Maybe this interests you all. happy pemilu.
Putih yang Luka
Oleh: Asa Mulchias
"Pokoknya 2004 besok yang nyoblos itu orang payah!"
Nah, lho? Anak-anak Pak Malik spontan kaget. Ada gerangan apa, nih? Kenapa
Bapak mereka tiba-tiba mengeluarkan statement semacam itu? Bikin jantungan
aja. Kalah Terminator 2 yang lagi tayang di televisi. Lihat aja si Ridlo,
anak kedua Pak Malik yang mengelus-elus dada. Si sulung Wati merasa
kupingnya pengang karena posisi duduknya salah dari awal. Ibu juga nggak mau
kalah. Latahannya mbelber kemana-mana. Kucing tetangga sampai disebut-sebut.
"Apa sih, Pak? Bikin jantungku mau copot aja." bibir Ibu begitu lentur.
Elastis. Maju mundur, ke kanan ke kiri. Ngomel. Tangannya pedas memukul
lengan Bapak. Aduuh, Bapak meringis. Mulutnya sontak monyong. Lagian, salah
sendiri. Udah tahu Ibu paling sebel kalo ada yang buat kejutan aneh-aneh.
Mending kalau kejutannya duit!
"Bapak cuma kesal sama partai politik sekarang, Bu. Pada mentingin kantong
masing-masing,"
Emm, Ibu manyun. Ridho dan Wati juga. Yee, hubungannya apa sama acara nonton
bareng malam ini? Jaka sembung banget, deh, Bapak. Orang lagi pada asyik
menikmati layar emas di TV, eeh malah ngomongin politik. Idih!
Yang membuat orang-orang kian cemberut, bukan sekali dua kali ini Bapak
berbuat serupa. Tercatat beliau sering uring-uringan dan marah-marah
sendirian beberapa minggu terakhir. Sejak Bapak rajin baca koran, rutin
menyaksikan berita di televisi, diskusi politik, sampai jadi simpatisan
demo-demo kaum miskin, beliau sering ngoceh tentang kinerja pemerintahan
yang sekarang sewaktu anggota keluarga sedang berkumpul. Entah lagi nonton
TV, lagi makan bareng, sampai acara kumpul santai keluarga. Bapak sering
nggak kenal momen! Jadinya...yaa, manyuuun gerak!
"Partai politik yang ada sekarang itu sudah tidak lagi bekerja atas nama
rakyat, Bu. Mereka cuma manis di lidah, pahit di wajah. Mukanya sepet,
munafik. Yang dipikirin bagaimana cara bikin perut buncit dan kepala biar
botak!"
"Wis..wis, mumet aku dengernya, Pak. Mbok ya adem sajaah. Tuh lihat, TV
filmnya seru," Ibu makin rikuh ketika Bapak lagi-lagi mengganggu
keasyikannya. Hehe, Ibu..Ibu. Mulai keranjingan film action juga. Sejak
sinetron-sinetron Indonesia bercerita melulu tentang cinta, Ibu mulai
mencari alternatif tontonan. Walau sebenarnya siih Ibu masih belum bisa
total melepaskan ketergantungannya nonton sinetron. Tapi variasi perlu lagi
(apa coba?)
"Ya ampuuun!" Ibu berseru kagum saat Arnold Schwazeneger melepaskan bazooka
ke arah truk guede yang dikendarai musuh. Blamm! Emak hanyut dalam cerita.
Musuhnya mati gak, ya?
"Enggak, Bu. Masih idup, tuh! Musuhnya kuat. Nggak kayak film yang pertama.
Terminatornya dari bahan cair. Nggak mempan ditembak!"
"Diem, dong, Wat. Jangan diceritain. Ntar enggak seru ceritanya!" Ridho
mulai protes. Wati tak sudi digugat sang adik. Yee, biarin!, katanya cuek.
Tak lama keduanya terlibat pertengkaran hebat. Ciaat..ciaat, ciat! Lidah
mereka beradu jurus. Ibu juga tak mau kalah. Beliau dengan sigap
mengeluarkan jurus Lidah Api Padamkan Hati. Hiiiaat! (kenapa jadi cerita
silat begini?)
Mata Bapak melihat satu-satu anggota keluarganya. Nanar. Sendu. Ibu, Ridho,
Wati, dan si kecil Ning sudah terlelap tidur di pangkuannyanya. Manis.
Ngiler. Ngantuk berat kayaknya. Fuuh, gagal sudah pidato politik hari ini.
Maksud hati ingin membagi pahamnya pada seluruh anggota keluarga, hilang
tenggelam ditelan tayangan TV.
Padahal Bapak tahu betul keadaan perpolitikan Indonesia saat ini. Penuh
kelicikan dan kebohongan. Kalau keluarganya tidak cerdas menyikapi,
bisa-bisa tahun depan mereka menjadi satu diantara para pencoblos, yang
tanpa sadar jadi pendukung kemelaratan Indonesia!
"Yaaa, iklann!"
"Ih, lagi seru-serunya padahal, ya!"
Penonton kuciwa. Iklan datang menjeda. Film-nya istirahat. Nah, Bapak
melihat sebuah peluang! Dari tadi memang beliau nggak begitu suka melihat
khayalan orang barat yang jadi layar emas itu. Eh,
ngomong-ngomong...bukankah biasanya kalau film action begini, iklan
panjaaang bener. Ke WC bolak-balik 3 kali juga belum selesai. Yap, ini
kesempatan!
"Kalian tahu partai yang dulu kita dukung pemilu tahun lalu?," suara Bapak
jumawa.
Terdengar di antara seru sedan pariwara. Seluruh anggota keluarga terdiam.
Tiba-tiba penuh renungan. Tampak serius mendengarkan petuah Bapak. Ngedumel.
Wuaahh, mulai lagi, deh!
"Bu, Ridho, Wati, kalian harus tahu kalau partai yang kita pilih kemarin
sekarang ternyata banyak mengecewakan kita. Walau mereka menang, tak ada
efek yang signifikan buat kita dan kebanyakan rakyat Indonesia. Lihat
keadaan kita sekarang! Tiada yang berubah dari kita. Tetep aja miskin. Masih
juga begini-begini. Beli makanan masih kesusahan, biaya listrik naik,
bayaran sekolah si Ridho dan Wati makin besar. Masuk SMP aja sampai 2 juta,"
Bapak teringat sewaktu memasukan Wati setahun yang lalu ke sebuah SMP
Negeri. Heran, menurut kabar dari mulut-mulut tetangga, biaya masuknya
bersaing dengan sekolah swasta!
"Belum lagi harga bahan bakar yang terus mencekik. Bensin, solar. Efek
sampingnya ongkos angkot juga ikut-ikutan naik. Semua ini karena para wakil
rakyat itu tak becus mewakili suara rakyat. Nggak dulu, nggak sekarang.
Samaa ajaa!" para pendengar terpekur. Omongan Bapak saling silang dengan
iklan yang masih berparade di televisi. Masih menunggu, masih sekuat tenaga
mendengarkan. Huup, tarik nafas dalam-dalam...satu, dua, tiga, lalu
keluarkan. Huup, tarik lagi...
"Ingat! Mental para pejabat kita sekarang itu masih mental bejat. Penjahat!
Secantik apapun omongan mereka sewaktu kampanye, tak pernah mereka buktikan
sekarang. Orde reformasi...orde reformasi apaan?"
"Ninaaa boboo! Ouooh, Ninaa bobooo! Kalo tidak bobooo digigittt nyamukk!"
"Kalau mau pemilu aja, ngomongnya manis-manis. Janjinya muluk-muluk.
Perbaikan ekonomi lah, lapangan pekerjaan lah, pendidikan gratis lah.."
"Kalo mual, perih, kembung.... makan obatnyaaa!"
"...Tahun depan, kita tak boleh lagi percaya sama mereka! Kita sekeluarga
netral saja! Buat apa kita memenangkan orang-orang yang tertawa di atas
penderitaan orang lain? Ingat! Jangan mau dikasih kaos, topi, apalagi duit
kalau 4 tahun kemudian kita harus membayar lebih mahal dari apa-apa yang
diberikan. Pokoknya kita golpuut!"
"Merdekaaa!"
Hiks, Bapak jadi terharu. Akhirnya segenap anggota keluarga mendukung
seluruh orasinya. Yess! Ibu tersenyum. Ridho dan Wati bunggah. Bahagia juga
jadinya. Sebagai kepala keluarga, mengarahan seluruh keluarga sudah jadi
kewajibannya. Ya, Bapak merasa betul dihargai. Serasa gembira.
"Filmnya mulai lagi, Buu!"
"Wah, musuhnya ngincer siapa lagi, nih?"
"Terminatornya ngincer si anak kecil, tuh, Buu! Ntar musuhnya nyamar jadi
orangtua angkatnya!"
"Watiii! Dibilangin jangan cerita-cerita. Kan gak seruuu!"
"Biarin! Wati kan pernah nonton film ini sekali!"
"Iya, tahu! Tapi jangan diceritain. Berisik!"
"Huuu!"
Ibu sudah asyik lagi di depan layar kaca. Ridho masih ribut dengan Wati.
Film action sudah diputar lagi. Bapak terpana. Iklannya sudah habis.
Perang-perangannya dimulai kembali. Menembak, ditembak. DOR! DOR! Arnold
Scwazeneger. Tak terasa air mata itu mengalir. Berlinang pelan menyusuri
pipi. Hu..hu..hu, kwaci banget, deh, nasib Bapak. Dikacangin!
***
Kali ini Bapak mengubah strategi. Gagal memberi pendidikan politik pada
seluruh anggota keluarga sekaligus, beliau mengincar anggota keluarga satu
demi satu. Korban pertama segera ditetapkan. Sang istri tercinta!
"Bu, pemilu besok Ibu mau pilih partai apa?" suara Bapak berlomba dengan
suara jangkrik malam. Mata Ibu setengah merem, setengah ngintip. Ih, syerem.
Rupanya Ibu sudah mau tewas. Habis nonton film Terminator 2 tadi, Ibu jadi
pengen cepat-cepat tidur. Tubuhnya sudah lelah, terasa mau remuk dihajar
segala macam aktifitas dan urusan rumah tangga seharian. Cuci piring,
menyapu, mengepel, mencuci, sampai memasak plus nonton teve tentu. Walhasil
pendengaran dan matanya jadi kurang awas.
"Bu..!"
"Mmm?" gumam Ibu di tengah perjalanannya menuju alam mimpi. Pelan. Tak
semangat. Bapak jadi surut harapan. Sebuah kenyataan dan keniscayaan
terpapar jelas di hadapannya. Prediksi kalau usaha Bapak kali ini bakal
gagal maning..gagal maning, sangat besar prosentasenya. Kalau sudah begini,
Ibu tak akan berhasil dipengaruhinya. Orang ngantuk lebih baik jangan
diajarin tentang partai politik. Lebih baik doa tidur aja! Ah, besok sore
aja, deh!, Bapak segera menarik selimutnya. Bobo, yuk!
Besoknya, sehabis pulang kerja, Bapak melaksanakan rencananya yang tertunda
semalam. Beliau langsung melancarkan serangan tanpa pasukan infanteri.
Seragam pabrik lengket nan bau keringat itu tak menghalangi Bapak untuk
berorasi di depan Ibu yang lagi nonton telenovela sore.
"Bu...besok pemilu milih partai apa?"
"Tidaak akaan! Tidak! Alberto tidak mencintaimuu! Itu tidak mungkin..!"
"Tapi itu benar, Julieta. Dia mencintaiku. Dia sendiri yang mengatakannya."
"Bohong. Kau..kau bohong, Florentina! Mana buktinyaa?!"
"Hahaha, baca saja surat ini!"
Ibu khusyuk memandang layar kaca. Beliau fokus. Konsentrasi. Sangat
menghayati. Pertanyaan Bapak terbang ke atas genteng. Membumbung tinggi, ke
dekat awan. Gondok.
"Ibuuu, dengar nggak sih Bapak tanyaa!"
"Sungguh, aku tidak mencintainya, Florentina. Semua perasaan yang kutunjukan
padanya itu hanya karena aku kasihan pada Julieta. Kanker ganas telah
menggerogoti tubuhnya. Hidupnya tak lama lagi. Aku tak rela tak membalas
cintanya. Dia rapuh dan butuh dicintai..."
"Tidaaakk!" Julieta histeris. Tangisnya pecah. Tubuhnya roboh. Florentina
tersenyum sinis. Menang. Ibu menggigit bibir. Tegaa sekali si Florentina!
Bibir Bapak maju beberapa meter. Sadis. Lagi-lagi orasinya dipukul telak
tayangan televisi. Dan seperti biasa, Ibu paling susah memenangkan hal lain
jika beliau sedang asyik nongkrong di depan layar kaca. Kecuali acara adzan,
semuanya harap antri menunggu perhatian Ibu!
Fhew, Bapak menghela nafas berat. Betapa sulitnya mengajak keluarganya untuk
jadi golongan putih pada pemilu tahun depan. Padahal asal tahu saja, seorang
Bapak adalah seorang provokator handal di pabrik sabun, tempatnya bekerja.
Bisa dipastikan bila ada forum-forum yang bertemakan politik pada jam
istirahat, Bapak pasti hadir di antaranya. Dan tak sekedar jadi pendengar,
Bapak justru jadi pembicara. Narasumber gitu. Kayak seminar, deh!
"Kita tak lagi boleh dibodohi oleh partai-partai politik yang bermulut
manis. Jangan lagi percaya dengan jargon-jargon politik mereka yang mengatas
namakan rakyat dan berjanji akan memperjuangkan kepentingan kita. Jangan.
Kita jangan lagi mau diperbudak mereka! Mereka kita pilih, tapi mereka malah
mempersubur diri sendiri. Kita yang membuat mereka menang dibiarkan kering
kerontang!" Bapak berapi-api. Suaranya terdengar diplomatis, menghanyutkan
pendengarnya. Emosinya memuncak ketika teringat kasus-kasus dimana pejabat
tak berpihak pada wong cilik. Penggusuran rumah-rumah kaum miskin,
penyimpangan dana Bulog, privatisasi Indosat, kenaikan harga-harga kebutuhan
dasar, BBM...
Orang-orang di pabrik sudah banyak yang terpengaruh. Bapak berhasil.
Tercatat sudah beberapa karyawan yang mendeklarasikan dirinya sebagai golput
di hadapan Bapak. Logika dan realita membuat mereka, yang tadinya sempat
terpikir untuk memberikan kesempatan satu kali lagi pada para pemimpin
mereka, kandas sudah.
"Ingat! Pemerintahan yang sekarang sama buruknya dengan orde baru. Bahkan
lebih buruk. Lebih buruk karena mereka adalah orang-orang yang memaki
kehinaan orde baru tapi ketika mereka berkuasa justru mengikuti jejak orde
yang mereka jelekan. Apa itu? Hipokrit. Pejabat bermuka dua!" Bapak ingat
betul sekian banyak buruh pabrik yang mengangguk-angguk setuju dengan
pernyataan itu. Anggukan tanda kepatuhan. Kesadaran. Tapi kenapa dia tak
melihat satupun gelagat itu di dalam rumah tangganya sendiri?
"Ibu.."
"Yaa.." Ibu menjawab tanpa menatap. Bapak kribo. Bete.
"Ibu dengar gak apa yang Bapak tanyain barusan?"
Julieta pingsan. Florentina tertawa sinis. Kemenangan sudah di depan mata.
Kini dia tak lagi punya saingan dalam mendapatkan cinta Alberto. Julieta tak
lagi punya semangat akan hidup.
Ibu gemas. Penjahatnya menang. Bapak asem.
***
Bapak belum kenal patah arang. Ibu gagal, bukan berarti harapan pupus. Masih
ada anak lelakinya yang paling tua, Ridho. Bukannya Januari tahun depan si
sulung memasuki umur 17 tahun?
"Do, kamu milih apa pemilu besok?" pertanyaan memancing itu Bapak ulang
kesekian kalinya. Agak bosan juga nampaknya. Ridho menatap Bapak penuh arti.
Tatapan seorang anak laki-laki terhadap Bapaknya. Tatapan yang menuai ribuan
makna.
"Tergantung, Pak!" Ridho nyengir. Tanganya terus saja asyik memetik
senar-senar gitarnya hingga terlantun sebuah nada. Ngha? Bapak nggak
mengerti. Tergantung? Apanya yang digantung?
Ridho menaik-naikan kedua alisnya, berkali-kali. Bapak masih tak mengerti
sampai Ridho menyebutkan sejumlah nominal. Nah lho, pasang tarif rupanya.
Kalah bus! Weleh-weleh, Bapak geleng-geleng. Pusing. Anak lelakinya udah
tahu cara mendapatkan duit rupanya. Ya ampun, berapa banyak uang yang musti
dirogoh dari koceknya agar anak lelakinya itu ikutan nggak milih? Bapak jadi
nggak semangat. Gaji bulan ini sebagian harus dikurangi untuk mengajak
anaknya jadi golput?
"Wuah, money politic ini namanya, Do! Kalau mau ikut Bapak, harus ikhlas!"
"Ikhlas? Maaf, Pak. Krismon. Lagipula ini Jakarta. Jangankan ikhlas, pipis
aja ada harganya!" Ridho ingat toilet di terminal Pulogadung. Bapak
mengkeret. Pahamnya disamain sama toilet. Keki. Aduh, siapa pula yang
mengajarkan anaknya jadi matre nian? Nggak sanggup, deh. Siapa sih bapaknya?
Hehe.
Sampai di sini Bapak mulai berpikir ulang. Apa ada yang salah yaa dengan
promosinya? Kenapa anggota keluarganya rata-rata menolak? Hanya tersisa Wati
dan Ning untuk dipengaruhi. Tapi.. emang ngaruh? Umur keduanya saja masih
jauh dari cukup untuk nyoblos. Apalagi untuk bisa mengerti jahatnya dunia
politik?!
Bapak mengendap. Lambat laun kehidupan keluarganya enggan diusiknya lagi.
Semua berjalan seperti biasa, persis sebelum Bapak terpincut segala hal-hil
tentang politik. Semangat perjuangan Bapak surut drastis. Beliau tak lagi
berorasi di tengah-tengah anggota keluarga. Bapak capek dan setengah putus
harapan. Apalagi setelah kejadian hari ini.
"Apa ini?" Bapak melihat satu stiker partai baru menempel di pintu rumahnya.
Astaga! Siapa yang mengizinkan? Kepalanya yang memang sudah lelah karena
seharian bekerja, tambah kacau tak karuan.
"Buuu! Ibuuuu!"
"Iya iya. Ada apa toh, pak? Datang-datang teriak-teriak. Berisik.."
"Itu...itu siapa yang ngizinin nempel lambang parpol di pintu rumah? Partai
sembarangan. Partai baru saja sudah begitu, apalagi nanti!"
"Lho? Itu kan Ibu yang nempel. Emangnya salah?"
Haah? Bapak tercengang. Apakah sang istri tertarik partai baru itu? Sejak
kapaan? Aduh, Bapak merasa kecolongan. Bisa dibayangkan betapa malunya Bapak
kalau kabar ini sampai tersebar ke pabrik. Orang-orang yang sudah mengikuti
jejaknya bisa kalap dan goyah pendiriannya. Masa istrinya sendiri pilih
partai baru?
"Ridho juga loh, Pak. Dia seneng banget tuh dapat topi. Kereeen katanya!"
"Ibuuu! Apa Ibu nggak denger nasehat Bapak? Jangan pernah percaya lagi sama
partai yang ada di Indonesia. Yang lama saja bobrok, apalagi yang
baru-baru?!" Lalu bapak mengumbar segala keburukan partai-partai yang selama
ini dikenal masyarakat. Plus..tentu saja prasangkanya terhadap partai-partai
baru yang terkesan mencari penghidupan dari partai politik. Lahan subur
istilahnya.
"Bapak kok begitu?"
"Ya iya lah. Bapak sudah nggak percaya lagi sama partai-partaian. Bapak
sudah nggak percaya ada partai yang tulus memperjuangkan rakyat. Bapak nggak
percaya , Bu!"
"Tenang, Pak. Tenang. Ojo kesusu..."
Bapak terus mengoceh. Kekecewaannya kini jadi luka. Bagaimana tidak?
Keluarganya sendiri mengkhianatinya, hiks! Pita suaranya berkali-kali
bergetar hebat. Tinggi memenuhi ruang keluarga sampai dapur. Tak terkecuali
kamar Ridho. Tak heran, anak lelaki satu-satunya itu keluar dari kamarnya
karena mendengar Bapak mengomel-omel dari luar. Wati dan Ning yang sekiranya
lagi terlelap ikut-ikutan bangun.
"Ada apa sih, Bang?"
Ridho mengangkat bahu. Wati tak puas. Dengan langkah kecilnya, dia melangkah
mendekati ruang keluarga. Sosok imutnya bersembunyi di balik lemari
pajangan.
"Ibu jangan mau dibodohi lagi, dong, Bu. Apa tak cukup orde baru dan
pemerintahan yang sekarang ini menipu kita? Mau berharap apalagi sih? Sudah
tak ada harapan lagi, Bu. Ibu harus tahu dan mengerti itu!"
Ibu terpekur dalam. Emosi Bapak merajam-rajam hatinya. Entah kenapa
kunjungan Ibu-Ibu berjilbab tadi siang menjadi sebuah kesalahan. Kumpulan
Ibu-Ibu yang datang untuk mengajaknya ikut pengajian rutin setiap hari
minggu. Kalau masalah partai itu kan...beliau sendiri yang meminta stiker
pada para Ibu-ibu itu. Ridho juga mendapatkan topi dari kawannya. Tapi, ah,
nampaknya bukan itu yang dipermasalahkan Bapak. Masalah itu ada pada parpol
itu sendiri. Bapak tak suka keluarganya menyukai satu parpol manapun. Tak
boleh!
"Pak, jangan Bapak pikir Ibu tak tahu soal partai-partaian. Ibu tahu kok,
Pak. Semua kebobrokan pemerintahan kita, Ibu juga tahu. Ibu kan juga nonton
berita?" Ibu sedikit menegang. Huh, sebagai Ibu rumah tangga yang rajin
nonton berita (selain sinetron dan drama tentu), Ibu merasa Bapak tak
seharusnya meremehkan pengetahuan politiknya. Begini-gini tahu informasi,
loh!
"Lalu kenapa Ibu masih percaya sama partai yang ada sekarang?"
Ibu lagi-lagi terdiam. Emosinya diatur. Sabar..sabar, jangan terhasut
bujukan setan. Orang yang berbicara di depannya sekarang adalah suaminya.
Bapak dari anak-anaknya. Sebagai istri tak selayaknya berbicara dengan nada
menantang seperti tadi.
"Karena..."
"Karena apa?"
Dari balik lemari, sosok Wati memberanikan diri keluar. Sang gadis cilik
melangkah cepat menghampiri Ibu. Diikuti Ning dan Ridho dari belakang. Bapak
masih menunggu jawaban.
"Karena...Ibu masih percaya ada harapan, Pak. Itu saja. Berbeda dengan Bapak
yang sudah pesimis akan Indonesia, Ibu tidak. Bagaimanapun Indonesia hancur
lebur, Ibu percaya masih ada harapan."
Bapak menghela nafas kasar. Entah kenapa tema politik di keluarga ini jadi
begitu kental. Mungkin ini semua pengaruh dari promosi gencar-gencaran
dirinya selama ini. Antara kesal dan lelah, Bapak menghempaskan dirinya ke
bangku tempat duduk.
"Ibu tahu Bapak terluka. Sudah sekian tahun Bapak percaya partai yang kita
pilih sekeluarga kemarin akan memperjuangkan nasib rakyat setelah Orde baru
lengser. Ibu juga tahu Bapak kecewa dengan sikap wakil-wakil rakyat yang
sekarang. Dengan keadaan kita sekarang yang tak berubah sama sekali. Ibu
tahu Bapak merasa ditipu habis-habisan..." Ibu mendekati Bapak. Dengan
lembut, beliau duduk disamping Bapak, tersenyum.
"Bukan Bapak saja yang kecewa, Pak. Ibu juga kecewa. Sakit memang rasanya
jika dikhianati pemimpin yang kita percaya. Tapi...bukankah Alloh itu Maha
Kuasa, Pak? Dia pasti tahu keadaan kita. Dia pasti tak akan membiarkan
kejahatan merajalela di bumi Indonesia terus-terusan, kan?"
Bapak masih memandang Ibu dengan pandangan kosong. Bapak tak menjawab
sedikitpun. Otaknya melayang kembali ke pabrik sabun. Terbayang Yudi, Harun,
Fuad, dan beberapa buruh pabrik yang sudah terpengaruh omongannya. Ada
perasaan aneh menjalar di hati. Terasa janggal dan...asing. Tak enak.
"Alloh pasti merubah keadaan Indonesia, Pak. Tapi itu tak gratis. Kita semua
harus berusaha ke arah sana. Untuk perubahan dunia politik yang lebih baik.
Kita memang harus belajar. Kemelaratan dan penipuan yang kita alami
bertahun-tahun ini kan lebih karena kita tak mau mempelajari partai-partai
yang kita pilih. Kita memilih hanya karena simbol, ikut-ikutan, bahkan
karena tokoh yang terlibat di dalamnya kharismatik. Sudah saatnya kita jadi
pemilih yang cerdas. Biar kita nggak disakiti lagi. Biar kita nggak terluka
lagi..."
Bapak menatap Ibu penuh makna. Ibu tersenyum. Para anak -entah kenapa-
merasa badannya pada gatal. Mungkin karena belum mandi sore kali, yaa? Hehe-
juga turut tersenyum. Amarahnya sedikit berkurang.
"Jadi Ibu tetap memilih pemilu yang akan datang?" Bapak terdengar pasrah.
"He-eh. Tapi Ibu nggak asal pilih seperti kemarin, Pak. Ibu akan terlebih
dahulu mempelajari partai yang Ibu pilih. Ibu tak mau pilih partai karena
Ibu dikasih topi, kaos, atau duit sekalipun. Ibu akan ikhitiar dan tentu
saja...berdoa. Semoga pemilu tahun depan, kita semua memilih partai yang
diridhoi Alloh. Partai yang amanah..." Ibu lalu melirik Ridho yang baru
mendapatkan topi partai baru. Ridho mengangguk. Setuju.
Saat itu langit merah. Bapak beranjak keluar dari ruang tamu, dan duduk di
bangku beranda. Memandang senja yang merah dan sesekali terlihat
burung-burung pulang ke peraduannya. Terdengar juga ditelinga beliau suara
tilawah Al Qur-aan dari arah surau.
Dalam hatinya bergema kegalauan yang sangat. Segala yang ada di dadanya
campur aduk. Tak karuan. Gado-gado. Antara keputus-asaan yang memuntahkan
pesimisme serta kebencian...dan sesuatu bernama: harapan. Benarkah harapan
itu masih ada?
Menara masjid menggemakan panggilan sholat. Bapak menghirup udara
dalam-dalam. Mencoba memahami kumandang yang diserukan. Allahu Akbar...
Allahu Akbar. Allah Maha Besar. Kuasa. Sungguh. (air/asa)