Home → Forum → Books → Xiao Li Fei Dao (Terjemahan)
#1 |
andrea7974
2 Desember 2003 jam 5:46pm
 
Bab I Dinginnya angin menusuk bagaikan pisau, menggunakan tanah sebagai telenan dan orang-orang sebagai daging. Hamparan salju terhampar sejauh ratusan li, membuat semuanya terlihat terang seperti perak putih yang mengkilau. Di tengah dinginnya musim salju, sebuah kereta kuda bergerak dari arah utara. Roda kereta tersebut memecahkan salju di tengah, tetapi tidak memecahkan kesunyian dunia. Li Xun Huang menguap, mencoba untuk meregangkan kakinya. Ruangan dalam keretanya mungkin cukup nyaman, tetapi perjalanannya terlalu jauh, dan terlalu sepi. Dia tidak hanya merasa kecapaian, tetapi juga perasaannya terluka. Dia merasa bahwa kesepian adalah hal yang paling mengganggu di dalam hidupnya. Tetapi justru kesepianlah yang kerap menghinggapinya. Hidup seseorang memang biasanya penuh dengan kontradiksi. Tidak ada seseorangpun yang bisa melakukan apa-apa dengan hal ini. Botol telah kosong dan dia mulai mengambil sebuah pisau dan mulai mengukir sebuah patung manusia. Pisaunya terlihat tipis dan tajam, tangannya panjang dan kuat. Patung yang dibuat itu adalah figure seorang wanita, sangat cantik dan hangat karena dibuat oleh tangan yang terampil yang membuat patung tersebut sangat hidup. Dia tidak hanya memberi patung itu wajah yang mengesankan, tetapi juga memberikan patung itu jiwa dan kehidupan, hanya karena hidupnya telah lenyap di ujung pisau. Dia tidak lagi muda. Keriput terlihat di ujung matanya, setiap kerutan dipenuhi dengan semua kebahagiaan dan kesedihan di hidupnya. Hanya matanya yang terlihat muda. Sepasang mata yang aneh, bersemu kehijauan, seperti angin musim semi yang meniup daun pohon willow, hangat dan fleksibel. Atau seperti air laut di bawah sinar matahari, dipenuhi oleh energi. Mungkin hanya karena mata inilah yang membuatnya masih hidup sampai sekarang. Patung kayu itu akhirnya selesai. Dia melihatnya dengan pikiran kosong ke arah patung itu, entah sampai berapa lama, kemudian dia mendorong pintu kereta sampai terbuka dan melompat ke luar. Li Xun Huan menggali sebuah lubang di tanah, menguburkan patung yang baru dibuatnya itu. Kemudian dengan pandangan kosong dia menatap gundukan tanah dimana dia menguburkan patung itu. Jari tangannya mulai membeku, wajahnya memerah karena dingin dan salju menutupi seluruh tubuhnya. Tetapi dia tidak merasa kedinginan. Benda yang terkubur di salju itu adalah sesuatu yang paling penting di dalam hidupnya. Saat dia menguburkannya, hidupnya menjadi diliputi oleh kekosongan. Oran gyang melihat kejadian itu akan menganggap kejadian itu cukup aneh, tetapi pengemudi kereta itu telah terbiasa dengan kejadian itu. Dia hanya berkata, “Sudah hamper gelap. Kita masih harus menempuh jalan yang panjang di depan. Mohon anda kembali ke dalam kereta, Tuan Muda.” Li Xun Huan menoleh, menemukan ada jejak kaki di samping keretanya, berasal dari utara. Jejak kaki itu cukup dalam, menunjukkan bahwa orang ini telah berjalan jauh, sangat lelah tetapi tetap tidak mau beristirahat. very sorrowful person. Pengemudi kereta yang mendengar hal itu tidak mengatakan apa-apa, hanya mendesah. Dia berkata dalam hati, “Bukankah kau sendiri adalah orang yang kesepian dan menderita? Kenapa kau hanya simpati kepada orang lain, tetapi melupakan dirimu sendiri?” Masih ada banyak kayu pinus di bawah kursi kereta, jadi Li Xun Huan mulai memahat lagi. Teknik memahatnya semakin terasah dengan banyaknya latihan, karena yang dia pahat selamanya adalah figure satu orang. Orang tidak hanya memenuhi isi hatinya, tetapi juga seluruh tubuhnya. Badai salju akhirnya reda, tetapi udara semakin dingin menusuk, kesepian semakin menebal. Suara angin membawa suara langkah kaki seseorang. Walaupun suara ini lebih pelan dari pada suara kuda-kuda, itu adalah suara yang diharapkan Li Xun Huan utk didengarnya. Jadi bagaimanapun pelannya, suara itu tdk bisa lepas dr telinga Li Xun Huan. Saat ia menarik gorden keretanya, dia melihat bayangan orang yang kesepian itu berjalan di depannya. Orang itu berjalan lambat, tetapi ia tidak berhenti. Walaupun dia mendengar suara kuda, dia tidak menoleh. Dia tidak memakai payung atau topi. Salju yang meleleh menetes dari wajahnya ke lehernya. Dia hanya memakai sebuah pakaian yang tipis. Walaupun demikian tetapi dia tetap menegakkan kepalanya, seakan dia terbuat dari baja. Salju, udara dingin, kecapaian, kelelahan, dan kelaparan tidak bisa menaklukkannya. Tak seorangpun dapat menaklukkannya. Alisnya tebal, atanya sangat besar, segaris bibir tipis yang tertutup rapat, hidung yang lurus yang membuat wajahnya menjadi semakin terlihat kurus. Wajah itu mengingatkan seseorang akan batu di pot bunga, kuat, kokoh, dingin, seakan-akan tidak peduli pada apapun termasuk dirinya sendiri. Walaupun demikian wajah itu adalah wajah yang paling tampan yang pernah dilihat Li Xun Huan sepanjang hidupnya, walau wajah itu sedikit terlalu muda, sedikit tidak dewasa, tetapi wajah itu telah memiliki daya tarik tersendiri. Seakan-akan mata Li XunHuan tersenyum. Dia membuka pintu kereta dan berkata,”Masuklah ke dalam kereta. Aku akan membawamu menuju tempat tujuanmu yang berikutnya.” Kata-katanya selalu pendek dan sederhana, dipenuhi oleh energi, yang mana di hamparan salju seperti itu, tak seorang pun akan menolak tawaran itu. Siapa yang mengira bahwa pemuda itu bahkan tidak memandang ke arahnya, langkah kakinya pun bahkan tidak melambat, seakan-akan dia tidak mendengar apapun. “Apakah kamu tuli?” Tanya Li Xun Huan. Li Xun Huang tertawa dan berkata, “Aku rasa kau tidak tuli sama sekali. Masuklah dan minum bersamaku. Seteguk arak tidak akan melukai siapapun!” “Aku tidak mampu membayarnya!” kata pemuda itu dengan cepat. Dia sebenarnya bisa mengatakan sesuatu seperti ini. Bahkan kerutan di ujung mata Li Xun Huan seakan tersenyum mendengar ucapan itu, tetapi dia tidak tertawa. Sebaliknya dia berkata, “Aku mengundangmu untuk minum arak, bukan menjual arak kepadamu!” Pemuda itu menjawab kembali, “Jika itu bukan sesuatu yang kubeli dengan uangku sendiri, aku tidak akan mau menerimanya. Jika arak itu bukanlah arak yang kubeli dengan uangku sendiri, aku tidak akan meminumnya. Sudah puas dengan jawabanku?!” Li Xun Huan berkata, “Cukup puas.” Li Xun Huan berpikir sejenak, dan tiba-tiba berkata sambil tersenyum, “Baiklah. Aku akan membiarkanmu pergi. Tapi kalau kamu mempunyai uang untuk membeli arak, maukah kamu mengundangku untuk minum?” Pemuda itu menatap Li Xun Huan sejenak, dan kemudian berkata, “Baiklah, aku akan mengundangmu.” Lui Xun Huang tertawa saat kereta kudanya dilarikan dengan cepat sampai ia tidak bisa melihat pemuda itu lagi. Li Xun Huan tertawa dan bertanya, “Apakah kamu pernah melihat remaja aneh seperti itu sebelumnya? Aku rasa ia orang yang bijak, tapi perkatannya sangat polos, begitu jujur. “Dia hanyalah seorang anak yang berkemauan keras. Itu saja,” jawab pengemudi kereta itu. Li Xun Huan bertanya, “Apakah kamu melihat pedang di pinggangnya?” Sebuah senyum tersirat di muka pengemudi kereta itu. “Apakah benda itu masih bisa disebut sebuah pedang?” Itu adalah sebuah jawaban yang sangat tepat, bahwa apa yang disebut dengan ‘pedang’ oleh Li Xun Huan hanyalah sebuah batang logam sepanjang satu meter. Logam itu bahkan tidak memiliki bagian yang tajam, tidak ada penutup pedang, hanya dua potong kayu yang dipaku di sebuah logam, yang seolah-olah menjadi sebuah gagang. Pengemudi kereta itu melanjutkan sambil tersenyum, “Aku melihat itu hanya sebagai mainan anak-anak.” Kali ini Li Xun Huan tidak hanya tidak tersenyum, tetapi ia bahkan mendesah dan berkata, “Pandanganku mengatakan bahwa mainan itu sangat berbahaya. Paling baik tidak bermain-main dengannya.” Hotel di kota kecil itu tidaklah besar, tetapi penuh dengan orang yang terperangkap badai salju, membuat tempat itu sangat penuh sesak. Di halaman terdapat banyak kereta kosong dari biro ekspedisi. Di bagian timur terdapat sebuah bendera dari tim ekspedisi, berkibar-kibar tertiup angin kencang. Membuat orang tidak bisa melihat dengan jelas apakah bendera itu bergambar harimau atau singa. Di restoran kecil di dalam hotel itu, seorang pria berbadan besar dengan mantel bulu biri-biri terus menerus mondar-mandir keluar masuk. Sesekali setelah minum, dia akan membuka mantelnya, menunjukkan bahwa dia tidak takut pada udara dingin. Saat Li Xun Huan tiba, tidak ada lagi meja kosong di restoran itu. Tapi dia tidak menjadi bingung karena dia tahu bahwa tidak banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang. Dia mendapatkan meja di sudut restoran, meminta arak, dan mulai minum dengan pelan. Dia tidak minum dengan cepat, tetapi dia bisa minum berhari-hari siang malam tanpa berhenti. Dia terus menerus minum, terus menerus batuk, dan hari telah menjadi gelap. Pengemudi keretanya masuk, berdiri di belakangnya dan berkata, “Kamar di bagian selatan sudah kosong dan dibersihkan. Tuan Muda bisa beristirahat kapan saja sekarang.” Li Xun Huan hanya mengangguk. Setelah beberapa saat, pengemudi itu menambahkan, “Biro Ekspedisi Singa Emas juga mempunyai orang-orang di sini, kemungkinan mereka mengawal barang dari perbatasan.” Li Xun Huan bertanya, “Benarkah? Siapa yang menjadi pengawal utama?” Pengemudi itu menjawab, “Si Pedang Angin Kilat, Zhu Ge Lei.” Walaupun dia terus membicarakan orang yang duduk di belakangnya, matanya menatap ke depan pintu seolah-olah menanti seseorang. Pengemudi kereta berkata, “Anak itu tidak berjalan dengan cepat. Kemungkinan anda harus menunggu sampai tengah malam sebelum dia tiba!” Li Xun Huan tertawa, “Aku rasa dia tidak berjalan perlahan, tapi dia mau menyimpan energi. Pernahkan engkau melihat seekor serigala di sekitar hamparan salju? Jika tidak ada mangsa di depan, dan tidak ada musuh di belakang, pastilah dia tidak akan berjalan dengan cepat. Karena ia merasa ia menghamburkan banyak energi di jalan adalah sia-sia. “Tapi anak itu bukan seekor serigala,” kata pengemudi itu tertawa. Li Xun Huan tidak meneruskan perkataannya, karena saat itu dia mulai batuk-batuk lagi. Kemudian, dia melihat tiga orang masuk dari pintu belakang. Semuanya bercakap-cakap dengan suara keras tentang kejadian-kejadian yang terjadi di dunia persilatan, seolah-olah mereka khawatir kalau orang lain tidak tahu bahwa mereka adalah orang penting di Biro Expedisi Singa Emas. Li Xun Huan mengenali orang yang berwajah merah dan berbadan gendut itu sebagai “Pedang Angin Kilat”, tetapi sepertinya tidak menginginkan orang itu mengenalinya. Maka ia menundukkan kepalanya untuk mengukir patung kayu. Beruntung bahwa Zhu Ge Lei tidak pernah memperhatikan orang-orang di kota kecil itu. Dengan cepat mereka memesan makanan, arak dan mulai makan. Sayangnya, makanan dan arak tidak membuat mulut mereka bungkam. Setelah beberapa teguk arak, Zhu Ge Lei menjadi semakin sombong. Ia tertawa keras-keras dan berkata, “Nomer dua, apakah kau ingat saat kita berada di kaki gunung Tai Xing ketika kita bertemu Empat Macan dari Tai Xing?” Orang kedua tersenyum, “Bagaimana aku bisa lupa? Waktu itu Empat Macan dari Tai Xing cukup berani menjarah barang yang kita kawal, bahkan berkata ‘ kalau kau Zhu Ge Lei, merangkaklah di tanah maka kami akan melepaskan kalian. Sebaliknya jika tidak, tinggalkan barang-barang kalian dan juga kepala kalian!” Orang ketiga tertawa keras-keras dan menukas, “Siapa yang menyangka kalau saat pedang mereka belum sempat menyambar, Kakak Tertua telah memotong kepala mereka!” Orang kedua berkata, “Dia tidak mencoba membual. Bicara soal kekuatan pukulan, yang paling lihai jelas adalah Kepala Biro kita, “Telapak Singa Emas”. Tapi bicara soal kemampuan pedang, jelas tidak ada yang bisa menandingi kakak tertua kita disini. Zhu Ge Lei tertawa dan menaikkan cawannya. Tapi tiba-tiba tawanya terhenti saat tiba-tiba dua buntelan di sebelahnya diterbangkan angin. Dua bayangan manusia muncul. Kedua orang itu mengenakan mantel tanpa lengan dengan warna merah menyolok dengan topeng yang ganjil bagi orang yang melihatnya di daerah perbatasan. Kedua orang itu seolah-olah memiliki kesamaan fisik, dan tinggi yang sama. Hanya mata Li Xun Huan yang masih menatap kearah pintu, karena saat angin meniup pintu, dia melihat pemuda yang dilihatnya sebelumnya. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu, dan kelihatannya dia berdiri di tempat itu untuk waktu yang lama, seperti seekor binatang liar. Walaupun dia merindukan kehangatan di dalam hotel itu dan tidak mau meninggalkannya, dia takut untuk memasuki dunia manusia. Li Xun Huan mendesah pelan dan mengalihkan perhatiannya kepada dua orang tadi. Kini dia melihat bahwa dua orang itu telah menanggalkan topeng mereka, menampakkan dua wajah yang buruk rupa. Telinga mereka kecil, tetapi hidungnya besar, memenuhi sepertu dari wajah, membuat mata dan telinga menjadi janggal. Kemudian mereka mulai menanggalkan mantel mereka, sehingga terlihat baju mereka yang bewarna hitam. Seolah-olah badan mereka juga seperti seekor ular yang kurus dan panjang, dan siap memagut kapan saja. Membuat semua orang gentar, tapi juga muak. Kedua orang itu terlihat sangat mirip, kecuali bahwa yang satu berwajah lebih putih dan yang satu lebih hitam. Gerakan mereka lambat saat mereka membuka mantel dan melipatnya, dan dengan perlahan mereka menuju kea rah kasir. Lalu mereka berjalan di depan Zhu Ge Lei. Suasana menjadi sangat sunyi di restoran itu sehingga orang bisa mendengar suara Li Xun Huan yang sedang memahat patung. Kedua orang itu juga memandang kearahnya, mata mereka bagaikan kuas cat minyak yang menyapu Zhu Ge Lei dari atas ke bawah. Zhu Ge Lei berdiri dan bertanya, “Bolehkan aku tahu siapa nama kedua Tuan? Maafkan saya karena tidak mengenali!” Orang yang berwajah putih kemudian berkata, “Jadi kamu si Pedang Angin Kilat, Zhu Ge Lei?” Suaranya tajam, dan berkesan menggema, bagaikan suara ular derik. Zhu Ge Lei menjadi ketakutan dan terpaku mendengar suara itu. “I…ya!” katanya. Pria yang berwajah hitam tertawa dingin. “Apa pantas kamu disebut “Pedang Angin Kilat?” Tangannya tiba-tiba mengebaskan sebuah pedang hitam yang tipis dan panjang. Saat pedang itu diarahkan ke Zhu Ge Lei, dia berkata, “Tinggalkan barang yang kamu kawal dan aku akan mengampuni hidupmu!” Orang kedua yang sedang duduk kemudian berdiri dan berkata sambil tersenyum, “Tuan berdua pasti telah membuat kesalahan. Pada perjalanan ini, kami mengawal barang ke luar perbatasan, tidak membawanya masuk. Sekarang barang kawalan kami telah kosong. Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, pedang di tangan pria berwajah hitam telah menusuk lehernya. Dengan sedikit sentilah, kepala itu telah terpisah dengan lehernya. Semua orang terkejut. Kaki mereka bergetar di bawah meja. Bagaimanapun juga Zhu Ge Lei bisa hidup sampai sekarang, jelas bahwa ia mempunyai kemampuan yang lumayan. Dia mengambil sebuah buntalah dari bawah tangannya dan meletakkannya di bawah meja. “Informasimu sangat tepat. Kita memang membawa sesuatu dari perbatasan. Tapi kalian berdua, sayangnya belum cukup mempunyai kemampuan untuk mengambilnya. Pria berwajah hitam tertawa. “Apa maumu?” Zhu Ge Lei menjawab, “Kalian berdua paling tidak harus bertarung beberapa jurus ilmu silat disini, sehingga aku memiliki alasan saat aku kembali.” Walaupun berbicara begitu, kakinya mundur tujuh langkah ke belakang. Tak seorang pun menyangka kalau ia menyentil meja di sebelahnya. Makanan bakso udang di meja berhampuran ke udara. Hanya setelah terdengar desiran pedang dan cahaya dari kelebatan pedang, sepuluh bakso udang telah terpotong semuanya menjadi dua bagian. Zhu Ge Lei berkata, “Jika kamu bisa mengerjakan hal yang sama, aku akan menyerahkan bungkusan ini. Kalau tidak, silahkan pergi dari sini!” Ilmu pedang itu cukup lumayan, perkataannya juga cukup bagus. Li Xun Huan tertawa tanpa suara mendengarnya. Dengan berkata seperti itu, lawan Zhu Ge Lei hanya bisa memotong bakso udang. Jadi menang atau kalah, Zhu Ge Lei tetap akan hidup. Pria berwajah hotam tertawa. “Itu hanyalah bisa dianggap sebagai ketrampilan tukang masak. Apakah kamu pikir itu adalah kemampuan silat?” Saat dia mengatakan itu, dia mengambil napas dalam-dalam, membuat potongan-potongan baksi udang terpental naik. Dan kemudian dengan sebuah gerakan cepat, bakso udang itu kemudian lenyap, semuanya tertusuk di pedangnya. Bahkan orang yang tidak mengenal ilmu silat pun tahu bahwa memotong bakso udang tidaklah gampang, tapi untuk menangkap bakso udang itu di pedang adalah lebih sukar. Wajah Zhu Ge Lei menjadi pucat, karena dia melihat ilmu pedang itu, dan kemudian mundur beberapa langkah ke belakang. Ia berkata, “Aku rasa, tuan berdua adalah “Ular Kembar Bernoda Darah’. “ Orang ke tiga yang sedang duduk di meja yang mendengar kata-kata itu, menjadi jerih, dan diam-diam mencoba untuk merangkak pergi. Bahkan pengemudi kereta Li Xun Huang mengernyitkan alisnya, karena ia tahu beberapa tahun belakangan ini, perompak-perompak di daerah Sungai Kuning hanya sedikit yang bisa menandingi kedua orang ini dalam hal ilmu dan kekejamannya. Bahkan berita angin mengatakan bahwa warna mantel mereka yang bewarna merah itu adalah berasal dari darah korban mereka. Si Ular Hitam tertawa berkata, “Ternyata kau bisa mengenali kami? Zhu Ge Lei menggertakkan giginya dan berkata, “Karena kalian berdua menginginkan barang ini, aku rasa aku tidak bisa berbuat apapun untuk melarang kalian. Ambillah dan pergi!” Si Ular Putih tiba-tiba berkata, “Jika kamu mau merangkak di lantai, kami akan membiarkannmu hidup. Sebaliknya jika tidak, tidak hanya kalian harus meninggalkan bungkusan itu, tetapi juga kepala kalian!” Itu adalah kata-kata Zhu Ge Lei saat ia membual sebelumnya. Saat kata-kata itu keluar dari mulut pria berwajah putih itu, setiap kata-kata bagaikan pisau yang menyayat-nyayat. Pada saat itu Li Xun Huan mengeluarkan desahan dalam berkata pada dirinya sendiri, “Aku lihat kepribadian orang ini telah berubah, tidak heran dia bisa hidup sampai saat ini.” Walaupun dia berkata sangat pelan, kedua Ular Kembar masih bisa mendengar perkataannya dan mereka menoleh kearah sumber suara tersebut. Sebaliknya Li Xun Huan sepertinya tidak merasakan hal itu, ia tetap berkonsentrasi dengan patung manusianya. Ular Putih tertawa, “Sepertinya ada ahli ilmu silat disini, yang aku dan saudaraku tidak melihatnya.” Ular Hitam berkata, “Barang ini diberikan kepada kami dengan sukarela. Jika ada seseorang yang pedangnya lebih cepat dari kami, maka kami pun rela memberikan barang ini kepadanya!” Si Ular Putih mengebaskan tangannya, dan sebuah pedang bewarna putih muncul, dan berkata, “Jika ada seseorang yang pedangnya lebih cepat dari pada kami, tidak hanya kami akan menyerahkan bungkusan ini, tetapi juga kepala kami!” Mata mereka tertuju kepada Li Xun Huan saat mereka berbicara. Tapi Li Xun Huan tetap berkonsentrasi kepada ukiran patungnya seolah-olah ia tidak mendengar apa-apa. Tiba-tiba seseorang di luar berteriak, “Berapa nilainya kepalamu?” Saat mendengar perkataan itu, Li Xun Huan tiba-tiba terhenyak, tapi juga merasa gembira. Dia mengangkat kepalanya, dan dilihatnya seorang muda berjalan ke dalam ruangan. Pakaiannya belum sepenuhnya kering. Bahkan sebagian dari pakaiannya telah membeku menjadi es, tapi ia tetap berdiri tegak bagaikan sebuah tombak. Matanya terlihat sombong, tapi kesepian. Matanya mengandung sinar liar yang tidak bisa dijinakkan, seolah-olah ia bisa bertarung kapan saja membuat semua orang susah untuk mendekatinya. Tapi perhatian semua orang tertuju kepada pedang yang ada di pinggangnya. Saat si Ular Putih melihat pedang itu, ia tertawa. “Apakah kata-kata barusan keluar dari mulutmu?” Pemuda itu menjawab, “Ya!” Ular Putih berkata, “Kamu mau membeli kepalaku?” Pemuda itu menjawab, “Aku hanya mau tahu berapa harganya, karena aku mau menjualnya kepadamu!” Ular Putih menjawab keheranan, “Menjual kepadaku kepalaku sendiri?” Pemuda itu berkata, “Tepat, karena tidak hanya aku tidak menginginkan bungkusan itu, tetapi aku juga tidak menginginkan kepalamu. “ Ular Putih berkata lagi, “Jadi kau hanya ingin menantangku duel?” Ular Putih melihat kearah pemuda itu dan melihat kearah pedangnya, dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia tidak pernah melihat hal yang selucu itu di dalam hidupnya. Pemudia itu hanya berdiri dengan diam, sepertinya ia tidak mengerti apa yang perlu ditertawakan. Dia merasa bahwa perkataannya barusan tidak lucu sehingga patut ditertawakan. Pengemudi kereta mendesah, seolah-olah menganggap bahwa anak itu pasti sudah tidak waras. Zhu Ge Lei juga berpikir bahwa otak pemuda itu pasti sudah tidak beres. Ular Putih kemudian berkata, “Seribu tael emas rasanya tidak cukup untuk membeli kepalaku.” Pemuda itu menjawab, “Seribu tael emas terlalu berlebihan. Aku hanya perlu 50 tael.” Ular Putih berhenti tertawa, karena ia menganggap pemuda itu pasti gila dan tidak bercanda. “Baik. Bila kau bisa melakukan hal seperti yang kulakukan, aku akan memberimu 50 tael.” Dalam keadaan tertawa dia tiba-tiba menyambar lilin yang ada di meja kasir. Tidak terjadi apa-apa pada lilin itu. Semuanya terkejut, terheran-heran melihat apa yang telah terjadi. Saat itulah si Ular Putih meniup lilin itu dan mereka bisa melihat bahwa lilin itu telah terpotong-potong menjadi 7 bagian. Pedangnya bergerak-gerak lagi. Ketujuh potong lilin itu kemudian tertangkap di pedangnya, dan yang mengherankan, api di lilin itu tidak padam. Ular Putih berkata dengan sombong, “Apakah kau pikir pedangku cukup cepat?” Pemuda itu dengan wajah tanpa emosi menjawab, “Sangat cepat.” Ular Putih tertawa, “Bagaimana dengan kemampuan pedangmu?” Pemuda itu menjawab, “Pedangku bukan untuk memotong lilin.” “Lalu untuk apa itu lembaran logam itu?” Pemuda itu menyentuh pedangnya dan berkata, “Pedangku adalah untuk membunuh orang.” Ular Putih tersenyum. “Membunuh orang? Siapa yang akan kau bunuh?” Pemuda itu menjawab, “KAMU!” Pada saat kata-kata itu keluar dari mulut pemuda itu, pemuda itu menyabetkan pedangnya. Pedang itu semulanya berada di pinggang pemuda itu, semua orang melihatnya. Tapi dalam waktu sekejab pedang itu telah menancap di tenggorokan Ular Putih. Semua orang kini melihat bahwa pedang sepanjang semester itu telah menembus tenggorokan Ular Putih. Tak ada seorang pun melihat bagaimana pedang itu menancap ke tenggorokan Ular Putih. Tidak ada darah yang mengalir, karena darah belum keluar. Pemuda itu menatap kearah Ular Putih, “Jadi, pedangmu atau pedangku yang lebih cepat?” Ular Putih mengeluarkan suara ‘krok krok’ dari tenggorokannya. Otot-otot mukanya tergetar. Tiba-tiba mulutnya terbuka, lidahnya keluar. Darah keluar dari mulutnya. Ular Hitam mengangkat pedangnya, tetapi tidak berani membalas. Keringat membasahi kepalanya. Tangannya bergetar. Pemuda itu menoleh kearah Ular Hitam dan berkata, “Dia telah kalah. Mana 50 tael ku?” Dia masih serius. Serius seperti seorang anak yang tidak bersalah. “Benar!” Ular Hitam tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dia kemudian menjambak rambutnya sendiri, mengoyakkan pakaiannya sampai uang di dalamnya berhamburan. Dia kemudian melempar perak-perak itu kearah pemuda itu. “Ambillah. Ambillah semuanya.” Tidak hanya pemuda itu tidak mengikutinya, dia juga tidak marah. Dengan polos ia membungkuk mengambil perak-perak itu dan membawanya kea rah manager hotel dan bertanya, “Apakah ini benar 50 tael?” Manager hotel itu sudah menyusup di kolong meja. Tidak bisa berkata-kata dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengemudi itu hanya mendesah. “Anda sangat benar. Mainan itu sungguh berbahaya.” Dia melihat pemuda itu berjalan kearah mereka, tapi tidak melihat Zhu Ge Lei. Zhu Ge Lei tidak pernah meninggalkan kolong mejanya. Ilmu pedangnya tidak lambat. Pemuda itu juga tidak menyangka kalau Zhu Ge Lei akan berusaha untuk membunuhnya. Dia baru saja membunuh Ular Putih. Seharusnya Zhu Ge Lei berterimakasih kepadanya. Kenapa justru mau membunuhnya? Saat semua orang mengira pedang Zhu Ge Lei akan menembus jantung pemuda itu, Zhu Ge Lei tiba-tiba mengeluarkan teriakan keras. Pedangnya terpental dari tangannya, tertancap di langit-langit. Saat pedangnya masih bergoyang-goyang di langit-langit, tangan Zhu Ge Lei sudah memegangi tenggorokannya. Matanya terarah kearah Li Xun Huan, bola matanya melotot hampir keluar. Li Xun Huan saat itu sudah tidak lagi memahat. Karena pisaunya yang dipakai untuk memahat sudah tidak ada di tangannya. Dia melotot kea rah Li Xun Huan. Tenggorokannya juga mengeluarkan suara ‘krok krok’. Saat itulah orang baru sadar bahwa pisau Li Xun Huan yang tertancap di tenggorokan Zhu Ge Lei. Walaupun demikian, tidak seorang pun tahu bagaimana pisau itu bisa berpindah tempat dengan cepat. Keringat menetes dari dahi Zhu Ge Lei, wajahnya penuh kesakitan. Kemudian dia menggertakkan gigi, dan menarik pisau itu keluar dari tenggorokannya. Dia menatap Li Xun Huan dan berteriak, “Semestinya dari tadi aku mengenalimu!” Li Xun Huan mendesah. “Tapi sayang, kamu baru mengetahuinya sekarang, sehingga tadi kau tidak perlu melakukan hal yang memalukan seperti itu!” Zhu Ge Lei tidak mendengar kata-kata terakhir itu. Dia sudah tidak bisa lagi mendengar untuk selamanya. Tapi dia hanya melihat sejenak, kemudian dia berjalan kearah Li Xun Huan. Di luar dari kesan liar dan biadab, wajahnya menyiratkan kehangatan dan senyuman. Dia hanya berkata sepatah kata. “Aku mengundangmu untuk minum.” bersambung :alcoholic: |
|
#2 |
Azalae
2 Desember 2003 jam 6:48pm
 
Andrea, apa ga sebaiknya ditaroh di main site aja? Barusan selesai bikin tempat. Sementara namanya 'Stories' (link ada di topbar). Ada 3 kategori: translation, fanfic, wuxiafic. Buat yang mau kasih comment ato mau bahas bisa juga langsung di sana langsung kok. ga usah susah2 ke board. Ada usul tambah kategori bilang aja. |