Home → Forum → Books → Short Stories
#21 | ![]() |
yinyeksin
4 Juli 2005 jam 4:13pm
 
oiii jojon, bikin banjir aja |
#22 | ![]() |
alicia
5 Juli 2005 jam 5:02am
 
lagi donk lagiiiii.... cerita nya bagus2 tuh... |
#23 | ![]() |
yinyeksin
28 November 2005 jam 10:45am
 
Papa Usia Papa telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Papa mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang-kurang kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, Papa sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya. Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah isteri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur. "Nggak usah. Lain kali saja!", jawab Papa. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang Papa mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya. Suatu hari Januari lalu, Papa mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti "Saya sibuk, Pa. Tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. Akhir minggu ini saya akan antar Papa," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah Papa pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja untuk Papa," kata Papa yang membuat saya bertambah kesal. Memang Papa pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian. "Nggak usah saja, Pa," bujuk saya saat makan malam. Papa diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, Papa sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Papa ini benar-benar nggak mau mengerti ya, Pa. Saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil. Saya tinggalkan Papa terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil, isteri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada Papa? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia!" Saya terus membisu. Sebelum isteri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan Papa. "Jangan lupa, Ko. Belikan tiket buat Papa," katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat Papa. Jam 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta Papa untuk bersiap. "Bus berangkat pk 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala Papa. Papa tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia memasukkan baju-bajunya ke dalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. Saat itu Papa tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya. Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus. Papa tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat Papa yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu Papa tidak minta apa pun. Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat Papa yang sedang dalam perjalanan, ingat isteri saya yang sedang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya, saat isteri meminta saya menelpon Papa di kampung, seperti yang biasa saya lakukan setiap kali Papa pulang dengan bus. Malam berikutnya, isteri bertanya lagi apakah Papa sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara. Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Papa kamu sudah tiada," kata sepupu saya di sana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas sore tadi." Sepupu saya lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Isteri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, Ko?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Papa sudah tiada!!" Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa berharganya seorang Papa dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada Papa, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata isteri mengenai Papa, silih berganti menyerbu pikiran. Saya sangat merasa kehilangan Papa yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan Papa yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya. Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara Papa. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu Papa dan Mama masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi. Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu. |
#24 | ![]() |
yinyeksin
16 Desember 2005 jam 10:43am
 
Mohon duduk manis, masalahnya mang Ucup mo ngedongeng neh, dan sebaiknya The Last Waltz Nama saya Lily , kami tinggal di sebuah kota kecil di Menado. Sejak muda Ibu saya senang sekali menari, oleh sebab itulah ketika hari perkawinannya ayah memohon agar tarian yang terakhir diberikan hanya untuk dia seorang, maka dari itulah lagu pertama pada saat mereka menari adalah "The Last Waltz" dari Engelbert Humperdinck, dan rupanya ini benar-benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada saat ibu melahirkan saya, ibu meninggal dunia. Daddy - begitulah panggilan saya terhadap ayah. Karena kasihnya kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Saya dibesarkan hanya oleh Daddy dan nenek saya, dan setiap malam Natal sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya "The Last Waltz", sambil mengingat ibu. Ketika saya berusia lima tahun, Daddy mengajar saya menari waltz. Sejak saat itu, setiap malam Natal, kami menari waltz berdua. Pada hari ulang tahun saya yang kedua belas, yang bertepatan dengan malam tahun baru, Daddy memberikan kepada saya hadiah berupa long dress warna merah, dan kami berdua menari waltz bersama. Pada saat tersebut, saya benar-benar merasa seperti juga Sang Putri dalam kisah Cinderella yang sedang menari dengan Sang Pangeran. Daddy mengasihi saya sehingga hampir semua permohonan saya selalu dikabulkan olehnya, ia benar-benar mengabdikan hidupnya hanya untuk saya seorang. Seharian Daddy harus bekerja di kantor, jadi satu-satunya yang membimbing saya di rumah adalah Nenek, hal ini mengakibatkan saya terlibat pergaulan bebas, dan akhirnya mulai ketagihan narkoba. Hampir setiap hari saya pulang ke rumah setelah jauh malam. Walaupun demikian Daddy selalu menunggu kedatangan saya dengan sabar, ia baru bisa tidur setelah saya berada di rumah kembali. Bahkan pada malam Natal yang terakhirpun, saya lebih senang merayakannya di diskotik bersama dengan anak-anak muda lainnya daripada bersama dengan Daddy, di situlah untuk pertama kalinya saya melihat Daddy mengeluarkan air mata. Karena kebutuhan saya akan narkoba semakin meningkat, maka akhirnya saya mencuri uang tabungan yang seyogianya untuk masa tuanya Daddy, dan melarikan diri ke Jakarta dengan harapan di sana saya bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa hidup mandiri. Pada hari-hari pertama saya tinggal numpang di rumah Om saya, dan ternyata mencari pekerjaan di Jakarta itu tidaklah mudah, sehingga akhirnya saya terpaksa melamar bekerja di Klab Malam "Blue Ocean" sebagai pramuria. Kalau dahulu saya menari dengan Daddy, di sana saya terpaksa harus menari dengan pria yang sebaya dengan Daddy, bahkan tidak jarang di mana akhirnya saya bersedia untuk menemani mereka tidur di hotel. Setelah satu bulan saya berada di Jakarta, saya menerima surat dari Daddy yang dialamatkan ke tempat kost saya, rupanya Daddy mengetahui alamat kost saya dari Om. Dalam seminggu saya menerima tiga surat bahkan terkadang lebih, tetapi tidak satu surat pun yang pernah saya balas, boro-boro dibalas, dibukapun tidak. Masalahnya saya merasa malu dan tidak berani membaca surat dari Daddy, saya merasa berdosa terhadap Daddy, bahkan saya merasa jijik terhadap diri saya sendiri. Sudah lebih dari satu tahun saya di Jakarta, tumpukan surat yang dikumpulkan sudah ada beberapa dus. Semuanya ini saya simpan dengan rapi, hanya sayangnya ini hanya sekedar pajangan saja bagi saya, karena saya tidak berani dan mau membukanya. Saya tidak ingin mengetahui bahwa gadis kesayangannya Daddy, gadis yang sedemikian ia banggakannya, telah menjadi seorang pramuria, seorang prostitusi, bahkan sudah menjadi pencandu berat narkoba. Beberapa hari sebelum Natal, saya menerima surat lagi yang ditulis dengan tulisan tangan yang sama, dan bentuk sampul yang sama, tetapi kali ini tidak dikirim melalui pos maupun ke alamat kost saya, melainkan dikirim dan dititipkan secara langsung ke klab malam tempat di mana saya bekerja. Dan ketika saya menanyakan siapa yang menitipkan surat tersebut, ternyata dari gambaran yang diberikan adalah Daddy sendiri yang telah khusus datang ke Jakarta untuk mengantarkan surat tersebut. Ini kali saya sudah tidak tahan lagi untuk membukanya, dengan air mata yang turun berlinang saya baca surat tersebut, yang isinya sebagai berikut: "Lily my dearest beloved princess, Daddy sudah sejak lama tahu di mana kamu bekerja, permohonan Daddy hanya satu saja: "Maukah kamu pulang kembali ke rumah untuk menari bersama dengan Daddy?" Setelah membaca surat tersebut, saya langsung pulang ke tempat kost untuk membaca ratusan surat - surat lainnya yang belum saya buka, ternyata semua surat isinya sama, di mana hanya tertulis satu pertanyaan saja yang ditulis dengan tangan: "Maukah Lily menari kembali bersama dengan Daddy?" Hari itu juga saya langsung mengambil keputusan untuk pulang ke rumah. Karena menjelang Natal, maka hampir semua pesawat fully book, sehingga terpaksa saya membeli tiket dengan harga yang berkali lipat lebih tinggi, Setibanya saya dirumah, saya langsung dipeluk dengan erat oleh Daddy, air matanya turun berlinang dengan deras membasahi kepala saya. Dengan suara terisak-isak Daddy bertanya sekali lagi: "Maukah Lily menari kembali bersama dgn Daddy?" Saya mengangguk sambil menjawab: "YA, tapi apakah Daddy tahu, bahwa Lily yang sekarang ini bukanlah princess Daddy yang dahulu lagi? Saya adalah seorang prostitusi yang kotor, bahkan yang telah mengidap penyakit AIDS, apakah Daddy tidak malu menerima saya kembali, apakah Daddy tidak takut ketularan penyakit saya?" Daddy tidak berkata sepatah katapun juga, ia hanya pergi memutar lagu kesayangannya "My Last Waltz", dan memeluk saya dgn penuh kasih untuk mengajak saya menari seperti pada hari-hari Natal sebelumnya , hanya ini Tanpa saya ketahui, sejak Daddy ditinggal oleh saya, ia sering begadang menunggu dan mengharapkan kedatangan saya kembali, di samping itu karena rasa duka yang sedemikian mendalamnya, sehingga akhirnya ia jatuh sakit kanker, dua minggu setelah Natal Daddy menghembuskan nafasnya yang terakhir. Rupanya ia mengetahui bahwa bahwa hari-hari terakhirnya telah mendekati, oleh sebab itulah ia telah memaksakan diri, walaupun dalam keadaan sakit sekalipun juga khusus untuk mengantarkan surat bagi saya ke Jakarta, hanya untuk mewujudkan keinginannya yang terakhir dimana ia bisa mendapatkan kesempatan sekali lagi menari dengan putri kesayangannya. Masih terngiang-ngiang dikuping saya lirik dari lagu kesayangannya "The Last Waltz" Menjelang Natal ini, banyak sekali orang tua yang mengharapkan dan menunggu kedatangan dari anak-anaknya. Bagaimanapun keadaan dan situasi Anda pada saat sekarang ini, orang tua kita bisa menerima kita apa adanya, dengan segala kelemahan maupun kelebihan kita, terlebih lagi mereka tidak mau mengingat kesalahan-kesalahan kita di masa lampau, yang mereka inginkan hanya satu saja ialah dapat melihat dan memeluk putera dan puterinya kembali. Berapa lama lagi Anda akan menyuruh mereka menunggu? Datang dan kembalilah sebelumnya terlambat! Kalau keadaan tidak memungkinkan, telponlah mereka sambil mengatakan: Penulis: |
#25 | ![]() |
yinyeksin
19 Desember 2005 jam 11:06am
 
Semangkuk Mie Kuah Pendahuluan : Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen. Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang, ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing". (Pei=Utara; Hai=Laut; Thing=Kios, Toko) Makan mie pada malam Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh - karena pada hari itu semua orang terburu-buru pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru - sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang. Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko itu sekali lagi terbuka. Seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi wanita tersebut malah memakai baju luar -bercorak kotak- yang telah usang. "Silakan duduk!" kata sang majikan mengucapkan salam. Wanita itu berkata dengan takut-takut : "Bolehkah... memesan semangkuk mie kuah?" Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang. "Tentu... tentu boleh, silakan duduk di sini!" kata si majikan dengan ramah. Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur : "Semangkuk mie kuah!" Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang kecil, "Sangat enak sekali!" Sang kakak berkata : "Ma, Mama juga cobain dong!" Sang adik menyumpit mie untuk menyuapi ibunya. Tidak lama kemudian mie pun telah habis. Setelah membayar 150 yen, si ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih, "Sangat Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai. Kesibukan pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00. Ketika sang istri majikan tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu. "Bolehkah... membuatkan kami... semangkuk mie kuah?" "Tentu, tentu, silakan duduk!" kata si istri majikan dengan ramah. Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras : "Semangkuk mie kuah!" Sang majikan menyahut, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan. Istrinya dengan diam-diam berkata di samping telinga suami : "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak?" "Jangan, kalau demikian mereka bisa merasa tidak enak," kata si suami. Si suami menjawab sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara, percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko. "Sangat wangi ... sangat hebat ... sangat nikmat!" kata anak yang kecil. "Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik!" sahut ibunya. "Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini." Kata anak yang lebih besar. Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing. "Terima kasih banyak! Selamat bertahun baru," kata sang majikan dan istrinya sambil memandang ibu dan anak yang berjalan pergi. Suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama. Malam Chu Si pada tahun ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan kartu tanda "Telah Dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan dua orang anak ini akhirnya muncul kembali. Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket - yang kelihatan agak kebesaran - yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya. "Silakan masuk! Silakan masuk!" kata si istri majikan toko menyambut dengan hangat. Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibu dua anak itu dengan takut-takut berkata : "Tolong... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah?" "Tentu saja boleh. Mari, silakan duduk!" kata si istri majikan dengan ramah. Sang istri majikan mengajak mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam, "Dua mangkuk mie." Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar 3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka. "Siao Chun dan Koko, Mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua!" kata si ibu. "Terima kasih!" kata si kecil. "Mengapa?" tanya si kakak. "Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan oleh Papa kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian yang tak "Ya, hal ini kami tahu!" si kakak menjawab. Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan. "Yang pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari ini!" kata si ibu. "Oh, Mama, benarkah?" kata si kakak. "Ya, benar, karena Koko mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga Mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan memberikan bonus spesial kepada Mama karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa." "Ma! Koko! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam," kata si kecil. "Saya juga ingin terus mengantar Koran," kata si kakak. "Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar terima kasih!" kata si ibu. Sang kakak berkata, "Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak memberitahu mama, itu adalah ... Pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah, guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh "Pei Hai Tao" (Hokkaido), untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya." "Benarkah? Lalu?" tanya si Mama Si kakak melanjutkan, "Tema yang diberikan guru adalah 'Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)'. " Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin. Isi dari karangan itu menuliskan, Papa mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan hutang yang banyak. Demi untuk membayar hutang, Mama bekerja keras dari pagi hingga malam, sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun. Masih ada, pada malam tanggal 31 Desember, kita bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie kuah, sangatlah lezat. Tiga orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada kami ! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar menjalani hidup, Siao Chun juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung, "Semoga kalian berbahagia! Terima kasih!" Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi, ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar. Si kakak melanjutkan, "Selesai membaca karangan, guru berkata: Kokonya Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata." "Sungguhkah? Lalu kamu bagaimana?" tanya si ibu. Si kakak melanjutkan, "Karena terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun. Adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang. Tadi pada saat adik saya membacakan 'Semangkuk mie kuah', saya sempat merasa malu. Tetapi sewaktu melihat adik saya dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca karangan, merasa perasaan malu itulah yang benar-benar memalukan." Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya ... Kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya." Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya, membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko mie. Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan, "Terima kasih! Selamat Tahun Baru!" Setahun pun berlalu lagi, toko mie Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan" sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul. Usaha dari Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, tetapi meja nomor 2 masih tetap pada aslinya. Banyak tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor 2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi untuk melihat meja tersebut dan Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering berkumpul Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir, "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si di tahun ini kemungkinan akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru." Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba ... terbuka Dua orang remaja yang berpakaian stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut. Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan : "Tolong... tolong... mie kuah... untuk jatah 3 orang, bolehkah?" Belasan tahun telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu. Sang suami di balik dapur juga termenung. Ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah tersebut, kemudian si ibu mengatakan : "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan tegar." Sikakak melanjutkan, "Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak, bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo." "Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam Papa, setelah berdiskusi dengan adik saya yang - pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi belum tercapai - sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang istimewa ... Yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing." Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata : "Selamat datang ! Silakan ... Ei! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah." |