Kisah Para Naga

HomeCerita PendekKisah Para Naga

avatar Mogei
10 Agustus 2016 jam 10:47am

Bok-kua si Bocah Pepaya, begitulah gurunya sering memanggilnya, berjalan mati-matian mengikuti langkah kaki sang guru yang berjalan dengan ringannya mendaki kaki gunung Kun-Lun. Mereka berangkat mulai dari subuh tadi dari lembah di balik bukit di sebelah sana. Setengah harian mereka telah berjalan dengan santai melewati sawah, ladang, perkebunan, sungai dan pekuburan. Bok-kua sesekali mengeluh karena kakinya sudah sangat pegal setelah sekian lama berjalan. Tetapi sang guru tidak menghiraukannya. Di atas punggungnya Bok-kua memanggul sebuah kotak besar yang dia sendiri tidak tahu persis apa isinya. Kotak itu terbuat dari kayu hitam yang kelihatannya berasal dari batang pohon yang sangat besar karena bentuknya bundar dan tidak ada sambungannya. Kotak itu murni dari batang pohon yang dilubangi dan dibentuk persis seperti sebuah tempat untuk menyimpan sesuatu. Hanya tutup kotak itu saja yang terbuat dari kain tebal yang sangat kasar permukaannya. Kotak hitam itu tidak terasa berat saat Bok-kua memanggulnya.

“Suhu, matahari sangat panas sekali hari ini.” Ucapnya setengah memelas. Tetapi sang guru masih tak menghiraukannya. Bok-kua mengeluh. Sepasang kakinya mulai malas melangkah.

“Kita tidak boleh berhenti!” suara sang guru terdengar nyaring di telinganya. Jarak di antara mereka ada sekitar 50 tombak. Suara sang guru tidak terdengar seperti orang yang sedang berteriak. Suara itu pelan. Lirih dan pelan tapi terdengar seperti suara guntur di telinga Bok-kua.

“Dia bilang senja hari, Suhu.” Bok-kua memperkirakan apabila mereka beristirahat sebentar masih lebih dari cukup untuk sampai di puncak gunung Kun-Lun di depan sana tepat pada waktunya.

Kalau diperhatikan Bok-kua tidak benar-benar mengikuti langkah kaki gurunya. Dia bahkan selalu menghindar dari bekas langkah kaki sang guru. Jejak langkah kaki sang guru meninggalkan bekas seperti nyala api yang berpendar sekejap. Tetapi Bok-kua juga tidak mau jauh-jauh dari jejak langkah kaki itu. Rerumputan bekas diinjak kaki sang guru tampak lebih hijau dan lebih segar dibanding rerumputan di sekitarnya. Seakan-akan jejak langkah kaki itu meninggalkan serangkum tenaga yang diserap oleh rerumputan itu.

Tampak sang guru sedikit menolehkan kepalanya. Sesungging senyum terlihat sekilas dari wajahnya yang keriput lantas kembali melihat ke arah depan tanpa sedikit pun menghentikan atau memperlambat gerak kakinya.

Melihat sesungging senyum itu Bok-kua tahu apa maksudnya. Orang yang akan mereka temui bukanlah seorang yang bisa dipegang omongannya.

“Mantra yang kuajarkan apa sudah kau hapal?” tegur sang guru tiba-tiba. Saking terkejutnya Bok-kua hampir-hampir menginjak bekas langkah sang guru untung saja dia dapat cepat menghindar.

“S-sudah, Suhu!” serunya setelah menenangkan hati dan melanjutkan langkah kakinya tepat di samping bekas jejak langkah sang guru.

“Kau harus betul-betul menghapalnya,” kata sang guru melanjutkan. “Aku tidak tahu apakah bakal menang atau kalah. Kau harus bisa menjaga dirimu sendiri.”

“Baik, Suhu!”

“Orang-orang bodoh itu tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.” Kata sang guru. “Mereka menyia-nyiakan umur saja.”

Gurunya tidak pernah marah. Selama ini tidak pernah. Bok-kua dapat merasakan urat syaraf di seluruh tubuhnya terasa panas. Itu akibat hawa amarah sang guru.

“Kau masih ingat?” tanya sang guru. Tapi Bok-kua tahu itu bukanlah sebuah pertanyaan yang harus dia jawab. “Kau juga seekor naga.”

Bok-kua tahu itu. Sang guru juga yang telah memberitahunya beberapa waktu yang lalu. Kira-kira sekitar 300 tahun yang lalu. Saat ini Bok-kua hanya ingin sang guru menceritakannya lagi. Semangatnya selalu bangkit tiap kali mendengar kisah asal-usulnya.

Tetapi setelah lama ditunggunya ternyata sang guru tidak melanjutkan kata-katanya. Bok-kua tahu sang guru sedang memendam amarah. Kemarin seekor burung gagak putih menghantar selembar daun. Gagak putih itu sangat besar badannya. Daun yang dibawanya pun juga sangat besar. Saking besarnya sampai menutupi cahaya matahari yang biasa menyinari rumah gubuk mereka. Sang guru berlari keluar hendak mengusir burung gagak putih itu saat dilihatnya ternyata yang menutupi rumah mereka selembar daun yang sangat besar. Di atas daun itu ada tulisannya. Tulisan dengan kata-kata yang sangat menantang. Bok-kua ikut membacanya dari balik jendela kamarnya. Itu surat tantangan dari Sang Raja Naga!

“Sebenarnya aku tidak ada urusan dengan mereka.” Kata sang guru setelah merobek daun raksasa itu dan mengusir burung gagak putih. Bok-kua masih menyaksikan semua itu dari balik jendela kamarnya. Meski berumur lebih dari 300 tahun tapi Bok-kua mempunyai tubuh seperti anak seusia 10 tahun. Itu sebabnya dia harus menggelantung di bingkai jendelanya untuk dapat melongok keluar.

“Siapa mereka, Suhu?”

“Kau ingat aku menemukanmu di balik lembah itu,” jawab sang guru memulai kisah asal-usulnya. “Waktu itu kau masih seorang bayi kecil telanjang yang sedang tidur pulas setelah seribu tahun bertapa dan akhirnya mendapatkan tubuh seorang manusia.”

“Aku menemukanmu di bawah sebuah pohon Pepaya.” Bok-kua pun mengetahui darimana namanya berasal. “Di samping tubuhmu aku menemukan tubuh nagamu yang sudah pucat warna kulitnya. Sama seperti yang lain aku pun menyimpan tubuh nagamu itu.” Bok-kua tahu sang guru masih menyimpan dan merawat tubuh naganya itu. Cuma dia tidak pernah tahu dimana sang guru menyimpannya.

“Kenapa suhu menyimpan tubuh nagaku?” tanya Bok-kua waktu itu. “Dimana suhu menyimpannya? Apa suhu menguburnya?” Tetapi waktu itu pun sang guru tidak menjawab pertanyaannya itu.

“Untuk menjadi seorang manusia,” kata sang guru melanjutkan ceritanya. “Kau perlu bertapa selama seribu tahun untuk mendapatkan tubuh manusia. Seribu tahun lagi untuk mendapatkan jiwanya. Dan seribu tahun lagi untuk memasukkan jiwa itu ke dalam tubuh manusianya. Kemudian kau akan melanjutkan tapamu selama dua ribu tahun sampai akhirnya rohmu keluar dari tubuh naga dan masuk ke dalam tubuh manusiamu.”

“Lima ribu tahun bukanlah waktu yang sebentar.” Lanjut sang guru. “Untuk menjadi seorang dewa kau pun harus bertapa selama seribu tahun untuk mendapatkan tubuh dewa. Seribu tahun lagi untuk mendapatkan jiwanya. Dan seribu tahun lagi untuk memasukkan jiwa itu ke dalam tubuh dewanya. Kemudian kau akan melanjutkan tapamu selama dua ribu tahun sampai akhirnya rohmu keluar dari tubuh manusia dan masuk ke dalam tubuh dewamu.”

“Kau baru seorang manusia,” kata sang guru sambil menoleh ke arah Bok-kua. “Aku sedang melatihmu menjadi seorang dewa. Tetapi kau saksikan sekarang apa yang sudah dikerjakan orang-orang bodoh itu. Mereka menyia-nyiakan waktu mereka dengan percuma. Waktu sepuluh ribu tahun bukanlah waktu yang sebentar.”

“Maksud suhu mereka itu dewa?”

Bok-kua menghentikan lamunannya. Sang guru telah berhenti berjalan. Tanpa terasa sambil melamun tadi telah membawanya ke puncak gunung Kun-Lun. Sang guru berdiri di atas tepi jurang yang paling tinggi. Awan bergumpal-gumpal melintas di angkasa. Tiupan angin gunung membuat awan-awan itu bergerak bergelombang. Bok-kua menatap pemandangan itu dengan takjub. Lama mereka berdiri di situ. Rasa capek dan lelah telah lenyap dari diri Bok-kua. Dia sangat terpesona dengan pemandangan di atasnya.

“Hanya naga yang bisa takjub melihat pemandangan seperti itu.” Kata sang guru tiba-tiba. Dari samping Bok-kua dapat melihat wajah sang guru pun sedang takjub.

Lalu angin pun bertiup lebih kencang. Awan bergumpal-gumpal menggulung lalu berpencaran. Angkasa menjadi bersih dengan warna biru langit yang sangat cerah. Waktu itu sudah senja. Matahari sudah berada di ujung tanduk dunia. Cahaya kemerahan memancar di pinggiran ufuk sementara langit di atas berwarna biru. Lalu terdengar suara gemuruh yang terdengar di kejauhan ufuk di sebelah sana. Suara gemuruh itu terdengar dari pelan lalu makin lama makin keras seperti tambur yang dipukul semakin nyaring. Serangkum gelombang angin berhembus kencang berputaran melempar bebatuan di tanah dan menerbangkan pepohonan.

Bok-kua menyaksikan melesatnya bayangan di atas langit. Melesat secepat kilat menyambar dan tahu-tahu tampak beratus-ratus sosok manusia dengan baju zirah keemasan memantulkan cahaya matahari berbaris melayang di angkasa.

“Suhu…”

Sang guru hanya mengangguk pelan.

Lalu serombongan bayangan yang tak kalah banyak lagi jumlahnya bergerak mendatangi dari kejauhan sana. Bok-kua sampai takjub dibuatnya. Rombongan bayangan yang bergerak belakangan itu kiranya barisan naga beraneka warna yang melayang-layang terbang lalu dengan rapi berbaris di belakang barisan orang di depan mereka.

Lalu terjadi goncangan yang seperti mengikuti suara tambur tadi dari goncangan yang pelan saja sampai goncangan yang menjungkir-balikkan isi dunia. Bok-kua mengenali suara goncangan itu seperti suara langkah-langkah kaki yang melompat-lompat dari kejauhan bergerak mendatangi. Dan disaksikannya entah berapa lagi banyaknya sosok-sosok naga besar dan kecil berlompatan dan mendarat di antara tebing, bukit dan pegunungan di sekitar. Baik naga yang melayang di angkasa mau pun yang tidak sama-sama mengeluarkan suara pekikan yang hiruk pikuk. Untung saja selama 300 tahun ini Bok-kua tidak menyia-nyiakan ajaran gurunya. Segera ditutupnya pintu panca indera dan dibukanya kekuatan hatinya. Kini Bok-kua dapat menyaksikan dengan jelas tanpa harus mendengar suara pekikan naga yang menggoncang sanubari.

Barulah setelah para naga itu menghentikan pekikan mereka muncul serombongan manusia berbaju zirah yang kemilaunya lebih menyilaukan dari cahaya matahari yang paling panas. Rombongan itu memikul tandu mewah dengan segala jenis batu permata dan logam mulia menghiasinya. Tandu itu tertutup dengan kain merah menyala yang berkibaran dengan sangat angkuhnya. Bok-kua menebak pastilah Sang Raja Naga sendiri yang berada di dalam tandu itu.

Lalu suasana menjadi hening.

Bok-kua melihat para naga itu. Para naga dan manusia yang melayang di angkasa itu mempunyai benjolan di dahi mereka. Gurunya pernah bilang hanya naga yang mempunyai benjolan di dahi yang bisa terbang. Untuk mendapatkan benjolan di dahi itu naga harus bertapa selama seribu tahun.

Sesosok manusia dengan baju zirah keemasan tampil ke depan. Wajahnya sangat angker dengan mata melotot dan hidung yang besar. Mulutnya lebar dengan sedikit gigi taring mencuat di pinggir bibirnya. Waktu sosok manusia itu bergerak tadi seperti ada seberkas kilatan cahaya yang memancar. Bok-kua pun lalu memastikan bahwa memang sosok manusia itulah yang mengeluarkan cahaya berkilat-kilat tiap kali dia bergerak. Sosok manusia dewa itu melihat ke arah gurunya dengan sangat angkuh.

“Sudah waktunya.” Suaranya terdengar menggelegar memecah angkasa.

Sang guru pun siaga. Hawa pertarungan sangat pekat memancar dari seluruh penjuru. Lalu sang guru menoleh ke arah Bok-kua. “Mantranya…” seru sang guru tiba-tiba. Bok-kua dapat merasakan kepanikan mengiringi suara sang guru. “Ucapkan mantranya!” seru sang guru lagi.

“Waktu naga berubah menjadi manusia setelah bertapa lima ribu tahun maka mereka tidak membawa ingatan mereka.” Kata sang guru saat mengajarkan mantra itu beberapa waktu yang lalu. “Juga waktu manusia berubah menjadi dewa maka mereka pun meninggalkan semua ingatan mereka. Itu sebabnya tidak ada yang mengetahui jati diri mereka sebelumnya. Saat menjadi manusia atau dewa mereka terlahir sebagai seorang bayi kembali dengan ingatan yang baru.”

“Tetapi dulu.. Dulu sekali ada seekor naga yang bisa melakukan lompatan dari naga langsung berubah menjadi dewa dengan membawa semua ingatannya. Bahkan ingatannya sebagai manusia yang tidak pernah dijalaninya.”

Bok-kua berdecak kagum. “Suhu, aku ingin melompat seperti itu!” serunya.

“Tidak semua naga bisa selalu berhasil menjadi manusia.” Ujar sang guru melanjutkan ajarannya. “Juga tidak semua manusia bisa selalu berhasil menjadi dewa. Selain keberuntungan juga diperlukan keberanian. Dan tidak banyak naga atau manusia yang berani melakukannya.”

“Kalau naga tidak berhasil menjadi manusia apa yang terjadi pada dirinya?” tanya Bok-kua.

“Apabila gagalnya pada waktu perpindahan roh maka kedua tubuhnya akan mati.” Jawab sang guru.

“Suhu, siapa naga yang berhasil melakukan lompatan menjadi dewa itu?”

Bok-kua terkejut. Lamunannya sirna. Dia sedang membaca mantra pemberian sang guru. Tubuhnya tahu-tahu diselimuti cahaya kuning yang sangat panas. Dari balik selimutan cahaya itu dia melihat bayangan gurunya yang sudah berada di sampingnya. Meraih ke kotak kayu yang dipanggulnya. Sang guru membuka kain kasar penutup kotak lalu mengeluarkan sesuatu. Bok-kua kaget bukan main karena ternyata yang dikeluarkan sang guru adalah tubuh seekor naga yang sangat besar. Bok-kua kaget karena tidak menyangka kotak kayu yang dipanggulnya mulai dari mereka berangkat tadi ternyata tubuh seekor naga. Hebatnya Bok-kua tidak merasa berat memanggul tubuh raksasa itu sepanjang jalan. Dan lebih hebatnya lagi kotak kayu itu bisa memuat tubuh naga sebesar itu. Dan yang lebih luar biasa lagi tubuh gurunya yang kecil kurus sanggup mengeluarkan naga raksasa itu dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah tangannya yang lain mati-matian menahan tubuh Bok-kua yang bergoncang hebat.

Para dewa dan semua naga hanya menyaksikan saja. Sosok dewa yang tampil ke depan tadi pun masih dengan wajah angkuh mengikuti semua kejadian itu jauh di bawahnya.

“Aku akan mengajari mantra lompatan itu,” kata sang guru waktu itu. “Kau harus menghapalnya. Pada waktunya nanti hanya mantra ini satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkanmu.”

Bok-kua terdiam sejenak. Berpikir. Lalu katanya, ”Suhu, saat melompat nanti yang kuperlukan lebih banyak keberuntungan atau keberanian?”

Sang guru tersenyum. “Kamu tahu setelah membaca mantra itu kamu tidak perlu lagi keduanya.” Dan Bok-kua memang tahu itu.

Dalam kesadarannya Bok-kua dapat merasakan goncangan tubuhnya makin hebat. Tubuhnya bergetar sangat kencang. Tetapi Bok-kua telah menutup panca inderanya dan membuka kekuatan hatinya yang membuatnya dapat melihat di luar tubuhnya. Dia melihat sang guru membaca sesuatu lalu meniup ke arah kepala naga raksasa yang dipegangnya. Tubuh naga itu lantas menggeliat. Sepasang matanya terbuka. Memandang tajam ke arah sang guru. Lalu tiba-tiba saja kedua tangan sang guru saling menghantam. Bok-kua dan tubuh naga itu menyatu. Bok-kua pun merasakan kesakitan yang amat sangat. Seluruh bagian tubuhnya serasa pecah berkeping-keping. Suara raungan membahana ke seluruh penjuru alam semesta.

*****

Tubuh Bok-kua dan tubuh naga masih dalam proses menyatu. Kekuatan alam mengamuk di sekitar kedua tubuh itu. Pepohonan tercabut dari akarnya. Rerumputan masuk ke dalam bumi. Genangan air sungai di kejauhan berputar ke angkasa dan tidak pernah turun lagi. Sang guru telah melompat mundur untuk menyaksikan hasil karyanya. Dia merasa yakin akan kemenangan di pihaknya. Untuk melawan seluruh kekuatan dewa dan naga yang sedang menantangnya cukup diperlukan 2 orang dengan kekuatan di atas dewa. Dua naga yang melakukan lompatan. Bok-kua akan menjadi naga kedua yang akan hidup dalam lompatannya menjadi dewa. Menjadi di atas dewa. Menjadi maha dewa.

Sambil tersenyum sang guru melihat ke angkasa. Apa yang dilakukannya tadi pastilah membuat mereka kaget dan heran dengan apa yang sedang dikerjakannya. Itu sebabnya mereka menjadi tertegun dan mengikuti perkembangan selanjutnya. Sang guru mengenal baik siapa yang menantangnya. Telah beberapa kali surat tantangan diterimanya. Tetapi selama itu surat tantangan itu hanya mengatakan bahwa Sang Raja Naga akan datang. Tetapi selama itu Sang Raja Naga tidak pernah datang. Surat tantangannya hanya omong kosong belaka. Sampai pada akhirnya surat tantangan yang terakhir menyuruh sang guru untuk datang ke pegunungan Kun-Lun. Baru lah sang guru sadar bahwa selama itu Sang Raja Naga sedang menyiapkan bala tentara untuk menghadapinya. Sang Guru pun habis sabar. Dia ingin memberi pelajaran kepada para naga congkak itu.

Mantra lompatan pun diajarkan kepada Bok-kua untuk sekedar jaga-jaga. Sang guru belum mengetahui seberapa kuat kekuatan lawan. Dia tidak mau mengambil resiko dengan menyatukan tubuh Bok-kua lebih dulu. Bagaimana pun sang guru tahu bahwa Bok-kua akan menjadi di atas dewa karena Bok-kua melompat saat dia menjadi seorang manusia bukan seekor naga seperti dirinya dahulu. Kekuatan Bok-kua akan bisa melebihi dirinya. Sang guru tidak menyukai itu.

Saat melihat barisan kekuatan lawan yang maha dahsyat maka sang guru pun tidak mempunyai pilihan lain. Dia harus membuat Bok-kua melompat. Sang guru telah memperhitungkan segala resiko. Dia tahu apabila Bok-kua gagal melompat maka tidak hanya dia akan kehilangan murid satu-satunya itu bahkan jiwanya pun akan melayang dibantai sekumpulan dewa dan naga. Maka dipersiapkannya agar sebelum melompat Bok-kua memanggul tubuh naganya sendiri. Dan sepanjang jalan sang guru meninggalkan bekas injakan kakinya untuk menarik tenaga alam dari dalam bumi. Tenaga alam itu tertarik oleh tenaga sang guru. Tubuh naga Bok-kua lantas menyerap tenaga alam itu. Maka terisilah tubuh naga itu dengan jiwa dari alam semesta. Sebuah kekuatan yang cukup untuk membantu proses penyatuan dengan tubuh manusia Bok-kua yang lantas akan melakukan lompatan dan menjadi maha dewa.

Kini sambil menunggu Bok-kua melompat sang guru bersiap-siaga berjaga-jaga kalau-kalau musuh menyerang. Sangat ingin dia apabila Sang Raja Naga sendiri yang turun tangan sehingga semuanya ini akan cepat selesai. Tetapi sang musuh yang angkuh luar biasa itu masih enggan menampakkan batang hidungnya. Bahkan tirai kain merah yang menutup tandu itu masih belum ada tanda-tanda dibuka dari dalam. Sang guru pun menebak bahwa musuhnya mungkin sedang ketakutan. Tirai kain merah itu berkibaran tertiup angin kencang. Tenaga alam yang mengamuk di sekitar situ membuat semuanya beterbangan. Tak terkecuali para naga yang tidak terbang jadi terlempar ke segala penjuru. Sang guru tersenyum senang.

“Dasar bodoh!” katanya berbicara kepada dirinya sendiri dan ditujukan kepada mereka. Proses penyatuan tubuh Bok-kua dengan tubuh naganya telah selesai. Sesaat lagi Bok-kua akan melakukan lompatan. Melompat masuk ke dalam tubuh dewanya yang telah terbentuk selama proses penyatuan tadi. Sang guru menjadi tegang. Inilah titik penentuan yang paling kritis. Sepasang matanya tajam menatap ke arah tirai merah. Siap-siap kalau-kalau Sang Raja Naga keluar dan menyerang Bok-kua sehingga lompatannya gagal.

Lalu terjadilah.

Bok-kua melompat.

Tirai merah itu masih berkibaran dengan sangat kencang.

Lalu serangkum pusaran angin menghembus tirai merah itu ke atas. Sepasang mata sang guru terbelalak. Tandu itu kosong!

*****

Tenaga alam telah berhenti mengamuk. Sekumpulan dewa dan naga masih menyaksikan semua kejadian tadi di angkasa. Sang guru menyesal. Dia telah menyadari sesuatu. Dia menyesali umurnya yang telah ratusan ribu tahun. Dia menyesali saat pertama dia mengetahui bahwa sebagai naga dia bisa melakukan lompatan untuk langsung menjadi dewa. Dia menyesali semua resiko yang telah ditempuhnya untuk melakukan lompatan itu. Sebuah lompatan yang akhirnya ratusan ribu tahun kemudian tidak ada seekor naga pun yang mempunyai kemampuan dan keberanian untuk itu. Sang guru hampir gagal melompat. Tenaga alam yang diserapnya ternyata kurang. Hampir saja tubuhnya lenyap dari jagad raya. Untung di saat-saat terakhir takdir telah menentukannya sebagai dewa. Seorang dewa tua. Sang guru membawa semua ingatannya sebagai naga. Dan semua ingatannya sebagai manusia yang tidak pernah dijalaninya. Lompatan takdir yang telah membawanya ke alam dewa.

Sang guru pun menyesali saat pertama kali dia mengumumkan itu ke seluruh jagad raya. Sebagai yang pertama dari para naga yang berhasil menjadi dewa. Mengusik ketenangan alam naga yang membuat mereka berebut ingin melakukan hal yang sama. Tetapi banyak yang gagal dan akhirnya lenyap. Sehingga para naga pun lebih memilih melakukan tapa sepuluh ribu tahun untuk menjadi dewa. Akan tetapi kiranya ada seekor naga yang tidak pernah menyerah. Bahkan dengan sangat sabar menyusun segala rencana yang akhirnya berakhir di saat ini.

Sang guru menyadari bukan karena kebetulan dahulu dia menemukan seorang bayi dengan tubuh naganya. Dan kini dia menyesali saat ingat dulu setiap merawat tubuh naga bayi itu dia selalu tergoda untuk melenyapkannya. Akan tetapi takdir tetap takdir. Dan takdir itu telah ditulis mendahului semua kejadian.

Sang guru mendengar namanya dipanggil. Nama naganya yang selama ratusan ribu tahun tidak pernah terdengar lagi di seluruh alam semesta. Dan dia tidak akan pernah lagi mendengar nama itu untuk selama-lamanya.

“…Yang Pertama dari para Naga.“ kata Bok-kua yang kini telah berubah menjadi sosok Maha Dewa kepada sang guru. “Yang Pertama dari para Dewa. Yang Pertama Melompat. Pemegang Warisan Alam Naga. Pengendali Alam Dewa. Sang Guru... Yang Binasa.”

***** TAMAT *****

Pengarang mogei
HitCount 1.726
Nilai total rating_5

6 komentar

icon_comment Baca semua komentar (6) icon_add Tulis Komentar

#2 avatar
Mogei 13 Agustus 2016 jam 1:39pm  

tks udh mau baca bro..

sementara mm dapatnya cm segitu aja
nnt dh dlanjut kalo mm ada ide
sengaja bikin cerita pendek soalnya kalo bikin bacaan sebentar aja sdh hilang kena post yg lain

#3 avatar
boedie 21 Desember 2016 jam 5:10pm  

Seru..tpi sayang lum da kelanjutannya...ty

#4 avatar
bulim 7 Maret 2017 jam 1:50pm  

Di tunggu kelanjutanya suhu
👍👍👍

#5
kurotagusu 16 Maret 2017 jam 11:38am  

suka dengan ceritanya. endingnya jadi antihero yang menah

#6 avatar
Syna 5 Juni 2017 jam 11:01pm  

thanks buat mz mogei yg dah buat crta ini,cz ceritany kereen bngt meski cuma 2org tokohny tp tetap enak d baca,malah bikin penasaran sama akhrny yg tragis miris tp gx bkin sedih jg, knpa gx d bikin lanjutn ny lw bsa????