Home → Cerita Pendek → Dari Hembusan Angin...
Di puncak gunung Maja yang sangat dingin terlihat seorang kakek tua kurus yang rambut dan jenggotnya telah memutih. Dihadapannya duduk sejajar empat orang muridnya. Muridnya ini terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Urutannya mulai dari yang tertua adalah Panji, Mahesa, Brama, dan Ningsih. Dan sudah bukan rahasia lagi diantara tiga orang laki-laki murid kakek tua itu terjadi persaingan asmara untuk memperebutkan Ningsih yang sangat cantik. Panji berusia muda, tampan dan pesilat yang sangat tangguh. Mahesa berpostur tinggi, ganteng dengan kumis tipis sehingga kesannya adalah pemuda yang cukup romantis. Dia juga pesilat yang sangat tangguh. Sedangkan Brama berpostur ceking, tapi tidak tinggi seperti Mahesa, wajah pun bisa dikatakan kurang menarik. Ilmu silatnya pun agak tertinggal dari saudara-saudara seperguruannya sehingga bisa dikatakan dia kalah segala-galanya terhadap Panji dan Mahesa.
Keheningan pun terhenti ketika guru mereka yang bernama Ki Sanca berkata, “wahai para muridku, aku ingin mengetahui kemajuan kalian selama sepuluh tahun aku mendidik kalian disini. Panji, bagaimana tenaga dalammu? Apa yang telah dapat kau lakukan?â€
“Baik guru, saya telah mampu melawan hawa dingin seperti es di puncak ini tanpa menghimpun tenaga dalam sama sekali. Bila saya mengerahkan tenaga dalam sedikit saja maka pohon-pohon yang saya lewati daun-daunnya menjadi kuning mengering, “ jawab Panji sambil melirik Ningsih. Panji berharap Ningsih menjadi kagum dan tertarik. Tapi Ningsih hanya menunduk.
“Hm..bagus, kau sudah mulai memasuki tataran tertinggi dari tenaga dalam perguruan kita. Selanjutnya kamu Mahesa, apa yang telah kau peroleh?†kembali bertanya Ki Sanca.
Mahesa menjawab, juga sambil melirik Ningsih, “baik guru, saya mampu membekukan dan menjatuhkan burung yang terbang dengan jari telunjuk dari jarak jauh.†Tak ada reaksi dari Ningsih, dia tetap menunduk.
“Juga cukup bagus. Tapi tahukah kamu Mahesa, apabila kau sudah mampu mengusai tenaga dalam perguruan kita hingga tataran tertinggi maka kau akan mampu menjatuhkan burung yang terbang cukup dengan tatapan mata, †kata Ki Sanca. “Lalu kamu Brama, apa yang bisa kau lakukan?â€
Brama membatin, dia sungguh tertinggal. Dia hanya punya sedikit kecerdikan dan sedikit harapan dari bahasa tubuh yang tampak dari Ningsih. Biarlah aku bertaruh pikirnya, biarlah aku menjawab ngawur kepada guru. Bila guru marah tapi Ningsih kuketahui perasaannya itu sudah cukup. Biarlah aku diusir guru daripada hidup disini menderita memendam perasaan.
Lalu berkatalah Brama dengan mantap, “baik guru, seandainya Ningsih berdiri di timur, maka dari hembusan angin yang datang dari timur maka aku telah tahu..â€
“Hm..dengan tenaga dalammu Brama, apa yang telah capai?†Kembali menegaskan Ki Sanca.
“Iya guru, dengan tenaga dalam yang telah kucapai maka aku telah tahu dari hembusan angin yang melewati Ningsih menuju ke arahku bahwa Ningsih mencintaiku.â€
“Aah..!†Terdengar jeritan kecil Ningsih. Air matanya menetes..
Brama menunduk, dia tidak memperdulikan lagi apa yang terjadi. Bahkan kepada Ningsih dia tidak menatap sedikit pun.
Hening sejenak, sebagai guru yang telah banyak makan asam garam kehidupan Ki Sanca sanggup menguasai emosinya. Dia juga telah paham apa yang terjadi pada murid-muridnya. Dia akan mengambil keputusan supaya tidak terjadi perpecahan yang membesar apabila mereka selalu berkumpul.
Ki Sanca memandang Ningsih dan bertanya, “Ningsih, jawab dengan jujur bagaimana perasaanmu terhadap Brama? Apakah kamu mencintainya?â€
“Benar guru, saya mencintainya, “jawab Ningsih dengan mantap. Dia telah yakin dengan pilihannya dan siap menghadapi resikonya.
Dengan menghela napas Ki Sanca berkata, “pergilah kalian berdua dari sini. Jangan pernah kesini sebelum kalian mengharumkan nama perguruan kita.â€
Pengarang | Nopia Riza |
---|---|
HitCount | 92 |
Nilai total |