Post-80287

Post 4 dari 4 dalam Ang I Nio-Cu

HomeForumKomentar BacaanAng I Nio-CuPost-80287

#4 avatar
ezulk 8 Juni 2016 jam 8:29am  

Moga-moga nggak salah. Koreksi Bab 8.

Bab 8 – Pertandingan di Air

Namun, Kiang Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke rumahnya. Akan tetapi, setelah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya menjadi pucat. Rumahnya nampak seram dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara ketawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat memutar tubuh memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan kadang-kadang telunjuknya menuding ke arahnya, nampaknya perempuan itu geli sekali.
“Kau siapakah dan apa yang kaulakukan di sini?” tanya Kiang Liat.
“Hi, hi, hi... Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah kepadaku? Aku siapa? Ha, ha, lucu sekali. Bukankah aku ini bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Sudah begitu pelupakah engkau?”
Kiang Liat terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.
“Ceng Si...! Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”
Tiba-tiba Ceng Si menangis tersedu-sedu. “Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya .... !”
Kian Liat makin pucat mukanya dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor, lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang kosong dan sunyi.
“Ceng Si, kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”
Ceng Si memekik keras dan matanya memancarkan sinar kemarahan ketika ia melangkah maju dan seperti hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
“Kau laki-laki jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha, ha, ha! Isterimu mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas melihatmu sekarang, setan dan iblis telah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih bersih dan suci! Kaukira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha, ha, ha, goblok sekali engkau! Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa ia bermain gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, aku menjadi pembantunya yang setia! Ha, ha, Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha, ha, dan suaminya menjadi cemburu, membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya.” Ceng Si tadinya marah-marah, lalu tertawa-tawa mengejek, kemudian tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu.
“Kasihan Bi Li... kasihan Song-ciocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh suamiku....”
Makin banyak mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si, menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan,
“Jangan bunuh aku...!” jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta ampun.
“Ceritakan semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau bohong, kepalamu akan kuhancurkan di sini juga!”
“Ampun Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku. Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai ji-hujin. Karena itu, aku membujuk-bujuk Siocia yang masih muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan memaksa Siocia membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan dipergunakan sebagai alat pemeras. Siocia ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh Kiang-wangwe, maka segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Banyak sudah uang dan perhiasan dapat kami peras dari Siocia dan...”
Kata-kata Ceng Si berhenti sampai di situ saja, disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya ia hendak membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa perempuan ini sudah menjadi orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat bagi hidupnya.
Dengan kedua kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan mata terbelalak. Seakan-akan ia melihat isterinya berdiri di tengah kamar.
“Bi Li, isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li...” ia berbisik dan maju lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengan menubruk dan hendak memeluk kaki isterinya. Akan tetapi, ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada siapa-siapa dan ia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh sarang laba-laba!
“Bi Li...” hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar itu. Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat, dan akhir-akhir ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siang-koan, sudah sepekan Kiang Liat tidak makan. Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan melukai jantungnya. Ia amat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, ia meninggalkan isterinya yang disangka dahulu melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati sakit sekali.
Kini, tidak saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar isterinya itu, telah meninggal dunia, ini semua tidak begitu hebat kalau dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik bahkau telah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si! Dan isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.
Kiang Liat menggeletak pingsan di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari. Ketika ia siuman dan dapat bergerak kembali, kamar itu telah gelap. Kiang Liat nanar seketika, tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar lemas. Ia merangkak bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan segala sesuatu yang dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan, hatinya terasa disayat-sayat.
“Bi Li... Bi Li...” kedua matanya menjadi basah dan tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki yang layu, terhuyung-huyung keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.
Tetangganya, Empek Lai yang bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata berkasihan ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.
“Lai-lopek, tolonglah kaututurkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im Giok...” kata Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.
“Aah... Kiang-wangwe, marilah masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat, Wan-gwe... kasihan anak dan isterimu...” kata empek itu dengan suara bernada kasihan.
Kiang Liat menggeleng kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya. “Lopek, tak usahlah, terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”
“Tak seorang pun di antara kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin telah menggeletak pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan setelah ia siuman dari pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami mendengar berkali-kali ia menyebut-nyebut namamu dan nama Nona Im Giok, kemudian ada juga ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali anaknya dari orang yang ia sebut Enci Pek Hoa...”
Keterangan ini menambah perih hati Kiang Liat. Apalagi di bagian isterinya pingsan di luar rumah, kemudian bagian yang menceritakan betapa dalam sakit menghadapi maut isterinya masih terus menyebut-nyebut namanya, ini benar-benar membuat hatinya berdarah dan sakit bukan main. Kiang Liat tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan tubuh tanpa minta permisi lagi, pergi dari situ dengan kaki limbung dan tangan kirinya menekan dada kiri yang terasa sakit sekali. Tak lama kemudian ia terbatuk-batuk dan... darah segar keluar dari mulutnya!
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat…” demikian ia berbisik. “Anakku terjatuh di tangannya... aku... aku harus hidup, menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu nyawa denganmu...”
Dalam keadaan yang amat sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk dan muntahkan darah, Kiang Liat meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, orang yang telah menculik Kiang Im Giok, puterinya.
***
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu...” Suara ini terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang kebetulan berada di hutan besar itu, tentu akan terheran-heran mendengar suara ini, suara seorang anak perempuan. Bagaimana seorang anak perempuan dapat berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas? Apalagi kalau orang itu melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja dengan seorang gadis yang cantik sekali. Dua orang perempuan, seorang gadis dan seorang bocah, berdua saja di dalam hutan yang terkenal banyak binatang buas dan perampok-perampok ini, benar-benar aneh!
Anak perempuan itu adalah Kiam Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li yang telah diculik oleh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Im Giok malam tadi ketika sedang tidur nyenyak, diam-diam telah didekati oleh Pek Hoa, ditekan jalan darahnya sehingga anak ini terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu lagi. Pada keesokan harinya, setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkannya. Im Giok merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya berada dalam pondongan tamu yang cantik itu.
”Bibi, bagaimana kita bisa berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”
“Im Giok, anak baik, bukankah kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau harus ikut ke mana pun juga gurumu pergi.”
Akan tetapi Im Giok sudah teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia diturunkan dari pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu!”
Kata-kata ini ia ulangi terus dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa, seakan-akan hendak menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan, apakah wanita itu baik atau jahat.
“Im Giok, bukankah kau sudah menyatakan suka menjadi muridku? Ayahmu seorang gagah, dan kau sebagai anaknya juga harus berwatak gagah, tidak boleh menarik kembali janjimu.”
“Aku memang suka menjadi muridmu, akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega meninggalkan ibu seorang diri. Ibu sering kali sakit...”
Pek Hoa tersenyum. Diam-diam ia kagum sekali melihat anak itu. Cantik dan gagah, berdiri tegak menentangnya seperti seekor harimau kecil! Benar-benar seorang murid yang banyak harapan, pikirnya.
“Im Giok, jangan khawatir. Ibumu sudah kusembuhkan.”
“Bagaimana kau bisa menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.
Pek Hoa tertawa memperlihatkan barisan gigi yang putih seperti mutiara di balik sepasang bibirnya yang merah sehat.
“Kau anak bodoh! Masih tidak percaya akan kepandaian gurumu sendiri? Orang menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”
Biarpun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti akan arti huruf-huruf dan sebutan-sebutan.
“Artinya bahwa kau seorang Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih cantik dari ibu. Akan tetapi, apa buktinya kau seorang bidadari yang pandai mengobati ibu? Kata orang, bidadari pandai terbang, apa kau bisa terbang?”
Kembali Pek Hoa tertawa dan memuji sifat teliti dari anak itu.
“Bagus, kau masih belum percaya kalau belum melihat bukti. Sifat ini amat baik dan harus kaupelihara selama hidupmu. Apalagi menghadapi kaum pria, kau jangan gampang percaya. Kau masih sangsi apakah aku bisa terbang? Tentu saja bisa. Kalau kau sudah melihat buktinya, apakah kau takkan rewel lagi dan mau ikut dengan aku tanpa banyak tanya?”
Im Giok memang masih kecil, baru enam tahun usianya. Akan tetapi ia seorang anak cerdik sekali. Ia semenjak kecil telah ditinggalkan ayahnya yang berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu silat tinggi, boleh dibilang ia masih buta. Maka tentu saja ia menganggap mustahil bagi seorang manusia untuk dapat terbang seperti bidadari atau burung. Oleh karena ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan ibunya untuk menjadi murid seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu enak sekali? Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke... bulan!
“Kaulihatlah, bukankah di puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang indah sekali?” tanya Pek Hoa sambil menunjuk ke atas.
Im Giok memandang dan sebentar saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat seekor burung dada kuning sedang berloncat-loncatan dari ranting ke ranting puncak pohon yang tinggi.
“Aku melihat, burung dada kuning, bukan?”
“Bagaimana orang dapat menangkapnya?”
“Mana bisa ditangkap? Burung itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia sudah lari terbang ketakutan,” jawab Im Giok.
“Nah, kau lihat baik-baik. Aku akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!” Sebelum Im Giok mengeluarkan ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya dan tubuhnya melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok memandang ke atas dengan melongo. Gadis cilik ini melihat betapa Pek Hoa benar-benar seperti seekor burung besar menyambar ke atas, baju celananya dari sutera itu berkibar-kibar tertiup angin membuat ia kelihatan seperti seorang bidadari cantik jelita tengah terbang bermain-main dengan bunga dan burung.
Tentu saja sepasang mata Im Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa tentu saja sama sekali bukan “terbang”, melainkan melompat ke atas, menyambar dahan untuk menarik tubuh makin ke atas, demikianlah, dari cabang ke cabang, Pek Hoa sempat membuat tubuhnya kelihatan seperti terbang. Gin-kangnya memang sudah tinggi sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biarpun orang dewasa kalau belum tajam pandangan matanya, pasti akan mengira dia benar-benar pandai terbang seperti bidadari.
Tak lama kemudian, Pek Hoa melayang turun dan di tangannya sudah tergenggam seekor burung kecil dada kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok, Im Giok tidak tahu bahwa Pek Hoa tadi telah mempergunakan tenaga lwee-kang untuk menghantam burung itu. Ketika ia melompat ke atas, burung itu hendak terbang, akan tetapi dengan menggerakkan tangan kanan ke arah burung, Pek Hoa telah berhasil membuat burung itu jatuh ke bawah yang segera ia sambar dengan tangan kiri.
Dalam anggapan Im Giok, Pek Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini percayalah ia bahwa Pek Hoa tentu seorang bidadari yang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut sambil berkata,
“Pouwsat, teecu sekarang suka menjadi murid dan ikut pergi ke manapun juga, asal teecu diajar terbang!”
Pek Hoa tertawa girang. “Bodoh, aku bukan bidadari jangan memanggil pouwsat. Mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi kau tidak boleh menyebut pouwsat, harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”
Im Giok merasa heran, akan tetapi ia lebih suka menyebut enci daripada harus menyebut pouwsat.
“Baikiah, Enci Pek Hoa. Lekas kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”
Pada saat itu, terdengar suara orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga orang laki-laki dari semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok yang berwatak kasar dan kejam. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun, dan ketiga-tiganya menakutkan sekali dengan cambang-cambang bauk dan tubuh kekar berotot.
“Siapakah mereka, Enci...?” Im Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.
“Diam dan lihatlah saja bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.
Sementara itu, tiga orang perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok dan Pek Hoa. Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di dalam rombongan terdapat wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat di situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan hati-hati mereka menghampiri dan mengintai, karena biasanya rombongan yang lewat di hutan ini tentu dikawal oleh piauwsu (pengawal) pandai ilmu silat. Setelah mereka mengintai, hampir mereka tak dapat percaya akan penglihatan sendiri. Bagaimana seorang wanita dan seorang bocah dapat berada di tengah hutan tanpa pengawal? Mereka segera melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri Pek Hoa dan Im Giok.
Kalau tadi tiga orang perampok itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan Pek Hoa dan Im Giok, mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan dibuka lebar-lebar, mengagumi wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu. Kemudian, tiga buah kepala digerakkan saling pandang, lalu meledaklah suara ketawa mereka yang menyeramkan.
“Ha, ha, ha, Ji-te dan Sam-te, alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut menghadapi harimau betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya yang diintai hanyalah seorang bidadari cantik dan seorang anak mungil. Ha, ha, ha!”
Dua orang adik angkatnya tertawa-tawa geli pula, dan pandangan mata tak pernah dilepaskan dari wajah Pek Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.
“Twako, biarpun tadi kita menyusup-nyusup dan bersembunyi-sembunyi, akan tetapi sama sekali tidak rugi. Biar aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai tertusuk-tusuk duri, aku bersedia asal bisa mendapatkan seorang bidadari seperti dia ini. Ha, ha, ha!”
“Huah, siauwte. Bunga indah seperti ini, mana Twako mau memberikan kepada kita? Bagiku, lebih baik aku mengambil bocah ini kalau dipelihara beberapa tahun lagi saja, kiranya takkan kalah cantik oleh dara itu.”
Orang pertama, yang agak pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak. “Ji-te memang benar sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah banyak aku memetik bunga, akan tetapi belum pernah aku melihat yang seindah ini. Ji-te dan Sam-te terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.” Kemudian ia melangkah maju menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil tersenyum manis sekali.
“Aduh, Nona... senyummu itu... ah, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum seperti itu! Mari ikut dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah, aku ini jelek-jelek juga raja hutan ini, orang menyebutku Hek-lim-ong (Raja Hutan Hitam). Dua orang ini adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu, juga bukan sembarang orang karena kiranya tidak ada keduanya orang-orang yang disebut Siang-san-houw (Sepasang Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona manis, mari kupondong agar kedua kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana hendak ke mana?” Dengan lagak dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya demikian menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.
“Enci Pek Hoa, lekas kauusir mereka...” katanya.
Orang ke dua dari tiga sekawan ini, yakni Twa-san-houw (Harimau Gunung Tertua), menyengir dan ikut melangkah maju.
“Aha, kiranya enci adik! Pantas saja yang kecil demikian cantik mungil, hampir sama dengan yang besar. Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang kecil.”
Sementara itu, biarpun bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali sehingga ia merasa seakan-akan dadanya hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau saja ia memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang ini kalau tidak lari tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun. Akan tetapi ia tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak lain hanya membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.
“Bagus! Bagus sekali kalian sudah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan selalu merasa kecewa. Tidak enak mencabut nyawa orang-orang yang tidak diketahui siapa namanya.”
Mendengar kata-kata ini, Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.
Ha, ha, ha, alangkah lucunya! Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut kalau melihat senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau aku bisa...”
Kata-kata ini disusul oleh jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan sinar putih menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan Twa-san-houw kaget memandang adik mereka, ternyata Ji-san-houw telah rebah tak bernyawa lagi, matanya mendelik dan dari mulut serta hidungnya mengalir darah menghitam. Ternyata ia telah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga Putih) dari Pek Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala bunga yang mengandung racun berbahaya sekali!
Suasana berubah seketika. Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli, sekarang mereka menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat marahnya mencabut senjata golok besar dari pinggang.
“Eh, tidak tahunya setangkai bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekas berlutut minta ampun kalau kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”
Benar-benar Twa-san-houw tidak dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau nekat melainkan karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia tidak dapat menduga apakah yang telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.
“Cacing busuk, apakah kau tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau hendak menyusulnya? Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau lambat?” kata Pek Hoa dengan suara mengejek.
Twa-san-houw mengeluarkan gerengan keras dan ia cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah leher Pek Hoa.
“Ji-te, jangan merusak mukanya yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah. Memang Hek-lim-ong ini mata keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuat ia tergila-gila, apalagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang memang memiliki kecantikan seperti bidadari. Maka, biarpun seorang kawannya telah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja ia tidak menaruh hati benci kepada dara ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita itu. Maka ia mencegah ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona itu dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, dalam sekejap saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu lenyap menjadi perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri. Dengan sepasang matanya ia menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat. Ketika tadi golok di tangan Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa mengirim tendangan kilat ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar pekik dari mulut Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh rampok itu terjengkang, goloknya berpindah tangan dan nyawanya telah melayang dan menyusul adiknya sebelum tubuhnya menyentuh tanah!
Kepandaian Hek-lim-ong tentu saja lebih tinggi daripada kepandaian kedua orang kawannya yang sudah tewas. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas golok dan mengirim tendangan maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang memiliki kepandaian silat tinggi. Dalam sekejap mata nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu hati untuk membunuh Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa mengeluarkan suara lagi ia mencabut goloknya dan menyerbu, membacok dengan gerak tipu Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran). Bacokannya cukup cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.
Namun, Hek-lim-ong adalah seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat kampungan belaka, ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat kecil. Dalam setiap perkelahian, Hek-lim-ong lebih mengandalkan tenaga dan keberanian serta gertakan belaka. Kini ia menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sama saja halnya dengan sebuah semangka besar menghadapi sebilah pisau kecil!
Pek Hoa menggerakkan golok di tangan, yang tadi ia rampas dari Twa-san-houw, menangkis serangan lawan dengan pengerahan tenaga lwee-kang. Goloknya digerakkan dan begitu sepasang golok bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya lagi. Seakan-akan lengan yang memegang golok terkena aliran yang membuat lengannya lumpuh dan kesemutan. Golok terlepas dari tangan dan tanpa kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan tubuh dan melarikan diri seperti dikejar setan.
Pek Hoa tertawa nyaring dan merdu, tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan Hek-lim-ong mengeluarkan jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya tersungkur ke tanah, akan tetapi dadanya tak dapat menyentuh tanah karena tertahan oleh ujung golok. Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek Hoa tadi telah menembus punggungnya dan ujung golok sarnpai keluar dari dadanya!
Semua peristiwa ini disaksikan oleh Im Giok yang berdiri seperti patung, sepasang matanya terbelalak lebar, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan orang mati, apalagi orang terbunuh secara demikian mengerikan. Sekarang ia memandang dengan mata penuh kengerian kepada Pek Hoa.
“Im Giok, kenapakah? Takutkah kau melihat semua ini?”
“Tidak takut, akan tetapi ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Mereka orang-orang jahat, harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan memiliki kepandaian seperti aku, kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”
“Aku tidak akan berani melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”
“Mengerikan? Apanya yang ngeri? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah lebih buas daripada binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi kita, lebih-lebih bagi wanita muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya daripada binatang hutan.”
“Aku tidak berani melihat muka mereka!”
Tiba-tiba Pek Hoa menyambar lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu di dekat mayat Ji-san-houw. Mayat ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari mulut hidung keluar darah hitam, tanda terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.
“Buka matamu, lihat muka penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada Im Giok yang menutup matanya. “Im Giok, apakah pada harl pertama kau sudah lupa akan janjimu? Kau harus taat kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka matamu dan pandang baik-baik muka tiga orang laki-laki jahat ini!”
Im Giok terpaksa membuka matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat Ji-san-houw sehingga tercium olehnya bau yang amat tidak enak.
“Lihat! Pandang terus sampai muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak boleh merasa ngeri melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci! Kau harus membenci laki-laki seperti ini. Harus! Pandang terus sampai kau tidak merasa ngeri lagi.”
Memang, obat paling manjur untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut akan menjadi berani kalau nekat. Demikian pula Im Giok. Gadis cilik ini tadinya merasa ngeri dan takut-takut untuk mendekati mayat-mayat itu, apalagi disuruh memandangnya dari dekat. Akan tetapi, setelah ia dipaksa oleh Pek Hoa dan ia menjadi nekat, benar saja, tak lama kemudian lenyap rasa ngeri dan takut-takut. Yang ada hanya sebal, muak dan benci.
“Ingatlah, laki-laki macam ini kalau tidak dibunuh, akhirnya akan mencelakakan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini kurang ajar, tidak menghormati wanita, tidak menghargai wanita. Mereka ini bisanya hanya menghina dan mengganggu wanita belaka, menganggap wanita seperti manusia peliharaan, seperti benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan seperti sepatu mereka! Kelak kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang ajar seperti ini. Mengerti?”
Im Giok masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi ia memang cerdik sekali sehingga ia dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang amat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman wanita murid Thian-te Sam-kauwcu. Sedikit demi sedikit, Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini men jadi seperti dia! Cantik jelita, berilmu tinggi ganas dan bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya!
Makin giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Semua teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya dapat ia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat, gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Makin sayanglah Pek Hoa kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok.
Hati Pek Hoa masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhunya. Musuh besarnya yang harus dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak begitu berat. Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang tidak mempunyai niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, ia merasa cukup kalau sekarang dapat merampas Im Giok dan menjadikan murid sehingga kelak Kiang Liat akan mendapat malu.
Karena maklum bahwa musuh-musuh besarnya, selain Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka, yang pandai dan lihai, untuk sementara waktu, Pek Hoa tidak berani memperlihatkan diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam kepandaiannya. Di antara banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada semacam kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh dua dari barat ini, khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu. Seperti telah diketahui, tiga orang tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih, Pek-in-ong lalu menciptakan ilmu silat yang sesungguhnya bukan merupakan ilmu pukulan, melainkan merupakan ilmu sitat yang diubah sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, maupun memukul menjadi gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki. Gerakan yang demikian memikat dan lebih tepat kalau disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang ddpat membangkitkan nafsu jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih!
Dahulu Pek Hoa tidak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat Bi-jin-khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini diciptakan oleh Pek-in-ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin-khai-i. “Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh. Kalau kau sudah dapat menangkap isinya dan kaumainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kaupergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu.”
Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin-khai-i. Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini maka diam-diam ia merasa bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok bersembunyi di sebelah puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri dan melatih muridnya.
Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok juga menjadi seorang pesolek! Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan lalu dicampur dengan obat, lalu diminumnya!
“Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?”
“Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!”
Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!
“Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”
Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.
“Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”
“Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?”
“Kaulihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”
“Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa.” Pek Hoa tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok. Kaubilang aku cantik dan berapa kaukira usiaku?”
“Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun.”
Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi...”
“Empat puluh tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.
Pek Hoa mengangguk. “Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”
Im Giok menjadi girang sekali. “Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau.”
Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.
Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.
“Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”
Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan.
“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kaumainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?”
Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.
“Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa.”
Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.
Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah.
Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah hendak mencari Ayah?” Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.” Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
“Im Giok, jangan kaupandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih. Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
***
Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali. Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya.
Rambutnya hitam panjang, digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang berrnata merah tergantung di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang, menempel di punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya. Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah. Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan dihias dengan pita merah pula. Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pamandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih ia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka kini ia merasa gembira dan bangga bukan main. nyata bahwa empat lima tahun tidak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti dahulu-dahulu. Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, ketika tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, mengapa ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah. Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apalagi ketika ia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapapun juga, ia harus akui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya kalau Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.
“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa-tawa dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seakan-akan siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha, ha, ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguhpun ia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” katanya sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.
“Ha, ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya,” Kam Kin menepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan, kamar yang bersih dan layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka. Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini di dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruang depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiokmu.”
Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, dan lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Makin terbukalah matanya dan biarpun belum berani ia menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik. Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Biarpun Pek Hoa baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan kepadanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap amat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun ia dilayani dengan baik-baik, bahkan ia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok sudah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok, mari kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku.”
“Yang mana, Enci?” tanya Im Giok ikut gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.
“Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin telah menanti di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula! Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, maka ia cepat berkata,
“Susiokmu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya paling, baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagal murid orang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, sedangkan Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan hati sebal dan muak ia melihat betapa sikap gurunya dan susioknya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap mesra. Makin besarlah perasaan tidak suka mendesak di hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.