Home → Cerita Pendek → YEN WANI OJO WEDI-WEDI. YEN WEDI OJO WANI-WANI
Perang Galuh Mandala - Sewupulo sudah di ambang pintu. Pasukan Galuh Mandala dalam jumlah yang culup besar dan dipimpin langsung Prabu Panji Kertapati sudah memasuki wilayah Sewupulo dan mendirikan tenda-tenda darurat di sebuah tegalan yang berjarak hanya dua kilometer saja dari istana Sewupulo.
Tegalan yang semula sepi dan hanya ditumbuhi rerumputan kini berubah menjadi lautan tenda dengan berbagai ukuran. Di tengah tegalan berdiri tenda khusus raja dan di sekelilingnya tenda para petinggi kerajaan. Kemudian tenda-tenda pejabat yang lebih rendah dan lapisan terakhir tenda para prajurit, istal kuda dan kendaraan tempur.
Panji Kertapati disetiap penyerangan selalu menggunakan taktik yang sama: mendirikan base camp tidak jauh dari keraton musuh. Efek ketegangan yang diharapkan Panji pun tercipta karena setiap saat bisa diserang atau menyerang musuh.
Taktik yang diterapkan Panji suatu taktik yang penuh resiko. Ibarat pepatah berada di kandang macan. Bahaya setiap saat mengintai. Diserang musuh secara tiba-tiba adalah resiko terbesar. Tapi itulah Panji. Kalau tidak aneh dan nyeleneh, bukan Panji namanya.
Taktik tempur dan siasat perang yang digunakan Panji bukan strategi ngawur atau sembrono, tetapi pengejawantahan dari sebuah filosofi: Yen wani ojo wedi-wedi. Yen wedi ojo wani-wani. (Kalau berani jangan takut-takut. Kalau takut jangan berani-berani). Sebuah pitutur sederhana tetapi sarat makna dan bisa menjadi motivasi dan pendorong sebuah keberhasilan.
Sebelum mengambil keputusan untuk menerapkan strategi nekat itu, Panji sudah memperhitungkan matang-matang segala kemungkinan sampai yang paling buruk sekalipun, menakar kekuatan pasukannya dan pasukan lawan serta analisa lainnya. Hasil dari semua perhitungannya bermuara pada satu kata: wani (berani). Karena wani itulah Panji tidak ragu-ragu dan berani ambil resiko: mendirikan base camp di kandang musuh!
Seorang pemimpin memang harus cerdas dan tegas. Tidak ragu dalam bertindak. Tetapi bukan tindakan ngawur dan membabi buta, namun tindakan terukur dan terarah.
"Telik sandi kita melaporkan Mbah Bondowoso dan Nini Towok telah bergabung dengan pasukan Sewupulo. Karena keduanya musuh bebuyutan kalian, maka kalian juga yang harus menghadapinya," kata Panji pada Aryo dan Euis.
"Tapi Ji, aku hampir mati di tangan si mbah kalau kamu tidak cepat menolong aku. Ilmu si mbah bukan lawan aku," kata Aryo dengan wajah cemas. Masih terbayang kekalahannya ketika melawan Mbah Bondowoso. Dirinya nyaris tewas di tangan si mbah.
"Euis juga ngeri kalo melawan si nenek pikun itu, Gusti. Euis juga hampir mati kalo tidak cepat ditolong Gusti," kata Euis senada dengan Aryo.
"Penyebab kekalahan kalian adalah karena tidak yakin pada kemampuan diri sendiri. Dari awal kalian sudah gentar. Lawan kalian memang pendekar-pendekar ternama dan belum terkalahkan. Nama besar mereka telah membuat nyali kalian ciut. Karena sudah gentar, kalian bertarung tidak optimal. Kemampuan kalian tersumbat oleh rasa takut maka kalahlah kalian," kata Panji membeberkan analisanya. "Yakinlah pada kemampuan kalian. Kalahkan rasa takut dan gentar yang bersarang di hati kalian. Mbah Bondowoso dan Nini Towok makannya masih nasi, sama seperti kalian. Selama orang itu masih makan nasi, masih bisa kalian kalahkan," sambung Panji.
Aryo dan Euis terdiam. Mereka meresapi kata-kata Panji.
"Piye, Yo? Wani?" tanya Panji pada Aryo setelah agak lama membiarkannya merenung.
"Yen koyo ngono, aku wani, Ji..." sahut Aryo.
"Yen wani ojo wedi-wedi. Bertarunglah dengan segenap kemampuan. Penuhi otakmu dengan hasrat menang, maka kamu akan melihat cara yang bisa kamu tempuh," kata Panji meyakinkan Aryo.
"Kumaha Is? Wani?" tanya Panji pada Euis.
"Mun kitu mah Euis oge wani, Gusti..." sahut Euis.
"Mun wani tong sieun-sieun. Percaya dan yakin pada kemampuan diri sendiri. Selama kamu punya keinginan yang kuat maka jalan akan terbuka. Pandai-pandailah memanfaatkan setiap peluang untuk meraih kemenangan. Ingatlah, kesempatan tidak datang dua kali. Nini Towok masih manusia, jadi pasti punya kelemahan," kata Panji.
Patih Aryo dan panglima Euis manggut-manggut. Dalam pandangan mereka, Panji, walau sebaya dengan mereka tetapi kemampuan berpikirnya kadang seperti sudah tua.
Panji kembali menerapkan filosofi yen wani ojo wedi-wedi pada dua sahabatnya. Sebuah falsafah yang mengajarkan ketegasan dalam bertindak. Tidak ragu-ragu dan percaya pada kemampuan diri sendiri karena hakikatnya manusia terlahir dibekali modal dasar dan potensi yang sama. Yang membedakannya kemudian adalah cara mengembangkannya atau membudidayakannya. Para pembudidaya yang rajin, tekun, ulet dan gigih dalam mengolah potensi dan sumber daya yang ada pada dirinya maka akan menjadi seorang pembudidaya super...
.
.
.
Pengarang | Nur S |
---|---|
HitCount | 358 |
Nilai total |