Home → Cerita Pendek → MENERJANG BADAI (2)
"Tahun kemarin dilarang mudik, tahun ini juga dilarang. Istri gue sudah kangen abah emaknya di kampung. Rencananya gue dan istri gue akan mudik tahun ini. Tapi kayaknya mesti tertunda lagi," keluh Aryo dengan wajah muram.
"Tujuan pemerintah baik, Yo. Mencegah naiknya kembali angka penularan covid 19. Jadi bersabarlah," hibur Panji.
"Gue sih bisa bersabar, Ji. Tapi istri gue gak bisa. Lu kan tau Euis kalo punya keinginan kayak apa. Gak bisa dicegah," keluh Aryo lagi.
"Iya, Gusti. Euis teh pengen banget pulang kampung. Sudah rindu sama emak dan abah," kata Euis yang keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi teko mungil dan tiga gelas kosong serta sepiring camilan. "Bagaimana atuh Gusti solusinya. Euis mah akan tetap nekat pulang kampung walau tanpa si Aa," lanjut Euis sambil meletakan nampan di atas meja dan menuangkan kopi hitam pada tiga gelas kemudian duduk di samping Aryo.
Sejenak Panji menghela nafas. Keputusan pemerintah yang melarang mudik tahun ini menimbulkan pro dan kontra. Alasan pemerintah memang masuk akal, tetapi keinginan masyarakat yang ingin bertemu sanak saudaranya di kampung sukar di bendung.
"Dari pada lu tiap hari berantem terus dengan Euis gara-gara pengen mudik, gue ambil resiko untuk mengantar elu berdua ke kampung halamannya Euis, tapi gue hanya mengantar saja. Abis itu gue balik," kata Panji akhirnya memutuskan.
"Terima kasih, Gusti." kata Euis gembira.
"Kalian kemasi barang-barang yang akan dibawa. Besok pagi kita berangkat. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya," lanjut Panji.
Esoknya...
Matahari baru saja naik ketika sebuah sedan sport hitam keluar dari sebuah rumah dan berbelok ke jalan raya.
"Lu mau mudik atau mau pindahan, Yo?" kata Panji yang duduk di depan memegang setir pada Aryo yang duduk di belakang bersama Euis. Di belakang mereka penuh sesak oleh beberapa tas dan barang-barang lainnya.
"Gue sih bawa seperlunya aja, Ji. Istri gue nih yang serba dibawa," sahut Aryo.
"Siapa tau di kampung lama, Gusti. Jadi buat persediaan," timpal Euis.
"Eh, Ji. Gimana surat-surat dan prokesnya. Sudah lengkap belum?" tanya Aryo.
"Lu tenang aja. Gue udah bikin semua dokumen-dokumen yang diperlukan. Rapid test antigen. Test GeNose C19 dan yang lainnya sudah beres. Lu dan bini lu terima bersih aja," sahut Panji.
Menjelang tengah hari mereka tiba di kota kabupaten tempat Euis dilahirkan. Keadaan lalu lintas tidak begitu ramai sejak ada pembatasan kegiatan keluar masuk kota. Di tepi jalan beberapa hotel, penginapan, rumah makan, warteg dan tempat menjual suvenir terlihat sepi. Beberapa mal, taman air dan tempat wisata sepi pengunjung. Sektor-sektor itu yang paling merasakan imbasnya atau terkena imbas langsung dari pandemik yang berkepanjangan.
Orangtua Euis berada di pinggir kota. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke tempat orangtua Euis. Namun sebelum mereka memasuki perkampungan, mereka harus melewati posko covid 19 yang dijaga warga. Panji dengan santainya menunjukan surat-surat yang menyatakan mereka negatif. Dari mulai negatif tes GeNose C19 dan yang lainnya. Aryo dan Euis tetap di dalam mobil. Mereka percaya pada kemampuan Panji. Selama dalam perjalanan mereka lolos pemeriksaan dengan mudah. Panji seakan menghipnotis petugas dan mereka membiarkan Panji dan dua rekannya lewat. Hal yang sama juga terjadi pada petugas yang memeriksa Panji. Setelah Panji menunjukan surat-surat yang menunjukan mereka negatif, tanpa berbelit-belit petugas mengijinkan Panji dan dua rekannya lewat.
Sedan sport hitam berhenti di tepi jalan di samping sebuah gang. Kendaraan roda empat tidak bisa masuk karena gang sempit. Panji, Aryo dan Euis keluar dan berjalan kaki masuk ke gang. Setelah berjalan kurang lebih seratus meteran mereka tiba di ujung gang dan berbelok memasuki sebuah rumah sederhana yang menghadap kesebuah lapangan luas. Ada tiang gawang terlihat. Sepertinya kerap digunakan untuk bermain sepak bola.
Setelah mengetuk pintu, keluarlah seorang wanita paruh baya.
"Emak!"
Euis menghambur ke pelukan wanita yang ternyata ibunya. Emak Euis sejenak terkejut dengan kepulangan anaknya yang tanpa pemberitahuan dulu. Namun hanya sejenak kemudian memeluk Euis. Mereka berpelukan sesaat. Setelah itu emak Euis mempersilahkan menantu dan Panji masuk.
Di dalam rumah terlihat sederhana. Tidak ada perabot yang terkesan mewah. Semua terlihat biasa dan bersahaja.
"Abah kemana, mak?" tanya Euis yang tidak melihat ayahnya.
"Belum pulang. Abahmu kerja serabutan untuk bertahan hidup. Jualan keliling lagi sepi. Jadi kerja apa aja yang penting ada pemasukan walau gak seberapa," sahut emaknya Euis. "Kapan atuh korona ini berlalu dan normal lagi. Emak dan abahmu sudah pusing. Cari untuk sekedar makan saja sekarang susah," keluh emaknya Euis.
Panji yang mendengar keluhan emaknya Euis hanya menghela nafas. Dampak pandemik yang berkepanjangan berimbas ke semua masyarakat dari lapisan bawah sampai atas. Dari rakyat jelata sampai para selebriti terkena dampaknya. Semua sektor usaha yang berbasis face to face menjadi lesu dan sebagian sudah gulung tikar. Namun fenomena baru muncul. Sektor usaha berbasis online mulai naik daun. Bila pandemik tidak kunjung reda maka sektor usaha langsung akan lenyap dan berganti online semua. Mungkin ke depan beli apa pun cukup dari rumah dan apa yang dipesan datang diantar kurir. Bayar di tempat...
.
.
.
Pengarang | Nur S |
---|---|
HitCount | 352 |
Nilai total |