Home → Cerita Pendek → Cerita Pendek oleh amrita
AMBILLAH pisau dan daging paha sapi atau kambing yang tergantung di dapur. Tusukkan pisau ke daging. Bagaimana bunyinya? Jika tak ada daging, keluarlah ke kebun, cari pohon pisang, tikamlah. Jika kau tak mendapati pohon itu, bahkan pisau pun tak punya, beginilah bunyinya, jleb! Empuk, enak di telinga, nyaris merdu.
Pikiran seperti
Kalender kematian tersisa empat halaman...
Bulan-bulan berduka yang ditinggalkan, akan sangat kesepian...
Bulan Januari melakukan kesalahan yang sama...
Seorang diri,terus mengejar bayang-bayang bulan november...
Dalam kesedihan yang dimainkan dalam orkestra kematian..
Diiringi Senyum mendung dalam pakaian berkabung..
Bulan november akan menjadi bulan yang damai menuju tempat tidurmu..
Setengah malaikat, dan setengah Dewa kematian..
menemani istirahatmu dalam tidur yang
Setiap pagi, bila langit sedang bahagia, kalangkang gunung menyerung kota kecil itu. Warnanya lebih tua dari langit, meski sama-sama biru. Saat matahari menggeliat, raut pegunungan ikut merona. Lekuk-lekuk ngarai ditutup rerimbun hijau bagai pinggang dan pinggul gadis-gadis menari.
Tatkala cahaya pagi menyentuh bumi, sungai-sungai keperakan, berkerlip menyilaukan. Seperti air sungai yang
Ibuku selalu mengatakan padaku agar aku menjaga hatiku supaya tidak patah. Percayalah, aku berusaha keras menjaganya agar tidak tergores segaris pun. Hati bagai pagar rumah, dia melindungi segalanya.
Ketika aku mengenal kekasihku, kubuat dia berjanji untuk selalu menjaga hatiku. Tapi mulut memang lancar berdusta. Hari berlarian cepat, memberiku kebahagiaan yang kemudian
Aku sangat yakin, ayah tiriku bukan keturunan manusia, apalagi dewa. Ia adalah hasil persetubuhan antara iblis dan kuntilanak di semak-semak pinggir kali beraroma tinja. Jiwanya yang untuk sementara dibiarkan bebas oleh Sang Maha Penguasa lalu menyusup ke tubuh manusia, sehingga manusia itu menjadi pencoleng, penjudi, dan pemabuk. Akhirnya, ia mati
Semenjak usianya genap 80 tahun, orang-orang Kampung Lekung berkeyakinan, ajal Kurai sudah dekat. Melihat tubuh ringkihnya terkulai letai di atas dipan usang tanpa selimut, barangkali tak akan habis baju sehelai, ia sudah mengembuskan napas penghabisan. Rimba persilatan tentu berkabung sebab kehilangan pendekar paling licin yang pernah ada di Kampung Lekung.
Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh mayat-mayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa
Andai saja aku dan pacarku tak berbuat dosa, pasti aku tak jadi begini. Meregang nyawa di usia 20 tahun karena pacarku memasaksaku melakukan aborsi.
I
Dengan kuda terbang aku mencarimu. Kubisikkan angin kematian agar menyepah celaka. Ingatkah kau hikayat kita? Kisah gumpal darah yang kau gugurkan. Aku ingin mengubah kisahnya. Menghadirkan merah,