Home → Bacaan → "BROKEN WISHES"
Daftar Isi:
PROLOG
01 ~ Pertemuan & Kembali
02 ~ Kenangan & Desa Exemptio
03 ~ Dark Assembly & Kekuatan Keinginan
04 ~ Penggelapan &Penghukuman
05 ~ Broken Wishes
06 ~ Dark Junction & Perkumpulan
07 ~ Dark Inquiry & Janji Tanah
08 ~ Aliansi & Inisiasi
09 ~ Petir, Air & Perjalanan
10 ~ Informasi & Pengetahuan
11 ~ Batas Keinginan & Perjanjian
12 ~ Maria & Ketetapan Perjanjian
13 ~ Schertvalle & Romansa Pedang
14 ~ Anne & Saravine
15 ~ Amarantie & Ingatan
16 ~ Saravine & Ingatan
17 ~ Terjerat & Terbebas
18 ~ Dark Nature & Kekuatan Keinginan
19 ~ Dark Grail & Pertempuran
20 ~ Pembenaran & Kebenaran
21 ~ Tirai & Pembebasan
22 ~ Hukuman & Kebebasan
23 ~ Epilog
. . . . . . . Enjoy . . . .
PROLOG
Tahun 1687 penanggalan matahari, desa Exemptio - Benua Sol.
Guntur meraung-raung bersama angin kasar. Bongkah besar air jatuh menangis dari langit turun ke bumi mengguyur desa Exemptio. Desa yang sepi dan jauh dari hingar bingar kota ini mulai terendam. Air setinggi lutut membanjiri tanah lembut desa yang terletak di lembah Librea bagian selatan Negara Scutleiss. Hewan-hewan sudah lebih dahulu melarikan diri, mereka tahu alam tidak boleh ditentang. Mereka tahu, sekuat apapun keinginan mereka menantang hujan tetap saja mereka akan terlindas olehnya. Tapi tidak bagi manusia…
Dari balik gundukan bukit terlihat dua sosok yang berjalan menjauhi desa. Satu kakek tua dan satu gadis remaja. Guntur sesekali bersahutan mengiringi kepergian mereka. Deru kasar angin dan alam mencoba menerbangkan Daun Payung Besar, daun besar seukuran tiga kali tubuh manusia dewasa, yang dibawa oleh sang kakek tua. Cengkraman yang kuat berbalut keinginan membuatnya tetap tegar dalam genggaman manusia. Lingkung lindung Daun Payung Besar ini membuat tubuh atas kedua sosok ini tak basah. Hanya kaki saja yang terendam lumpur. Becek tanah yang hampir menenggelamkan separuh betis bukanlah halangan tuk menerapkan tujuan.
Sang kakek, berjanggut hitam tebal panjang, mencitrakan ketegasan. Tulang rahangnya tinggi dan proporsi wajahnya memanjang ke atas. Ia mengenakan jubah putih dengan Mantel putih yang kaku tak berkibar walau terhantam angin. Aksara-aksara frunic, aksara kuno benua Sol, menghias lengan kirinya yang bertuliskan namanya: Vristinus Adam. Sekali lihat saja, badan kakek ini tetap tegak walau keriput sudah menghias seluruh ototnya. Ia membiarkan sang gadis berjalan di sampingnya. Ia tahu, badai seperti ini justru menjadi pelajaran bagi sang gadis.
Sang gadis, bermata biru pucat dan bergaris mata sayu, mencitrakan kesenduan. Rambutnya yang hitam sebahu sudah kuyu sama lelahnya dengan sang pemilik. Baju biru kelamnya lusuh menggambarkan suasana hatinya. Bibirnya yang merah telah membiru, memucat kedinginan. Perkara dingin dan banjir tidaklah mengganggu hatinya tapi angin mengusik hatinya. Ia sesekali melirik kebelakang seolah berharap akan datangnya sesuatu. Ia berusaha mempertegas gerak langkahnya, meyakinkan keputusan yang telah diambilnya. Ia tahu, bila ia bergerak terlalu kentara maka isi hatinya akan terbaca oleh kakek di sampingnya.
Sang kakek justru tersenyum, ia tahu apa yang digundahkan oleh sang gadis.
Walau mau disembunyikan seperti apapun, walau teman perjalanannya tak berbicara sepatah katapun, tetap saja ada hal yang selalu terucap dalam denyut gerakan, denyut kehidupan.
"Jangan sedih dengan perpisahan ini. Ingatlah kalau kau akan berjumpa kembali dengan ibumu."
Sebuah usapan halus di punggung sang anak membuatnya tentram. Sang gadis hanya mengangguk bisu mengikuti jalan yang terus menurun.
Jalan setapak keluar lembah mereka susuri, mengitari aliran sungai di bawah sana yang mengalir deras. Patahan-patahan kayu yang hanyut terhantam batu apung bermaksud menakuti perjalanan tapi tak kesampaian. Arus itu bagi mereka adalah pertanda jalan keluar dari lembah itu semakin dekat. Pertanda perpisahan segera menjadi kenyataan tak terucap.
Pohon-pohon Matara berdaun hijau coklat mulai terlihat merapat. Tiga puluh lima baris pohon terletak di kiri dan kanan dengan jarak hanya seperempat tombak per pohon. Pohon yang tingginya lima tombak dan juga berdaun lebar-gemuk-lagi keras ini menjadi formasi masuk dan keluar desa Exemptio.
Andai pengunjung tak tahu sistematika langkah yang tepat maka mereka hanya akan melewati lembah Librea tanpa sekalipun mengendus jejak desa Exemptio.
Sang kakek memberikan kendali payung besarnya pada sang gadis. Ia melangkah keluar dari lindungan payung. Titik air sama sekali tak menyentuhnya seolah terlindungi oleh selaput tipis tak terlihat. Ia menelengkan kepala sebagai isyarat bagi sang gadis untuk mengikutinya.
Mulailah sang kakek melangkah lurus menuju baris ke sebelas kanan, lalu menuju baris dua puluh lima kiri, lalu tujuh belas kiri dan terakhir baris pertama kanan. Ia selesai dan menunggu sang gadis yang mengikuti tanpa cela.
Tapi sang gadis berhenti di baris tujuh belas -kiri. Ia menunduk, matanya kembali dialihkan ke belakang. Sebisa mungkin tidak menengok.
"Tenanglah Saravine… Allen sudah diberitahu akan kepergianmu ini."
Saravine ingin berucap. Dagunya sempat naik sesaat tapi kembali urung, bibirnya kelu. Tak ada suara terlontar sesuai nama belakangnya: Mutia. Pencinta Diam.
Saravine Mutia, gadis 15 tahun yang memiliki takdir bagai ilalang mawar.
Berduri, tajam, dan menyakitkan. Sejarah hidupnya terbuang dalam lingkar darah kuntum kekuasaan. Satu-satunya yang ia harapkan adalah adanya kelopak cinta yang akan mekar, kelopak yang sanggup memerahkan isi hatinya dalam cinta.
Keengganan melangkah semakin menjadi. Ia diterjang dua pilihan. Pergi demi menemui kesejatian indahnya cinta... atau tinggal bersama pupuk untuk untuk melihat mekarnya bunga baru. Ia menunggu hatinya berbicara. Tapi nama dirinya menjadi pembungkam segala rasio. Emosi yang larut tak mampu menolong. Hanya memperrumit.
Sang kakek tahu dan membiarkan, toh umur sang gadis memang sudah mengharuskannya untuk bertanggung jawab.
Saravine mengangkat dagunya. Ia telah memutuskan, untuk terakhir kalinya. Ia tidak akan gentar lagi dan tidak akan menyesal karenanya. Ia melangkah, ia memilih meninggalkan sang pupuk. Gerak langkahnya tidak lagi berat. Formasi Matara telah ditinggalkannya. Ia kembali berdiri sejajar dengan sang kakek. Petir pun semakin meraung-raung menggetarkan angkasa saat Daun Payung Besar diserahkannya. Ia ponggah bertanya pada Saravine ‘yakinkah kau!?’ dan Saravine menjawab ‘yakin!’
Saat itulah suara langkah kaki yang lemah terdengar. Suara becek langkah itu…
Saravine langsung menengokkan mukanya. Ia tahu langkah kaki itu! Ia tahu kecepatan kaki itu bergerak! Ia tahu siapa yang datang. Dan ia benar… Sang pupuk tiba.
Remaja mungil, laki-laki, seumuran dengan Saravine, yang berrambut hitam berantakan berdiri di atas tanjakan. Napasnya tersenggal-senggal membuat hidung mancungnya kembang kempis cepat. Keringat, basah air hujan, dan lumpur bercampur menjadi satu menggambar baju hitam robek-robeknya. Kakinya lecet karena tak beralas kaki. Tapi si mungil justru nyengir puas. Mata hitam lurusnya menyampaikan lebih dari seribu kata pada Saravine.
Sayang, Saravine tidak menanggapi, ia terlanjur membelokkan wajahnya menuju pintu keluar lembah. Ia telah menetapkan keinginannya dan ia tak boleh melanggarnya. Tapi tetap saja, kegundahan melanda. Langkahnya kembali berat. Sang kakek tentu saja mengetahuinya, ia terpaksa turun tangan.
Saravine mendadak menerkam sang kakek, tangan kecilnya memegang erat tangan sang kakek. Saravine tak perlu menggeleng, sang kakek sudah mengerti semuanya. Ia mengurungkan kehendaknya.
"Sara!!" teriak sang anak.
Saravine terhenyak mendengarnya. Ia tak menyangka suara itu mampu menembus hujan dan menusuk kalbunya. Hatinya semakin tersiksa kala kaki mungil pengejarnya kembali mendekat.
"Allen!" bentak sang kakek.
Allen, si mungil, sama sekali tak menghentikan langkahnya. Ia punya hal yang harus dikerjakannya. Lihat saja, ia menerjang badai seorang diri, tanpa pelindung, tanpa alas kaki, hanya dengan tubuh kecilnya.
Ia mencapai formasi Matara dan melangkah asal-asalan. Formasi Matara langsung menahan geraknya! Efek formasi ini akan berbeda bagi mereka yang memulai dari baris tiga puluh lima. Pohon-pohon besar itu bergerak mengepung Allen. Penduduk biasa mungkin akan mundur untuk mengulang tapi tidak untuk bocah ini! Ia justru makin nekat maju! Ia tak peduli akan daun besar yang seakan hendak menelan tubuhnya itu. Allen kecil terpental dihantam daun besar. Ia tak menyerah dan kembali bangkit meski darah mengucur membasahi kepalanya.
"Allen!"
Lengking suara Saravine menghentikan gerak Allen. Derasnya hujan kembali membungkam mereka berdua. Petir mulai berkilat senang. Gemuruhnya deras mendera telinga. Sang petir makin berkilat tatkala Saravine menjauh. Sang kakek pun mengikuti Saravine dengan wajah kecut. Ia dapat melihat apa yang Allen tak dapat lihat: Air mata kesedihan dan kepahitan.
"Sara...!! Kamu harus janji!! Kalau nanti kita ketemu lagi..." teriak Allen kencang.
GLEGAR!!
Suara petir memutus perkataan Allen. Saravine pun tak bisa mendengar lagi apa yang diteriakkan Allen. Perlahan suara guntur mereda membuat suara Allen kembali bergetar di udara.
"Aku pasti akan mencarimu! Walau kau menjadi Wishmaster, Aku pasti akan menjadi Darkmaster untukmu..."
Allen kecil tak mengerti arti kata dan janji yang ia ucapkan. Konsekuensi yang akan ditanggungnya suatu saat tidaklah akan semanis yang dikiranya. Ia hanya tahu, dirinya akan menjadi angin yang turut membawa awan, air, dan angin yang lebih keras lagi demi menjalankan janjinya itu. Itulah perpisahan pertama Allen dan Saravine, di bawah hujan deras, ditertawai sang petir, dihalangi formasi Matara, dan juga dihalangi oleh pengorbanan keinginan.
. . . Bersambung ke 01
Pengarang | comot |
---|---|
Tamat | Ya |
HitCount | 1.578 |
Nilai total | ![]() |
Baca semua komentar (3)
Tulis Komentar
#1 | ![]() |
t0t0
21 September 2012 jam 12:53pm
 
|
#2 | ![]() |
ichie
22 September 2012 jam 11:44am
 
lanjutkan suhu |
#3 | ![]() |
masarx
8 Oktober 2012 jam 2:14pm
 
setelah sekian lama vacuum, akirnya muncul lagi bacaan berkualitas.. |