Home → Cerita Pendek → Pertarungan di Hutan
Sudah lama aku punya janji pada sahabatku mau datang menemuinya, namun baru hari ini aku punya kesempatan untuk berkunjung ke kampungnya.
Sahabatku tinggal di sebuah perkampungan yang ada di pedalaman Sumatra. Namun namanya perkampungan yang ada di pedalaman lokasinya sangat jauh dan harus melalui hutan belantara yang masih dihuni binatang buas. Namun bukan masalah jauh atau harus melalui hutan belantara yang masih banyak binatang buasnya yang membuat aku baru sempat berkunjung ke sahabatku, karena menjelajah hutan adalah pekerjaanku, tetapi karena kabar burung adanya perampok sadis yang beroperasi di jalan yang akan menuju kampung sahabatku. Perampok sadis dan brutal yang tidak segan-segan menghabisi nyawa korbannya. Tetapi entah mengapa hari ini aku begitu ingin bertemu sahabatku. Dengan memantapkan hati, aku berangkat menemuinya.
Hari masih sangat pagi aku sudah berjalan menelusuri jalan yang lebarnya hanya satu meter. Jalan yang sebagian masih berlumpur. Di kiri kanannya pohon-pohon tinggi menjulang langit serta semak belukar. Kicau burung bersahutan dengan aneka suara binatang hutan. Monyet-monyet terlihat bergelantungan di dahan-dahan pohon. Jalan ini yang aku ketahui sebagai jalan pintas menuju perkampungan sahabatku. Jalan yang masih alami dan sulit dilalui kendaraan. Karena itu, jalan kaki adalah pilihan yang aku ambil.
Hari sudah beranjak siang ketika aku tiba di jalan bercabang yang agak lebar. Ini adalah jalan umum yang sering dilalui orang-orang yang akan ke kampung sahabatku.
Sedang asyik aku berjalan sambil menikmati semilirnya angin dan kicau burung-burung, tiba-tiba dari balik sebuah pohon besar melompat tiga orang lelaki bertampang sangar. Mereka berdiri berjajar menghalangi jalan. Golok tajam mengkilat sudah tergenggam di tangannya.
"Pilih harta ATAU nyawa?" gertak salah satu dari tiga perampok sambil mengacungkan goloknya.
"Saya pilih ATAU aja dech, om." jawabku sambil mundur selangkah menjaga jarak aman.
"Bangsat, kamu!" maki si perampok.
"Lah, yang bangsat tuch saya atau om?" kataku terheran-heran. Dia yang bangsat kok aku sich yang dituduh.
"Kalau ingin selamat, serahkan tas yang kamu bawa!" gertak perampok yang satunya. Oalah, mereka ingin tas toh. Apa mereka mau sekolah yach?
"Ini tasku. Bila kalian ingin tas, silahkan datang ke toko tas." jawabku asal bunyi. (Pengarang cerita Sada memang agak susah untuk serius. Bikin cerpen aja gaya ngawurnya masih kebawa-bawa. Kayaknya ngawur dan asal-asalan sudah menjadi trade mark-nya nich).
"Ni anak cari mati. Kita habisi aja." kata perampok yang ketiga sambil bersiap melancarkan serangan.
Aku segera pasang kuda-kuda. Melihat gelagatnya memang tidak ada pilihan lain bagi diriku selain bertarung dengan mereka. Walau aku menyerahkan tasku, aku tidak yakin mereka akan melepaskan aku dalam keadaan hidup. Apalagi bila mereka tahu isi tas yang aku bawa hanya bekal makanan dan pakaian. Mereka tentu akan murka.
Aku meletakan tas di atas tanah. Ribet rasanya bertarung sambil menggendong tas yang lumayan berat. Walau isinya cuma pakaian dan bekal makanan, tetapi karena agak banyak, tas menjadi berat.
Salah seorang dari tiga perampok melompat sambil menebaskan goloknya ke kepalaku. Golok berkelebat bagai malaikat maut yang siap mencabut nyawaku.
Aku memajukan kaki kiri ke depan. Tangan kiriku menangkap pergelangan tangan perampok yang memegang golok. Kaki kananku bergerak ke samping badannya. Tangannya aku pelintir. Kaki kananku mengait kakinya dan tinju tangan kananku menghantam telak punggungnya. Buk! Tubuh si perampok jatuh tersungkur mencium tanah. Kaki kananku menendang pergelangan tangannya dengan keras. Golok yang dipegangnya terlepas dan jatuh di dekat kakinya.
Golok di tangan perampok yang satunya berkelebat ke leher. Aku cepat menyambar golok perampok yang tergeletak di dekat kakinya sambil merunduk. Golok lewat di atas kepala. Tubuh si perampok condong ke arahku terbawa gerakannya. Sebelum si perampok menarik goloknya,golok yang aku pegang aku gunakan untuk membabat kakinya. Bret! Kena. Si perampok menjerit kesakitan. Kakinya berlumuran darah.
Melihat dua rekannya tak berdaya dan terluka, perampok yang ketiga melompat dan menusukan goloknya ke arah perut. Aku cepat berkelit ke kiri sedikit. Golok lewat hanya beberapa centi dari perutku. Seperti rekannya, tubuh si perampok pun terdorong ke depan terbawa gerakannya. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Golok di tanganku aku sabetkan ke depan. Bret! Ujung golok yang tajam dan runcing mengenai dadanya. Si perampok menjerit. Dadanya berlumuran darah.
Sekilas ku lihat perampok pertama bangkit dan melempar belati ke arahku. Belati melesat bagai anak panah. Aku cepat berkelit. Belati lewat dan menancap di sebuah pohon. Sebagai ganti kecurangannya yang telah membokongku, gantian aku yang melempar goloknya. Golok melesat dan menancap di belikatnya. Perampok yang pertama menyerangku menjerit kesakitan. Darah mengalir dari belikatnya. Senjata makan tuan!
= = =
.
.
.
*.Cerita ini hanya fiktif. Imajinasi pengarang.
**.Sebenarnya kalau terus dikembangkan cerita ini bisa agak panjang, tetapi pengarang ada kesibukan lain ketika menulis cerita ini dan berhenti sampai situ. Beberapa hari kemudian ketika akan dilanjutkan, pengarang sudah lupa jalan ceritanya. Jadilah cerita hanya sampai disitu. Hahaha.
.
.
.
Pengarang | Nur S |
---|---|
HitCount | 4.065 |
Nilai total |