Home → Forum → Books → Silat ala Khoo Ping Hoo dan Gan KL
#1 |
pepe haliwell
1 November 2003 jam 2:06am
 
What's your faves? |
|
#2 |
eeyore
1 November 2003 jam 6:24pm
 
bu kek sian su dan masih banyak lagi |
|
#3 |
siryu
3 November 2003 jam 2:30pm
 
aduh terus terang gua gak inget cerita2 KPH, abis rata2 mirip sih cuma cerita ttg bales dendam, cowo n cewenya cakep!! ilmunya tinggi trus ceritanya berlanjut trus ke anak cucunya or sepupunya!! bosen lama2!! |
|
#4 |
andrea7974
3 November 2003 jam 5:07pm
 
gua cuma ingat Pendekar Mata Keranjang...tokohnya namanya Hai Hai....cakep, charming, playboy...tapi dia.. masih virgin tuh...sampe dia menikah. kalau dlm bhs Hebrew dia itu shomer... |
|
#5 |
ToOn99
3 November 2003 jam 5:16pm
 
mana ada cowok playboy tapi masih virgin sampe nikah. elo ditipu sama kho ping ho deh. |
|
#6 |
andrea7974
3 November 2003 jam 5:21pm
 
ToOn99 menulis:adalah...aku percaya pasti ada. kalau cewek player tetap masih virgin aja banyak kenapa cowok nggak ada? itu artinya cowok yang...tahan godaan atau.... :roll: |
|
#7 |
ToOn99
3 November 2003 jam 5:26pm
 
itu sih DVD player , anyway ini udah off topic |
|
#8 |
pepe haliwell
4 November 2003 jam 3:19am
 
source : detik.com Kho Ping Hoo Kho Ping Hoo terlahir di Sragen, Solo, Jawa Tengah, pada 17 Agustus 1926 dari keluarga Tionghoa peranakan. Ping Hoo hanya mencecap bangku sekolahan sampai kelas I HIS ( Hollandsche Inlandsche School ), namun minat baca dan keinginannya untuk menulis tinggi. Setelah gonta-ganti pekerjaan, akhirnya dia mulai menulis cerita pendek sejak tahun 1952. Pada tahun 1958, cerpen pertamanya dimuat di majalah terbesar Indonesia saat itu, Star Weekly. Nampaknya, hal inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan bakat kepenulisannya. Namun, Ping Hoo tidak memilih menulis cerpen biasa, tapi menciptakan cerita silat (cersil). Soal persilatan dikenal Ping Hoo dari ayahnya yang mengajari silat keluarga kepadanya sejak kecil. Cersil perdananya, Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat bersambung di majalah Teratai, majalah yang didirikannya bersama beberapa pengarang lain. Cersilnya segera populer, apalagi setelah Ping Hoo menerbitkannya dalam bentuk buku saku. Penerbit Gema di Solo adalah penerbitan yang dibangunnya sendiri dan jadi penerbit tunggal cerita-cerita silat dan novelnya hingga kini. Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL dan OKT, Ping Hoo tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Meskipun Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan tahun-tahun dinastinya. Cersilnya yang yang terkenal adalah "Serial Bu-Kek Sian-Su" yang terdiri dari 17 judul, dari "Bu-Kek Sian-Su" hingga "Pusaka Pulau Es". Setiap judul terdiri dari 18 sampai 62 jilid. Dalam serial ini pula terdapat judul "Pendekar Super Sakti" yang dianggap karyanya yang paling populer. Selain itu, patut pula disebut serial lain, seperti "Pedang Kayu Harum" dan "Pendekar Budiman". Sedangkan yang kini Anda dapat nikmati di Detikcom adalah "Suling Emas" yang merupakan bagian dari "Serial Bu-Kek Sian-Su". Untuk karya berlatar Jawa, Ping Hoo terkenal dengan beberapa karyanya, seperti "Darah Mengalir di Borobudur" dan "Badai di Laut Selatan". "Darah Mengalir di Borobudur" bahkan pernah dipentaskan berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk sandiwara radio. Selama 30 tahun berkarya, Ping Hoo menghasilkan lebih dari seratus judul karya. Angka pastinya masih jadi persoalan. Peneliti sastra peranakan, Leo Suryadinata, mencatat 120 judul, sedangkan Majalah Forum mencatat lebih banyak lagi, 400 judul cerita berlatar Tiongkok dan 50 judul berlatar Jawa. Namun, pada akhirnya Ping Hoo harus berhenti berkarya. Pada Jumat, 22 Juli 1994, serangan jantung telah membawanya menghadap Sang Pencipta secara tiba-tiba. Daftar Karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo terbagi atas: Serial Bu-kek Sian-su Serial Dewi Sungai Kuning (Huang-ho Sian-li) Serial Iblis dan Bidadari Serial Jago Pedang Tak Bernama (Bu-beng Kiam-hiap) Serial Kasih Diantara Remaja Serial Kisah Si Pedang Kilat Serial Mestika Burung Hong Kemala Serial Naga Sakti Sungai Kuning Serial Pedang Kayu Harum (Siang-bhok-kiam) Serial Pedang Naga Kemala (Giok-liong-kiam) Serial Pedang Sinar Emas (Kim-kong-kiam) Serial Pendekar Sakti (Bu-pun-su Lu-kwan-cu) Serial Raja Pedang Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Serial Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) |
|
#9 |
pepe haliwell
4 November 2003 jam 3:20am
 
Gan KL, Setelah Cerita Silat Usai... RUMAH di Jalan Purwosari, Semarang itu cukup besar. Oleh si empunya, Gan KL (72), bagian depan rumah digunakan untuk kantor, yang kegiatannya antara lain menjual jasa pengurusan naturalisasi kewarganegaraan. Sedangkan di pekarangan belakang, istrinya, Tan Bie Nio (64) dan anak-anaknya menyelenggarakan kolam pemancingan dan restoran seafood alias masakan laut. Ukuran rumah tersebut bisa menggambarkan masa lalu Gan Kok Liang yang lebih dikenal dengan sebutan Gan KL, yang pada suatu masa terutama pada tahun '60-an meramaikan dunia bacaan pop di Indonesia dengan kegemparan cerita dunia persilatan. Boleh dikata, dialah salah satu tokoh yang mengenalkan cerita-cerita silat Tionghoa, selain OKT alias Oey Kim Tiang pada masa itu. Pembaca cerita silat dari buku-buku yang ukurannya kecil dan tipis pada masa itu pasti masih ingat misalnya karya berjudul Pedang Pembunuh Naga (To Liong To). Itulah salah satu saduran atau terjemahan Gan KL atas karya-karya silat Tionghoa waktu itu dari pengarang-pengarang Tionghoa seperti Tjien Joeng (Jin Yong), Koh Liong (Gu Long), atau Jang Ih Tzen (Liang Yusheng). Menurut Gan KL, Tjien Joeng maupun Ih Tzen adalah pengarang-pengarang yang “membumikan” cerita silat. Sebelumnya, cerita silat Tionghoa sangat berbau dongeng dan penuh mistik. Jagoan bisa terbang di atas awan dan melawan segala macam siluman. Pada Tjien Joeng maupun Ih Tzen cerita silat “dibumikan” dengan cerita manusia biasa, dengan jurus-jurus silat yang lebih masuk akal. “Cerita silat yang ditayangkan televisi maupun video sekarang hanya petilan-petilan dari cerita yang panjang,” komentar Gan KL pada kisah-kisah silat Tionghoa di layar kaca. Di zaman ini, cerita silat dari buku-buku kecil tadi memang sudah habis ditelan rengat zaman. Sebagai gantinya, muncul serial-serial silat di televisi. Dalam format media audio-visual, tekanan cerita silat itu lebih kapada action, pertarungan para pendekar. "Watak masing-masing tokoh kurang teruraikan," kata Gan KL. *** GAN KL, kelahiran Xiamen, anak pertama dari delapan bersaudara, dibawa mengungsi ke Indonesia oleh orangtuanya pada tahun 1938 ketika tentara Jepang menguasai Xiamen. Waktu itu keluarga ini mendarat di Surabaya. Di Surabaya, Gan KL dijemput pamannya yang sudah terlebih dulu tinggal di Indonesia, dan dibawa ke kota kecil di Jawa Tengah, Kutoarjo. Jepang sepertinya menguber-uber ke mana saja. Sekitar tahun 1948, Jepang menguasai Kutoarjo, dan keluarga ini pun mengungsi dan masuk Kota Semarang. Di kota pengungsiannya, Gan KL bekerja apa saja, dari pedagang keliling, sopir, dan kemudian bekerja di sebuah kantor konsultan pajak milik orang Belanda. Masa itu ia sudah keranjingan cerita silat. Tahun 1958, ia mengirimkan ke Harian Sin Po di Jakarta karya sadurannya yang pertama berjudul Pahlawan Padang Rumput (Tjhau Goan Eng Hiong). Cerita itu mengisahkan perjuangan suku minoritas di Sin Kiang melawan kaum penjajah. Ternyata kisah saduran itu digemari. Melihat kemungkinan bisa hidup dari pekerjaan menerjemahkan cerita silat tadi, Gan KL meninggalkan pekerjaannya dan sepenuh waktu “berbisnis” cerita silat. Ia menerjemahkan cerita silat bukan hanya untuk diterbitkan di koran, tetapi juga menerbitkannya sendiri, bahkan ia edarkan sendiri ke toko-toko buku. Dari bisnis cerita silatnya, Gan KL memperoleh imbalan materi memadai. Ia bisa membeli mobil bak terbuka Chevrolet. Dengan mobil itu ia melakukan perjalanan ulang-alik Semarang-Jakarta untuk mengambil uang dari agen-agen di Jakarta. "Perjalanan Semarang-Jakarta saya tempuh tujuh jam. Waktu itu jalanan masih sepi, kendaraan yang lewat belum sebanyak sekarang," kenangnya. Dia menyebut dirinya sebagai "Tionghoa goblog." Ceritanya, "Tahun 1960-an buku-buku cerita silat saduran saya laku keras. Setiap pergi menagih uang hasil penjualan buku-buku saya pada agen-agen di Jakarta, uang tagihan mencapai jutaan rupiah. Akan tetapi apa yang saya lakukan dengan uang sebanyak itu? Karena saya Tionghoa goblog, uang sebanyak itu saya bawa pulang ke Semarang dalam bentuk uang tunai, bukannya saya belanjakan barang-barang di Jakarta untuk dijual di Semarang." Yang dia tidak habis pikir, mengapa pula waktu itu ia juga tidak berpikir, misalnya, mendirikan toko buku di Jakarta, sehingga dia tidak perlu membayar komisi kepada agen-agen. “Uang hasil penjualan buku-buku malah saya belikan rumah yang sekarang saya tempati ini. Padahal waktu itu saya sebetulnya sudah mempunyai rumah,” ucapnya lagi. “Akan tetapi kebodohan saya ini juga menggambarkan ketulusan watak saya, tidak bisa berlika-liku, tidak bisa banyak berpikir hal-hal yang ruwet.” *** SAMPAI kini, perhatiannya pada masalah bahasa masih cukup besar. Sebagai praktisi bahasa Indonesia, ia sering memprihatinkan penggunaan bahasa Indonesia yang kacau. Menurut dia, bahasa Indonesia harus terus diperkaya dengan kosa-kosa kata yang digali dari bahasa daerah antara lain bahasa Jawa. “Kosa kata bahasa daerah yang kita ambil bukan asal comot. Dalam penyaduran dulu, satu kata bahasa daerah yang mau saya pakai saya lihat dulu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia apakah kata itu ada dalam kamus tersebut. Kalau kata itu bisa dipertanggungjawabkan dalam kamus tersebut, baru saya gunakan dan populerkan,” katanya. “Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan masukan-masukan dari bahasa daerah bisa menjadi lebih plastis daripada bahasa negara lainnya. Contohnya, cerita berbahasa Mandarin banyak diterjemahkan dalam bahasa asing lainnya, tetapi tidak ada terjemahan bahasa asing yang seberhasil terjemahan bahasa Indonesia.” Ditanya apakah ia masih berminat membikin cerita saduran lagi, ia menjawab sudah tak sanggup lagi. “Tenaga saya sudah mundur. Sebelah mata saya ini juga sudah cacat,” katanya sambil menunjuk mata kirinya. “Saya sudah tidak berkonsentrasi lagi dalam dunia tulis-menulis,” tambah ayah lima anak dan kakek tujuh cucu itu. Ia berhenti menulis cerita silat sejak tahun 1986. Sejak saat itu ia beralih profesi, terjun ke bidang hukum, khususnya dalam pengurusan kewarganegaraan. Usahanya itu katanya diawali dengan usahanya sendiri untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1975/1976. “Untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia saya mengurusnya sendiri. Sebelumnya saya bayangkan sulit, ternyata tidak begitu sulit kalau kita tahu prosedurnya. Lalu, setelah berhasil dengan diri saya sendiri, saya ikut mendorong para warga negara asing untuk menjadi warga negara Indonesia lewat naturalisasi. Sejak tahun 1980 sampai saat ini sudah sekitar 4.000 orang berhasil memperoleh kewarganegaraan Indonesia lewat naturalisasi yang saya urus," tuturnya bangga. “Saya berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku, tidak pakai suap-suapan.” (SNW/IM) |
|
#10 |
tanteun
7 November 2003 jam 11:38am
 
gue udah lupa judul2nya, sekarang lg baca Raja Pedang |
|
#11 |
izaku
18 November 2003 jam 1:41pm
 
pepe tau ttg kho ping ho and Gan KL dr mana tuh salute oii |
|
#12 |
pepe haliwell
19 November 2003 jam 2:02am
 
Izaku, tau donk! Kan mereka sodara ku 200 turunan yang lalu |
|
#13 |
heni_w
21 Desember 2003 jam 6:49pm
 
Kayaknya yang paling berkesan dihati gue selama baca serial Kho Phing Hoo itu serialnya BU KEK SIAN SU deh... hehehe... setidak2nya gue masih ingat sama tokoh2nya.. kalo judul2 yang paling walaupun pernah baca, tapi dah blank diotak gue... hehehe... kudu diulang lagi bacanya.... weleh... weleh..... mana sempaaaattt..... :bigcrowd: |
|
#14 |
lulla_girl
21 Desember 2003 jam 8:15pm
 
siryu menulis:Setuju bgt .. >< Terus, pasti ada penjahat cabul yang teramat sangat maniak dan punya nafsu besar .. Tapi, herannya, gak pernah dijelasin kenapa penjahat itu bisa punya sifat yang rada2 menyimpang kyk gitu. Tapi ada cerita KPH yg rada2 gw suka sih .. : Gelang Kemala, Misteri Bukit (apa Gua??) Tengkorak and Maling Budiman. |
|
#15 |
taksaka
19 Februari 2004 jam 6:03pm
 
gue belum pernah baca Gan KL, kalo KPH sih sering. Ga nyangka pas kul, gue kenalan ama cucu-nya KPH, n kayaknya ga ada keturunannya yang bisa nulis silat. Transfer ilmu-nya kurang canggih. Anyway, dari sekian banyak buku KPH yg gue baca, ga banyak yg gue inget. mestinya sih, yg gue inget, itu yg gue anggap bagus: ada yg namanya ceng thian sin, dia tokoh di buku apa ya??? |
|
#16 |
shiro
19 Februari 2004 jam 9:33pm
 
Ceng Thian Sin tokoh utama Pendekar Sadis tuh, lanjutannya Pendekar Lemabh Naga dari seri Pedang Kayu Harum... |
|
#17 |
rmz
26 Februari 2004 jam 1:13pm
 
andrea7974 menulis:waduh... kriteria2 yg lu sebut diatas.. gw banget tuh !!! Kutip:bener neh ? xixixixi.... |
|
#18 |
angroksujiwad
25 Januari 2006 jam 9:08am
 
sugeng enjing sedulur.. btw, ada yang tau situs kho ping hoo jawa nggak ya? indozone ini nggak ada ya serial pecut sakti bajra kirana (tejomanik sampai bagus sajiwo) |
|
#19 |
mu99le
25 Januari 2006 jam 2:18pm
 
ceritanya KPH kebanyakan mirip2 sih: jagoannya pasti cakep, ahli silat trus jd rebutan lusinan ceweq tp yg plg pengen gue baca skrg adl Pedang Awan Merah sm Gelang Kemala. bukan apa2 tp krn dulu berenti baca wkt lagi seru2nya |
|
#20 |
Djafar
19 Februari 2006 jam 1:58am
 
Sepasang Naga Penakluk Iblis |