Jalan Pedang

HomeForumKomentar BacaanJalan Pedang

Komentar untuk JALAN PEDANG 1


#1 avatar
bun14n 26 Maret 2007 jam 5:37pm  

Gile keren banget pemilihan kata yang dirangkum menjadi kalimat-kalimat yang indah memikat.... salut.... salut, hati terpikat minat baca meningkat di tunggu Up Datenya

#2 avatar
nein 26 Maret 2007 jam 8:02pm  

Salut atas pemilihan kata-katanya. Benar-benar terasa rima akhir kalimatnya. Ditunggu kelanjutannya.

#3 avatar
dana 26 Maret 2007 jam 8:05pm  

benar-benar beda bagai membaca sambil bersajak....... keep posting....

#4 avatar
danniel_son 26 Maret 2007 jam 8:28pm  

:) Wah bisa comment apa lagi ya? Saran saya sih, supaya ceritanya lebih seru dan gak mudah di tebak. Berantemnya pake jurus2 yang hebat. Jagoannya yang keren dan ceweknya yang cantik2 :p . I like this approach, very unique style of cersil writing. A lot of potential, I think you can make it to work. I enjoy it.

#5
Azalae 26 Maret 2007 jam 11:35pm  

saran teknis. catatan tambahan ditaroh bawah jadiin footnotes setelah semua tulisan. supaya ga mengganggu. contoh:

Ini adalah donat*. Saya suka makan donat. Teman saya lebih suka kue bolu. dst...

---
* donat bentuknya seperti lingkaran.

karena minta masukan, ikut kasih pendapat panjang deh. :) mengenai cara penuturan yang lebih puitis dari umumnya, boleh juga. hati2 jangan berpuisi hanya untuk kedengaran indah tanpa makna.

cerita ibarat tembok dibentuk oleh kata2 seperti batu bata. pake bata berbagai jenis dengan bermacam warna. keliatannya bagus tapi hasilnya tembok yang lemah karena tiap bata berbeda bentuk. yang utama bukan kata yang indah tapi perasaan yang timbul. itupun harus mendukung cerita. apa yang ingin disampaikan.

contoh 1 (gembira)
mentari indah membelai wajah. mulai tampak setelah beristirahat di balik gunung di depanku. angin kecil tak kalah ceria berlari2 di sekelilingku. ikut menyambut datangnya terang.

bunga2 menari di pinggiran jalan. ingin tangan menjulur dan memetik. demi memuaskan hasrat hati. hati diri ini dan hati yang menanti di tujuan.

masihkah dia menanti. oh betapa ku berharap ini pasti. setelah lama waktu memisahkan.

contoh 2 (sedih dan gelap)
panas. surya kembali menghantam. menghantam dengan kejam. memukul bertubi tanpa peduli. setiap hari, berhari2, tanpa henti.

debu. angin keji ikut serta dalam penyiksaan melempar semua debu di dunia. ke muka, hidung, telinga. betapa mereka ingin menyerbu masuk. tak taukah diri ini kosong sudah.

jauh. betapa jauhnya jalan menuju gunung di depan. masih jauh lagi jalan menuju pondok seberang gunung. namun betapa jauhkah jalan menuju hati?

hati? masih adakah hati di sana yang menanti? setelah sekian lama?

tidak. jawab bunga di jalan. yang menggeleng dengan senangnya. berusaha mengikis, memotong, menghancurkan milikku.

harapan. satu2nya milikku. yang masih kupegang. harapan. betapa ku berharap.

contoh 3 (amburadul ga jelas mau cerita apa)
oh betapa indahnya sang surya. keajaiban alam yang mewarnai dunia setiap hari.

berkelebat angin mamiru bergemuruh. beriring dan berganti dengan lembutnya angin sepoi2. kerasnya, lembutnya, kencangnya, ringannya, terus berganti.

gunung hijau menjulang ke langit. subur nan indah menyenangkan hati. bertaburan bunga berbagai jenis. warna-warni nan harum menggugah jiwa.



tiga contoh singkat yang semuanya ... umm berusaha puitis (berusaha tapi hasilnya jelek aja :p). anyway, jelas kan contoh ketiga ga ada makna. banyak kata aneh (maunya sih berkesan puitis :p) tapi membingungkan. apa yang mau diceritain? lebih mirip laporan cuaca dari pada cerita. :D

udah ketiduran saking bosan?

#6 avatar
mrkite 27 Maret 2007 jam 7:33am  

ketika membaca suatu cerita entah cersil entah novel yang pasti bukan komik, terutama adalah bukan terletak pada keindahan kata belaka. Kata tanpa jiwa tidak akan memberi makna. Yang terutama adalah lancarnya bertutur cerita, sehingga membuat pembaca terpana dan terus berusaha untuk menamatkannya. Putiiskan kata2 saya ?
Tidak......
Buat sememikat mungkin, bukan hanya dengan permainan kata belaka, tapi esensi cerita dan pengkondisian pembaca merasakan nyatanya suatu kisah. Jgn terjebak sehingga membuat pembaca muak dan bosan sehingga muntah darah :p
Keep posting...bro :)

#7 avatar
danivn 27 Maret 2007 jam 12:45pm  

Terimakasih buat masukannya... masih terus ditunggu komentarnya, jangan ragu, mo caci maki juga boleh kok, sungguh... soalnya terus terang lagi coba-coba cari bentuk yang lain, pendekatan yang lain... Artinya, lagi mencari ramuan baru, resep baru... Namanya juga koki baru. Coba-coba, gitu! Hasilnya bisa jadi masih terlalu asin, terlalu pahit, terlalu manis, terlalu kecut.... Pokoknya tolong kasih masukan terus yah... Kalo keasinan bilang keasinan, pahit kepahitan... Cuma dengan begitulah saya bisa nemuin resep yang pas.

Makasih, sekali lagi makasih...

#8 avatar
Duangsa 27 Maret 2007 jam 3:04pm  

Ha.ha.ha kucoba tuk mengerti...seribu kali kubaca tetap saja aku blank bank blank boom !... :)) :)) :))
Gak masalah bung, kalo emang kuat berpuitisasi sampai akhir.
Cuman otak saya aja yg gak kuat bacanya wakakakak..... :)) :)) :)) :))
Gak tau deh enghing2 yg laen

#9 avatar
fary 27 Maret 2007 jam 3:12pm  

Kalau tidak salah, bung danivn ini yang komentarnya sering muncul di milis Tjersil ya? (Jika tidak, ya tidak apa-apa, he...he...). Selamat bergabung di dunia kangouw.

Harus diakui, kisah Jalan Pedang ini merupakan terobosan. Pertama, ini cersil (sejauh ini) yang nuansa sastranya sangat kuat. Rimanya itu... Pasti lama menyusunnya.

Kedua, ini cersil pertama yang tokoh utamanya ditampilkan sebagai orang pertama (aku) dan bukannya orang ketiga tunggal (dia). Saya telah membaca cukup banyak cersil, (rasa-rasanya semua kisah ternama yang dikarang pengarang terkemuka sudah saya baca). Namun saya belum pernah menemukan karakter tokoh utamanya yang tampil sebagai 'aku'.

Kritik? Sejauh ini rasa-rasanya belum ada. Cuma soal kebiasaan, karena kita belum terbiasa membaca cersil yang bersajak. (Sejauh ini, yang agak ‘bersajak’ hanya pada beberapa karya Gu Long, tapi itu sebatas permainan kata).

Cuma, di Jalan Pedang ini memang ada beberapa kata yang terkesan dipaksakan. Ada beberapa yang terkesan berlebihan, sehingga agak mengganggu nuansa (sejujurnya, ini muncul dari rasa iri. Karena sejumlah kata dan istilah itu tak pernah terpikir saat saya menyusun cersil…. He… he…).

Oh ya, ada satu hal penting yang perlu saya kritik: Isi per bab-nya terlalu sedikit. Mungkin bisa dibuat lebih panjang?

#10 avatar
ipan 27 Maret 2007 jam 5:07pm  

fary menulis:
Kedua, ini cersil pertama yang tokoh utamanya ditampilkan sebagai orang pertama (aku) dan bukannya orang ketiga tunggal (dia). Saya telah membaca cukup banyak cersil, (rasa-rasanya semua kisah ternama yang dikarang pengarang terkemuka sudah saya baca). Namun saya belum pernah menemukan karakter tokoh utamanya yang tampil sebagai 'aku'.

Kritik? Sejauh ini rasa-rasanya belum ada. Cuma soal kebiasaan, karena kita belum terbiasa membaca cersil yang bersajak. (Sejauh ini, yang agak ‘bersajak’ hanya pada beberapa karya Gu Long, tapi itu sebatas permainan kata).

ada cersil indo jg yg ditampilkan sebagai orang pertama...atau mungkin ini pengarangnya sama dengan pengarang pendekar naga bumi ya ?

persis sekali penuturannya....(kalo salah mohon maaf deh :) )

sekedar cuplikan...

Pendekar NaGa Bumi
Oleh : Seno Gumira

Kitab 1: Jurus Tanpa Bentuk

1: Aku Sudah Mengundurkan Diri dari Dunia Persilatan

AKU sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan -tapi mereka masih terus memburuku bahkan sampai ke dalam mimpi. Apakah yang belum kulakukan untuk menghukum diriku sendiri, atas nama masa laluku yang jumawa, dan penuh semangat penaklukan, setelah mengasingkan diri begitu lama, dan memang begitu lama sehingga sepantasnyalah kini tiada seorang manusia pun mengenal diriku lagi?
Aku menghilang dari rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan pada puncak masa kejayaanku, setelah kukalahkan seratus pendekar yang sengaja kutantang untuk mengadu ilmu di atas bukit karang yang terjal dan berbatu tajam, pada suatu malam bulan purnama yang bergelimang dengan darah. Seratus pendekar dari golongan hitam, golongan putih, maupun golongan merdeka yang tidak pernah berpihak, kulumpuhkan satu persatu seperti elang perkasa memangsa tikus. Nyaris secara harfiah dalam cahaya bulan aku melayang dari batu ke batu dan setiap kali melayang turun, bahkan ketika kakiku belum menapak bumi nyawa setiap pendekar itu melayang. Kepada pendekar golongan putih kuberikan kematian tanpa penderitaan, kepada pendekar golongan hitam kuberikan kesakitan setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan, dan kepada pendekar golongan merdeka kubiarkan ilmu mereka menangkal ilmuku semampu dayanya.

...

#11 avatar
danivn 27 Maret 2007 jam 7:15pm  

Ehm, terima kasih masukkanya. Fary-heng betul, saya yang biasa kasih komen di milis cersil. Kritik sana, kritik sini. Di sini gantian, saya yang dikritik dan terima dikeritik.

Itu Pedang Naga Bumi Seno Gumira belum saya baca. Kalau Ipan-Heng bersedia, bisa kasih tau akses di mana? Ada setting yang hampir sama ya? Batu karang dan orang yang berebut nama. Apa begitu selalu jalan seorang "muda" yang baru masuk sungai telaga? Ada juga sama lainnya, walau tanpa sengaja: cara bercerita dan penggunaan kata "aku" pada tokohnya. Waaa, kok bisa gitu ya?

Babnya -- ditanya sama Fary-Heng -- kenapa sedikit. Jawabnya, ngerjainnya satu malam sebelumnya. Paginya langsung posting. Segitu dapetnya, segitu juga postingnya.

Masuk bab ketiga, karena belum ditulis dan baru mau nulis, lagi dipertimbangkan nih: apakah alur cerita akan segera berganti pada tokoh yang baru datang itu, yang ditantang si Pedang Karat itu?

Maka,rencananya, alur cerita akan berganti dari "aku" menjadi "saya". Bergeser, dari sudut pandang si Pedang Karat jadi sudut pandang orang yang tertantang. Maunya begitu, jadinya seperti apa belum tau. Tergantung inspirasi malam nanti. Tapi segini saja sudah ada yang hampir Jipmo. Kalo dari "aku" tiba-tiba menjadi "saya" Jipmo beneran gak ya?

Ngomong milis Tjersil, terus terang ini gara-gara tantangannya Elceem Tjongkoan dan thread di sana yang mengupas gaya penulisan. Maka, jadi pengen bereksperimen dengan pendekatan yang lain. Cara pandang yang lain. Cara penulisan yang lain.

Entah gagal, entah berhasil. Makanya masukan dari para enghiong di sini, dukungan maupun cacian, pasti saya terima. Lha, sudah berani muncul di sini. Di dunia kang-ouw ini, menempuh Jalan Pedang ini, ya harus siap berdarah-darah lah!

Sodjah

#12 avatar
ipan 27 Maret 2007 jam 7:38pm  

kalo pendekar naga bumi itupun aku dapatkan ngga sengaja..
coba masuk ke dimhad.6te.net bagian ebook semrawut 7

sayang ceritanya belum tamat..

#13 avatar
nein 27 Maret 2007 jam 8:24pm  

Bab dua ini lebih terasa ada gaya2 mirip Arswendo. Entah salah entah benar. Entah.

Tulis terus bro. Kita-kita pasti baca. Jangan pernah berhenti. Jangan.

#14 avatar
baga_162 27 Maret 2007 jam 9:53pm  

kalo boleh usul panjangi dikit dong ceritanya hehehe

#15 avatar
Mogei 28 Maret 2007 jam 7:08am  

kelemahan dari gaya menulis yg berpuisi ato berima ya gak bisa menceritakan terlalu panjang soalnya gaya berima ini terlalu mendayu-dayu. klu membaca 1 paragraf yg panjang yg menceritakan latar belakang karakter misalnya tentu akan terasa terlalu lambat dan mungkin membosankan. (tapi ini nurut sy pribadi dn kbtln sy jg bukan penulis cersil apalagi T O P jd mohon jgn dibaca sbg koreksi/kritik tp hny sbg pengalaman membaca karya anda ini.)

tp kekreatifan yg ingin menampilkan dg gaya menulis yg berbeda ini memang patut diacungi jempol. istilahnya berani menerima tantangan ato berani tampil beda. mungkin stlh menulis beberapa bab anda akan menemukan gaya yg khas (sy sangat mengharapkan hal ini terjadi soalnya tentu akan menjadi suatu terobosan dlm hal gaya menulis yg baru sama sekali : "menulis prosa dg berpuisi") hmmm... kliatannya menu yg lezat.

oya klu sy tdk salah baca yg dimaksud ipan bukan cerita anda ini mirip pendekar pedang naga bumi (setting, dll) tp hny gaya menuturnya saja (menggunakan 'aku' / sudut pandang orang pertama dn bukan sudut pandng org ketiga pada umumnya)

kbtln sy sdng mengarang sebuah cerita yg mestinya bukan cersil tp sdkt dipaksakan spt cersil yg jg menggunakan sudut pandang org prtama. baru selesai smp bab 5 dr 7 bab...

kliatannya jagad dunia tulis menulis telah ramai. smoga ini semua bisa terus berkembang (dan tdk berhenti smp di sini saja) terus terang sy sngt mengharapkan smua cerita sinetron/film indo bisa di-renovasi dn tdk mlulu hny berkisar soal itu2 aja... well, a dreamer have spoken.

#16 avatar
ipan 28 Maret 2007 jam 8:32am  

seandainya-andainya aja nih....

kalau penuturnya adalah sebuah pedang yang menjadi saksi bisu perjalanan sang pendekar.
dimana pedang dihidupkan dengan kata "Aku"
apalagi judul ceritanya pas banget : Jalan Pedang
dengan kata-kata yang puitis tentunya akan menjadi lebih hidup

hanya seandainya saja....

#17 avatar
danivn 28 Maret 2007 jam 11:09am  

Terimakasih atas kritikan, masukan, saran, dan pujian (waaa GR)… semuanya saya terima, saya renungkan, dan semoga nanti ada sintesis yang bisa dilahirkan…

Saya setuju dengan Mogei dengan penulisan gaya berima yang terlalu panjang bisa membosankan. Tapi, sebaliknya, ini juga jadi tantangan: bagaimana menulis gaya berima yang panjang tanpa membosankan. Solusinya sedang saya pikirkan. Mungkin pada bab berikutnya – atau pada bab/babak yang cocok untuk itu akan saya aplikasikan.

Saran dari Ipan tentang “aku” yang adalah “pedang” juga menarik… Gak kepikir lho! Sungguh. Mungkin nanti dalam bentuk cerpen akan saya tuliskan (atau ada yang mau memulai?), karena Jalan Pedang sudah kadung separuh jalan.

Komentar dari Nein yang bilang Bab 2 jadi rasa Arswendo mungkin terjadi karena saya mengunakan kalimat pendek-pendek, patah-patah, banyak gunakan titik, paling tidak gak sepanjang beberapa kalimat dalam bab 1. Di bab 2 ini pun, dengan kalimat yang lebih pendek-pendek itu pun, lebih cerita “orang”, sementara Bab 1 lebih bertutur “alam”

Setelah saya renungkan, kemungkinan sedikit “rasa” perubahan pada Bab 2 barangkali karena:

1) yang sedang saya tuturkan adalah konflik dua orang yang (akan) bertempur sehinga ada intensitas yang sedikit meningkat ketimbang Bab 1 yang jadi mendayu. Atau

2) saya “tidak tega” dengan beberapa pembaca yang nyaris Jipmo. Betapapun mereka harus saya hormati dan pendapatnya mempengaruhi pertimbangan saya.

Tapi, seperti saya tulis di atas, saya akan kembali coba mendayu-dayu tentang alam pada babak yang mungkin cocok untuk itu (namanya juga bereksperimen).

Nah, sebentar lagi saya akan posting Bab 3.

Di bab ini, kalo boleh, saya mau "bermain-main" lagi: bermain dalam perspektif dua tokoh ”Aku” (si Pedang Karat yang senang menggunakan kosa kata ”kamu”/”dia”) dan ”Saya” (Kim Tayhiap yang menggunakan ”kau”/”ia).

Mudah-mudahan ndak sampai jipmo.

Kalau toh jipmo, bilang-bilang yah...

Sodjah,
DV

#18 avatar
cokicokii 28 Maret 2007 jam 1:15pm  

sudah di baca di simack sampe 1/2/3 ko kaya baca puisi yaa kapan cerita nya di mulai ,dan ini harus nya jadi 1 halaman saja soal nya seperti perkenalan suatu tokoh saja menurut pendapat saya yg bodoh ini lohh nda tau kalo menurut yang lain :o :x

#19 avatar
danivn 29 Maret 2007 jam 2:54pm  

ipan menulis:
kalo pendekar naga bumi itupun aku dapatkan ngga sengaja..
coba masuk ke dimhad.6te.net bagian ebook semrawut 7

sayang ceritanya belum tamat..

Baru ngedowload.. makasih ya...

#20 avatar
danivn 29 Maret 2007 jam 3:53pm  

cokicokii menulis:
sudah di baca di simack sampe 1/2/3 ko kaya baca puisi yaa kapan cerita nya di mulai ,dan ini harus nya jadi 1 halaman saja soal nya seperti perkenalan suatu tokoh saja menurut pendapat saya yg bodoh ini lohh nda tau kalo menurut yang lain :o :x
... ceritanya ya mulai dari bab 1 :) mungkin karena belum biasa kali ya, cita rasa tulisan ini emang aneh kali ya... Saran untuk bab 1/2/3/ dijadiin satu itu bagus kok... mungkin nanti kalo udah jadi seluruhnya akan ada penggabungan bab seperti yang kamu saranin itu... Kalo sekarang babnya pendek-pendek karena emang dapetnya cuma segitu: nulis malem, pagi koreksi, siang upload... Malah semalem gak sempet nulis bab 4 karena lagi banyak kerjaan yang kudu diselesain...

Salam,