Post-19572

Post 117 dari 174 dalam Sekedar Renungan

HomeForumGeneral discussionsSekedar RenunganPost-19572

#117 avatar
yinyeksin 22 Agustus 2005 jam 11:23am  

Komitmen Terhadap Goal

Tahun 1986 di New York diadakan lomba marathon internasional yang diikuti oleh ribuan pelari dari seluruh dunia. Lomba ini mengambil jarak 42 kilometer mengelilingi kota New York. Jutaan orang dari seluruh dunia ikut menonton acara tersebut melalui puluhan televisi yang merelainya secara langsung. Ada satu orang yang menjadi pusat perhatian di lomba tersebut, yaitu Bob Willen. Bob adalah seorang veteran perang Amerika, dan dia kehilangan kedua kakinya karena terkena ranjau saat perang di Vietnam. Untuk berlari, Bob menggunakan kedua tangannya untuk melemparkan badannya kedepan.

Dan lombapun dimulailah. Ribuan orang mulai berlari secepat mungkin ke garis finish. Wajah-wajah mereka menunjukkan semangat yang kuat. Para penonton tak henti-hentinya bertepuk tangan untuk terus mendukung para pelari tersebut. 5 kilometer telah berlalu. Beberapa peserta nampak mulai kelelahan dan mulai berjalan kaki. 10 kilometer telah berlalu. Disini mulai nampak siapa yang mempersiapkan diri dengan baik, dan siapa yang hanya sekedar ikut untuk iseng-iseng. Beberapa peserta yang nampak kelelahan memutuskan untuk berhenti dan naik ke bis panitia.

Sementara hampir seluruh peserta telah berada di kilometer ke-5 hingga ke-10, Bob Willen yang berada di urutan paling belakang baru saja menyelesaikan kilometernya yang pertama. Bob berhenti sejenak, membuka kedua sarung tangannya yang sudah koyak, menggantinya dengan yang baru, dan kemudian kembali berlari dengan melempar-lemparkan tubuhnya ke depan dengan kedua tangannya. Ayah Bob yang berada bersama ribuan penonton lainnya tak henti-hentinya berseru "Ayo Bob ?.. Ayo Bob ??berlarilah terus". Karena keterbatasan fisiknya, Bob hanya mampu berlari sejauh 10 kilometer selama satu hari. Dimalam hari, Bob tidur di dalam sleeping bag yang telah disiapkan oleh panitia yang mengikutinya.

Akhirnya empat hari telah berlalu, dan kini adalah hari kelima bagi Bob Willen. Tinggal dua kilometer lagi yang harus ditempuh. Hingga suatu saat,
hanya tinggal 100 meter lagi dari garis finish, Bob jatuh terguling. Fisik Bob benar-benar telah habis saat itu. Bob perlahan-lahan bangkit dan membuka kedua sarung tangannya. Nampak disana tangan Bob sudah berdarah-darah.

Dokter yang mendampinginya sejenak memeriksanya, dan mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah, bukan karena luka di tangannya saja, namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya. Sejenak Bob memejamkan mata. Dan di tengah-tengah gemuruh suara penonton yang mendukungnya, samar-samar Bob dapat mendengar suara ayahnya yang berteriak "Ayo Bob, bangkit ! Selesaikan apa yang telah kamu mulai. Buka matamu, dan tegakkan badanmu. Lihatlah ke depan, garis finish telah di depan mata. Cepat bangun ! Tunjukkan ke semua orang siapa dirimu, jangan menyerah ! Cepat bangkit !!!"

Pelan-pelan Bob mulai membuka matanya kembali. Saat itulah matanya melihat garis finish yang sudah dekat. Semangat mulai membara kembali di dalam dirinya, dan tanpa sarung tangan, Bob melompat-lompat kedepan.

"Ya, ayo Bob? satu lompatan lagi, Bob. Capailah apa yang kamu inginkan, Bob!" teriak ayahnya yang terus berlari mendampinginya. Dan satu lompatan terakhir dari Bob membuat tubuhnya melampaui garis finish. Saat itu meledaklah gemuruh dari para penonton yang berada di tempat itu. Bob bukan saja telah menyelesaikan perlombaan itu, Bob bahkan tercatat di Guiness Book of Record sebagai satu-satunya orang cacat yang berhasil menyelesaikan lari marathon.

Beberapa saat kemudian, ketika ada puluhan wartawan yang menemuinya, Bob berkata "SAYA BUKAN ORANG HEBAT. ANDA TAHU SAYA TIDAK PUNYA KAKI LAGI. SAYA HANYA MENYELESAIKAN APA YANG TELAH SAYA MULAI. SAYA HANYA MENCAPAI APA YANG TELAH SAYA INGINKAN. DAN KEBAHAGIAAN SAYA DAPATKAN BUKAN DARI APA YANG SAYA DAPATKAN, TAPI DARI PROSES UNTUK MENDAPATKANNYA. SELAMA LOMBA, FISIK SAYA MENURUN DRASTIS. TANGAN SAYA SUDAH HANCUR BERDARAH-DARAH. TAPI RASA SAKIT DI HATI SAYA TERJADI BUKAN KARENA LUKA ITU, TAPI KETIKA SAYA MEMALINGKAN WAJAH SAYA DARI GARIS FINISH. JADI SAYA KEMBALI FOKUS UNTUK MENATAP GOAL SAYA. SAYA RASA TIDAK ADA ORANG YANG AKAN GAGAL DALAM LARI MARATHON INI. TIDAK MASALAH ANDA AKAN MENCAPAINYA DALAM BERAPA LAMA, ASAL ANDA TERUS BERLARI. ANDA DISEBUT GAGAL BILA ANDA BERHENTI. JADI, JANGANLAH BERHENTI SEBELUM TUJUAN ANDA TELAH TERCAPAI?"

Sumber: Tayangan Guiness Book of World Records

KOPOR ORANG LAIN

Anda menemukan sebuah kopor di teras stasiun kereta. Mungkinkah kopor itu sengaja dibuang? Mungkin kopor itu begitu berharga bagi pemiliknya? Mungkin pemiliknya ada di dalam kereta yang barusan berangkat?

Karena Anda sendiri tidak membawa banyak bawaan, Anda dapat membawa kopor itu dan menyerahkannya di kantor kereta di stasiun berikutnya.
Anda putuskan untuk membawa kopor itu, karena Anda tidak yakin dengan kejujuran orang lain yang menemukannya. Anda memilih untuk menanggung beban menemukan pemilik kopor tersebut. Anda merasa bersalah jika tidak melakukannya.

Kala Anda menarik kopor itu ke dalam kereta yang penuh sesak, ternyata kopor yang cukup besar dan berat itu menyita banyak tempat. Bagaimanapun juga, Anda merasa kopor itu begitu penting, karena itu barang orang lain yang ada pada Anda. Ketika Anda pergi ke toilet pun,
Anda merasa perlu membawanya serta. Lama-kelamaan, karena makin merepotkan, kopor itu jadi terasa semakin berat. Mulai timbul pemikiran
untuk menyerah saja, meninggalkan saja kopor itu, masa bodoh dengan "nasib" kopor itu, toh sebenarnya itu bukan tanggung jawab Anda.
Namun, jika bukan Anda, lalu siapa? Bukankah tindakan kebajikan ini sudah separuh jalan?

Ketika Anda kembali berjuang membawa kopor itu, terbersit pemikiran bahwa jangan-jangan kopor itu memang sengaja dibuang oleh pemiliknya.
Akankah sang pemilik menghargai dan memberi hadiah? Pikiran jadi makin tidak keruan.

Tiba-tiba, Anda terhenyak, seperti halnya dengan apa pun yang Anda pilih untuk lakukan, Anda tidak akan pernah bisa yakin 100% akan hasilnya. Kenyataannya, hidup Anda pada hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang Anda bayangkan tahun lalu. Anda hanya bisa yakin dengan satu hal, yaitu niat Anda, apa yang mendasari Anda untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dalam kasus kopor itu, semata-mata welas asihlah
yang mendorong Anda untuk mengambil alih beban orang lain.

Anda sadar bahwa tindakan Anda tidak sepenuhnya tanpa syarat, karena Anda berharap setidaknya mendapat ucapan terima kasih atau ungkapan penghargaan lainnya. Hasrat yang bercampur dengan ketidakpastian ini membuat kopor itu terasa makin berat saja. Sikap "pembedaan", bahwa Anda membawa barang "orang lain", membuat Anda gerah dan tidak rela penuh, sekalipun Anda merasa wajib membawanya. Jika Anda sanggup mengikhlasinya, kopor itu jadi terasa ringan. Anda hanya perlu berdiri di sepatu sang pemilik dan membayangkan keresahannya. Apakah Anda tega untuk tidak melakukan suatu pertolongan yang Anda sanggup lakukan?

Anda menyadari bahwa karena Anda telah memilih untuk membawanya, Anda harus membawanya dengan bahagia. Hasil akhirnya bagaimana tidak terlalu penting. Anda bisa memilih untuk menikmati kebajikan tindakan Anda dalam proses, saat ini juga, alih-alih memusatkan pikiran akan hasil.
Itulah sebabnya, tindakan baik atau jasa diukur dengan niat luhur kita, bukan hasilnya.

Berhubung satu-satunya hal yang bisa kita yakini adalah niat baik kita, kebajikan welas asih membawa sukacita tersendiri dan berbuah seketika.
Jika kita bisa memetik buahnya saat ini juga, kenapa menunda kebahagiaan kita? Semakin kita mendalami hal ini, semakin siaplah kita untuk mengambil tugas menolong orang lain. Tindakan menolong tanpa syarat tidak akan menjadi beban, malahan jadi sumber kebahagiaan. Dalam
melatih kemurahan hati, semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita menerima. Pengorbanan sejati adalah pengorbanan yang tidak terasa seperti pengorbanan.

Jika kita memilih untuk menempuh jalan menolong pihak lain, sesungguhnya kita memilih jalan yang membawa pada kepuasaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Seperti diujarkan oleh Sang Guru:

Segala kebahagiaan di dunia ini, berasal dari keinginan untuk membahagiakan pihak lain. Segala penderitaan di dunia ini, berasal dari keinginan untuk membahagiakan diri sendiri saja.

Jika kita hanya peduli pada bawaan sendiri saja, yang melambangkan kepemilikan duniawi kita, tidak saja kebahagiaan kita tidak bertumbuh,
namun justru akan surut karena kebahagiaan itu jadi terbatas. Namun, dalam tindakan membahagiakan pihak lain, kita menjadi berbahagia dengan
ikut berbahagia atas kebahagiaan pihak lain dan menuai buah kemurahan hati kita. Bermurah hati kepada pihak lain, dengan demikian juga
berarti bermurah hati kepada diri sendiri.

Mana yang Anda inginkan? Sebuah dunia di mana orang-orang tidak peduli terhadap bawaan yang tertinggal atau sebuah dunia di mana orang-
orangnya peduli terhadap kebahagiaan orang lain? Dunia macam apa yang tengah Anda ciptakan dengan niat dan tindakan Anda saat ini?