Sorry kirain udah kepaste semuanya 
"Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih
kembali. Itu bagus. Tapi, Ibu ingin agar kamu bisa
lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin.," Ibu
Minarni
sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan
dugaanku?
"Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu.
Saya minta maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau
saya harus pergi, saya ingin.," kataku terbata-bata,
menahan isak.
"Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah.."
"Kuliah? Di sini? Tapi.."
"Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu.
Sayang jika masa depanmu lewat begitu saja. Otakmu
cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu
Minarni,
lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.
"Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu,
belajar sungguh-sungguh supaya bisa lulus dengan
nilai
baik. Supaya kamu bisa datang menemui mamamu dan
mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai
sebuah
kebanggaan," katanya, sambil mengusap rambutku.
Kuliah? Aku tidak sedang bermimpi bertemu malaikat
kebajikan, 'kan? Sesaat aku ragu, tapi senyuman Ibu
Minarni menggambarkan ketulusannya.
Tahun pertama kuliah terasa sangat menegangkan.
Perasaan minder yang hebat kembali timbul dan
membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke
mana saja aku melangkah, rasanya setiap mata
mengikuti. Hanya segelintir teman yang benar-benar
bisa menerima keadaanku.
Aku sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa
bertemu sosok penolong seperti Ibu Minarni. Dia
begitu
rajin memperkenalkanku dengan Tuhan, yang tidak
pernah
kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh
kesahku dan giat menyemangatiku. Akan kubuktikan
pada
Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa dianggap
remeh.
Di tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu
banyak dikejar-kejar berbagai tugas, Ibu Minarni
menyuruhku mengikuti bermacam kursus. Mulai dari
komputer, bahasa Inggris, sampai kursus
keterampilan.
Bersama dua teman yang punya minat sama, kami
belajar
membuat lilin hias dalam bentuk dan warna menarik,
lalu menjualnya saat bazar kampus. Di luar dugaan,
semuanya laris terjual.
Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di
antara ratusan orang yang diwisuda.
Terpincang-pincang
aku menerima ijazah dan ucapan selamat dari para
dosen.
"Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!" Ibu
Minarni memelukku erat-erat, sambil tersenyum puas.
"Terima kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa
kebaikan Ibu bisa saya balas," kataku, penuh haru.
Ibu
Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia seperti
teringat sesuatu.
"Kamu harus segera memberi tahu keluargamu di
Siantan.
Harus! Tidak boleh tidak!" tegas Ibu Minarni. Aku
seperti terkena tembakan tepat di jantung. "Ah,
tidak,
Bu! Nanti saja! Saya belum siap bertemu mereka."
"Kau tidak akan pernah siap selama hatimu terus
dipelihara oleh dendam dan kebencian, Mei Cen.
Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu
satu-satunya jalan."
Aku memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah. sayang, Ibu
berhati malaikat ini bukan orang tua kandungku.
Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh kasih
seperti
dia. Seandainya saja aku punya kebebasan untuk
memilih
siapa yang melahirkanku ke dunia.
"Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!"
tegasku.
Kali ini dengan nada dingin yang tak bisa
kututup-tutupi. Tak sadar, rahangku mengeras karena
desakan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke
permukaan.
Memaafkan Mama? Mungkin, itu satu-satunya hal yang
akan kulakukan jika langit runtuh.
Jakarta
September 2003
Tampaknya, penduduk kota ini selalu kesetanan setiap
hari Senin. Buktinya, pukul tujuh pagi, jalan-jalan
sudah dipadati kendaraan. Ditambah genangan air di
sana-sini, sisa hujan semalam. Jika tidak telanjur
janji dengan Pak Bramanto untuk menyelesaikan
proposal
proyek, aku tidak rela harus terjebak macet seperti
ini.
Sudah hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta.
Pertemuanku dengan Otto Schmidt, orang Jerman yang
tertarik pada pernak-pernik buatanku, membuka
sedikit
pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi
stan
kami di acara pameran kecil di Yogya. Perbincangan
kami lalu berlanjut ke tahap penjajakan kerja sama
dalam bidang art & craft. Ia menyediakan sebagian
besar modal dan bertanggung jawab atas pemasaran.
Aku
dan dua temanku menangani manajemen dan produksi.
Malah, kami juga mengembangkan sayap ke bidang
dekorasi rumah dan gedung.
Sampai di kantor, Mona sudah menghadangku. Tangannya
menggenggam buku agenda dan beberapa surat. "Maaf,
Bu,
Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat ditunda
hingga
pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru
melahirkan," katanya, cepat.
"Oh, ya?" ujarku, mengembuskan napas kesal.
"Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit
sekali menghubungi Ibu."
"Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?"
"Pukul sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen
Perindustrian. Pukul empat sore Ibu diundang ke
peresmian mal baru," jelas Mona. Setelah menyerahkan
beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku
menyampirkan blazer hijau lumut pada sandaran kursi
putar, lalu menekan beberapa angka di mesin telepon.
"Ibu, ada apa?"
"Mei Cen, selamat ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan
memberkatimu dengan rahmat dan kebijakan," sapa Ibu
Minarni di ujung sana. "Hadiahnya ada di mejamu."
Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai
penerbangan menarik perhatianku. Isinya, selembar
tiket pesawat.
"Pontianak?"
"Kau tidak ingin menengok keadaan Mama? Kau tidak
ingin menjemputnya supaya bisa melihat kehidupanmu
sekarang?"
Astaga, lagi-lagi topik yang sangat tidak kusukai
itu
muncul.
"Tidak sekarang, Bu," jawabku pendek, sambil menaruh
amplop itu di dalam laci dan menguncinya.
"Kenapa kau senang mengulur waktu, Mei Cen? Tidak
baik
memelihara dendam. Kamu sudah dewasa, sudah tahu
yang
benar dan yang salah. Jangan berkubang di dalam masa
lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih,
kerugian yang akan kau dapatkan kalau memberi maaf
pada ibu kandungmu sendiri?" Suara Ibu Minarni
meninggi.
"Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini,
'kan?
Saya baru saja terjebak macet selama tiga jam dan
belum sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa,
sih, Ibu belum bosan juga membahas masalah ini?"
"Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari
Erwan?"
"Tidak ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada
Erwan,
jawabanku tetap sama. Aku tidak akan pulang menemui
mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Titik."
"Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di
atas
pasir," keluh Ibu Minarni. Kau sedang mengerjakan
hal
yang sia-sia. Berdiri di tempat pijakan yang sama
sekali tidak kokoh, malah makin menenggelamkan
kakimu.
Jangan beri tempat untuk amarah. Ingat itu
baik-baik!"
Ibu Minarni memutuskan hubungan. Aku termangu,
mencerna setiap ucapannya.
Erwan. Kenapa nama itu harus terdengar lagi? Pria
yang
katanya mencintaiku apa adanya itu lebih memilih
ibunya daripada bersanding denganku.
Otto Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku
sebagai pengusaha properti yang masih lajang di usia
38. Setahun lamanya kami berteman, hingga suatu
malam
ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu
saja,
aku bersedia, karena ia bersumpah akan benar-benar
menerima semua kekurangan yang aku miliki.
"Tidak malu punya istri cacat?" tanyaku,
sungguh-sungguh.
"Ah, yang penting kan kecantikan hati!" tegasnya. Ia
bilang, kekuatan cinta kami akan sanggup mengalahkan
semua perbedaan yang ada.
Saat Tahun Baru, Erwan mengajakku makan malam di
rumahnya. Ketika melihat pandangan mata ibunya yang
terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi masalah
serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya
rumah bergegas pamit ke kamar dengan alasan kurang
enak badan.
"Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang
tuamu?" tanyaku, sambil melempar serbet.
"Sudah, tapi tidak detail," jawab Erwan, salah
tingkah. "Tenanglah, aku, toh, sudah memilihmu. Aku
akan membicarakannya dengan Mama," janji Erwan. Aku
tidak menemukan kejujuran di matanya.
Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah
kusut
masai, aku tahu bahwa hubungan kami tinggal tumpukan
abu. "Maafkan aku." Cuma itu.
Untuk kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak
yang kalah. Pihak yang tidak berhak menerima
sebongkah
cinta. Satu-satunya orang yang patut disalahkan
adalah
Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut
kebahagiaanku?
Kenapa dia begitu kejam merampas hakku untuk hidup
seperti perempuan normal lainnya? Makin aku
memikirkan
jawabannya, aku jadi makin gila. Dan, makin membenci
Mama.
Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. "Maaf,
Bu, ada seorang ibu mau bertemu dengan Ibu. Namanya
Lin."
"Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa
diganggu."
Kejutan. Dari mana Tante Lin tahu alamatku? Pasti
dari
Ibu Minarni. Hmm, mau apa dia datang ke sini
menemuiku? Sendiri atau bersama. ah, masa bodoh! Aku
sudah bersumpah, tak akan pernah mau berurusan
dengan
mereka lagi. Aku tak mau menemuinya!
Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap
menghadiri peresmian gerai baru kami di sebuah mal,
Mona menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih
setia menunggu di ruang tamu.
"Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!"
"Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan
menginap di sini."
"Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia
macam-macam!"
bentakku jengkel. Apa, sih, maunya Tante Lin?
Selama tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan,
wanita itu tetap tidak beranjak dari kursinya. Ia
tetap ingin bertemu denganku. Penting sekali,
katanya.
Di hari keempat, aku terpaksa mengalah, membuka
pintu
ruang kerjaku dan mengundangnya masuk. Tante Lin
berjalan pelan, sambil mengedarkan pandangan. Kami
duduk berhadapan seperti orang asing, saling
menunggu
lawan bicaranya buka mulut terlebih dulu. Akhirnya,
aku tak bisa menahan diri lebih lama.
"Ada apa, Tante? Uang yang aku kirim kurang? Kurang
berapa?"
Tante Lin menatapku gusar. "Bukan masalah uang.
Tapi,
masalah kesombonganmu! Kamu sengaja tidak mau
menemui
Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu
berhari-hari.
Kamu benar-benar keterlaluan!"
"Salah siapa? Aku tidak pernah mengundang Tante Lin.
Jadi, kalau aku tidak mau menemui tamu yang tidak
aku
kehendaki, wajar, 'kan?" cetusku, sambil menyipitkan
mata.
"Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang
kaya,
Mei Cen. Tapi, jangan kurang ajar pada keluarga
sendiri. Jangan lupa diri. Jangan mentang-mentang.."
"Kirana. Namaku sekarang Kirana," ujarku, meralat.
"Sudahlah, Tante, kurang berapa?" potongku jemu,
lalu
menarik laci meja di sebelah kananku. Aku
mengeluarkan
segepok uang, lalu menaruhnya di meja. "Ini, lima
juta."
"Kamu betul-betul keterlaluan!" Tante Lin
mengacungkan
telunjuknya di depan hidungku. "Tante datang cuma
untuk menyampaikan kabar bahwa mamamu sedang sakit.
Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh.
Dia sangat mengharapkanmu pulang."
"Untuk apa? Aku, toh, bukan anaknya!"
"Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei
Cen.
Sudah kewajibanmu sebagai anak untuk merawat orang
tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar."
Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang
merayap.
"Aku sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan
aku mengirimkan uang sebagai pengganti semua biaya
yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan yang dia
minta? Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku
tidak
punya urusan apa-apa lagi. Silakan ambil uang itu,
Tante! Aku masih banyak pekerjaan," ucapku, sambil
melangkah ke arah pintu.
"Kami tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat!
Kau pikir, dengan mengganti nama dan identitas, kamu
bisa melupakan asal-usulmu begitu saja? Kau ingin
melenyapkan masa lalu? Tidak mau berhubungan dengan
kami lagi? Sungguh besar dendammu pada kami!"
Bagai disiram bensin berliter-liter, amarahku
tersulut. "Ya, aku memang dendam! Dendam seorang
anak
yang hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat
tanganku! Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua?
Apakah Mama pernah mengakui kesalahannya, satu kali
saja? Apakah pernah dia minta maaf padaku atas
percobaan pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu?
Apakah dia peduli pada masa depanku dan
kebahagiaanku
yang terampas?" teriakku, kalap. Tante Lin terenyak
mundur.
Sambil berlinang air mata, aku meratap lirih, "Siapa
yang pernah peduli pada perasaanku? Selalu dianggap
tak ada. Bahkan, kalian sepakat mengecapku sebagai
anak pembawa sial yang harus diusir keluar dari
rumah.
Tante tahu, bagaimana perasaanku selama belasan
tahun?
Sakit sekali. Padahal, aku hanya minta satu hal. Aku
hanya ingin Mama menyampaikan penyesalan. Cuma itu!
Terlalu kurang ajarkah permintaan itu?"
"Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia
ingin.."
"Maaf, banyak pekerjaan yang menunggu." Cepat-cepat
aku mengeringkan mata, lalu membuka pintu
lebar-lebar.
Sesaat Tante Lin ternganga, kaget melihat sikapku.
Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah
bungkusan
tipis dan menyerahkannya padaku.
"Hadiah ulang tahun dari Mama."
Aku menatap bungkusan itu dengan sinis. "Tumben, dia
ingat ulang tahunku. Bilang padanya, terima kasih
untuk kadonya yang sangat berharga. Tapi sayang, aku
tak mau menerimanya."
"Mei Cen!"
"Maaf, Tante. Selamat siang!"
Tante Lin memandangku dengan marah. Setelah puas
beradu mata, ia berbalik pergi. Saat bayangannya
menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya, sukmaku
mati
rasa.
Kenapa setiap kali aku ingin melupakan semuanya,
selalu ada yang kembali mengungkit luka itu? Tak
bisakah aku kini membangun kembali puing-puing
keruntuhan hidup, tanpa harus direcoki
percikan-percikan api masa silam?
Siantan, Pontianak
21 Juli 2004
Derit kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat
lewat di depanku mendorong seorang kakek yang
terbaring di ranjang beroda. Aku mengerjapkan mata,
menyusun kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran
di
kursi. Semalaman aku bolak-balik mengintip keadaan
Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya
keberanian untuk menemuinya.
Ketika mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit
menyesal karena tidak langsung menanggapi telepon
dari
Tante Lin, yang sudah menghubungiku selama sebulan
terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku
tahu, mungkin tak banyak lagi waktu tersisa.
Aku beranjak menuju ruang perawat. Informasi yang
kudapat sungguh mengejutkan. Keluarga sudah membawa
Mama pulang satu jam yang lalu.
"Memangnya, sudah sembuh?" tanyaku, penasaran.
"Keluarganya ingin merawat di rumah saja," kata
seorang perawat.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal
menunggu waktu saja," ucap perawat itu.
Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan.
Menunggu waktu. Maut sudah di ambang pintu. Mati.
Akhirnya, langkah kaki membawaku kembali ke pintu
kayu
yang sudah kusam dan terkelupas itu. Mataku
berkaca-kaca. Inilah rumah yang pernah kutinggali
dulu, saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu
perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa. Aku melambatkan
langkah, menyusuri jejak masa kecilku. Beberapa
pojok
ruangan tampak kotor dan tak terawat.
Rupanya, seluruh anggota keluarga sedang berkumpul.
Mata mereka terbelalak ketika melihatku. Tanpa
berkata
apa-apa, aku mendekat ke pembaringan. Bau kotoran
manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan
bau
apak. Entah siapa yang mengomando, satu per satu
mereka keluar.
Dengan pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari
balik
selimut tipis, aku melihat tonjolan tulangnya.
Mukanya
tirus. Kedua matanya terpejam. Tangannya terlipat di
dada. Lima belas menit aku hanya memandangi wajah
Mama.
Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke
telinganya dan berbisik menyapanya. Sungguh, saat
ini
tak tersisa benci dan dendam dalam diriku. Aku sudah
melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata dengan
Mama, menghiburnya, menjaganya.
"Mama, bisa dengar suaraku? Aku ingin minta maaf.
Semestinya, aku bisa datang lebih cepat. Aku takut
kita akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut
Mama
akan mengusirku lagi." Kuusap tangan Mama yang
keriput.
Kubelai wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari
tangan. Hal yang tidak mungkin aku lakukan dulu.
Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama hanyalah
angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya.
Tapi, ironisnya, dia tak sadarkan diri.
"Mama, banyak hal yang ingin kuceritakan. Mama tahu,
aku tidak lagi menjual kue seperti dulu. Aku sudah
tamat kuliah. Aku ingin minta maaf untuk semua
kesalahan yang pernah kulakukan. Aku sering membuat
Mama marah.." Aku terus berupaya membangunkan Mama.
Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa
henti. Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh bahuku.
"Dia sudah meninggal tadi pagi.," bisik Tante Lin.
Bisikan itu sangat lembut, tapi efeknya sangat luar
biasa. Sesaat aku termangu. Rasanya, sekujur tubuhku
kosong. Hampa dan sunyi.
Baru kusadari, kepergian Mama membawa pergi sebelah
hatiku. Belum sempat kami merekatkan
kepingan-kepingan
yang terko-yak, Tuhan memanggilnya. Aku menguatkan
hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran air mata
jatuh juga di pangkuanku.
"Dia pergi sambil membawa penyesalan," ujar Tante
Lin,
serak. "Penyesalan karena kau tidak pernah tahu
bahwa
ia sudah menyadari kesalahannya, karena kau menolak
hadiah darinya."
"Hadiah? Hadiah apa?" aku memalingkan wajah pada
Tante
Lin.
"Aku membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun
lalu. Kau sama sekali tidak mau menerimanya, bukan?"
ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku menggeleng
lemah.
"Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah lumpuh.
Bicara tidak jelas. Ia minta disediakan kertas dan
tinta. Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata
itu
dengan tangan kirinya. Ia berpesan, surat ini harus
sampai di tanganmu. Harus. Surat ini hadiah ulang
tahunmu. Ia ingin kau tahu, sebenarnya ia
menyayangimu."
Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil
sesuatu, lalu mengangsurkan sebuah bungkusan.
Tak sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan
kertas di dalamnya. Tangisku tak terbendung.
Pertahanan diriku bobol sudah. Alangkah egoisnya
aku!
Alangkah jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar
suaraku? Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi.
Aku mohon! Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini
saja!
Sambil terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi
kertas dalam genggaman tanganku. Tulisan yang
tertera
di kertas itu tampak dibuat dengan susah payah.
Bentuknya acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih
buram itu hanya bertuliskan satu kata: M A A F
Tamat