Home → Bacaan → Jaka Sembung Forever
Hari telah larut malam. Seluruh
penduduk kampung telah tidur dengan
lelap. Sinar purnama memancarkan
sinarnya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan
malam dengan tembang-tembangnya yang membangkitkan rasa kekaguman manusia
terhadap suasana malam.
Suasana syahdu itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak
kecil dari sebuah pondok yang letaknya terpencil dari pondok-pondok lainnya. Suara tangisan itu terdengar begitu
menyayat hati yang mendengarnya. Pondok itu dihuni sepasang suami
istri yang dikaruniai seorang anak
perempuan yang berumur tiga tahun.
Anak itu diberi nama Kinong. Pak
Kinong bekerja sebagai buruh tani yang hanya mengandalkan upah dari pemilik
tanah yang digarapnya, istrinya
bekerja mengumpulkan kayu bakar yang kemudian dijual di pasar. Ia juga
kadang-kadang bekerja sebagai buruh
potong padi pada saat musim panen
tiba.
"Pak, cobalah pinjam beras barang sedikit saja kepada tetangga. Siapa tahu
mereka menaruh belas kasihan
kepada kita!" bujuk Bu Kinong penuh harap.
Suaminya hanya duduk termenung ke
arah jendela memandang keluar dengan tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan sih kasihan tetapi mereka juga sama seperti kita,
kelaparan!" keluh Pak Kinong dengan nada putus asa.
"Coba-coba sajalah, Pak! Si
Kinong ini sangat lapar!" seru
istrinya sambil menenangkan si Kinong yang merengek-rengek minta makan.
"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya pak Kinong sambil bangkit mengambil
rokok kawungnya diatas meja. "Lagipula semua orang sedang
enak-enaknya tidur! Salah-salah aku
bisa disangka maling oleh penduduk!
Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak itu, Bujuklah sebisamu Bu!" ujar Pak Kinong
sambil menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam.
"Sampai kapan kita hidup terus
begini ya, Pak. Kita mungkin orang tua bisa saja tahan lapar, tapi anak
kecil...?" keluh istrinya.
Kinong seolah tahu sedang
dibicarakan oleh kedua orang tuanya, maka ia sengaja meledakkan tangis
sekuat-kuatnya sampai otot-otot
lehernya menegang.
"Makaaaan......! Hengg....... Kinong lapaaal....!"
"Sampai kapan kau bilang. Huh! Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen mampus! Atau sampai penjajah itu
angkat kaki dari negeri kita!" umpat Pak Kinong sambil menggebrak meja
bambu di hadapannya. Meja yang sudah reyot itu semakin bertambah reyot jadinya.
"Berapa lama lagi? Sebulan?
Setahun?" tanya Bu Kinong sengit. "Sampai kita masuk liang kuburpun belum tentu hal itu terjadi!"
Pak Kinong
mendengus. Suasana kembali hening. Suami istri itu sama-sama terdiam.
Sementara itu di antara atap-atap
rumah terlihatlah sesosok tubuh
melompat-lompat dengan lincahnya dari atap rumah yang satu ke atap rumah
yang lain seperti seekor bajing. Ia mengenakan pakaian serba hitam.
Rambutnya terurai sebatas pinggang.
Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya sepasang matanya saja yang tampak. Di
pinggangnya terselip sebuah golok,
yang terjepit di antara sabuk dan kain sarung yang melapisi celana pangsinya.
Begitu ringan tubuhnya melompat
kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Hanya sesekali ditandai
dengan terhentinya suara unggas
bernyanyi karena terganggu dengan
kelebatan sosok tubuhnya.
Dengan satu hentakan ia meloncat
turun. Tubuhnya melayang seperti sehelai daun kering yang jatuh di
tanah, namun kedua kakinya berpijak
dengan mantap. Setelah mengamati keadaan
sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya bahwa sudah tidak ada orang lain yang
membuntutinya, ia berjalan mengendap-endap. Di punggungnya terlihat sebuah
bungkusan seperti sebuah karung.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah
karena mendengar suara tangisan anak kecil yang sudah parau dan tersendat-
sendat. Lalu orang itu melangkah
menuju sebuah pondok dimana suara
tangisan itu berasal. Seketika pintu rumah gubuk itu
didorong dari luar lebar-lebar,
sesosok tubuh dengan pakaian serba
hitam sudah berdiri tegak di ambang
pintu.
Sepasang suami istri itu terkejut
dan sambil gemetar melangkah mundur
merapat ke dinding bilik.
"A... ampun! Kami orang miskin
yang tak punya apa-apa lagi untuk
dimakan, apalagi barang berharga!"
kata Pak Kinong dengan tersendat-
sendat. Keringat dingin mengaliri
tubuhnya.
"Jangan takut! Aku bukan
perampok! Namaku Bajing Ireng!"
Pengarang | Djair Warni |
---|---|
Tamat | Tidak |
HitCount | 495 |
Nilai total | ![]() |
1 | ![]() |
Satu
Pemanah 17 Maret 2019 jam 11:23am |
2 | ![]() |
Dua
Pemanah 17 Maret 2019 jam 12:14pm |
3 | ![]() |
Tiga
Pemanah 17 Maret 2019 jam 1:34pm |
4 | ![]() |
Empat
Pemanah 17 Maret 2019 jam 2:43pm |
Baca semua komentar (1)
Tulis Komentar
#1 | ![]() |
Pauziaja
20 Maret 2019 jam 9:37pm
 
Semangat suhu. |