Kisah Pedang Gunung dan Sungai

HomeCerita PendekKisah Pedang Gunung dan Sungai

avatar Mogei
23 Maret 2016 jam 9:52am

Lu Man-Cung mengambil bungkusan panjang di atas meja lalu keluar dari pintu rumahnya yang sudah reot. Dia berjalan dengan lambat seakan-akan tidak rela meninggalkan semua kenangan di rumah itu. Tapi dia harus pergi. Ada satu hal yang harus diselesaikannya dan itu harus dimulainya dari sekarang sebelum semuanya menjadi terlambat. Langkahnya terlihat ringan tapi meninggalkan bekas yang dalam di tiap tanah yang dipijaknya. Lu Man-Cung berbalik tepat di tepi jurang yang memisahkannya dari dunia luar selama ini. Dia memandang rumah reot tapi masih kelihatan baik dan terawat itu. Lama kenangannya membuatnya melamun. Tiupan angin gunung yang dingin membekukan seakan telah membuatnya menjadi patung es. Dengan mengikatkan bungkusan panjangnya itu di punggungnya Lu Man-Cung berbalik menghadapi jurang di hadapannya lalu kakinya menyapu ringan ke depan seakan hendak meniti awan yang bergerak di depannya. Tubuh Lu Man-Cung meluncur turun dengan derasnya.

Dari kejauhan di antara awan-awan yang bergerak tertiup angin nampak sesosok manusia berlompatan dengan sangat ringannya seakan-akan sedang terbang bersama-sama burung-burung di angkasa. Lu Man-Cung merasakan hembusan angin menerpa wajahnya. Bibirnya tersungging senyum. Pakaian, rambut, kumis dan jenggotnya berkibaran. Lu Man-Cung memegang ikatan bungkusan di punggungnya, memastikan ikatannya kuat menghadapi terjangan angin kencang. Kakinya menutul gumpalan-gumpalan awan yang membuat tubuhnya melesat ke atas seperti tembakan anak panah yang dibidikkan seorang pemanah tangguh ke angkasa. Saat tubuhnya sampai di batas ketinggian Lu Man-Cung membiarkan tubuhnya meluncur turun seperti tetesan air hujan menerobos awan-awan. Sampai dia memutuskan awan mana yang akan dibuatnya jadi pijakan untuk melesat lagi ke atas. Sekali tarikan napas dia telah melewati 50 tebing.

Lu Man-Cung memulai petualangannya di perkampungan di pinggir hutan yang barusan dilewatinya. Ketiga gurunya menyuruhnya pergi setelah mewariskan ilmu silat mereka yang tanpa tandingan pada saat itu. Ketiga gurunya adalah jagoan-jagoan yang memang terkenal aneh dan paling sakti ilmu silatnya. Tidak seperti kebanyakan jago silat yang selalu ingin menguji ilmu silat mereka dengan saling bertarung, ketiga gurunya sangat rukun satu sama lain. Itu juga yang menjadi sebab mereka sangat ditakuti dan disegani banyak kalangan. Sampai sekarang Lu Man-Cung masih belum tahu kenapa dia yang dipilih oleh ketiga tokoh sakti itu sebagai murid. Dia memang seorang yatim piatu yang bekerja sebagai penggembala sapi di seorang cukong yang sangat kaya di kampungnya. Cukong itu pernah mendapat bantuan dari ketiga tokoh itu. Lu Man-Cung sudah lupa ada kejadian hebat apa pada waktu itu sehingga ketiga tokoh sakti itu turun tangan langsung membantu sang cukong. Dia juga lupa kapan persisnya bertemu dengan ketiga gurunya itu. Yang diingatnya tahu-tahu dia sudah dibawa oleh ketiga gurunya itu ke suatu tempat dan digembleng selama hampir 20 tahun.

Dari ketiga gurunya itu Lu Man-Cung mewarisi 3 ilmu silat ternama dan paling langka di dunia persilatan. Selain ilmu silat dia juga mewarisi 3 benda pusaka dunia persilatan yang sejak berada di tangan ketiga gurunya tak satu orang pun yang berani berusaha merebutnya.

Ilmu silat pedang Si-Lang Pa-Pat hanya mempunyai 4 perubahan jurus pedang saja tapi sejak dia malang melintang dengan menggunakan Pedang Pusaka Rambut Emas sampai dia mewariskannya ke murid kelimanya tak seorang pun yang berhasil mematahkan ilmu silat pedangnya itu. Pedang Pusaka Rambut Emas, sebuah pusaka dunia persilatan, sudah lama dia kuburkan bersama jasad dari anak laki-laki dari murid kelimanya itu. Han Cu-Ran, murid kelimanya itu telah salah memilih ahli waris ilmu silatnya. Hanya karena anak yang pertama dan seorang laki-laki maka Cu-Ran lebih memilih anak laki-lakinya itu dibanding anak perempuannya. Saat Lu Man-Cung berusaha menyelamatkan kedua anak Cu-Ran yang dengan gagah berani berusaha membasmi kelompok begal dia menyaksikan bahwa sang anak perempuan jauh lebih pintar dan cocok untuk mempelajari ilmu silat pedang Si-Lang Pa-Pat. Sayang dia datang terlambat. Saat dia datang sang anak laki-laki muridnya itu sudah binasa. Sang anak perempuan sempat memperlihatkan kelihaiannya bermain pedang sebanyak 5 jurus sebelum akhirnya sebatang tombak besar meluncur dan mengakhiri riwayatnya.

Setelah sempat merajai dunia persilatan dan akhirnya mewariskan semua ilmu silatnya kepada ketujuh muridnya Lu Man-Cung tidak berhasrat untuk terjun lagi ke dunia persilatan. Peristiwa dengan kedua anak murid kelimanya itu terjadi secara kebetulan saja. Dari 3 benda pusaka dunia persilatan yang ada di tangannya waktu itu hanya dua buah saja yang telah sempat dia wariskan. Pedang Pusaka Rambut Emas sebuah pedang panjang yang tebalnya setipis rambut tapi sangat keras dan tidak lentur. Pedang itu berkilauan keemasan hanya saat memantulkan sinar matahari saja. Lu Man-Cung membungkus pedang itu dan menguburnya di samping jasad anak laki-laki Han Cu-Ran. Dari ketujuh muridnya memang murid kelimanya itu lah yang paling dekat dengannya. Sampai ke kedua anak Cu-Ran itu Lu Man-Cung sempat memberikan beberapa petunjuk dalam berlatih ilmu pernapasan. Sayang sekali pada saat itu mereka masih kecil-kecil jadi dia masih belum bisa melihat bakat ilmu pedang mereka.

Pusaka kedua yang pernah dia wariskan ke murid pertamanya berupa sebuah golok bulan sabit. Dengan berbekal golok pusaka itu Gak Pu-Sing, murid pertamanya itu pernah menjagoi dunia persilatan dan diangkat menjadi beng-cu (pemimpin) dunia persilatan selama hampir 20 tahun. Gak Pu-Sing tewas di tangan musuh bebuyutannya. Ba Tok-Mu, musuh bebuyutan murid pertamanya itu akhirnya menjadi musuhnya.

Ba Tok-Mu seorang pemuda berbakat. Dia teman Gak Pu-Sing dari kecil. Dalam mendidik anak muridnya Lu Man-Cung memang tidak pernah membawa anak muridnya itu ke tempat tinggalnya, kecuali murid ketujuhnya yang kebetulan seorang yatim piatu seperti dirinya dulu. Waktu memilih Gak Pu-Sing sebagai murid pertamanya Lu Man-Cung sudah dapat melihat bakat luar biasa pada diri Ba Tok-Mu. Tetapi sifat Tok-Mu memang kurang dia sukai. Tok-Mu seorang anak yang cerdas, bertulang bagus, bertekat kuat tapi kurang didikan. Anak itu tidak mengenal sopan santun. Akhirnya Lu Man-Cung menggembleng Gak Pu-Sing tiap malam hari bertemu di belakang pekuburan. Setelah 15 kali pertemuan Ba Tok-Mu yang entah mengetahui darimana diam-diam membuntuti Gak Pu-Sing dan mencuri belajar dari pertemuan kedua guru dan murid itu. Lu Man-Cung mengetahuinya tapi melihat bakat luar biasa dari anak itu dia jadi tidak tega menegurnya.

Lu Man-Cung tidak pernah lama mendidik muridnya. Masing-masing muridnya hanya mendapatkan didikan selama 3 tahun saja. Bahkan murid ketujuhnya yang yatim piatu diperlakukannya sama. Biar selama 3 tahun berada di tempat tinggalnya tapi Lu Man-Cung juga tidak setiap hari berada di rumah. Selama itu dia selalu berkeliling menjelajah dunia persilatan sambil mendidik anak muridnya yang berjauhan rumah tinggal mereka. Dan sambil berkeliling dia berusaha mencari orang tua asuh bagi murid ketujuhnya itu. Setelah genap 3 tahun Lu Man-Cung mengantar murid ketujuhnya ke kedua orang tua asuhnya.

Genap 3 tahun Ba Tok-Mu secara diam-diam menyelesaikan pelajarannya. Lu Man-Cung pun sampai terkagum-kagum dengan hasil yang dicapai pemuda itu. Kelihayan Tok-Mu juga terlihat dari selalu berhasilnya dia menyembunyikan pelajarannya itu dari Gak Pu-Sing yang setiap hari bermain dengannya. Melihat keakraban mereka berdua Lu Man-Cung tidak pernah mengira Tok-Mu menyimpan ambisi untuk menjagoi dunia persilatan. Setahun setelah meninggalkan mereka tersiar kabar munculnya dua sosok pendekar muda di dunia persilatan. Usia keduanya masih belasan tahun tapi ilmu silat mereka sangat tinggi. Tapi Tok-Mu masih menyembunyikan dirinya dari Gak Pu-Sing.

Tiga tahun kemudian keduanya bertemu, berhadapan sebagai musuh. Sepak terjang Tok-Mu yang beringas dan asal-asalan membuatnya akhirnya dijuluki Pendekar Aneh. Julukan yang sebenarnya tidak disukainya karena ambisi untuk menguasai dunia persilatan kiranya malah membuat Gak Pu-Sing yang lebih sopan sepak terjangnya disukai banyak kalangan baik dari aliran putih maupun hitam. Mengetahui dirinya tidak disukai kalangan aliran putih akhirnya Tok-Mu berbalik arah. Dia merasa cemburu dengan ketenaran Gak Pu-Sing. Akhirnya dengan terang-terangan dia melawan Pu-Sing.

Gak Pu-Sing mendapat julukan Pendekar Golok Kilat. Sambaran goloknya memang sangat cepat dan sering tidak terlihat. Orang hanya melihat sambaran angin yang menerpa. Ba Tok-Mu, karena mencuri ilmu, mempunyai ilmu silat yang sama dengan Pu-Sing. Keduanya bagai sepasang saudara kembar yang sedang mengadu nyawa dengan tebasan golok masing-masing. Beda dengan ilmu pedang Lu Man-Cung, ilmu goloknya mempunyai perubahan gerakan jauh lebih banyak dan tiap gerakan bisa memunculkan kembangan gerakan baru. Ba Tok-Mu yang jauh lebih cerdas daripada Gak Pu-Sing telah mengembangkan ilmu golok itu sehingga Gak Pu-Sing tidak mengenali lagi ilmu golok lawan yang sebenarnya sama dengannya. Pu-Sing hanya merasa aneh karena kadang-kadang gerakan sambaran lawan mirip dengan jurusnya tapi karena perubahan gerakan yang sangat banyak membuatnya tidak yakin juga.

Mereka bertarung selama 3 hari 3 malam dan Ba Tok-Mu telah mengeluarkan 200 lebih perubahan gerakan ilmu goloknya. Sebenarnya sewaktu menurunkan ilmu goloknya Lu Man-Cung juga menurunkan ilmu pernapasan Lak-Meh-Ngo-No kepada Gak Pu-Sing. Lu Man-Cung sengaja menurunkannya dengan diam-diam dan tidak kentara sehingga Ba Tok-Mu yang sedang mencuri belajar tidak mengetahuinya dan sama sekali tidak mengira ada ilmu lain yang sedang diturunkan Lu Man-Cung. Ilmu pernapasan Lak-Meh-Ngo-No merupakan ilmu ciptaan Lu Man-Cung sendiri dan sengaja tidak pernah memperlihatkan atau mengajarkannya dengan terang-terangan. Ilmu pernapasan itu sangat luar biasa saktinya. Terhadap Gak Pu-Sing pun dia hanya menurunkan sebagian kecil saja yang sekiranya menunjang permainan golok Pu-Sing. Juga ilmu Lak-Meh-Ngo-No membutuhkan ketenangan hati dan pikiran yang harus selaras dengan keluar masuknya aliran udara di dalam tubuh. Ilmu itu menimbulkan 6 aliran pernapasan. Dalam 100 gerakan ilmu goloknya Gak Pu-Sing dapat menahan napas selama itu karena dia memutar 6 aliran pernapasan sekaligus. Gerakan goloknya pun jadi bisa dikendalikannya sesuka hati. Semakin lama gerakan Pu-Sing seperti semakin lambat. Tetapi sebelum serangan Tok-Mu sampai dia sudah membalas dengan serangan yang jauh lebih cepat.

Akhirnya saking lamanya mereka bertarung membuat Tok-Mu kelelahan. Dia memang lebih lihay tapi lawannya jauh lebih tenang dan selalu dapat mematahkan serangannya. Menyadari semakin lama semakin membuatnya lelah akhirnya Ba Tok-Mu kabur. Sejak itu Gak Pu-Sing diangkat sebagai Beng-cu dunia persilatan. 20 tahun kemudian Ba Tok-Mu datang lagi dan berhasil mengalahkan Gak Pu-Sing.

Selama 30 tahun kemudian Ba Tok-Mu merajalela dunia persilatan sebagai seorang dedengkot dunia persilatan yang tidak pernah terkalahkan. Ba Tok-Mu yang mengetahui kelihayan Lu Man-Cung selalu berhasil menyembunyikan diri atau kabur dari guru yang dicuri ilmunya itu. Beberapa kali dia terpaksa harus mengubah penampilan, nama dan julukannya untuk menghindar dari kejaran Lu Man-Cung. Selama itu Ba Tok-Mu bertemu guru-guru sakti yang entah mau mengangkatnya sebagai murid atau dicuri ilmunya atau dengan berbagai macam cara termasuk mengawini anak gadis gurunya itu. Selama itu pula dalam pengejarannya Lu Man-Cung berhasil menyempurnakan ilmu Lak-Meh-Ngo-No nya sampai ke tingkat yang paling tinggi yang membuat rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah putih semua kembali menjadi hitam. Wajahnya pun kembali bersemi merah dan segar seperti kembali muda puluhan tahun. Ketika akhirnya mereka bertemu keadaan jadi terbalik. Ba Tok-Mu telah menjadi seorang kakek dengan rambut, kumis dan jenggot putih tanpa sehelai rambut hitam pun. Sementara Lu Man-Cung berubah menjadi seseorang seusia 40 tahunan yang jenggot, kumis dan rambutnya hitam semua.

Lama mereka berdiri berhadapan mengukur ilmu kepandaian lawan. Ada satu ilmu kepandaian senjata yang sampai saat itu masih belum pernah diajarkan Lu Man-Cung kepada orang lain. Ba Tok-Mu yang mengetahui itu menjadi was-was juga apakah ilmu kepandaian senjata itu akan digunakan Lu Man-Cung untuk menghadapinya. Bahkan saat mereka akhirnya berhadapan Ba Tok-Mu masih belum mengetahui senjata macam apa yang selama itu dirahasiakan Lu Man-Cung.

Lu Man-Cung berdiri tenang sambil mengelus-elus jenggotnya. Sinar matanya yang tajam mengawasi tubuh orang tua di hadapannya. Tidak disangkanya seorang bocah yang pernah mencuri belajar ilmunya sekarang telah menjadi seorang datuk dunia persilatan yang sangat ditakuti banyak kalangan baik dari golongan putih maupun hitam.

“Hormat kepadamu, Orang tua!” seru Ba Tok-Mu sambil menjura. Badannya setengah membungkuk dan kedua tangannya dirangkapkan dihaturkan ke depan di atas kepalanya. Kepalanya tertunduk sedikit sambil sudut matanya mengawasi gerak-gerik Lu Man-Cung. Tetapi dia sendiri tahu kegagahan tokoh silat itu yang tidak mungkin membokongnya.

“Kamu tahu ini pertemuan terakhir kita?” tandas Lu Man-Cung mengisyaratkan bahwa pertempuran kali ini akan menentukan hidup dan mati.

“Aku yang bodoh tentu mengetahuinya.” Tukas Ba Tok-Mu ketus.

“Tapi ini tidak akan menjadi pertarungan kita yang terakhir.” Kata Ba Tok-Mu sambil masih menjura. Suaranya terdengar kalem tapi terdengar sangat jelas sekali di sela-sela deru angin kencang pegunungan.

“Apa maksudmu?” Lu Man-Cung memang telah mengetahui Tok-Mu seorang yang sangat licin. Dia terkenal mempunyai banyak tipu muslihat. “Kamu tahu aku akan membunuhmu hari ini.”

“Jangan takabur, Orang tua!” jawab Tok-Mu masih dengan tenang. “Aku belum tentu kalah. Tetapi meski kalah aku sudah mempersiapkan pertarungan lanjutan.”

Lu Man-Cung mengernyitkan dahinya. Dia tahu Ba Tok-Mu telah mempersiapkan tipu muslihat.

Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dari arah belakang Ba Tok-Mu. Rambutnya yang putih riap-riapan berkibaran menutupi wajahnya. Sekejap kemudian tubuh yang sedang membungkuk itu sudah melesat laksana sambaran kilat. Sebilah cahaya keperakan menyeruak dari balik bajunya menyambar ke 50 titik mematikan di tubuh Lu Man-Cung. Cahaya perak itu berasal dari sebilah golok berbentuk bulan sabit.

Lu Man-Cung mengenali golok bulan sabit itu. Kiranya setelah berhasil mengalahkan Gak Pu-Sing golok bulan sabit itu pun pindah ke tangan Ba Tok-Mu. Lu Man-Cung menggunakan lengan bajunya untuk menghadapi serangan lawan. Dengan tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No Lu Man-Cung membalik tenaga serangan Tok-Mu. Puluhan sinar keperakan berbalik menyerang Tok-Mu.

Selama puluhan tahun Ba Tok-Mu telah menyempurnakan ilmu goloknya. Ditambah beberapa jurus yang dia dapatkan melalui guru-gurunya maupun dicurinya atau diciptakannya sendiri. Ilmu golok Ba Tok-Mu sekarang jauh lebih lihay dibanding Lu Man-Cung. Kalau bukan karena tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No tentu Lu Man-Cung tidak mungkin menghadapi sekaligus membalik hawa golok lawan. Menghadapi hawa goloknya sendiri Ba Tok-Mu memutar-mutar golok bulan sabitnya menangkis semua hawa golok yang berbalik itu. Dalam memutar golok bulan sabitnya Tok-Mu sekaligus menyerang dengan tenaga yang diserapnya dari tenaga hawa goloknya sendiri. Tenaga hawa golok itu sekarang menjadi berlipat-lipat kembali menyerang Lu Man-Cung.

Sekejapan saja mereka sudah saling beradu kelihayan bermain golok dan beradu tenaga di udara. Lu Man-Cung masih menggunakan tangan kosong. Lengan bajunya yang longgar yang digunakannya untuk menangkis, menahan atau menyerang lawan. Dia menggunakan lengan bajunya itu kadang seperti sebatang pedang, kadang seperti sabetan golok dan kadang hawa pukulan yang seperti gelombang keluar beruntun. Tak berapa lama Ba Tok-Mu telah berada di bawah angin. Kesempurnaan ilmu goloknya masih jauh di bawah kelihayan bekas guru yang dicuri ilmunya itu.

Dengan gerakan aneh yang sangat tidak diduga-duga Tok-Mu tiba-tiba cengkeraman tangan kiri Lu Man-Cung telah mencekik lehernya. Tubuh Tok-Mu lalu diangkat ke udara.

“Kau tahu hal ini pasti terjadi,” kata Lu Man-Cung tenang. Kelima jari tangan kirinya seakan menembus leher lawan. Berkat tenaga dalamnya yang sangat tinggi Ba Tok-Mu tidak langsung binasa.

Ba Tok-Mu nyengir. Darah segar mulai mengalir dengan derasnya dari kelima jari Lu Man-Cung yang menembus leher Tok-Mu.

“Setelah lewat 5 purnama datanglah ke tempat ini lagi.” Ujar Tok-Mu dengan wajahnya yang telah merah kebiru-biruan. Kiranya dengan menggunakan tenaga terakhirnya itu Tok-Mu telah kehabisan tenaga. Lu Man-Cung mendengus lalu dilemparnya tubuh lawannya itu tinggi ke udara yang lalu tubuh itu menukik dengan derasnya ke arah jurang. Lu Man-Cung memandangi tubuh itu sampai lenyap tertelan kabut. Saat itu hari sudah senja dan matahari bersinar redup. Saat memandang tubuh Ba Tok-Mu tadi hati Lu Man-Cung menjadi sedikit menyesal. Dia menyayangkan kenapa dulu tidak mau mendidik Tok-Mu sehingga dapat menjadi pendekar sejati. Dia sangat menyayangkan bakat luar biasa pada diri lawannya itu. Bahkan tak seorang pun dari ketujuh muridnya maupun anak keturunan mereka yang dapat menandingi bakat dan kecerdikan Ba Tok-Mu.

Itu lah kejadian 5 purnama yang lalu. Saat ini tubuh Lu Man-Cung yang melayang-layang di udara melewati tebing dan jurang dengan kepiwaian ilmu meringankan tubuhnya dan akhirnya mendarat tepat di tempat dia dan Ba Tok-Mu bertarung dulu. Waktu Lu Man-Cung sampai di tempat itu hari sudah menjelang malam. Bulan purnama bersinar terang menerangi tempat itu menimbulkan kenangan pertarungan dengan Tok-Mu. Lu Man-Cung sedang menunggu apa yang telah dipersiapkan Tok-Mu untuk membalasnya.

Selain memenuhi undangan terakhir Ba Tok-Mu itu Lu Man-Cung juga sedang mencari pewaris ilmunya yang terakhir. Setelah menang melawan Ba Tok-Mu 5 purnama yang lalu Lu Man-Cung tidak langsung pulang. Dia memang sedang mencari pewaris terakhirnya. Bungkusan yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi meski tidak pernah sekalipun dia tampakkan apa isi dari bungkusan itu adalah sebuah pusaka yang telah berabad-abad lamanya menghilang dari dunia persilatan.

Setelah beberapa lama mencari akhirnya Lu Man-Cung mendengar sebuah kabar tentang seorang bocah yang dari kabar yang didengarnya membuatnya yakin bahwa bocah itulah yang memang sedang dicari-carinya selama ini. Namun Lu Man-Cung tidak lantas mendatangi bocah itu. Dia teringat kata-kata terakhir Ba Tok-Mu yang menyuruhnya datang lagi ke tempat pertarungan mereka. Lu Man-Cung ingin menuntaskan permasalahannya dengan Ba Tok-Mu lebih dulu sehingga dia dapat dengan tenang mengajar bocah calon muridnya itu.

Bulan purnama semakin tinggi. Bulatan besar di angkasa itu memancarkan cahaya terang benderang seakan hendak menyaksikan peristiwa besar yang akan berlangsung sebentar lagi.

Lu Man-Cung tiba-tiba menjadi gelisah. Pada saat dia telah menemukan calon murid terakhir yang akan mewarisi ilmu dan pusaka terakhirnya tiba-tiba saja dia menjadi merasa tidak yakin dapat keluar hidup-hidup dari tempat itu. Mendadak suasana menjadi hening. Kicauan burung dan deru angin malam tahu-tahu senyap, menghilang tak berbekas.

Lu Man-Cung mengambil bungkusan yang digendongnya. Dia merasa saat itulah waktunya dia harus menggunakan benda pusaka itu. Dengan khidmat Lu Man-Cung membuka bungkusan berupa kain kasar berwarna merah itu. Sebuah kecapi unik persegi empat dari bahan kayu yang tampak sangat tua tapi kelihatan masih kuat dikeluarkan dari bungkusan merah itu.

Lu Man-Cung memetik 18 tali senar itu memecah keheningan malam. Beberapa petikan lanjutan memperdengarkan irama yang merdu yang kali ini seperti mengundang burung-burung untuk datang kembali.

Namun, Lu Man-Cung dapat merasakan hawa pertarungan yang sangat kuat menekannya. Lalu, dari balik pepohonan bermunculan sosok-sosok tubuh. Satu per satu mereka keluar dan berjalan mengelilingi Lu Man-Cung. Mereka tampak seperti pendekar-pendekar yang gagah. Kurang lebih hampir dua puluh orang lebih jumlahnya. Bermacam-macam postur tubuh dan pembawaan mereka. Ada yang tampak tenang dengan baju yang sangat mewah bersinar keemasan, ada yang berpenampilan sederhana dengan sebatang pedang dari besi kasar yang dipanggul di atas pundaknya, ada yang berpakaian mentereng dengan mengayunkan kipasnya pelan-pelan di depan dadanya, ada yang buntung sebelah tangannya sehingga lengan bajunya beterbangan tertiup angin, ada yang buntung sebelah kakinya dengan rambut putih riap-riapan, ada yang bertampang kebodoh-bodohan, ada yang seperti orang gila, dan masih banyak lagi. Tetapi semuanya kelihatan sebagai pendekar-pendekar sejati.

Lu Man-Cung masih dengan tenang memetik tali kecapinya, memperdengarkan alunan nada yang secara perlahan mulai diisi dengan tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No. Serangkum hawa serangan himpunan berputaran di hadapan Lu Man-Cung.

Kedua puluh lebih para pendekar itu masing-masing juga sedang menyiapkan diri.

“Awas pedang!” salah seorang dari pendekar itu yang memakai pakaian kasar sederhana dengan pedang besi berkarat sudah tidak sabar lagi menunggu. Gerakannya tampak ringan tapi cepat luar biasa. Ujung pedangnya tahu-tahu sudah berada di depan Lu Man-Cung mengancam lehernya. Tetapi tanpa kelihatan balas menyerang tiba-tiba saja tubuh pendekar itu tertolak dengan sangat keras. Lu Man-Cung yang mengetahui pertarungan kali ini sangat menentukan mati hidupnya tidak mau ayal lagi. Himpunan tenaga saktinya berhasil memukul mundur lawan.

“Bagus!” seorang pendekar yang berbaju perlente dengan kipas di tangan menotok dari kejauhan. Berbareng itu tubuhnya meluncur sambil melakukan gerakan seperti tarian. Beberapa larik tenaga yang sangat tajam menghambur ke arah Lu Man-Cung.

Waktu menghadapi pendekar dengan pedang besi berkaratnya tadi Lu Man-Cung masih kelihatan asyik memetik kecapinya, tetapi kali ini hatinya tergerak. Hawa tajam yang menghujani ke arahnya itu seperti berlapis-lapis datangnya.

“Pisau terbang?!” Lu Man-Cung akhirnya dapat mengenali hawa tajam itu sebagai hujanan dari puluhan atau bahkan mungkin ratusan pisau terbang. Merasakan kali ini menghadapi lawan-lawan tangguh Lu Man-Cung menjadi girang. Sudah sekian lama dia merajai dunia persilatan tanpa ada lawan tanding yang sepadan. Menghadapi keroyokan pendekar-pendekar di depannya itu Lu Man-Cung jadi bersemangat. Lu Man-Cung meloncat ke atas dengan tetap memetik kecapinya. Di udara dia mengerahkan tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No di antara petikannya, menyambut hawa tajam dari pisau terbang yang menghujam. Tampak satu per satu pisau-pisau terbang itu berguguran. Tubuh Lu Man-Cung masih di udara melewati hujan pisau terbang dan tahu-tahu sekelebat bayangan menyambutnya dengan serangan pedang baja yang sangat berat.

Sosok yang menyerangnya kali ini membuatnya kagum. Seseorang yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng kulit dan buntung lengan kanannya sementara tangan kirinya memainkan sebilah pedang baja yang mengeluarkan suara menderu-deru saking beratnya. Jurus pedangnya sukar ditebak arah datang dan perginya. Dengan gerakan yang seperti orang yang sedang merana ditinggal kekasih beberapa jurus pedang baja itu mulai menyudutkan posisi Lu Man-Cung.

Lalu tiba-tiba datang serangan tenaga dari arah samping Lu Man-Cung yang lantas menyambutnya dengan tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No. Kedua telapak tangan itu pun menempel.

“Aah!!!” Lu Man-Cung menjerit kaget ketika seakan-akan tenaganya tersedot. Hebatnya, tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No bisa memutar tenaga dari ada menjadi tiada, keras menjadi lembek dan datang menjadi pergi. Saat terkejut itu Lu Man-Cung menarik napas dan gantian sang lawan yang menjerit kaget. Tenaga lawan ganti tersedot!

Waktu menghadapi serangan tenaga tadi Lu Man-Cung masih menghadapi serangan pedang baja. Jadi dengan tangan kiri dia menangkis serangan pedang baja dengan kecapi bututnya sementara tangan kanannya digunakan untuk menyedot tenaga lawan. Sang lawan yang tampak seperti seorang pemuda tapi mempunyai rambut yang sudah putih semua itu melepaskan tenaganya dan melompat mundur.

Sementara serangan pedang baja masih datang seperti gelombang yang datang bertubi-tubi. Lu Man-Cung memutar kecapinya menangkis serangan lawan. Badan kecapi butut itu menjadi kebal sabetan pedang karena telah dilindunginya dengan tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No. Tetapi pedang tetaplah pedang. Apalagi sebilah pedang baja tulen. Badan kecapi yang terbuat dari kayu itu pun mulai tercabik. Menyadari itu Lu Man-Cung memusatkan tenaganya ke petikannya. Enam lapis tenaga yang berlainan bentuk menangkis pedang baja. Badan pedang baja itu tergetar. Dengung suaranya sangat memekakkan telinga. Tak kuat dengan getaran tenaga itu lawan pun melompat mundur. Dan semuanya itu terjadi dengan sangat cepat. Saat si topeng kulit mendaratkan kakinya bertepatan itu pula pemuda yang berambut putih semua tadi juga mendaratkan kakinya setelah melompat mundur.

Semangat Lu Man-Cung menggelora. “Hebat.. Hebat…!” serunya berulang-ulang. Di hadapannya masih banyak lawan yang belum maju menjajal ilmu. Tiba-tiba salah seorang lawannya melompat maju. Lu Man-Cung menunggu. Tetapi seorang pemuda dengan tampang polos kebodoh-bodohan di depannya itu pun tidak bergerak. Dia hanya berdiri dan tanpa memasang kuda-kuda untuk menyerang atau bertahan. Lu Man-Cung memberikan isyarat supaya pemuda itu maju duluan tapi pendekar muda itu tetap berdiri tidak merespon. Lu Man-Cung paham. Dia menyerang.

Dengan menggunakan kecapinya Lu Man-Cung mengeluarkan jurus-jurus pusaka yang lama tidak pernah terdengar lagi di dunia persilatan. Dengan diiringi dentingan suara petikan tali senar serangkum hawa setajam pedang beterbangan menyerbu si pendekar muda di hadapannya. Di saat selarik hawa pedang hampir mengenai tubuhnya pendekar muda itu baru bergerak. Gerakannya secepat kilat menyambar. Tahu-tahu Lu Man-Cung dapat merasakan berlapis-lapis hawa pedang menyerangnya. Dengan penuh keheranan Lu Man-Cung menyadari bahwa pendekar muda itu telah menirukan jurus-jurus ilmu kecapinya dengan sangat persis dan menimbulkan efek serangan yang sama! Bedanya pendekar muda itu menggunakan pedangnya sebagai pengganti kecapi. Petikannya digantinya dengan sentilan ke badan pedang. Tak merasa Lu Man-Cung berdecak kagum. Hanya karena masih kalah dalam hal tenaga murni saja akhirnya setelah lewat beberapa jurus pendekar muda itu pun mundur.

Bulan purnama mulai condong. Cahaya rembulan mulai tertutup pepohonan. Lu Man-Cung berdiri menunggu lawan selanjutnya. Puluhan lawan di hadapannya itu membentuk bayangan seperti raksasa yang sedang mengurungnya. Lalu terdengar langkah kaki yang diselingi suara ketukan tongkat ke tanah. Sesosok bayangan menyelinap keluar dari kumpulan pendekar itu. Gerakannya lambat seperti seseorang yang sedang menghitung langkah kakinya. Sepasang matanya yang tajam mengawasi Lu Man-Cung seperti seekor harimau hendak menerkam mangsanya.

Lu Man-Cung bergidik ngeri. Dia melihat seseorang dengan sepasang mata yang merah menyala dengan rambut putih riap-riapan berjalan di atas tongkatnya karena kaki kirinya buntung. Tiba-tiba tubuh orang itu perlahan-lahan membesar dan saking besarnya sampai baju yang sedang dipakainya pun terkoyak-koyak. Lalu kepalanya bergoyang-goyang dengan sangat cepat seperti yang hendak lepas dari pundaknya. Setelah berhenti kepala raksasa itu bertambah menjadi tiga! Lalu sepasang tangan itu pun tahu-tahu ada delapan dan masing-masing memegang senjata. Kini di hadapan Lu Man-Cung berdiri raksasa dengan tiga kepala berlengan delapan!

“Ilmu siluman…” desah Lu Man-Cung tak percaya.

Lu Man-Cung seorang tua yang sangat tinggi ilmunya. Menghadapi ilmu siluman lawan dia terkejut karena tidak pernah menyangka seumur hidupnya akan menghadapi seseorang dengan ilmu ajaib seperti itu. Tetapi setelah berhasil menguasai dirinya Lu Man-Cung pun dapat melihat dengan terang. Yang di hadapannya bukanlah raksasa berkepala tiga berlengan delapan tapi hanya seorang pendekar muda berambut putih riap-riapan yang buntung kaki kirinya dan sedang berdiri di atas tongkatnya.

Menyadari sang lawan tidak terpengaruh ilmu silumannya pendekar muda itu pun lantas menyerang. Lu Man-Cung bertambah kagum. Lawannya menggunakan ilmu pukulan yang sebentar dingin laksana es dan sebentar panas laksana api. Benar-benar penguasaan tenaga dalam tingkat tinggi!

Pada pertengahan pertarungan tiba-tiba Lu Man-Cung memberikan isyarat kepada semua lawannya untuk maju sekaligus. Melihat ketangguhan lawan yang mereka hadapi maka tanpa sungkan-sungkan lagi puluhan pendekar itu pun meluruk maju menyerang bersamaan. Sekejapan saja Lu Man-Cung sudah menghadapi sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa), pukulan Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Pi-sia-kiam-hoat (Ilmu Pedang Penghalau Iblis), Tokko-kiu-kiam (Sembilan Jurus Ilmu Pedang Tokko), Hok-mo-kun-hoat (Ilmu Pukulan Penakluk Iblis), Im-jian-soh-hun-kun (Ilmu Pukulan Pengikat Sukma), Hang-Liong-Sip-Pat-Ciang (Delapan belas Pukulan untuk Menaklukkan Naga), Tah-kauw-pang-hoat (Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing), Thay-kek-kun, Kian-kun-tay-lo-ie, sabetan golok, tusukan pedang, ratusan pisau terbang, tapak Buddha, pukulan Geledek dan tendangan Naga Murka. Maka ramailah suasana malam itu di atas tebing jurang di bawah sinar rembulan.

Puluhan tahun yang lalu Lu Man-Cung menciptakan ilmu Lak-Meh-Ngo-No setelah dirinya hampir dikalahkan oleh seorang datuk wanita yang menguasai ilmu Lak-Meh-Ngo-Po dengan petikan kecapinya. Pada titik kritis Lu Man-Cung memahami ilmu datuk wanita itu dan pada saat itu juga dia berhasil menciptakan ilmu baru yang berhasil mengalahkan Lak-Meh-Ngo-Po. Datuk wanita itu pun berhasil dikalahkannya dan akhirnya diambilnya sebagai istri. Bersama-sama mereka menyempurnakan ilmu ciptaan Lu Man-Cung itu dan memberinya nama Lak-Meh-Ngo-No. Ternyata saat terkena tenaga sakti Lak-Meh-Ngo-No sang istri terluka dalam. Setahun kemudian dia wafat. Lu Man-Cung menjadi menyesal dan berjanji tidak akan pernah menurunkan ilmu itu kepada siapapun. Namun, dengan berlanjutnya usia dan semakin sempurnanya ilmu Lak-Meh-Ngo-No membuat Lu Man-Cung membatalkan janjinya itu. Dia bertekad mencari pewaris ilmunya itu. Dan ilmu Lak-Meh-Ngo-No hanya bisa dilatih dengan sempurna dengan terlebih dulu mempelajari ilmu memetik kecapinya. Petikan kecapi itu membantu mengatur pernapasan. Kunci petikannya ada pada rumus 18-1-9-8-1-14 dan lanjut ke 8-5-14-4-18-1.

Berkat ilmu Lak-Meh-Ngo-No biar dikeroyok jago-jago silat berilmu tingkat tinggi tak membuat Lu Man-Cung kelelahan. Itulah kunci kehebatannya. Sementara lawan-lawannya satu per satu kelelahan baik karena telah mengeluarkan tenaga banyak atau karena beradu tenaga. Waktu rembulan mulai redup cahayanya para lawan Lu Man-Cung itu pun sudah pada mundur kehabisan tenaga. Masing-masing menjalankan pernapasan guna mengembalikan tenaga. Lu Man-Cung masih berdiri dengan gagah. Hanya pakaiannya yang sudah robek sana-sini dan beberapa pukulan dan tendangan ada yang pernah mendarat di dada, perut, punggung dan hampir di kepalanya. Tetapi sejauh itu Lu Man-Cung boleh dibilang masih dalam kondisi prima.

Tiba-tiba suasana menjadi mencekam. Lu Man-Cung berkerut kening. Dia baru saja merasakan seperti ada seseorang yang sudah mengawasinya dari tadi. Membuat dirinya baru menyadari kehadiran orang itu tentu saja membuatnya bergidik. Jelas orang itu memiliki ilmu yang mungkin seimbang atau bisa jadi jauh di atasnya. Lu Man-Cung menjadi merasa menyesal. Dia menyesal karena terlambat mencari ahli waris ilmu silatnya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik. Suara ketawa yang aneh dan lebih mirip ketawa siluman. Lu Man-Cung semakin was-was. Hawa pertarungan kembali pekat. Suara ketawa itu semakin keras lalu tiba-tiba sesosok bayangan melompat jauh dari atas tebing sebelah sana dan meluncur turun lalu mendarat dengan suara dentuman yang menggoncangkan tebing. Tetapi sosok itu sekarang tidak sedang tertawa tapi lebih seperti mengerang kesakitan. Dari balik wajahnya yang tertutup kerudung merah tampak cahaya berkeredepan di dahinya. Sosok itu bertubuh pendek dan badannya kurus. Waktu mengerang kesakitan itu sepasang tangannya memegang-megang kepalanya seperti sedang mengetuk-ngetuknya. Tampak punggung tangannya berbulu lebat.

Lu Man-Cung melihat para pendekar tadi perlahan-lahan menjauh dari area pertarungan. Sosok pendek itu telah berhenti mengerang. Cahaya berkeredepan di dahinya pun sudah tidak kelihatan lagi. Lu Man-Cung berkerut kening. Gerak-gerik sosok itu mirip kera. Mungkin seseorang yang menguasai jurus kera pikir Lu Man-Cung. Setelah menggeleng-gelengkan kepala seperti hendak meyakinkan kalau kepalanya tidak akan sakit lagi sosok itu pun tahu-tahu sudah menyerang. Gerakannya sangat sangat cepat. Sebuah pukulan mendarat di dada Lu Man-Cung. Tubuh Lu Man-Cung pun terlempar beberapa tombak jauhnya. Untungnya cepat dia dapat menguasai diri dan lantas berjumpalitan di udara lalu mendaratkan kakinya dengan ringan. Kiranya sosok itu sedang mengujinya sehingga tidak lantas menyerang lagi.

Lu Man-Cung sempat melihat cahaya berkeredepan itu lagi saat sosok itu berkelebat cepat menyerangnya. Sesaat sosok itu seperti mengeluh menahan sakit dan itu mengurangi hawa serangannya. Namun, itu saja sudah membuat dada dan isi perut Lu Man-Cung tergoncang hebat. Segera dipetiknya kecapinya untuk memainkan nada-nada yang membantunya menyeimbangkan hawa darah di dalam tubuhnya. Lu Man-Cung tak dapat membayangkan apa jadinya apabila sosok itu tadi tidak berkurang hawa serangannya.

Setelah memutar pernapasannya dengan Lak-Meh-Ngo-No Lu Man-Cung meletakkan kecapinya lalu balas menyerang. Sosok itu pun tak mau ayal lagi lantas sudah melompat menyambut serangan Lu Man-Cung. Sekejapan saja mereka sudah bertarung puluhan jurus di udara. Pada waktu-waktu sosok itu seperti sedang mengerahkan segenap tenaganya berkeredepanlah cahaya di dahinya. Di bawah sinar rembulan Lu Man-Cung dapat sekilas melihat logam yang melingkari dahi sosok itu lah yang memancarkan cahaya berkeredepan. Dan setiap logam itu berkeredep sosok itu langsung mengeluh menahan sakit sehingga tenaga serangannya pun jauh berkurang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Lu Man-Cung yang lantas merangseknya dengan banyak pukulan dan tendangan.

Lima ratus jurus telah lewat. Masing-masing memiliki ilmu kesaktian yang membuat mereka seakan tak pernah lelah. Lalu tibalah saat sosok itu menghantamkan pukulannya dengan mengerahkan segenap kekuatannya tanpa menghiraukan sakit yang hebat di kepalanya. Lu Man-Cung tak sempat menghindar dari deru angin pukulan yang menghantamnya. Terpaksa dia pun menyambutnya dengan mengerahkan semua tenaga. Suara gemuruh hebat menggoncangkan tebing, menyapu pepohonan dan bebatuan. Kedua-puluhan pendekar yang sedang menyaksikan pertarungan itupun banyak yang terlempar.

Lu Man-Cung menggapai kecapinya. Beberapa kali dia muntah darah. Lukanya sangat parah. Untung dia terpental beberapa tombak ke belakang dan terhempas tidak jauh dari tempat dia meletakkan kecapinya tadi. Segera dimainkannya rumus nada untuk memulihkan tenaga. Tetapi Lu Man-Cung tahu bahwa luka dalamnya serius dan tidak bisa lekas dipulihkan. Terbayanglah dia akan kecerdikan Ba Tok-Mu yang biar pun sudah tewas tapi masih bisa menjalankan siasat untuk membalasnya. Meski heran dengan kehadiran semua lawan-lawannya itu Lu Man-Cung tetap mengempos semangat untuk memenangi pertarungan. Dia harus menang. Atau paling tidak kabur dari tempat itu. Sewaktu melawan kedua-puluhan orang pendekar tadi dia pun mendapat ilham untuk menciptakan ilmu silat baru dan menyempurnakan ilmu silat yang telah dimilikinya. Saat terakhir beradu pukulan dan tenaga dengan sosok itu Lu Man-Cung pun terbersit ide untuk lebih menyempurnakan Lak-Meh-Ngo-No. Lak-Meh-Ngo-No tingkat dewa!! Tetapi dia harus selamat lebih dulu.

Sosok pendek itu memperdengarkan suara mengikik. Lu Man-Cung dapat melihat gumpalan darah di depan lawannya itu. Nyata sekali kalau lawannya itu pun terluka parah. Semangat Lu Man-Cung kembali bangkit. Dia masih mempunyai harapan untuk menang. Tiba-tiba sosok pendek itu menggaruk telinganya dan tahu-tahu dia seperti sedang menarik keluar sebatang tongkat yang berkilauan keemasan. Lu Man-Cung tak habis pikir sihir apa yang sedang dimainkan lawannya itu hingga dapat mengeluarkan sebatang tongkat yang sangat panjang dan seperti keluar dari dalam telinganya.

Terdengar siulan nyaring dari sosok itu yang telah melompat ke angkasa dan lalu menghujamkan dirinya ke bawah dengan derasnya dengan tongkat emasnya yang siap dihantamkan. Lu Man-Cung pun menyambar kecapinya, mengerahkan Lak-Meh-Ngo-No tingkat dewa yang baru saja ditemukannya, melesat menyambut hantaman lawan!!!

T.A.M.A.T

terinspirasi film pendek “Feelings of Mountains and Waters” (just google or youtube it)

Pengarang mogei
HitCount 1.631
Nilai total rating_4

5 komentar

icon_comment Baca semua komentar (5) icon_add Tulis Komentar

#1 avatar
andriyanto 23 Maret 2016 jam 10:57pm  

cerita bagus tapi saya mau usul nich gmana kalau ceritanya dibikin berseri.....

#2 avatar
Mogei 30 Maret 2016 jam 10:20am  

terima kasih... kebetulan dapat idenya cuma segitu doank :))

#3 avatar
agustina11 10 April 2016 jam 3:19pm  

Penasaran dg endingnya..
Siaap yg menang...?

#4 avatar
Mogei 12 April 2016 jam 9:38am  

:D iya ya sapa yg menang kira2 ?
tp yg jelas sang tokoh utama msh hidup dn bisa diikuti kelanjutan nasibnya di film animasi Feelings of Mountains and Waters :)

#5
anak6medan 29 November 2016 jam 6:14pm  

Lu Man-Cung kalau duel sama Lu Pe-Sek mana menang ya? :))