Home → Cerita Pendek → Geger di Kudus
- bagian 8 –
Sementara itu, Malam menjadi semaki larut. Udara dingin dimalam hari yang menyelimuti pelosok Kota Kudus ternyata mulai dihangatkan oleh suasana yang penuh ketegangan. Kehadiran dua pasukan segelar sepapan yang memenuhi kota Kudus seolah mampu menindih dinginnya udara malam di Kudus. Mendung seolah mulai menggelayuti langit Kudus, dan hanya para pemimpin tertinggi dari kedua Kadipaten besar itulah yang mampu menahan agar mendung tak menjadi hujan yang dapat dipastikan hujan itu akan mengakibatkan banjir bandang yang mampu menyeret dan menelan korban tak terhitung jumlahnya.
Pajang dan djipang adalah dua kekuatan besar yang tersisa semenjak Demak mulai meredup karena kehilangan pemimpinya. Dan pemimpin Kadipaten Djipang maupun pemimpin Kadipaten Pajang adalah dua sosok pemimpin yang menyimpan kelebihannya masing masing dengan sebuah kekuatan besar yang menopang dibelakangnya.
-----------------
Hari itu langit kota Kudus begitu cerahnya. Sinar matahari pagi telah mulai menghangatkan kota Kudus dengan siraman cahayanya. Namun suasana kota Kudus sendiri seolah memancarkan ketegangan yang terasa menyelimuti seluruh pelosok dan sudut sudut kota Kudus. Kehadiran dua pasukan besar dari kadipaten Pajang dan Djipang di kota Kudus memang telah menimbulkan suasana yang penuh dengan kecurigaan dan ketegangan.
Sementara itu, terlihat sekelompok kecil utusan dari Kangjeng Sunan Kudus telah keluar dari pusat kota Kudus dan bergerak menuju ke tempat perkemahan dari Adipati Pajang, Hadiwijaya. Utusan Kangjeng Sunan Kudus itu memang diperintahkan secara khusus untuk menjemput dan mengiringi Adipati Hadiwijaya beserta rombongannya memasuki kota Kudus menuju dalem Kudusan.
"Kami persilahkan Kisanak untuk menunggu sejenak, Kangjeng Adipati sedang mempersiapkan diri untuk berangkat menuju ke dalem Kudusan", berkata seorang Lurah prajurit yang bertugas memimpin kelompok pengawal Adipati Pajang.
"Baiklah, kami akan menunggu", jawab utusan dari Kangjeng Sunan Kudus tersebut.
"Apakah Kisanak adalah bagian dari prajurit Djipang yang memang ditugaskan untuk menjemput Kangjeng Adipati Pajang". Bertanya lurah prajurit pengawal Adipati Pajang kepada utusan itu.
"Bukan..., bukan kisanak, kami bukan prajurit Kadipaten Djipang. Kami adalah murid murid di Kudus".
"Oooo...., aku sudah menyangkanya. Baiklah...silahkan duduk. Tak lama lagi tentu Kangjeng Adipati Hadiwijaya akan segera berangkat menuju Dalem Kudusan". Berkata lurah prajurit pengawal Adipati Pajang itu sambil mempersilahkan utusan itu untuk menunggu.
Sementara itu, didalam barak perkemahannya Adipati Pajang itu memang sedang mempersiapkan diri untuk berangkat memasuki kota Kudus. Nampak para pemimpin Pajangpun telah bersiap diri untuk mendampingi Adipati Hadiwijaya itu. Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Wila dan Ki Wuragil telah bersiap pula mendampingi Adipati Pajang itu.
"Apakah Kakang Pemanahan telah mengatur semuanya termasuk pasukan Pajang yang akan tertinggal di luar kota Kudus". Bertanya Adipati Pajang itu kepada Ki Ageng Pemanahan.
"Demikianlah Kangjeng Adipati, hamba telah mengatur semuanya serta memberikan arahan arahan atas tugas tugas mereka bersama kelompoknya masing masing", jawab Ki Ageng Pemanahan.
"Baiklah.., aku mempercayai Kakang sepenuhnya. Marilah kita berangkat kakang sebelum matahari menjadi semakin tinggi".
Namun sebelum Adipati Pajang itu meninggalkan perkemahannya untuk berangkat, tiba tiba saja Adipati Hadiwijaya itu menghampiri Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Dengan mencondongkan badannya untuk lebih mendekatkan dirinya kearah wajah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi terdengar Adipati Hadiwijaya itu berbisik perlahan.
"Kakang Pemanahan dan Adi Penjawi. Jangan jauh jauh dariku. Jagalah aku layaknya kalian menjagaku di masa masa yang lalu", terdengar perlahan kata kata dari Adipati Hadiwijaya itu namun terasa ada getaran dan kesungguhan yang terlontar dalam nada suaranya.
Sesaat Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi tercekat hatinya hingga untuk sekejap keduanya justru menjadi terdiam. Terasa ada yang berdebar didalam jantung Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi mendengar permintaan dari sahabatnya yang sekaligus adalah junjungannya itu.
Sambil menahan gejolak yang ada didalam dadanya Ki Penjawi menjawab.
"Kangjeng Adipati, kenapa Kangjeng Adipati berkata demikian", dan Ki Ageng Pemanahanpun menambahkan dengan kata katanya.
"Kangjeng Adipati, bukankah selama ini kami selalu berada bersama dengan Kangjeng Adipati dalam keadaan yang bagaimanapun juga".
Dan Adipati Hadiwijaya itupun menjawab lirih.
"Ya...ya.. Kakang. Sudahlah jangan hiraukan kata kataku lagi. Aku sudah siap untuk berangkat sekarang ini".
Mendengar kata kata dari Adipati Hadiwijaya itu hati Ki Ageng Pemanahan justru semakin menjadi berdebar. Ada sesuatu yang rasanya mulai mengaburkan panggraitanya.
Ki Ageng Pemanahan sangat mengenal dengan baik sahabatnya itu. Sahabatnya adalah seorang yang linuwih dengan ilmu ilmunya yang terpilih. Dengan ilmu yang dimilikkinya, sahabatnya itu mampu menangkap getaran getaran lembut yang tidak bisa tertangkap oleh indra kewadagan. Panggraitanya sangat tajam dan mampu mengurai isyarat yang terjadi disekelilingnya.
Dan Ki Ageng Pemanahan dapat merasakan nampaknya sahabatnya itu telah menangkap satu isyarat yang menggelisahkan hatinya. Untuk sesaat Ki Ageng Pemanahan telah memejamkan mata wadagnyanya dan mencoba untuk menajamkan mata batinnya, dan sesaat selanjutnya terlihat wajah Ki Ageng Pemanahan menegang, tanpa disadarinya jantung Ki Ageng Pemanahan telah berdegup kencang.
Namun Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi apalagi Adipati Hadiwijaya sendiri adalah orang orang yang telah mapan dalam menguasai ilmu ilmu linuwih yang mengeram didalam dirinya masing masing, sehingga sikap merekapun telah menunjukan akan kematangan penilaiannya dalam menanggapi keadaan yang berkembang.
Dengan jantung yang masih berdegup kencang, Ki Ageng Pemanahan berdesis perlahan, desis yang hanya mampu didengarnya sendiri.
"Memang luar biasa kemampuan dari Kangjeng Adipati Hadiwijaya. Ternyata Kangjeng Adipati Hadiwijaya justru telah mengingatkan aku dan Adi Penjawi bahwa telah ada kekuatan yang tidak kasat mata yang mulai membayangi dan seolah ingin melemahkan dan melumpuhkan tekad dari prajurit Pajang. Aku dan Adi Penjawi ternyata telah lalai menanggapi keadaan ini".
Dengan menahan debar pada jantungnya, Ki Ageng Pemenahan itu tiba tiba menghaturkan sembah ke hadapan Adipati Pajang.
"Ampun Kangjeng Adipati, ternyata hamba dan Adi Penjawi telah lalai dalam menjaga keselamatan Kangjeng Adipati sehingga hamba tidak mampu menangkap isyarat isyarat yang telah mengancam keselamatan Kangjeng Adipati. Hamba baru menyadarinya, ternyata ada kekuatan yang tak kasat mata yang mencoba menyerang Kangjeng Adipati meskipun menurut panggraita hamba kekuatan itu saat ini telah semakin memudar".
Melihat sikap dari Ki Ageng Pemanahan itu, dengan terburu buru Adipati Hadiwijaya telah mendekat kembali kearah Ki Ageng Pemanahan. Sambil menepuk bahu dari Ki Ageng Pemanahan, Adipati Hadiwijaya berkata.
"Kakang Pemanahan dan Adi Penjawi, janganlah kalian bersikap seperti itu apalagi bersikap terlalu merendahkan diri. Bukankah aku mengenal Kakang Pemanahan dan Adi penjawi seperti aku mengenali diriku sendiri. Apa yang dimilikki Karebet tentu Kakangpun memilikkinya, juga demikian pula dengan Adi Penjawi karena memang kita mendapat tuntunan dari guru yang sama. Mungkin karena kakang Pemanahan dan Adi Penjawi disibukkan oleh tugas tugas dalam menjaga keselamatankulah yang membuat panggraita Kakang menjadi terpecah dan menjadi sedikit kabur. Sementara aku sendiri mampu menangkap getaran getaran itu justru karena getaran itu nampaknya memang diarahkan kepadaku sehingga aku mampu merasakannya secara langsungâ€.
Adipati Hadiwijaya terdiam sejenak, matanya menatap tajam kearah dua sahabatnya itu. Dan selanjutnya terdengar kembali kata kata dari Adipati Hadiwijaya itu.
“Bagi Kakang Pemanahan dan Adi Penjawi getaran itu memang menjadi kabur dan lemah pengaruhnya sehingga Kakang tidak begitu merasakannya karena Kakang dan Adi Penjawi bukanlah sasaran yang dipilih. Aku mulai merasakan getaran itu sejak dinihari tadi. Namun yang perlu Kakang waspadai adalah, panggraitaku mengatakan bahwa getaran getaran itu aku rasakan begitu kuatnya. Getaran itu bagaikan ribuan jarum jarum halus yang menyusup ke dalam diriku dan berusaha melemahkan hatiku. Terasa ada satu dorongan yang begitu kuatnya dan berusaha untuk memaksa dan mempengaruhi sikapku. Getaran itu seolah terus menerus mendesakku dan berusaha untuk menghilangkan kekuatanku dalam mengenali jati diriku sendiri".
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi hanya terdiam tercekat mendengar penuturan dari Adipati Pajang itu. Kedua sahabat Adipati Pajang itu tentu mampu membayangkan betapa besarnya kekuatan yang telah mempengaruhi pribadi dari Adipati Pajang yang pilih tanding itu.
Hanya kekuatan yang dahsyatlah yang mampu memaksa Adipati Pajang itu harus membentengi dirinya dengan ilmu ilmunya yang linuwih yang dimilikkinya.
Dengan suara yang bergetar Ki Ageng Pemanahan bertanya pada Kangjeng Adipati Hadiwijaya.
"Lantas apa pendapat Kangjeng Adipati menanggapi satu pengaruh yang telah menyerang kangjeng Adipati dengan cara yang tidak sewajarnya itu".
"Entahlah Kakang, aku belum bisa menyimpulkannya. Kekuatan itu begitu besarnya dan berusaha untuk terus menerus mendesakku. Aku nyaris tidak bisa mempertahankan diri, namun tiba tiba saja disaat aku mulai kesulitan untuk mempertahankan pendirianku, entah darimana sumbernya tiba tiba Aku mendapatkan kekuatan yang mendukungku hingga aku mampu bertahan sampai akhirnya getaran getaran itu berhenti dengan sendirinya. Syukurlah ternyata akhirnya aku masih selamat dan masih tetap bisa mengenali diriku sendiriâ€.
Dengan nada suara yang menyiratkan akan keragu raguannya, Adipati Hadiwijaya itu berkata lebih lanjut.
“Bukan maksudku untuk berprasangka buruk kepada Kakang Mas Arya Penangsang karena Akupun tidak yakin kalau Kakangmas Adipati Djipang mampu melakukan ini dengan ilmunya. Bagaimanapun aku mengenali sebagian besar ilmu yang ada didalam diri Kakangmas Adipati Penangsang".
"Lantas menurut Kangjeng Adipati siapakah yang telah melontarkan kekuatan yang nggegirisi itu sehingga mampu mengancam keselamatan Kangjeng Adipati. Apakah ada kekuatan lain yang turut hadir di Kudus saat ini".
"Aku tidak bisa menduga duga Kakang Pemanahan. Aku sangat asing dengan kekuatan itu. Aku hanya bisa merasakan betapa dahsyatnya ilmu itu berusaha menindih dan menguasaiku. Dan yang perlu Kakang Pemanahan dan Adi Penjawi ketahui, kekuatan itu tidak bermaksud untuk menyerang dan melukaiku secara kewadagan yang mungkin bisa saja merenggut nyawaku, tetapi kekuatan itu menyusup ke dalam diriku dan bemaksud untuk melemahkan kepribadianku sehingga aku bisa saja kehilangan kendali atas diriku sendiri". Berkata Adipati Hadiwijaya kepada sahabatnya itu.
Sambil mengangguk angguk Ki Penjawi berkata, "Bagaimanakah pendapat Kangjeng Adipati dengan Pamanda Mantahun".
"Kalau memang Pamanda Mantahun yang telah mengirimkan ilmu itu, maka Pamanda Mantahun adalah orang yang benar benar tidak ada duanya dengan ilmunya. Kalau terjadi sesuatu yang buruk antara Pajang dan Djipang maka Pamanda Mantahun adalah kekuatan yang nggegirisi dan Pajang akan kesulitan meredamnya".
"Belum lagi adik seperguruannya yang disebut Sumangkar itu", berdesis Ki Penjawi seolah ditujukan pada dirinya sendiri.
"Demikianlah Kakang Pemanahan dan Adi Penjawi, untuk itulah aku meminta agar kakang Pemanahan dan Adi Penjawi untuk selalu mendampingiku dan jangan sejengkalpun mengambil jarak denganku".
Namun untuk selanjutnya Adipati Pajang berkata. "Tapi marilah kita berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu apapun pada kunjungan kita kali ini untuk menghadap Kangjeng Sunan Kudus. Aku masih mempercayai sepenuhnya bahwa Kangjeng Sunan Kudus akan selalu menjaga keselamatan Pajang karena kedatangan kita ke Kudus adalah atas Undangan dari Kangjeng Sunan Kudus itu sendiriâ€.
Sambil memperbaiki wiron pada kain panjang yang dikenakannya akhirnya Adipati Hadiwijaya itu berkata, “Marilah Kakang, matahari telah mulai memanjat semakin tinggi. Aku justru merasa ingin secepatnya hadir di dalem Kudusan. Aku telah siap lahir dan batin apapun yang akan terjadi padaku juga kepada keberlangsungan Pajang".
bersambung....
Pengarang | S. Panuntun (Alsinisi) |
---|---|
HitCount | 39 |
Nilai total |
Baca semua komentar (1) Tulis Komentar
#1 |
traxoro
22 November 2018 jam 11:32am
 
Genre cerita kesukaanq, berangkat dr sejarah dg bumbu² pemanis utk menarik pembaca. Seperti kisah Mahesa Djenar di Nogososro Sabuk Inten karangan SH. Mintardja (cmiiw). |