Post-41250

Post 167 dari 174 dalam Sekedar Renungan

HomeForumGeneral discussionsSekedar RenunganPost-41250

#167 avatar
hey_sephia 12 Juli 2007 jam 6:46pm  

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis.

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai
akhirnya
.....

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang
dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep
dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi
yang
akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip
seorang
mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional
di
Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih
memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama
berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf
pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang
enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud
menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu
kota
ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil
untuk
ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah
mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu
betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani
secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol
jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak
lincah,
cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang
itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar,
tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu
nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali
menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk
menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini
''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek
minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan
perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali
ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh
ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya
super
sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada
keluarga
ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya
penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat
diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit
berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut
membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!''
kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir,
mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak
lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa
ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.
''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt
sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil
pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya.
Ia
shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani
memang
menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih,
di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari
sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,
berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya
ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga
kan?'' Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya
mematung
seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini
konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan
kuat.
Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas
tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,
lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan
Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..''
Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan
tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang
menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan
kehilangan yang amat sangat.

-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan
ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang
disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan
saja
dulu.

-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan
kasih
sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti
karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalam
kisah
tsb.

Catch the chance, keep and manage it well