Pedang Naga Hitam

HomeBacaanPedang Naga Hitam

dino
13 Maret 2010 jam 9:13pm

DINO Presents

Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo

Judul : Pedang Naga Hitam

Lanjutan dari : Sepasang Naga Lembah Iblis

Convert & Edit By Muk San
Ebook by Dewi KZ (Thanks atas kirimannya)
http://kangzusi.com/ http://ebook-dewikz.com/
Final Edit : Dino

Selamat membaca

Dino

Pengarang Kho Ping hoo
Tamat Ya
HitCount 20.079
Nilai total rating_4

Bab

1 Jilid 1
dino 13 Maret 2010 jam 9:16pm
2 Jilid 2
dino 13 Maret 2010 jam 9:17pm
3 Jilid 3
dino 13 Maret 2010 jam 9:17pm
4 Jilid 4
dino 13 Maret 2010 jam 9:21pm
5 Jilid 5
dino 13 Maret 2010 jam 9:22pm
6 Jilid 6
dino 13 Maret 2010 jam 9:23pm
7 Jilid 7
dino 13 Maret 2010 jam 9:23pm
8 Jilid 8
dino 13 Maret 2010 jam 9:24pm
9 Jilid 9
dino 13 Maret 2010 jam 9:25pm
10 Jilid 10
dino 13 Maret 2010 jam 9:26pm
11 Jilid 11
dino 13 Maret 2010 jam 9:29pm
12 Jilid 12
dino 13 Maret 2010 jam 9:30pm
13 Jilid 13
dino 13 Maret 2010 jam 9:30pm
14 Jilid 14
dino 13 Maret 2010 jam 9:31pm
15 Jilid 15
dino 13 Maret 2010 jam 9:32pm
16 Jilid 16 - tamat
dino 13 Maret 2010 jam 9:32pm

7 komentar

icon_comment Baca semua komentar (7) icon_add Tulis Komentar

#3 avatar
willy 14 Maret 2010 jam 3:52pm  

Antara akhir jilid 4 sama awal jilid 5 gak nyambung jadi ada yg hilang diantara itu,

#4
dino 14 Maret 2010 jam 7:33pm  

kawan2, mohon maaf, memang ada yang hilang antara akhir jilid 4 dan awal jilid 5.
untuk aku mohon maaf dan harap maklum. thanks.

#5
ragilcitra 4 April 2015 jam 2:58pm  

Bagian yang hilang antara akhir jilid 4 sama awal jilid 5 :

“Baiklah, engkau memang seorang gila yang pantas menerima hajaran !“ katanya singkat sambil menggerakkan kebutan di tangan kiri sedangkan tangan kanan sudah melolos sebatang pedang dari punggungnya. Para murid Hwa-li-pang segera mundur dan membentuk lingkaran yang luas agar guru mereka dapat leluasa bertanding menghadapi orang gila yang lihai itu. Kui Ji dan Han Sin tetap berdiri di bawah pohon dimana duduk si pengemis muda. Di antara para penonton juga berdiri di lingkaran itu, nampak pula gadis berpakaian serba putih yang tadi datang bersama para wanita yang bersembahyang di kuil.

Melihat Pek Mau To-kouw sudah siap dengan senjata hud-tim (kebutan pendeta) dan pedang, Kui Mo tertawa bergelak “Ha-ha-ha, To-kouw, engkau tidak akan mampu menandingi tongkatku, lihat senjataku !“ Berkata demikian, dia menggerakkan tongkatnya dengan dahsyat sekali, menyerang
ke arah kepala to-kouw itu. Melihat serangan ini, diam-diam Pak Mau To-kouw terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, segera ia dapat mengenal lawan yang tangguh. Begitu cepat tongkat itu bergerak dan mendatangkan angin pukulan yang kuat sekali. Ia pun mengelak dan kebutannya yang berbulu merah menyambar ke depan menotok ke arah leher sedangkan pedangnya menyusulkan tusukan ke arah dada.

Serangan balasan dari to-kouw ini pun hebat sekali sehingga Kui Mo mengeluarkan seruan yang di susul tawa terkekeh. Dia sudah menangkis pedang dan menggunakan tangan kiri mencengkram ke arah kebutan untuk menangkap kebutan itu. Akan tetapi lawannya tidak membiarkan kebutannya tertangkap, segera menarik kembali kebutannya dan kini pedang yangtertangkis itu membabat ke arah kaki lawannya.

Kui Mo meloncat ke atas dan ketika pedang lewat di bawah kakinya, pedang itu diinjaknya dan tongkatnya sudah menyerang dengan pukulan ke arah pundak kanan to-kouw itu. Tentu dia bermaksud agar to-kouw itu melepaskan pedangnya. Akan tetapi tidak semudah itu dia mengalahkan Pek Mau To-kouw itu. Hud-tim itu sudah menyambar lagi, kini bulu kebutan menjadi lemas dan hendak melibatkan kedua kakinya ! Terpaksa Kui Mo meloncat turun dan serangan tongkatnyapun gagal karena to-kouw itu sudah miringkan pundaknya mengelak.

Perkelahian itu seru bukan main dan dalam pandangan para murid Hwa-li-pang, tubuh orang yang bertanding hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar merah kebutan, sinar kuning tongkat dan sinar putih pedang. Kalau di tonton merupakan pemandangan yang indah dan menarik, akan tetapi semua murid menyadari bahwa yang indah itu mengandung bahaya maut untuk gurumereka !.

Han Sin tentu saja dapat mengikuti gerakan kedua orang itu dan kembali dia merasa kagum dan juga senang. Dalam pertandingan inipun, menghadapi seorang lawan yang tangguh, kakek gila itu sama sekali tidak pernah menyerang dengan niat membunuh. Sebaliknya, setiap serangan to-kouw itu mengancam keselamatan nyawa lawan. Dia merasa girang dan yakin bahwa keluarga itu memang gila, akan tetapi bukanlah jahat. Dan biarpun kakek gila itu selalu mengalah dan membatasi tenaga serangannya, namun tetap saja Pek Mau To-kouw mulai terdesak. To-kouw ini dibuat bingung oleh jurus-jurus gila itu yang sulit sekali diikuti perkembangannya yang selalu berlawanan dan tidak di sangka sama sekali.

Tiba-tiba dalam ketegangan yang sunyi itu, yang hanya terisi bunyi nyaring ketika pedang bertemu tongkat di seling suara tawa keluarga gila itu, terdengar orang berkata-kata seperti sedang membaca sajak ! Semua orang menegok karena ternyata yang mengeluarkan suara itu adalah si pengemis muda yang kini berjongkok di bawah pohon dan mengikuti gerak-gerik dua orang yang sedang bertempur itu dengan penuh perhatian.

“Awal dan akhir bertentangan, ujung dan pangkal berlawanan , kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi belakang, itulah gerakan si pemabok atau si gila !“. Bagi orang lain kata-kata ini seperti kacau dan tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian bagi Pek Mau To-kouw.

Ucapan itu menyadarkannya dan mulailah dia menghadapi lawannya berlandaskan ucapan itu. Kalau lawan menyerang dari bawah, ia menjaga sebelah atas dan benar saja ! Semua serangan lawannya merupakan serangan yang pangkalnya berlawanan dengan ujungnya sehingga ia dapat menjaga diri lebih baik dan dapat lebih banyak. Dan ia kini terlepas dari desakan lawan, bahkan dapat menyerang balik dengan dahsyat ! Pertandingan menjadi seru dan ramai sekali. Liu Si mengerutkan alisnya, menoleh kepada pengemis muda itu dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan pengemis itu.

“kau gila, kau ikut membantu lawan !“ katanya dan sekali menggerakkan kepalanya, rambutnya yang riap-riapan itu telah menyambar ke arah pengemis muda itu. Akan tetapi pengemis muda itu ternyata memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Sekali dia bergerak, tubuh yang berjongkok itu sudah meloncat ke belakang sehingga sambaran rambut itu luput. Liu Si menjadi penasaran dan marah. Ia mengejar dengan senjata pecutnya, akan tetapi pengemis muda itu sudah melintangkan tongkatnya mengoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak yang lucu dan menggoda.

“Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, apalagi dengan seorang nenek gila. Aku takut ketularan gila, he-he-he !“. Liu Si semakin marah, “Siapa gila ? Engkau yang gila, aku tidak gila !“.

'Ha-ha, yang gila menganggap yang waras gila, itu sudah wajar di dunia ini. Entah mana yang benar, yang gila atau yang waras, mungkin saja yang waras itu benar-benar gila, aku tidak tahu ! Nenek yang baik, kalau engkau tidak gila, siapa yang gila ?“ “ Kau yang gila, hik-hik-hik, ya engkau memang gila. Masih muda sudah menjadi pengemis, tentu saja kau gila, hik-hik-hik !“ Liu Si tertawa-tawa dan menunda penyerangannya.

“Aku tidak gila, engkaulah yang gila. Engkau berotak miring, engkau sinting !“ Pemuda itu berteriak-teriak dengan lantang dan marah.

Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda gila itu dan ia menjadi kagum. Dari gerakannya saja ketika tubuh yang berjongkok itu tiba-tiba meloncat ke belakang untuk menghindar serangan maut itu, tahulah dia bahwa pemuda itu ternyata bukanlah pemuda sembarangan, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Liu Si nampak tercengang seperti bingung mendengar pemuda itu memaki-makinya gila dengan suara lantang.

“Aku gila ? Ya, benar, aku gila dan sinting dan engkaupun edan.

“Hik-hik-hik, kita sama ! Gila dan sinting, he-he-he-he !“

Han Sin memandang heran. Sikap pemuda pengemis itu benar-benar seperti sikap keluarga gila itu. Apakah pemuda itupun gila ? Akan tetapi, jelas bahwa dia tadi memberi petunjuk kepada Pek Mau To-kouw bagaimana untuk melawan Kui Mo. Hal ini berarti bahwa pemuda itu selain cerdik, juga berilmu tinggi, dapat mengenal rahasia gerakan silat dari orang gila itu Akan tetapi tiba-tiba Liu Si berhenti tertawa dan menghampiri pengemis muda itu, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu.

“Tidak, engkau tidak sama dengan aku ! Aku tidak sudi disamakan seorang pengemis, engkau malas tak tahu malu, pengemis busuk !“. Pemuda itu menjadi marah “Nenek gila, mulutmu kotor. Pergilah kalau engkau tidak mau kuhajar dengan tongkatku !” Para anak buah Hwa-li-pang yang tadinya menujukkan seluruh perhatian mereka kepada ketua mereka yang sedang bertanding melawan kakek sinting, kini perhatian mereka terpecah menjadi dua. Sebagian malah mendekati pemuda pengemis itu untuk melihat bagaimana pemuda itu akan menandingi nenek gila.

“Tar-tar-tar.... !“ Cambuk di tangan nenek gila itu sudah meledak-ledak ketika menyambar-nyambar ke atas kepala pemuda pengemis itu. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba menggerakkan tongkatnya dan kembali Han Sin yang memperhatikan pemuda itu merasa kagum. Ilmu tongkat pemuda pengemis itu hebat. Ujung tongkat yang digerakkan itu menggetar seolah menjadi banyak dan ujung cambuk yang menyerang kepala itu dapat dihalaunya dengan mudah.

Bahkan tongkatnya menyodok ke arah perut Liu Si membuat nenek gila ini terkejut dan berloncatan ke belakang menghindarkan serangan berbahaya itu. Liu Si menjadi penasaran dan semakin marah. Dengan suara tawa terkekeh menyeramkan ia sudah menerjang lagi dengan cambuknya, akan tetapi tiba-tiba pengemis muda itu mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan empat buah jarinya.

“Eh, nenek gila. Kau tahu hitungan tidak ? Berapa ini ?“

Nenek itu kelihatan bingung, akan tetapi ia memandang ke arah tangan kiri yang di acungkan ke atas “Bodoh, sudah jelas itu empat !“ Akan tetapi baru saja ia berkata demikian, tongkat itu sudah menyambar dan menghantam pahanya.

“Bukkk !“ untung Liu Si sudah melindungi pahanya dengan kekuatan sin-kang sehingga pukulan itu hanya membuat ia terpelanting dan hampir roboh. Nenek itu meloncat sambil mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, siap menyerang lagi, bahkan sudah menundukkan kepala hendak menyerang pula dengan rambutnya yang panjang. Akan tetapi kembai pengemis muda itu berseru nyaring “Heiiii, nenek gila ! Kalau ini berapa ?“ kembali dia mengacungkan tiga buah jari. “Kalau engkau bisa menebak, aku mengaku kalah !“.

Nenek itu memandang dengan mata mendelik marah. “Bocah gila, itu adalah tiga ! Nah, kau kalah dan berlututlah !“.

Akan tetapi oemuda itu sudah menekuk sebuah jarinya sehingga yang nampak hanya dau buah jarinya dan dia tertawa “ha-ha-ha, nenek sinting bodoh lagi, siapa tidak tahu bahwa jumlah jari ini hanya dua ? Mengapa mengatakan tiga ? Nah, engkau yang kalah, berlututlah !“

“Tidak sudi ! Engkau yang kalah !“ dan Liu Si sudah menerjang dengan dahsyatnya saking marahnya. Pemuda itu menjadi sibuk memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya. Terjadi satu pertandingan yang seru di samping pertandingan pertama anatar Kui Mo dan Pek Mau To-kouw. Dan ternyata pemuda pengemis itu benar-benar lihai, dapat mengimbangi serangan Liu Si yang dahsyat. Akan tetapi setelah saling serang sebanyak belasan jurus, tiba-tiba pemuda itu tertawa dan berkata lantang, meloncat keluar dari gelanggang pertandingan.

“Ha-ha-ha, aku tidak mau berkelahi lebih lama. Aku takut ketularan menjadi gila kalau terlalu lama !“

Liu Si marah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan beberapa lompatan jauh pemuda itu telah pergi. Sementara itu pertandingan antara Kui Mo dan Pek Mau To-kouw telah berubah lagi. Kini Pek Mau To-kouw kembali terdesak hebat oleh Kui Mo. Setelah tadi rahasia gerakan ilmu tongkatnya diketahui oleh pengemis muda dan Pek Mau To-kouw dapat memecahkan rahasia itu sehingga mampu menandinginya.

Kui Mo yang berbalik terdesak kini mengubah ilmu silatnya. Ilmu tongkatnya itu sama sekali berbeda dengan yang tadi dan Pek Mau To-kouw menjadi terdesak dan terus mundur. Pada suatu saat ujung tongkat Kui Mo terlibat kebutan merah. Kui Mo tidak berusaha menarik tongkatnya karena selain hal itu tidak ada gunanya juga dia dapat di serang oleh pedang di tangan kanan to-kouw itu. Dia malah menggerakkan tongkat, dan dengan ujung tongkat yang lain dia menghantam ke arah lengan kiri To-kouw itu. Pek Mau To-kouw terkejut bukan main. Bulu kebutannya masih melibat tongkat dan kini lengannya terancam. Terpaksa ia melepaskan kebutannya yang masih menempel pada tongkat dan menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk mengirimkan tusukan kilat .

“Traangg .... !“ Pedang itu terpental karena kuatnya tongkat itu menangkisnya. Kini Kui Mo telah berhasil merampas kebutan berbulu merah dan dia melemparkan kebutan itu kepada Kui Ji. Gadis gila itu menerimanya dan dengan girang ia menari-nari dengan kebutan merah itu di sekeliling Han Sin. Setelah kehilangan kebutannya Pek Mau To-kouw menjadi semakin sibuk dan terdesak hebat. Melihat ketua mereka kini terus mundur, para anak buah Hwa-li-pang maklum ketua mereka terdesak. Mereka menjadi khawatir sekali akan tetapi tidak berani turun tangan mencampuri tanpa perintah ketua itu.

Tiba-tiba terdengar lagi suara nyaring bertemunya kedua senjata dan sekali ini pedang Pek Mau To-kouw terlepas dari tangannya dan terlempar jauh. Ia telah kehilangan kedua senjatanya dan mau tidak mau to-kouw itu harus mengakui keunggulan lawannya, Biarpun mukanya menjadi merah karena marah dan penasaran , akan tetapi terpaksa ia memberi hormat dengankedua tangan dapan dada.

“Siancai........!” Ilmu kepandaian Kui-sicu amat hebat, saya mengaku kalah“.

Kui Mo tertawa bergelak dan berkata dengan girangnya. “Ha-ha-ha , bagus sekali. Jadi kami boleh tinggal di sini dan merayakan pesta pernikahan anak kami disini ?“ “Kami telah berjanji dan tidak akan mengingkari janji. Mari kalian berempat ikut saya ke dalam dan akan saya berikan tiga buah kamar untuk kalian. Akan tetapi ingat, janji ini hanya untuk kalian berempat tinggal di sini sampai hari pesta pernikahan. Kalau kalian membikin kacau disini, kami akan mengeroyok kalian dengan semua anggota perkumpulan kami“.

“Hik-hik-hik-hik, siapa hendak mengacau ? Kami adalah keluarga terhormat, keluarga baik-baik !“ tiba-tiba Liu I berkata dengan galak.

“Ayah, ibu ! Aku ingin sekamar dengan suamiku !“ Kui Ji merengek.

“Hushhhh, apa kau hendak melanggar adat istiadat ! Mantuku begitu mengenal adat kesopanan. Dia seorang terpelajar tinggi, apa engkau tidak malu kepada suami mu ? Sebelum menikah kalian tidak boleh sekamar, mengerti ?“ Bentak Kui Mo dengan lagak seolah dia seorang bangsawan tinggi.

“Tapi.... hemmm... bagaimana kalau dia lari ? Aku akan kehilangan dia.... ! Kui Ji membantah.

“Siapa mampu melarikan diri kalau ada aku dan ibumu ? Tiga kamar itu harus berjajar, kamar kami dipinggir, juga kamarmu. Bagaimana mungkin dia dapat melarikan diri ?“.

Kui Ji tidak merengek lagi. Percakapan itu di dengarkan oleh semua orang dan mereka tidak peduli. Gadis berbaju putih yang berada di antara tamu kuil, melihat dan mendengar percakapan ini dan seperti yang lain, tahulah ia bahwa pemuda pakaian putih itu seolah menjadi tawanan keluarga gila itu. Agaknya mereka tawan dan mereka paksa untuk menikah dengan gadis gila itu. Akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang tenang, mulutnya yang selalu tersenyum, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang yang bodoh dan mungkin agak sinting juga !.

“Marilah kalian ikut saya“, kata Pek Mau T-kouw tidak sabar lagi melihat perbantahan antara keluarga gila itu. Ia melangkah memasuki halaman di samping kuil menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggalnya dan menjadi pusat dari Hwa-li-pang. Empat orang itu mengikutinya dan Han Sin di gandeng oleh Kui Ji. Semua mata murid Hwa-li-pang mengikuti mereka dan setelah mereka menghilang di balik pintu besar, ramailah mereka membicarakan peristiwa itu.

“Heran sekali mengapa pang-cu membiarkan mereka tinggal di sini dan kelak merayakan pesta pernikahan orang gila di sini ?” seorang di antara mereka mengomel.

“Hemmm, Pang-cu adalah seorang yang berjiwa gagah, sekali berjanji tentu akan dipenuhinya,“ kata yang lain.

“Akan tetapi keluarga gila itu telah merobohkan banyak di antara kita ! Mestinya pang-cu membiarkan kita maju semua dan mengeroyok keluarga gila itu. Banyak diantara kita sudah dirobohkan dan sekarang mereka malah di biarkan tinggal di sini ! Ini namanya penghinaan bagi Hwa-li-pang !“ kata yang lain lagi.

Gadis berpakaian putih yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu tiba-tiba berkata “Kalian semua tidak mengerti. Justeru karena keluarga gila itu telah merobohkan banyak di antara kalian maka pang-cu kalian membiarkan mereka tinggal di sini untuk sementara waktu“. Mendengar ucapan itu, semua anak buah Hwa-li-pangmenengok dan memandang kepada gadis itu penuh perhatian.

Ia adalah seorang gadis cantik jelita sekali, jarang mereka bertemu dengan gadis secantik itu. Usianya sekitar delapan belas tahun. Gerak geriknya halus penuh kelembutan, pakaiannya yang putih itu sederhana sekali namun bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing dan rambutnya hitam dan lebat sekali, di gelung ke atas dan di tusuk dengan perhiasaan dari perak berbentuk burung merak. Telinganya sedang besarnya, bentuknya indah dan tidak memakai perhiasan apapun. Sepasang alis yang kecil hitam melengkung seperti di lukis itu melindungi sepasang mata yang bersinar lembut namun berwibawa. Mata yang amat indah bentuknya, dengan bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung, serasi dengan mulutnya yang juga indah sekali, dengan sepasang bibir yang selalu merah membasah, dengan lesung pipit di kanan kiri mulutnya.

Entah mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya. Keduanya merupakan daya tarik yang luar biasa dari pribadi gadis ini. Bentuk tubuhnya sedang, pinggangnya ramping dan jari-jari tangan yang tampak itu panjang dan mungil.

“Hemmmm, apa alasannya engkau berkata begitu, nona ?“ tanya seorang anak buah Hwa-li-pang, penasaran dan yang lain juga memperhatikan untuk mendengar jawaban gadis itu.

“Banyak di antara kalian telah di robohkan oleh keluarga gila itu, akan tetapi siapakah diantara kalian yang tewas atau terluka berat ? Tidak seorangpun ! Juga, ketua kalian dikalahkan tanpa menderita luka. Apakah kalian tidak tahu akan hal ini ? Ketua kalian mengetahuinya dan ia tentu mengambil kesimpulan bahwa keluarga itu, walaupun gila, bukanlah orang-orang kejam atau jahat. Mereka bukan datang untuk menghina atau mengacau, akan tetapi memang ingin merayakan pesta pernikahan anak mereka. Karena itulah ketua kalian itu dan sebagai seorang gagah yang terhormat, ketua kalian memenuhi janjinya sikapnya itu membuat semua orang merasa kagum kepadanya“. Para anggota Hwa-li-pang itu saling pandang dan mereka tidak dapat membantah pendapat gadis itu yang dapat biacara dengan lancar namun lembut.

“Akan tetapi, nona kalau pesta pernikahan itu diadakan di sini dan diketahui oleh dunia kang-ouw, bukankah perkumpulan kami akan menjadi buah tertawaan mereka ?“ seseorang membantah.

Gadis itu mengangguk-angguk, “kalau kalian membolehkan aku bermalam disini, mungkin aku dapat menemukan suatu jalan untuk menggagalkan pernikahan itu, agar mereka segera meninggalkan tempat ini“.

Tentu saja semua anggota Hwa-li-pang menyetujui permintaan itu. Gadis berpakaian serba putih ini seorang wanita, maka tidak merupakan pantangan untuk bermalam di kuil. Mereka lalu mengajak gadis itu yang datang ke kuil seorang diri untuk memasuki kuil dan membicarakan urusan itu di dalam. Sementara itu, para tamu segera pergi meninggalkan kuil karena mereka merasa takut dengan adanya keluarga gila di situ.

****

Gadis itu di jamu oleh para anggota Hwa-li-pang di belakang kuil sambil bercakap-cakap membicarakan urusan yang sedang terjadi di Hwa-li-pang.

“Nona, kami semua mengharapkan bantuan nona untuk memecahkan persoalan yang mengancam perkumpulan kami ini. Akan tetapi sebelumnya kami ingin mengetahui siapakah nona dan dimana tempat tinggal nona“, kata kepala penjaga kuil dengan sikap ramah.

Gadis itu meletakkan sepasang sumpitnya di atas meja. Ia telah makan kenyang dan ia memberi isyarat agar perlengkapan makan itu dibersihkan dari atas meja. Setelah meja bersih, ia lalu memandang kepada orang-orang yang merubungnya di ruangan belakang kuil itu.

“Aku bermarga Kim dan namaku Lan. Aku seorang gadis perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan aku berasal dari barat, daerah pegunungan Kun-Lun“. “Kim-siocia (Nona Kim) nampaknya lemah lembut sekali, akan tetapi kami yakin nona tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi !“ kata seorang anggota Hwa-li-pang.

Kim Lan tersenyum manis, “Semua orang tentu memiliki sesuatu kepandaian tertentu, akan tetapi hanya orang bodoh yang menyombongkan kepandaiannya itu. Aku hanya seorang gadis biasa saja, tiada bedanya dengan para gadis lainnya.

“Nona Kim, bagaimanakah caranya untuk mencegah pernikahan gila gila itu ?“ tanya kepala penjaga kuil.

“Kita melihat tadi. Pemuda yang hendak dinikahkan dengan gadis gila itu agaknya berada dibawah tekanan mereka. Dia tentu di tangkap dan dipaksa dan mungkin sekali dia di racuni. Aku pernah mempelajari tentang pengobatan dan aku melihat tanda-tanda bahwa dia itu keracunan. Hal ini perlu di selidiki lebih dulu untuk menentukan apa yang selanjutnya akan kita lakukan.”

“Akan tetapi bagaimana caranya untuk menyelidiki hal itu ? Kalau kita langsung bertanya kepadanya, tentu keluarga gila itu akan marah dan kita akan di pukul, juga belum tentu pemuda itu berani bicara sebenarnya“.

“Jangan khawatir. Serahkan tugas itu kepadaku. Aku akan menyamar sebagai seorang anggota Hwa-li-pang dan biarkan aku membawakan makanan dan minuman untuk mereka, terutama untuk membawakan makanan ke kamar pemuda itu. Aku yang akan menyelidiki“.

Para anggota Hwa-li-pang bernapas lega. Mereka merasa gentar untuk melayani keluarga gila itu. Baru membayangkan melayani mereka, terutama kakek gila itu saja, mereka sudah merasa ngeri. Apalagi kalau melayani sambil mencari kesempatan bicara dengan pemuda tawanan mereka. Kalau ketahuan, ah, mengerikan !. Baiklah, Kim-Sio-cia itu merupakan gagasan yang baik sekali ! Akan tetapi selanjutnya bagaimana ?“ tanya kepala penjaga kuil.

“Kalau dugaanku benar bahwa pemuda itu keracunan, aku akan memberinya obat agar dia disembuhkan. Setelah itu aku akan mencari akal untuk membebaskannya dari kurungan keluarga itu. Kalau pemuda itu sudah bebas dan pergi dari sini, maka tanpa kita usir lagi, keluarga gila itu pasti akan pergi sendiri mencari pemuda itu“. Semua anggota Hwa-li-pang yang mendengar ini menjadi gembira sekali.

“Nona Kim merupakan seorang penolong besar dari perkumpulan kami !“ kata mereka.“ Sekarang harap kalian melapor kepada pang-cu kalian tentang usahaku, karena sebelum mendapatkan ijin darinya, bagaimana aku berani melaksanakannya ?“.

Kepala penjaga kuil bergegas pergi melapor dan mendengar akan usaha gadis berpakaian putih untuk menolong Hwa-li-pang, Pek Mau To-kouw menjadi senang sekali. Ia pun segera pergi ke kuil untuk menemui Kim Lan. Kim Lan segera bangkit dari tempat duduknya ketika melihat Pek Mau To-kouw memasuki ruangan itu dan memberi hormat. Pek Mau To-kouw membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan sejenak ia mengagumi kecantikan gadis berpakaian serba putih itu.

“Pang-cu, maafkan kelancanganku,“ kata Kim Lan.

“Siancai..... apakah nona yang bernama Kim Lan seperti dilaporkan muridku tadi ?“.

“Benar, pang-cu“ kata Kim Lan.

“Silahkan duduk, nona“.

Mereka duduk kembali dan sejenak mereka saling pandang. Kim Lan merasa kagum dan suka kepada To-kouw itu, seorang pendeta wanita yang rambutnya sudah putih semua seperti benang perak, namun wajahnya masih sehat segar kemerahan. Tentu dahulu To-kouw ini cantik sekali, pikirnya. Gerak geriknya halus, namun ilmu silatnya tinggi.

“Nona Kim Lan, sekarang ceritakan lebih dulu mengapa nona bersusah payah hendak menolong Hwa-li-pang, padahal pertolongan itu mungkin saja membahayakan keselamatan nona sendiri ?“ To-kouw itu memandang penuh perhatian seperti hendak menyelami hati gadis cantik itu.

“Pang-cu, sudah menjadi kewajiban dalam hidupku untuk berusaha sedapat mungkin membantu mereka yang sedang berada dalam kesukaran maka melihat peristiwa tadi tentu saja aku tidak dapat berpangku tangan tanpa mengulurkan bantuan. Ada dua pihak yang terancam dan membutuhkan bantuan , yaitu pemuda itu dan Hwa-li-pang Karena itulah, aku hendak membantu sebisaku, tanpa pamrih dan untuk itu aku berani menghadapi bahaya“.

“Siancai.... ! Nona masih begini mudah sudah memiliki jiwa pendekar yang besar. Kami merasa kagum sekali, Nah, sekarang jelaskan bantuan sapa yang dapat kauberikan untuk mengatasi gangguan ini. Kami sudah memberikan janji kepada keluarga gila itu untuk tinggal di sini sampai pesta pernikahan dilangsungkan dan kami tidak akan mengingkari janji“.

“Tidak perlu mengingkari janji, pang-cu. Kita harus berusaha agar mereka itu pergi sendiri tanpa kita minta. Dan kuncinya ada pada pemuda yang akan mereka nikahkan dengan puteri mereka itu. Kalau pemuda itu dapat kita loloskan dari sini, aku yakin keluarga gila itupun akan pergi sendiri mencarinya dan meninggalkan Hwa-li-pang ini“.

Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk “memang bisa terjadi. Akan tetapi aku melihat pemuda itu seperti seorang totol. Bagaimana mungkin dia dapat melepaskan diri dari pengejaran mereka. Biarpun andaikata kita dapat meloloskan dia akan tetapi kalau dia tertawan kembali, tentu mereka akan kembali ke sini“.

“Pemuda itu tidak tolol, pang-cu. Akan tetapi dia keracunan“.

“Keracunan ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia keracunan, nona ?“.

“Pang-cu, sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu pengobatan maka dari gejala-gejala yang dapat kulihat dari wajah dan sikap pemuda itu, aku tahu di di racuni oleh keluarga itu. Untuk menekannya agar dia mau dinikahkan dengan gadis itu. Tanpa paksaan, bagaimana mungkin ada pemuda mau di jodohkan dengan seorang gadis gila ?”.

Kembali Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk “Engkau benar sekali, nona. Akan tetapi yang kukhawatirkan, andaikata engkau dapat menyembuhkannya dia dapat meloloskan diri, tentu keluarga gila itu akan mengejar dan mencarinya. Pemuda itu kelihatan tolol dan mana mampu menolak keinginan mereka ?“.

“Itu soal nanti, pang-cu. Yang terpenting, aku akan memeriksa pemuda itu dan mengobatinya sampai sembuh. Kemudian, soal pelariannya dapat kita rundingkan kembali. Bisa saja kita menggunakan akal misalnya kalau pemuda itu melarikan diri ke timur, kita ramai-ramai mengatakan bahwa pemuda itu lari ke lain jurusan. Dan siapa tahu, pemuda itu dapat menyembunyikan dirinya dan dapat mengharapkan bantuan orang lain“.

“Baiklah, nona. Agaknya engkau telah mempunyai rencana yang demikian matangnya. Sungguh menganggumkan sekali dan aku menyetujui semua apa yang hendak nona kerjakan“.

To-kouw itu lalu mengundurkan diri kembali ke rumahnya karena ia tidak ingin keluarga gila yang lihai itu mengetahui tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Ketika berjalan perlahan kembali ke rumahnya, to-kouw itu masih mengangumi gadis yang cantik luar biasa dan pandai membawa diri, bicaranya teratur dan sopan, dan kecerdikannya luar biasa. Tiba-tiba teringatlah ia kepada Ang Swi Lan, puterinya sendiri yang di culik orang sejak kecil dan sampai sekarang tidak ada kabarnya itu.

Ia melamun , kalau Swi Lan masih berada padanya, tentu kini usianya sebaya dengan gadis berpakaian putih itu. Ia merasa isi kepada orang tua Kim Lan. Betapa bahagianya hati orang tua Kim Lan mempunyai seorang anak sepertinya. Di dalam sebuah kamar di kuil itu, Kim Lan berdandan. Ia mengenakan pakaian yang biasa di pakai anggota Hwa-li-pang, yang biasa menjadi pelayan, mengubah gelung rambutnya dikuncir ke belakang dan diikat pita hijau seperti semua anggota Hwa-li-pang, kemudian ia membawa baki berisi mangkok makanan dan poci minuman, keluar dari kamar itu.

Kepala penjaga menjaga kuil menghampirinya dan memeriksa keadaan pakaian dan rambutnya, dan mengangguk-angguk, tanda bahwa penyamaran Kim Lan cukup baik. Kemudian Kim Lan membawa baki itu melalui jalan tembusan menuju ke rumah induk dimana empat orang tamu itu berada. Tentu saja ia sudah mempelajari dengan seksama letak dan keadaan rumah induk itu, dimana kamar-kamar yang di tempati keluarga gila itu, dan dimana pula kamar untuk Han Sin.

Tibalah ia di sebuah lorong dimana kamar-kamar itu berjajar. Ia sudah di beritahukan bahwa kamar pertama merupakan kamar suami istri gila itu, kamar ke dua adalah kamar pemuda itu dan kamar ketiga kamar si gadis gila. Ia harus pergi ke kamar nomor dua. Kim Lan memperingan langkahnya, dengan hati-hati ia melewati kamar pertama. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri suami istri gila itu. Wajah Kim Lan berubah pucat dan matanya terbelalak ketakutan.

“Hik-hik-hik, siapa kau dan mau apa datang ke sini“ Bentak nenek gila itu sambil menyeringai. Saking kaget dan takutnya, Kim Lan hanya terbelalak dan tidak mampu menjawab. Kui Mo memegang pundak gadis itu dan mengguncangnya.

“Hayo jawab ! Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini !“.

“A......ku... pelayan dan di..... di suruh mengantar makanan ini ke kamar nomor dua.........” jawabnya dengan suara gemetar.

“Eihhhhh ! Kenapa tidak ke kamar nomor satu lebih dulu ? Seharusnya kami yang lebih dulu dikirim makanan !” bentak Liu Si.

“Menurut pang-cu, makanan untuk pengantin pria harus didahulukan, barulah pengantin wanita dan orang tuanya, yang akan di antar oleh pelayan lain“ jawab Kim Lan dengan hati-hati sekali.

“Oh, ha-ha-ha, pang-cu itu benar, isteriku ! Harus menaati adat istiadat ! Nah, biarlah mantuku mendapatkan kiriman lebih dulu, hayo kita masuk ke kamar !“ dua orang itu berkelebat dan sudah kembali ke kamar mereka. Setelah mereka pergi, barulah sikap ketakutan yang dibuat-buat tadi
hilang dari wajah Kim Lan. Ia melangkah maju lagi menghampiri pintu kamar nomor dua. Ia mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang terlatih baik itu dapat mendengar gerakan orang di sebelah dalam kamar itu. Ia mengetuk lagi, tiga kali.

“Tuk-tuk-tuk !“

“Siapa diluar ?” terdengar pertanyaan suara wanita, dekat sekali ! Dengan daun pintu.

“Pelayan, mengantar makanan untuk kong-cu (tuan muda) !“ kata Kim Lan.

Daun pintu terbuka dari dalam dan Kui Ji yang menyambut Kim Lan di depan pintu, dengan tongkat ularnya siap ditangan untuk menyerang. Kim Lam memperlihatkan wajah ketakutan.

“Nona, saya hanya pelayan yang di haruskan mengantar makanan untuk tuan pengantin“ Katanya. Kim Lan melihat pemuda berpakaian putih itu duduk di depan dan sepasang mata pemuda itu memandang kepadanya penuh selidik, kemudian mata itu terbelalak tanda bahwa pemuda itu telah mengenalnya dan mengetahui bahwa ia bukan seorang pelayan.

“Hik-hik-hik, bagus, bagus ! Bawa makanan masuk untuk suamiku“ Lalu ia membalik dan berkata kepada Han Sin “Suamiku, engkau telah dikirimi makanan dan minuman, nikmatilah hidanganmu ! Hai, kau ! Letakkan saja baki itu di atas meja. Aku sendiri yang akan melayani suamiku. Engkau pelayan cantik pergilah saja. Cepat !“.

Akan tetapi Kim Lan menghadapi Kui Ji dengan berani. Dua pasang mata itu bertemu pandang. Mata Kim Lan penuh wibawa dan mulutnya berkemak-kemik, lalu tangan kiri gadis itu di angkat keatas, jari-jari tangannya bergerak di depan muka Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji lalu terhuyung ke tempat tidur, menguap dan mengeluh. “Ahhhhh, ngantuk sekali........ ingin tidur......... “ Dan ia menjatuhkan diri rebah di pembaringan, terus pulas !.

Sejak gadis itu masuk, Han Sin sudah memandangnya dengan heran sekali. Begitu melihat wajah itu dan bertemu pandang, dia merasa sudah pernah melihatnya dan kemudian dia teringat. Gadis berpakaian serba putih itu ! Menyamar sebagai pelayan ! Apa maunya ? Dia mengamati terus dan melihat betapa dua orang gadis itu saling berhadapan, betapa pelayan itu mengangkat tangan menggerak-gerakkan jarinya dan pandang matanya terhadap Kui Ji demikian mencorong penuh wibawa, ketika melihat Kui Ji terhuyung, kemudian menjatuhkan diri dipembaringan terus pulas, dia terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari gurunya TiongGi Hwesio, tentang adanya semacam ilmu yang di sebut i-hun-to-hoat (hypnotism), yaitu ilmu mempengaruhi pikiran orang lain.

Dengan ilmu itu orang dapat menguasai pikiran orang lain dan menyuruh orang itu berbuat apa saja sekehendak hati orang yang menguasai ilmu itu. Apakah gadis ini tadi menggunakan i-hun-to-hoat itu? Gurunya mengatakan bahwa ilmu itu termasuk ilmu sesat karena biasanya di gunakan orang untuk perbuatan jahat, makanya gurunya melarang dia mempelajari ilmu semacam itu.

“Nona....“ katanya akan tetapi pelayan itu menaruh telunjuk di depan bibirnya yang merah membasah sambil menuding ke arah kamar sebelah yang ditempati suami istri gila. Dia mengerti bahwa berbicara keras dapat terdengar oleh kedua orang yang lihai itu dan dia mengangguk. Kim Lan melangkah ringan sekali menghampiri Han Sin yang sudah bangkit berdiri dan gadis itu berbisik lirih “Engkau keracunan“.

Han Sin terbelalak memandang gadis itu dengan kagum, “Benar, bagaimana engkau bisa tahu ?“ katanya berbisik. “aku akan mengobatimu akan tetapi aku harus tahu lebih dulu racun apa yang memasukitubuhmu“.

“Aku terkena racun pelemas otot“ kata Han Sin. “nenek gila itu yang melukaiku“. Gadis itu mengangguk-angguk “Duduklah, aku akan memeriksamu sebentar dan buka baju atasmu“.

Han Sin masih merasa heran sekali dan kagum, akan tetapi dia menurut. Dia duduk di atas bangku dan menanggalkan bajunya. Tanpa ragu lagi ia lalu memeriksa kedua pundak, dada dan pergelangan tangan pemuda itu.

“Aku tahu mereka bukan orang-orang kejam. Racun ini tidak membahayakan nyawamu, hanya membuat otot-ototmu lemas, aku dapat mengobatimu“.

Gadis itu lalu mengeluarkan beberapa batang jarum emas dan perak yang di bungkus rapi dari balik bajunya. Kemudian ia mulai menusukkan jarum-jarum itu pada jalan-jalan darah di tubuh Han Sin. Kemudian ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk merah dan mencampurnya dengan air teh yang tadi dibawanya. “Minumlah ini“.

Han Sin menaati permintaannya. Setelah kurang lebih seperempat jam, mereka dikejutkan oleh ketukan pada pintu dua kamar di sebelah.

“Jangan takut, itu tentu pelayan yang mengantar makanan kepada suami istri itu dan kepada kamar gadis ini“.

Dari kamar itu mereka dapat mendengar suara tawa bergelak dan cekikikan dari suami isteri yang menerima kiriman makanan dan minuman. Kim Lan membuka daun pintu perlahan dan melihat pelayan masih mengetuk pintu kamar Kui Ji, ia lalu menggapai dan pelayan itu menghampirinya dan berkata “Nona, ini makanan dan minuman untuk nona“.

Kim Lan mengangguk dan mengedipkan matanya, lalu menyuruh pelayan itu pergi setelah ia menerima baki terisi makanan dan minuman itu dan meletakkan nya di atas meja. Pintu kamar di tutup nya kembali dan ia melanjutkan pengobatannya. Setelah jarum-jarum itu di getar-getarkan beberapa kali, ia mencabuti kembali jarum-jarum itu. Lalu diperiksanya badan Han Sin.

Han Sin merasa betapa kini dia mampu menggerakkan sin-kangnya. Pada saat di menggerakkan sin-kangnya, Kim Lan sedang memeriksa nadinya dan gadis itu terkejut bukan main, cepat melepaskan lengan Han Sin “Aih, engkau memiliki sin-kang yang kuat sekali“ katanya lirih sambil memandang dengan heran kepada pemuda itu. Akan tetapi Han Sin seperti tidak mendengar ucapan itu. Dia terlalu girang dan cepat-cepat dia menjura sampai dalam di depan gadis itu.

“Nona, Banyak terima kasih ku haturkan kepadamu. Engkau telah menyembuhkan ku. Aku sudah terbebas dari pengaruh racun itu !“.

“Bagus, akan tetapi harap jangan tergesa-gesa mencoba untuk membebaskan diri. Mereka itu terlalu lihai dan kalau engkau melarikan diri sekarang, tentu mereka akan mencurigai pelayan dan orang-orang Hwa-li-pang, Mungkin mereka menjadi marah dan mengamuk di sini. Karena itu, kalau hendak melarikan diri, tunggu sampai malam nanti“.

“Aku mengerti, nona. Akan ku taati petunjuk mu. Akan tetapi, siapakah engkau nona ? Aku harus mengetahui nama penolongku...........“

Kim Lan tersenyum dan memandangnya. Pertemuan dua pasang sinar mata itu membuat Han Sin terpesona. Dia merasa seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang langsung menembus menghujam ulu hatinya !.

“Tidak perlu kau ingat lagi sedikit bantuan ini, hati-hati , bersikaplah biasa seperti tadi, dan katakan bahwa pelayan datang mengirim makanan untuknya. Ajaklah dia makan minum agar ia bergembira dan tidak menaruh curiga“. Kim Lan cepat keluar dari kamar itu dan ketika di ambang pintu, ia membalik, memandang ke arah tubuh Kui Ji, lalu ia mengangkat tangan kirinya, jari-jari tangannya bergerak ke arah Kui Ji.

Aneh sekali, Kui Ji menguap dan mengeluh , kemudian bergerak. Akan tetapi daun pintu telah tertutup kembali dan Kim Lan sudah pergi dari situ.

“ Aihhhhh........ aku mengantuk. Ehhhhhhhh ? Apa aku tertidur ?“ Kui Ji memandang pada Han Sin.

“Hemmm, engkau tertidur pulas sampai tidak tahu ada pelayan mengantar makanan ke kamar mu. Aku suruh ia menaruhnya di atas meja ini. Marilah kita makan, perutku sudah lapar“.

“Hik-hik-hik, engkau mengajak aku makan ? He-he, nah begitulah suamiku, bersikaplah manis dan mencintaiku, habis siapa lagi ?“ Dalam ucapan yang janggal ini terkandung penyesalan dan diam-diam Han Sin merasa kasihan kepada gadis yang seolah haus akan kasih sayang ini. Mereka lalu makan minum dan Han Sin benar-benar bersikap ramah kepada Kui Ji sehingga gadis ini menjadi semakin kegirangan. Akan tetapi setelah selesai makan, Han Sin minta agar Kui Ji kembali ke kamarnya.

“Sekarang kembalilah ke kamarmu, adik Kui Ji yang baik. Aku ingin beristirahat“.

Kui Ji dengan manja menggandeng lengan Han Sin, “Aihhh, suamiku kenapa aku tidak boleh beristirahat bersamamu di kamar ini ?“

“Jangan Kui Ji, kalau saja mertua melihatnya tentu dia akan menjadi marah“ sekali ini Han Sin bicara dengan keras dengan harapan agar terdengar oleh suami isteri yang berada di sebelah.

“Aaih, suamiku....“ Kui Ji masih membantah dan merengek. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Kui Mo dan Liu Si.

“Kui Ji , apa yang kau lakukan di sini ? Tidak tahu aturan kau ! Hayo kembali ke kamarmu. Mana ada pengantin wanita berkeliaran ke kamar pengantin pria, padahal mereka belum menikah dengan sah?“.

Liu Si menghampiri anaknya dan menjewer telinganya, lalu dituntunnya keluar dari kamar itu sambil mengomel. Kui Mo memandang Han Sin sambil tersenyum menyerengai dan mengangguk.

“Bagus, mantuku. Engkau harus mengajar kesopanan kepada anakku itu !“. Lalu dia membalikkan diri dan keluar dari kamar itu dengan langkah lebar.

Han Sin menutupkan daun pintu kamarnya lagi dan memasang palang pintunya. Dia tidak mau di ganggu lagi. Lalu dia duduk bersila di atas pembaringan dan menggerakkan kedua tangan, menyembah ke atas lalu kedua tangan di tarik ke bawah, melewati dada sampai ke ta-tian. Semua ini dia lakukan sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya di aliri hawa hangat itu. Tidak ada otot yang buntu. Kesehatannya pulih sama sekali ! Tentu saja dia merasa girang bukan main dan sepasang mata yang indah itu tiba-tiba terbayang olehnya. Pemilik sepasang mata itulah yang telah menyelamatkannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan mata itu. Dia lalu memejamkan mata dan duduk bersemedhi untuk menghimpun kekuatannya.

*****

Sesosok bayangan hitam dengan gesitnya berjalan di atas kuil Hwa-li-pang. Langkah-langkahnya bagaikan langkah seekor kucing saja, tidak mengeluarkan bunyi. Para anggota Hwa-li-pang yang tinggal di kuil itu sama sekali tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tidak demikian dengan Kim Lan. Gadis cantik yang malam itu tinggal di kuil, dari dalam kamarnya ia dapat mengetahui bahwa di atas genteng kuil ada seorang yang sedang berjalan dengan gerakan ringan. Pendengarannya yang terlatih dapat menangkah langkah-langkah itu, walaupun hampir tidak mengeluarkan bunyi.

Ia tersenyum dan meniup lilin di atas mejanya, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dari jendela. Ketika ia tiba diluar dan memandang ke atas, dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali. Ia pun cepat melompat naik ke atas atap kuil, melakukan pengejaran. Bayangan hitam itu kelihatan terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik berpakaian erba putih. Akan tetapi bayangan hitam itu tidak sempat lari melarikan diri dan dia menghadapi Kim Lan dengan tongkat ditangan.

“Hemmm, bukankah engkau pengemis yang tadi pagi minta sepatu dari ketua Hwa-li-pang ?” Tegur Kim Lan sambil memandangtajam. Cuaca hanya mendapat penerangan dari bintang-bintang sehingga keadaannya hanya remang-remang saja, akan tetapi Kim Lan dapat mengenali pengemis muda yang pagi tadi bertanding melawan nenek gila.

“he-he,dan bukankah engkau gadis berpakaian putih yang pagi tadi bersembahyang di kuil?“ pengemis muda itu balas menegurnya.

“Mau apa engkau datang ke kuil malam-malam begini dan mengambil jalan seperti seorang penjahat? Apakah engkau hendak mencuri atau merampok sesuatu di kuil ini ?” Kim Lan menegur pula.

“Dan engkau sendiri, bukan penghuni kuil mengapa tinggal di sini ?” Pengemis muda itu balas menegurnya. Kim Lan berpikir sejenak. Agaknya pengemis muda itu bukan penjahat dan ia sendiri baru saja kembali dari rumah induk setelah berhasil mengobati pemuda yang di tawan keluarga gila itu. Kalau terlalu lama mereka berdua bicara di atas kuil, mungkin saja akan terlihat oleh keluarga gila itu yang berada di rumah induk. Ia harus berhati-hati.

“Sobat, marilah kita bicara di bawah !“ katanya dan Kim Lan mendahului pengemis itu melayang ke bawah.

“Baik ! Aku memang membutuhkan penjelasanmu !” kata di pengemis yang juga melayang turun. Hampir berbareng mereka tiba dibawah dan dan kaki mereka tidak menimbulkan suara ketika mereka hinggap di atas lantai. Dari gerakan ini saja keduanya mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Kini mereka dapat saling pandang dengan jelas, dibawah sinar lampu gantung. Pada saat itu, anggota Hwa-li-pang yang menjadi kepala penjaga kuil, terbangun dan mendengar percakapan itu iapun keluar dari kamarnya dan memandang heran kepada pengemis muda itu.

“Heiii ! Laki-laki dilarang memasuki kuil ! Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini ?“ Bentaknya.

“Ssstttt, aku bukan penjahat“, pengemis muda itu menaruh jari telunjuknya di depan mulut. “Mari kita bicara di dalam“.

Mereka lalu memasuki ruangan belakang dan Kim Lan memandang tajam lalu bertanya “Sobat, engkau harus menjelaskan kepada kami apa maksudmu malam-malam begini memasuki kuil lewat atap ?“.

“Aku hendak menyelidiki dimana keluarga gila dan pemuda berpakaian putih itu berada“, jawab si pengemis muda.

“Mau apa engkau menyelidiki itu ?”

“Nona baju putih, apakah engkau tidak melihat ? Keluarga gila itu jahat dan meraka telah menawan pemuda pakaian putih itu yang hendak di nikahkan dengan puteri keluarga gila. Aku yakin bahwa pemuda itu ditekan dan terpaksa menuruti kehendak mereka. Karena itu aku ingin membebaskannya dari cengkraman keluarga gila itu !“.

Mendengar ini dan menatap sepasang mata yang tajam itu, Kim Lan merasa lega. “bagus sekali kalau begitu karena akupun mempunyai niat yang sama. Kalau begitu kita dapat bekerja sama, sobat !“.

Pengemis muda itu memandang gembira, “Ah, begitukah ? Aku pergi tadi melihat nona di antara mereka yang sembahyang, tidak ku sangka sama sekali bahwa nona adalah seorang gadis yang berilmu tinggi dan aku senang sekali bekerjasama dengan nona untuk menolong pemuda tolol yang menjadi tawanan itu !“.

“Akupun senang dapat bekerjasama denganmu, adik yang baik. Akan tetapi bolehkah kami mengetahui namamu dan siapa pula gurumu ?“.

Pemuda pengemis itu tersenyum dan wajahnya yang berlepotan itu nampak tampan sekali ketika ia tersenyum. “Enci yang baik, namaku Cu Sian dan tentang guruku, dia adalah mendiang ayahku sendiri. Aku berasal dari Tiangan“.

“Kuharap aku salah menyangka ketika menanyakan tadi apakah engkau hendak mencuri atau merampok” kata Kim Lan.

“Ternyata engkau hendak menolong pemuda itu, maafkanlah aku dan namaku adalah Kim Lan“.

Pengemis itu mengerutkan alisnya dan cemberut. “Enci Lan, jangan memandang remeh kepadaku. Biarpun aku seperti kere begini, akan tetapi aku tidak pernah mencuri atau merampok. Bekalku cukup banyak, lihatlah“ Dia mengeluarkan sebuah kantung kain dari sakunya dan membuka kantung itu. Ternyata isinya penuh dengan potongan-potongan emas.

Kim Lan tersenyum “Aku tadi sudah minta maaf, adik Cu Sian. Sekarang aku ingin bertanya bagaimana caramu hendak menolong pemuda itu ?“.

“Bagaimana lagi ? Tentu dengan mencari kamarnya, kalau sudah kudapatkan, aku memasuki kamarnya, menotoknya dan membawanya lari keluar dari sini !“.

“Aihhh, engkau terlalu memandang ringan keluarga gila itu. Mereka itu sungguh lihai dan kalau engkau menggunakan cara itu, sebelum memasuki kamar pemuda itupun engkau sudah akan ketahuan dan di keroyok. Pagi tadi engkau sudah merasakan betapa hebatnya kepandaian nenek gila itu. Puterinya juga lihai, apalagi suaminya“.

“Aku tidak takut !” Pengemis muda itu berkata dengan nada menantang.

“Bukan soal takut atau berani,“ kata Kim Lan yang wataknya sabar dan tenang. “Akan tetapi kalau terjadi begitu, berarti engkau telah gagal membebaskan pemuda itu. Sebaliknya kalau engkau bekerjasama dengan kami, tentu akan berhasil“.

Cu Sian segera memperhatikan gadis itu dengan mata mengandung penuh pertanyaan. “Bagaimana caranya, enci ? Katakanlah , tentu saja aku suka bekerjasama denganmu agar usaha kita berhasil menyelamatkan pemuda tolol itu“.

Kim Lan tersenyum mendengar pemuda itu di tolol-tololkan oleh pengemis muda itu. “Kalau dia itu pemuda tolol, lalu kenapa engkau berkeras menolongnya ?“.

“Enci Lan, justeru karena dia tolol maka aku ingin menolongnya ! Kalau dia tidak tolol, tidak mungkin akan dapat di tawan keluarga gila itu ! Nah, bagaimana cara kita untuk membebaskannya ?“.

Begini, malam ini sebaiknya engkau jangan bertindak. Kalau engkau bertindak, bukan saja engkau akan gagal, akan tetapi juga keluarga gila itu akan mencurigai Hwa-li-pang dan tentu akan membalas dendam kepada Hwa-li-pang . Sebaiknya besok malam saja engkau datang lalu kita mengatur siasat agar pemuda itu dapat lolos akan tetapi keluarga gila itu tidak menuduh Hwa-li-pang ikut bersekutu untuk membebaskan tawanan mereka“, Kim Lan lalu dengan singkat menceritakan betapa ia telah mengobati pemuda tawanan itu yang ternyata keracunan. Kemudian mereka bercakap-cakap bertiga, membicarakan rencana mereka untuk membebaskan pemuda itu besok malam. Setelah itu, Cu Sian lalu meninggalkan kuil itu karena bagaimanapun juga, Kepala penjaga kuil merasa keberatan kalau seorang pria bermalam di kuil itu.

Pada keesokan harinya, keluarga gila itu masih belum menaruh curiga. Han Sin bersikap biasa saja, tetap kelihatan lemas tak berdaya dan hanya senyum-senyum ketololan, Mereka kelihatan senang tinggal di Hwa-li-pang, namun ternyata bahwa keluarga ini tidak membuat ulah yang macam-macam.

Malamnya, semua telah direncanakan oleh Kim Lan dan Cu Sian. Bahkan Han Sin telah diberitahu oleh Kim Lan dengan cara menyeludupkan tulisan ketika ia menyamar sebagai pelayan dan mengirim makanan ke kamar Han Sin. Dari surat yang di selundupkan itu Han Sin mengetahui bahwa gadis berpakaian putih bermata bintang itu telah menyusun rencana untuk menyelamatkannya dan meloloskannya tanpa membuat keluarga gila itu mencurigai Hwa-li-pang. Maka, malam itu diapun sudah siap siaga, menanti gerakan pengemis muda yang di ceritakan dalam surat Kim Lan. Pengemis muda itu akan memancing agar suami isteri gila itu meninggalkan kamar mereka di sebelah kamarnya.

Pek Mau To-kouw juga sudah tahu akan rencana itu, dan ia bersikap biasa pura-pura tidak tahu saja. Demikian pula, semua anak buah Hwa-li-pang di pesan agar malam itu tidak mencampuri keributan yang terjadi situ, kecuali belasan orang yang berjaga yang diberi tugas untuk mengeroyok Cu Sian kalau pengemis muda itu muncul. Tentu saja pengeroyokan inipun hanya siasat Kim Lan saja. Malam itu sunyi karena hawa udara di luar amat dinginnya. Juga cuaca hanya remang-remang oleh cahaya jutaan bintang. Tiba-tiba keheningan malam itu dipecahkan oleh suara yang lantang, yang datangnya dari halaman rumah induk Hwa-li-pang .

“Haiiii .... ! Nenek gila, keluarlah kalau memang engkau berani dan gagah ! Kita lanjutkan pertandingan kita kemarin dulu ! Hayo keluar ! Apakah engkau pengecut gila yang tidak berani menyambut tantangku !“.

Mendengar teriakan lantang ini, belasan orang anggota Hwa-li-pang yang pada malam hari itu bertugas jaga, segera berlari-lari mendatangi halaman itu. Di situ telah berdiri seorang pengemis muda berbaju hitam yang memegang tongkat.

“Pengemis kurang ajar ! Hayo minggir dari sini !“ Bentak para penjaga dan mereka segera mengepung dan mengeroyok pengemis muda. Cu Sian, pengemis itu melayani pengeroyokan mereka dengan tongkatnya dan dalam beberapa gebrakansaja sudah ada empat orang anggota Hwa-li-pang yang terpelanting ke kanan kiri !.

“Heeiii, Nenek gila ! Pengecut kau, berlindung di belakang orang-orang Hwa-li-pang ! Hayo keluar, nenek pengecut gila !“ Cu Sian memaki-maki dengan suara lantang sambil berlompatan ke sana kemari melayani pengeroyokan para penjaga itu. Kembali dua orang terpelanting roboh oleh sapuan tongkatnya.

Teriakannya yang lantang itu tentu saja terdengar oleh suami istri gila yang berada di kamar mereka . Liu Si menjadi marah sekali karena dia di tantang dan dimaki pengecut. “Jahanam busuk , itu tentu pengemis kelaparan itu !” bentaknya dan ia pun melompat keluar dari kamarnya .

Kui Mo yang tidak ingin melihat isterinya celaka, segera melompat pula mengejar isterinya menuju ke halaman depan. Mereka berdua segera melihat betapa pengemis muda yang kemarin dulu berkelahi dengan Liu Si mengamuk dan merobohkan banyak anggota Hwa-li-pang sehingga kepungan itu menjadi kocar kacir.

Liu Si marah sekali. “Setan cilik, kiranya engkau yang mengantar kematian ! Mundur kalian semua !“ teriaknya. Mendengar teriakan ini, sisa anggota Hwa-li-pang yang mengepung Cu Sian segera mundur dan membiarkan nenek itu menghadapi Cu Sian.

Melihat nenek itu, Cu Sian tertawa bergelak, “ha-ha-ha, ku kira engkau hanya seorang nenek pengecut yang berlindung pada Hwa-li-pang. Kalau memang berani dan gagah, mari kita berkelahi sampai mati diluar agar orang-orang Hwa-li-pang tidak mengeroyok ku !“ setelah berkata demikian, dia tidak memberi kesempatan kepada nenek itu untuk menjawab karena tubuhnya sudah melompat jauh dan berlari keluar dari pintu halaman.

“Setan, siapa takut padamu !“ Liu Si membentak dan ia pun lari keluar mengejar. Suaminya juga mengejar, akan tetapi anak buah Hwa-li-pang tidak ada yang ikut mengejar, seolah tidak mau terlibat urusan keluarga gila itu.

Teriakan Cu Sian yang memecahkan kesunyian malam itu terdengar pula oleh Han Sin dan Kui Ji. Gadis gila yang tak pernah melepaskan perhatiannya terhadap Han Sin, segera keluar dari kamarnya dan menerjang daun pintu kamar Han Sin sehingga terbuka. Ia meloncat ke dalam memegang tongkat ularnya. Ia melihat Han Sin juga sudah bangun dari tidurnya dan pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan, Kui Ji tertawa girang. “Suamiku yang baik, engkau terbangun oleh ribut-ribut itu ? Jangan takut , aku datang melindungimu“ Kui Ki menghampitri pembaringan.

Han Sin tersenyum, kesehatannya telah pulih dan kalau dia menghendaki tentu saja sejak pagi tadi dia dapat melarikan diri atau kalau perlu melawan keluarga gila itu. Akan tetapi dia menaati pesan dalam surat nona baju putih itu. Dia harus melarikan diri sehingga tidak melibatkan Hwa-li-pang.

“Kui Ji, sekarang tiba saatnya aku membebaskan diri darimu !“ berkata demikian, Han Sin melompat turun dari pembaringan. Melihat gerakan Han Sin yang gesit. Kui Ji terkejut dan heran, akan tetapi tentu saja ia tidak ingin Han Sin melarikan diri maka ia lalu menyerang dengan tongkat ularnya untuk menotok roboh pemuda itu. Makin terkejutlah Kui Ji ketika tongkat itu dengan mudah di tangkap oleh Han Sin dan sekali pemuda itu mendorong Kui Ji terjengkang dan terguling-guling di lantai kamar. Gadis itu melihat Han Sin meloncat keluar jendela. Ia juga meloncat bangun, dan melakukan pengejaran keluar dari jendela kamar itu. Setibanya diluar jendela, ia menengok ke kanan-kiri karena tidak melihat bayangan Han Sin, mendadak ada bayangan putih berkelebat di depan kiri dan bayangan putih itu berlari memasuki kebun samping bangunan.

Kui Ji girang dan meloncat mengejar sambil berteriak “suamiku... tunggu........ jangan tinggalkan aku........“.

Bayangan putih itu berlari terus dan setibanya di pagar tembok belakang. Ia melompat ke atas pagar tembok dan dari situ melayang keluar. Kui Ji tidak mau kehilangan yang di kejarnya, maka ia pun meloncat naik ke atas pagar tembok. Dari atas pagar ini dilihatnya bayangan putih itu berlari menuju ke selatan, maka iapun melayang keluar pagar tembok dan terus mengejar ke selatan.

Akan tetapi setelah tiba di luar sebuah hutan , tiba-tiba bayangan putih di depan itu lenyap. Kui Ji menjadi bingung dan menghentikan larinya, hanya berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Ketika melihat seorang yang berpakaian putih sedang duduk di bawah pohon, iapun cepat menghampiri. Akan tetapi setelah tiba di depan orang itu, ia merasa kecewa karena orang itu adalah seorang wanita berpakaian putih, bukan Han Sin !.

“Hei, kau .......... !“ tegurnya. “Apakah engkau melihat suamiku yang juga berpakaian putih-putih lewat sini tadi ?”.

Orang itu bukan lain adalah Kim Lan. Seperti yang telah di rencanakan, malam itu ia menanti di dekat jendela kamar Han Sin, siap membantu kalau-kalau pemuda itu mengalami kesulitan melepaskan diri dari pengejaran Kui Ji. Akan tetapi ia melihat Han Sin keluar dari jendela dan berlari menuju ke belakang bangunan seperti direncanakan pemuda itu telah lenyap ketika Kui Ji nampak keluar dari jendela itu. Maka, ia melakukan tugasnya yang kedua, yaitu memancing Kui Ji untuk mengejarnya ke jurusan yang berlawanan dengan larinya Han Sin. Ia berhasil, karena cuaca yang gelap membuat ia hanya kelihatan seperti bayangan putih, seperti juga Han Sin yang berpakaian serba putih. Ia menggunakan gin-kang untuk berlari keluar dari kebun dan menuju ke hutan itu.

Padahal, seperti rencana Han Sin berlari ke jurusan yang berlawanan, yaitu ke utara. Setelah yakin bahwa pemuda itu sudah dapat berlari juah dan Kui Ji kehilangan jejaknya. Ia lalu berhenti di bawah pohon sampai di tegur oleh Kui Ji.

“Suamiku? Aku tidak melihat seorangpun di sini?“

#6
CersilKPH 31 Mei 2016 jam 3:25pm  

Bagi rekan-rekan yang memiliki akun Facebook, mari gabung di Group Cersil Kho Ping Hoo

#7
ragilcitra 31 Mei 2016 jam 7:18pm  

Untuk melihat LINK CERITA KARYA-KARYA KHO PING HOO lainnya, Disini