
tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak
sinting!
Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing. Sudah
besar malah tambah bikin masalah! Anak kurang ajar!
Anak durhaka kamu! Makin cepat kamu keluar dari
rumah
ini, makin baik!" teriak Mama, tak kalah seram, kali
ini dengan melempar beberapa piring ke arah pintu
kamarku.
Sambil terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku
pelajaran, ijazah dan surat-surat penting, tiga
helai
baju yang kubeli dengan uangku sendiri, dan selimut
tua milik Oma. Aku harus keluar dari rumah ini.
Harus!
Tak ada lagi yang bisa menahanku lebih lama di sini.
Aku cuma seorang manusia cacat tak berguna. Benalu
yang membebani. Kenapa Yang Kuasa tidak mencabut
nyawaku saja? Tak ada arti lagi hidupku kini.
Selama beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang
keputusanku untuk pergi. Masalahnya, aku tidak punya
tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya. Dengan
menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku
membulatkan tekad untuk keluar dari rumah ini.
Menjelang matahari terbit, dengan lunglai aku
menyampirkan tas di bahu dan beranjak membuka pintu
depan. Derit suaranya yang khas membuatku terkesima.
Mungkin, ini saat terakhir aku bersentuhan dengan
pintu kayu yang besar ini. Tanpa sadar kuusap cat
cokelatnya yang sudah terkelupas. Perlahan aku
berjalan menjauhi rumah, tempat aku dibesarkan,
meninggalkannya setapak demi setapak. Kedua tanganku
menggenggam erat secarik kertas bertuliskan sebuah
alamat.
Yogyakarta
Juni 1987 - 1993
Mulutnya menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu
dilepas. Ia menatap, menyelidik. Beberapa detik
kemudian, ia membuka gerendel pintu.
"Mei Cen?" tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk
kuat-kuat sambil menggigil kedinginan. Hujan lebat
membuat pakaianku melekat di sekujur kulit. Perutku
terus berbunyi, lantaran belum diisi sejak kemarin.
"Pasti ada sesuatu yang sangat serius sehingga kamu
menemui Ibu di sini," katanya, heran dan curiga. Ia
menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan
menyuruhku membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha
menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam. Ia
adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi, karena
selalu memberiku semangat. Sayangnya, ia harus
pindah
tugas ke Yogyakarta.
Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng
teri,
aku duduk di depan Ibu Minarni yang menunggu
ceritaku.
Dengan getir aku mengulang kisah hidupku, sejak
lahir
hingga detik-detik terakhir pertengkaranku dengan
Mama. Kedua mata Ibu Minarni tampak berkaca-kaca.
"Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya
tinggal di sini sampai mendapat pekerjaan. Saya
janji,
tidak akan membuat Ibu susah. Saya akan mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel,
cuci
baju, semuanya, apa saja, asalkan diizinkan
menumpang
di sini, Bu. Tidur di lantai WC pun tak apa-apa. Ibu
tak perlu memberi saya makan. Ibu boleh
memperlakukan
saya sebagai pembantu," tuturku. Setelah beberapa
menit berlalu tanpa ada reaksi apa-apa, aku
mendongak.
Ibu Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku.
"Ibu
tahu perasaanmu, Mei Cen. Tapi, melarikan diri bukan
jalan keluar yang baik. Keluargamu pasti sangat
khawatir. Apalagi, mamamu.."
"Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama
tidak melarangku, bahkan mengusirku."
"Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu
melontarkan kata-kata yang bukan maksudnya."
Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu
Minarni, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia
ampaikan.
"Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan
permintaanku," kataku.
"Kamu mau ke mana?" Ibu Minarni ikut berdiri.
"Pergi."
"Lho? Bukankah kamu ingin menemui Ibu?"
"Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, 'kan?
Ibu tidak percaya cerita saya, 'kan?" sergahku,
sengit.
"Jangan buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa
tidak
enak dengan keluargamu, jangan-jangan mereka
menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari
rumah. Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap
orang tuamu."
"Percayalah, Bu. Mama tidak akan pernah merasa
kehilangan. Ia tidak mungkin mencari, apalagi lapor
kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih
menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti
saya."
"Hus, jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan
manusia
dengan segala kebaikan, menurut rupa dan
teladan-Nya.
Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak
berguna. Baik, kau boleh tinggal di sini. Ibu akan
menganggapmu sebagai anak. Ingat itu! Tapi, asal
kamu
tahu, Ibu bukan orang kaya. Artinya, kamu harus
menerima ikan asin dan tempe sebagai makanan
sehari-hari. Setuju?"
"Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan
menyusahkan Ibu. Tidak akan pernah!" tekadku.
"Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak
setuju, Ibu akan tetap memberi tahu keluargamu,"
katanya, tegas.
Sejak itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan
mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika Ibu
Minarni bangun, rumah sudah rapi dan sarapan sudah
terhidang. Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu
menjajakannya ke beberapa warung dan toko. Dari 30
tempat yang kudatangi, hanya satu yang bersedia
menampung kue-kue buatanku.
Dalam beberapa bulan, aku berhasil menjaring dua
toko
lagi. Uangnya aku gunakan untuk membayar rekening
listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun
kemudian, Ibu Minarni mengajakku berbicara dengan
raut
muka serius. Aduh, inilah saat yang paling kutakuti!
Ibu Minarni pasti mengusirku! Mungkin, ia akan
mengontrakkan rumah ini kepada orang lain atau
mungkin
membuka kos-kosan.
"Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih
kembali. Itu bagus. Tapi, Ibu ingin agar kamu bisa
lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin.," Ibu
Minarni
sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan
dugaanku?
"Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu.
Saya minta maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau
saya harus pergi, saya ingin.," kataku terbata-bata,
menahan isak.
"Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah.."
"Kuliah? Di sini? Tapi.."
"Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu.
Sayang jika masa depanmu lewat begitu saja. Otakmu
cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu
Minarni,
lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.
"Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu,
belajar sungguh-sungguh supaya bisa l