Home → Cerita Pendek → Musuh Menyerang Tanpa Pemberitahuan
Resiko menjadi pendekar: banyak musuh. Musuh menyerang tidak kenal waktu dan tidak memberi tahu dulu. Lengah, nyawa melayang. Begitulah yang terjadi pada ketua perguruan Macan Putih. Dan nyawaku juga hampir lepas dari badan. Hanya keberuntungan yang membuat aku lolos dari maut.
Namaku Rangga Sasana. Di dunia persilatan aku dikenal dengan nama Pendekar Mata Keranjang. Entah bagaimana aku bisa mendapat gelar tersebut. Mungkin karena sifat flamboyanku yang sering menggoda para pendekar wanita dan tidak bisa tahan bila melihat wanita cantik. Pacarku lebih dari satu. Namun aku berusaha agar pacar-pacarku tidak saling mengenal. Di depan mereka aku seperti laki-laki setia. Namun sepandai-pandainya aku menyembunyikan pacarku dari pacarku, akhirnya mereka tahu juga. Dan tamatlah riwayatku. Mereka semua mengamuk dan memutuskan aku. Dewi Racun, pacar pertamaku benar-benar murka dan sakit hati padaku. Kesetiaannya aku khianati. Buntut dari sakit hatinya dia tega meracuniku. Tentu saja secara diam-diam dan diluar pengetahuanku. Aku tahu telah diracuni oleh mantan pacarku setelah peristiwa yang nyaris merenggut nyawaku.
Karena galau diputus oleh pacar-pacarku aku mengunjungi paman Wiguna, ketua perguruan Macan Putih. Sebelum menjabat sebagai ketua paman Wiguna adalah seorang pendekar pilih tanding yang disegani di dunia persilatan. Bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan paman Wiguna mendapat gelar Pendekar Cakar Maut. Puluhan pertarungan yang mempertaruhkan nyawa telah dilewati. Belasan pendekar telah tewas di tangannya. Hal itu telah menobatkan paman Wiguna sebagai pendekar papan atas. Namun konsekuensinya banyak musuh yang terus mengincar nyawanya.
Malam itu aku dijamu bak tamu penting. Aneka makanan lezat dan tuak tradisional terhidang di meja. Aku dan keluarga paman Wiguna makan sambil ngobrol. Lama tidak berjumpa tentu saja kami saling kangen.
Usai makan kami terus mengobrol sambil minum tuak tradisional. Waktu tidak terasa sudah larut malam dan kamipun berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Saat itulah aku merasa ada sesuatu dengan tubuhku. Kepala mendadak pening. Organ-organ tubuh terasa terbakar. Aku limbung dan jatuh di lantai kamar yang disediakan untukku. Aku batuk dan menyemburkan darah segar. Mataku sudah berkunang-kunang. Dada sesak dan aku sulit bernafas. Detik berikutnya semua menjadi gelap.
Aku membuka mataku perlahan. Awalnya semua terlihat buram namun semakin lama semakin jelas. Yang pertama kulihat adalah wajah Dewi Racun. Tentu saja aku terkejut dan berusaha bangkit namun sekujur tubuhku terasa lemas. Akhirnya aku hanya bisa terbaring dan menatap langit-langit gua. Apa? Gua? Bukankah aku seharusnya ada di perguruan Macan Putih bukan di dalam gua.
"Aku dimana, beib?" tanyaku pada Dewi Racun yang duduk di batu datar tidak jauh dariku. Wajahnya menatap ke arah lain.
"Di neraka!" sahut Dewi Racun ketus.
"What? Jadi ayang juga sudah mati? Bagaimana ceritanya bisa menyusul aku ke neraka? Bunuh diri ya? Sebegitu cintanyakah ayang padaku sampai rela mati menyusul aku," cerocos aku.
"Kamu di guaku. Racun yang aku masukan ke tubuhmu menjadi tawar karena kamu diracuni si Kipas Sakti. Racun Katak Hitam yang seharusnya membunuhmu juga ikut tawar dan tidak bisa membunuhmu," jelas Dewi Racun yang membuatku terpana. Si Kipas Sakti adalah musuh bebuyutan paman Wiguna yang juga ahli racun. Racun ciptaannya dikenal dengan nama Racun Katak Hitam.
"Apa yang terjadi?" tanyaku linglung.
"Si Kipas Sakti menyelinap ke dapur perguruan Macan Putih dan menuangkan racun ke tuak yang kamu minum," jelas Dewi Racun.
"Bagaimana nasib paman Wiguna dan keluarganya?" tanyaku.
"Mereka semua mati. Disaat racun akan membunuh mereka, pamanmu sempat memukul kentongan khusus yang ada di kamarnya. Kentongan tanda bahaya hingga semua murid tahu kalau ada bahaya yang menimpa ketuanya. Tapi mereka terlambat, si Kipas Sakti yang bersembunyi di dalam rumah keburu masuk ke kamar pamanmu dan menghabisinya...."
Aku terdiam. Rasa sedih dan duka menyeruak dan memenuhi hatiku.
"Sebenarnya si Kipas Sakti juga akan membunuhmu tapi para murid keburu masuk dan memergokinya. Si Kipas Sakti Kabur. Aku tahu semua karena diam-diam aku mengikutimu. Aku menyesal sudah terbawa emosi dan meracunimu. Tapi kalau aku tidak meracunimu kamu sudah mati. Kelemahan racunku akan tawar bila ada racun lain ditubuh korban. Tapi racunku juga bisa menawarkan racun lain. Itulah sebabnya kamu tidak mati oleh racun Katak Hitam si Kipas Sakti.
.."
Aku tetap terdiam. Kematian bisa datang setiap saat tanpa aba-aba. Beberapa jam yang lalu aku masih bersenda gurau dengan paman Wiguna dan keluarganya. Namun sekarang mereka telah tiada. Tewas dibokong musuh. Ternyata musuh menyerang tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Aku dan paman Wiguna yang lengah harus membayar mahal. Paman Wiguna kehilangan nyawa dan aku juga nyaris mati. Hanya keberuntungan yang membuatku masih hidup. Tetapi keberuntungan tidak datang dua kali. Ini pelajaran berharga bagiku. Aku harus tetap waspada dalam situasi dan kondisi apapun karena MUSUH MENYERANG TANPA PEMBERITAHUAN....
.
.
.
Pengarang | Nur S |
---|---|
HitCount | 50 |
Nilai total |