*gue sendiri juga blm baca (jojon)*
When Love is NOt EnOugH
Handphone-ku bergetar.
Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private number..
Setelah beberapa saat aku menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk
mengangkat telpon itu.
"Hallo." sapaku.
"Hallo Ca, ini Rosa."
"Rosa?" ucapku agak terkejut.
"Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk
pikuk di sekitarnya terdengar samar-samar.
"Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan rasa
pusing yang langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur,
langsung
mencari-cari undangan yang disebut oleh Rosa. Ternyata house-mateku
menaruhnya di bawah tumpukan koran.
"Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya sudah sampai tadi
pagi."
"Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa sih ini?" kubuka undangan itu dan
terkesiap melihat nama pengantin perempuannya. "Rosa! Kamu mau married?
Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin banget.." aku masih belum
pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria
yang Rosa pacari dua tahun terakhir ini.
Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca, itu undangan belum
disebar loh.. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu
orang luar pertama yang tahu.." ucapnya senang.
"Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau nggak?" ucapku tanpa
bisa menyembunyikan kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.
"Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim e-mail lagi yah.." Lalu
Rosa mengakhiri percakapan singkat kami.
Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yang masih
kupegang. Rosa.. berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali
berlalu.. Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa kutebak reaksi mama
kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang
tepat untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu
maksud baik mama..
tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang
lain.
Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yang selalu ada di
setiap sudut benakku, yang berada nun jauh di sana.. Umurku kira-kira
sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang
kuliah tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan
orang tuanya yang merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke
rumah kami. Aku masih ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu
melihatnya. Tampan namun angkuh.
Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja pulang dari kampus waktu
mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku
kepada laki-laki yang dimaksud mama itu.
"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas uluran tanganku singkat
lalu melepaskannya lagi. "Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney.
Kuliah kamu kan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu temenin Jason
kalau dia mau jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan
mama terdengar janggal sekali.
"Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yang
tidak kukenal.
"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." mama Jason tiba-tiba
angkat bicara. Aku baru ingat bahwa aku belum berkenalan dengan dua
orang lagi yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri dan
menyalami mereka. "Kayaknya kita yang tua-tua ngobrol di belakang aja
yuk.." papa lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang,
meninggalkanku dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung
sekali karena aku memang bukan orang yang mudah bergaul.
"Bianca.." panggilannya membuatku sedikit terkejut. "Ya?" Ia lalu
melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya
memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." jawabku gugup. Kusimpan nomor
handphone-ku di memori buku telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku"
ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya. "Oh.." ucapku
lagi.
Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat.
Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran. "Untung mama kamu
dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu.." ucapnya sambil
mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.
Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu.
Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yang aku
bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya,
ia berhasil membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya.
Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia
sudah menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencoba mencari pekerjaan.
Papanya sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun
ia bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia
menunggu lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air.
Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama
keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sekali waktu, Ia bahkan nekat
menjemputku di kampus. Sesuatu yang membuat geger anak-anak di kampusku.
Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yang sama
itulah, sesuatu merubah hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya
dengan gayanya yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya
dan dari balik kacamata hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari
sesuatu. Aku hampir tidak percaya ketika melihatnya di lapangan parkir
kampus sore itu. Buru-buru aku menghampirinya.
"Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa kecil, menyembunyikan
rasa grogiku. "Ca, aku mau ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar
tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama
kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya,
mecari-cari supirnya. "Supirnya mana?" tanyaku polos.
"Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga. "Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan
nggak bisa nyetir di sini.." sahutku
pura-pura panik. "Jangan takut, aku dah latihan dari kemaren.." ia lalu
berjalan melewatiku dan membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk,
tuan putri." Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku saat
itu.
Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan
tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi
statusku yang memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak,
aku memilih untuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap
aku sedang pamer cowok.
PART 4
"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak. "Lain kali nggak usah
jemput aku.." jawabku pelan. "Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama
anak-anak
di kampus? Biarin aja ah.." sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu
yang bagus dari CD changernya.
"Nanti aku diomongin yang macem-macem.."
"Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih serius. "Yah.. apa
kek gitu.. Kamu kan tahu bagaimana sikap mereka sama aku..
Mereka tuh nggak suka sama aku.." jawabku, agak sedikit sedih
mengingat-ingat celaan apa saja yang pernah ditujukan kepadaku..
"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya, cakep lagi.. Plus
dijemput ama cowok keren begini.. Kayaknya emang mereka bakalan
makin sebel sama kamu sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri
mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai
dan berarti meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung
PART 5
Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku merasa bahagia seperti
ini.
Sejak kecil, sikapku yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang
berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum mengenalku pun,
mereka sudah memasang tatapan tidak suka ketika melihatku.
Penampilanku juga sebenarnya biasa saja
tapi selalu ada yang dikritik oleh mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah,
atau sok sopan. Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai selalu
menguhubungkanku dengan orang tuaku yang terkenal. Nilai-nilaiku yang
bagus karena hasil kepintaranku sendiri juga selalu diragukan.
Sikap dosen yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya karena
ingin menjilat.
Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang selalu menemaiku hanyalah
gunjingan dari mereka yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti
alasannya..
PART 6
Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku menemaninya berbelanja.
"Ca, sini sebentar.." Jason masuk ke salah satu butik pakaian perempuan.
"Ngapain sih? Kamu mau beli baju buat mama kamu juga?"
aku hanya mengikutinya dari belakang.
Ia lalu mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya kepadaku.
"Cobain yang ini.."Aku menatapnya heran. "Udahh.. ayo cepetan.." ia
mendorongku ke kamar ganti. "Jason, ini nggak cocok buat aku.."aku
mengamati gaun biru muda dengan sulaman bunga bertebaran di
bagian bawahnya.
Memang manis sekali.. Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan
segera mencoba gaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.
"Pas sekali.." ia berdecak kagum ketika melihatku mengenakan gaun itu.
"Saya ambil yang itu ya.." ia lalu berkata kepada pramuniaga yang
berdiri di sampingnya. Jason memaksa membelikanku gaun itu. Sebagai
tanda terima kasihnya karena aku telah menemainya berbelanja sore itu.
Alasan yang aneh menurutku.. Kami lalu makan malam di salah satu restoran
dan berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami datang. Percapakan
yang tidak pernah aku lupakan..
"Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka percakapan kami. "Kenapa?
Udah bosen nemenin aku ya?" "Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.."
Jason menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya.
"Sekitar satu atau dua minggu lagi..".
"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku.
Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya. "Kalau aku pergi, kamu
kesepian?" ia tersenyum nakal.
Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku seperti terkunci dan
aku hanya bisa menunduk. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti
itu.
Sungguh memalukan.. "Ca, kamu suka cowok kayak apa sih?" tanyanya
mengalihkan topik, namun pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak
kencang.
"Aku? Uhmm.. Aku suka.." aku berpikir sebentar. "Aku suka cowok yang mau
menantiku selama seribu tahun lamanya.." jawabku akhirnya dengan mantap.
Ia menatapku heran. "Aku tidak pernah dengar jawaban seperti itu
sebelumnya.."
"Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya seperti itu?" tanyaku
memberanikan diri. Ia tertawa ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.
"Kalau kamu? Kamu suka yang seperti apa?" tanyaku balik.
"Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh cinta
padanya.." sambungnya.
"Jawabanmu lebih aneh lagi.." aku tertawa kecil, merasa agak sedikit
lepas dari kegugupanku.
Jason mengangkat bahunya cuek. "Ca, kamu lebih cantik kalau kamu
panjangin rambutmu.." ucapnya tiba-tiba.
Kini aku yang terdiam.
"Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya kemudian. "Aku yakin banyak
cowok ngantri untuk jadi pacarmu.."
"Aku belum menemukan yang pas.." jawabku diplomatis. "Pernah jatuh
cinta?"
tanyanya lagi, menyudutkanku. "Rahasia.." jawabku malu-malu,
mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. Walaupun kepalaku tertunduk,
aku tahu ia sedang menatapku. Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa
aku sudah mulai jatuh cinta kepadanya..
Jatuh cinta untuk pertama kalinya..
Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak membuka pintu mobil
sewaktu ia menarik tanganku, mencegahku untuk keluar."Ada apa?" tanyaku
antara bingung dan juga malu karena aku juga menikmati sentuhan
tangannya.
Ia menatapku sesaat.. beberapa detik yang terasa begitu lama untukku.
"Nggak pa-pa.. Maaf.." ia melepaskan tanganku pelan. "Good night,
sweet dream.." senyumnya.
Aneh.. aku agak sedikit kecewa saat itu. Aku hanya bisa membalas
senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat mobil ayah Jason
diparkir di dalam garasi rumahku.
"Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak sedikit terkejut. Jason
menatap ke arah yang kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan
aku.
'Kamu turun aja dulu.."akhirnya kuberanikan diriku.
Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin mobilnya.
PART 8
Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang sedang bertamu ke
rumahku.
Aku langsung duduk di sebelah papa sementara Jason duduk sendiri
terpisah.
"Abis ke mana aja kalian?" tanya mama lembut. "Tadi Bianca nemenin Jason
belanja doank kok ma.." jawabku sambil mencuri pandang ke arah Jason.
Ternyata ia sedang menatapku juga.
Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
"Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?" kudengar Jason angkat
bicara.
"Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.." jawab ayahnya dengan
suara agak berat. Jarang sekali aku mendengarnya berbicara.
Kulihat ia melirik ke arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan
kata-katanya.
"Begini Jason.. kami lihat kalian berdua sangat cocok sekali.."
Jantungku berdegup menunggu kata-katanya selanjutnya.
Lagi-lagi aku tundukkan wajahku.
"Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau kalian dijodohkan..
Setidaknya bertunangan dulu sebelum kamu kembali ke Sydney.. Mama dan
papa sudah kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah cukup
umur untuk memulai hubungan yang serius.."
Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah dalam novel.. Aku baru
saja jatuh cinta, untuk yang pertama kalinya.. dan langsung dijodohkan..
Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat tenaga kutahan
diriku untuk tidak bersorak kegirangan. Lalu aku memberanikan diri
menatap ke arah Jason.
Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya berubah. Tidak ada
tanda-tanda kebahagiaan di sana.. Wajah itu menjadi keras dan angkuh,
tepat seperti waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti ditusuk
melihat reaksinya..
Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu untuk berpikir.." ia
pun beranjak pergi begitu saja. Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku
serasa gelap saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang kuingat,
aku berlari ke kemarku dan mengunci diriku di sana. Semalaman itu aku
menangis sendiri.. Ternyata Jason sama dengan yang lainnya..
PART 9
Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku
juga tidak pernah mencoba menghubunginya ataupun menanyakan tentangnya
kepada orang tuaku. Mereka sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap
Jason malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan putus asa.. Aku
berpikir ia mempunyai perasaan yang sama.. Kalau tidak,
mengapa ia begitu baik padaku?
Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku? Ah.. pertanyaan yang
tidak ada ujungnya.. Lebih baik kupendam semuanya sendiri,
bersama dengan air mata yang hampir kering ini..
Part 10
Aku hampir tidak percaya ketika melihat nama Jason tertera di layar
handphone-ku sore itu.. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada
sesuatu dalam diriku yang mencegahnya. Kebimbangan terus berkecamuk
dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri
dan kusesali diriku karena tidak mengangkat telpon darinya.
Kupandangi layar handphoneku terus menerus, berharap ia akan menelponku
lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku
lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.
"Hallo.." ucapku pelan dan agak berhati-hati.
"Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.."
"Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa
basa-basi itu. Kupikir ia akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.
"Sabtu depan kita tunangan.." kebingunganku sirna, diganti oleh rasa
terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas.. kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."
"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku terdiam sesaat. Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar.
Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu..
Tidak lama ia datang ke rumahku.
Sewaktu aku turun dari kamar, kulihat ia sedang duduk di ruang tamu
menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar
detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan
duduk di hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya.
Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan
meraih tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia
mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin
ke dalam genggaman tanganku.
Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab.
Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit
dan memelukku.
"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan
Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang
dari mengurus beberapa keperluan untuk pesta pertunangan kami.
Sebenarnya mama Jason sudah mengurus semuanya,
lagipula tidak terlalu banyak yang
diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman dekat
saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala
persiapannya.
Hari ini sudah hari Senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami.
Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.
"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih
berkonsentrasi menyetir.
Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang ke luar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata.. Semuanya terlalu cepat.. Maksudku,
kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi
kita sudah akan bertunangan lima hari lagi.."
"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah.. Pertunangan ini kan hanya
sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke
Sydney minggu depan.. Kita masih punya banyak waktu untuk saling
mengenal..
Kita tokh tidak perlu buru-buru menikah kan? Atau jangan-jangan kamu dah
nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali
mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?"
"Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit persoalan
malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu
menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya,
seolah merasa bosan dengan pertanyaanku. "Apa itu masih penting sekarang?"
"Masih.. Karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku.
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabannya masih penuh
teka-teki.
"Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."
Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja..Lagipula
memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun.
Jadi, kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuan itu..
"Besok kita jemput Rosa, kamu nggak lupa kan?" Aku hanya mengangguk.
PART 12
Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di Sydney. Aku hanya pernah
melihat fotonya di foto keluarga yang dipajang di rumah mereka.
Rosa adalah satu-satunya saudara yang dimiliki Jason.
Setidaknya itu masih lebih baik dariku yang hanya sendirian.
Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memliki seorang saudara perempuan
dan aku berharap Rosa bisa menerimaku.
Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata jauh lebih cantik
dari yang di foto. Tepat seperti yang kubayangkan, anaknya lincah dan
enerjik, membuat suasana di sekitarnya selalu meriah. Sebentar saja aku
sudah akrab dengan Rosa. Banyak kecocokan di antara kami walaupun
dia lebih kecil sekitar empat tahun dariku.
"Wahhh. kalian deg-degan nggak nih besok sudah mau tunangan?" goda Rosa
saat kami makan malam bertiga. Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam
tersebut hanya berduaan dengan kakaknya namun aku yang memaksanya untuk
ikut.
"Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.." jawabku."Sedih?" tanya Jason kaget,
membuatku dan Rosa tersenyum geli.
"Gimana nggak sedih? Mana ada orang yang baru tunangan dua hari langsung
ditinggal?" sahut Rosa seperti bisa membaca pikiranku.
"Ohh.. aku ke Sydney kan bukan buat selamanya.."
"Kenapa sih kamu nggak batalin tawaran kerja di Sydney dan kerja sama
papa
aja?" aku agak sedikit terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak
blak-blakan
walaupun pertanyaan itu pernah juga terlintas dalam pikiranku.
Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah pernah bilang alasannya.."
"Tapi itu sebelum kamu bertemu dengan Bianca kan?"
"Prinsipku tidak bisa diubah.." dari nada bicaranya tersirat Jason tidak
ingin melanjutkan percakapan itu.
Rosa menghela napasnya dan menatapku. "Ca, kamu harus awasin bener-bener
kakakku ini.. Hati-hati, cewek yang ngejar dia ada segudang.." candanya.
"Harusnya aku yang minta tolong kamu, Sa.. Kan kamu yang bisa ngawasin
dia nanti.." balasku sambil tertawa kecil.
Rosa lalu melirik ke arah Jason. "I'll try my best.. We'll see.."
Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan ucapan Rosa tapi aku
tidak terlalu memperhatikannya. Pikiranku sendiri berkecamuk dengan
pertunanganku besok.
"Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok yah?" sambungnya
lembut.
Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
"Everything will be fine.. Relax.."
Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya.
Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat kepada seseorang,
menyuruhnya untuk datang ke meja kami. Aku berpaling melihat siapa orang
tersebut.
Ternyata seorang pemain biola. Ia menghampiri kami dan mulai memainkan
sebuah lagu. Lagu yang sangat indah, sebuah lagu klasik yang begitu
akrab di telingaku, Moonlight Sonata.. Jason tahu aku suka memainkan
lagu itu dengan piano kesayanganku..Wajahku langsung bersemu merah,
benar-benar kikuk rasanya berada dalam keadaan seperti itu.
Aku mencari-cari Rosa, berupaya untuk tidak menatap Jason..
Namun tampaknya Rosa sengaja menghilang saat
itu, membiarkan diriku hanya berduaan dengan Jason.
Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu menatap ke arahku
sambil tersenyum. Aku menunduk lagi sebelum akhirnya memutuskan
untuk menoleh ke arah Jason.
Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia tersenyum simpul, sedikit
terlihat menahan tawa melihat sikapku yang malu-malu itu.. Ia lalu
mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku menatapnya terkejut. Aku
ingin menolak namun aku tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan
kami saat itu. Akhirnya aku sambut uluran tangannya dan kami beranjak
ke lantai dansa.
Musik masih terus mengalun, samar-samar menutupi bunyi detak jantungku.
Ia mendekap tubuhku erat, tubuh kamipun bersatu, bergerak perlahan..
terbawa suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan mulai berdansa.
Aku tersenyum, merasa agak sedikit rileks. Aku menopangkan daguku di
bahunya.
Kudengar ia berbisik pelan, "Terima kasih.." lalu ia mencium telingaku
lembut. Hanya dua kata yang singkat namun membuatku merasa begitu
dihargai, begitu dipuja.. dan di atas segalanya, begitu dicintai..
Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku untuk menatapnya. Lalu
kaki kami sama-sama terhenti. Kami berdua berdiri mematung di
tengah-tengah pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa.
Kami berdua bertatapan cukup lama saat itu. Melihat tatapan matanya
yang begitu dalam dan hangat, aku yakin aku adalah gadis yang paling
beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku untuk menerima
pertunangan ini tak akan pernah kusesali.
PART 13
Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar. Sejujurnya, tidak ada
yang terlalu istimewa di hari itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu
mungkin tidak cukup untuk mendeskripsikannya.
Jason selalu berada di sampingku sepanjang acara itu. Ia senantiasa
menggenggam erat tanganku atau sesekali merangkul pinggangku. Kudengar
tamu-tamu memuji kami sebagai pasangan yang sempurna. Jason juga terus
menerus memujiku yang terlihat agak berbeda malam itu. Sedih rasanya
waktu pesta itu berakhir dan membayangkan Jason akan segera
meninggalkanku. Namun cincin yang kini terselip di jari manisku
mampu membuat hatiku agak lebih cerah.
Malam itu, Jason mencium bibirkuku untuk yang pertama kalinya.. Ciuman
yang lembut.. Tepat seperti yang aku impikan, ciuman pertama yang
membuatku menangis sebaliknya dari tersenyum.. Jason memang memenuhi
semua anganku..
Ia terlalu sempurna sehinggal aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika
Jason harus pergi dari sisiku, aku melepas kepergiannya dengan tabah.
Aku tahu tangisanku tidak akan merubah keputusannya. Sebaliknya,
aku tersenyum karena aku tahu ia akan kembali ke sisiku.
Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang terbaik bagi kami berdua.
Mungkin dengan begitu, cinta yang murni bisa berkembang di antara kami.
Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak ada lagi yang bisa
memisahkan kami nantinya.
"Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason tersenyum meledekku. Ia
sudah hendak check in namun ia minta waktu untuk bicara berdua saja
denganku.
"Aku menangis di sini.." aku menunjuk hatiku. Kurasakan suaraku bergetar
saat mengucapkannya.
Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu sedikit membungkuk dan
menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah
ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.
"Terima kasih.. Seandainya kamu menangis, hatiku juga jadi susah.." Ia
lalu mengecup keningku. "Aku pasti kembali lagi.. Jaga cinta kita.."
Dan ia memelukku begitu erat.
Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk
mataku.
"Sudah.. ayo check in sana.. Rosa udah nungguin.. Nanti langsung telpon
aku yah.." kulepas pelukannya dan kucoba mengucapkan kata perpisahan
dengan nada ceria..
Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu berjalan ke arah Rosa dan
mereka berdua melambaikan tangan padaku.
Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air mataku tumpah..
PART 14
Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. Sadar atau tidak, kami sudah
jadi sahabat baik. Anehnya, kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason.
Baik aku maupun dia sama-sama tidak pernah menyinggungnya. Aku merasa agak
sungkan, lagipula aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang
mempercayainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku tidak terlalu
merasa tertekan.
Entah mengapa, keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku.
Aku jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk terhadap
orang-orang di sekitarku. Sungguh, aku banyak berubah.
Aku lebih berani mencekati orang dan ternyata, tidak semuanya
berpandangan negatif tentangku.. Kupikir, dulu aku
hidup dalam ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima diriku,
bukan mereka.. Kini di kampus aku punya cukup banyak teman. Aku sangat
menyayangkan karena diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku
jadi tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah. Kadang-kadang
Jason kesal karena semenjak diriku mulai lebih terbuka,
sudah ada beberapa teman laki-lakiku yang mencoba mendekatiku.
Kalau sudah begitu, katanya aku lebih
baik jadi pendiam dan tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak
pernah serius dengan ucapannya..
Jason juga cukup puas dengan pekerjaanya. Ia sudah beberapa kali dapat
pujian dari atasannya dan menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik
jabatan.
Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku jadi takut sendiri
kalau-kalau ia tidak akan kembali. Di sisi lain, aku bangga karena
tunanganku bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang tua.
Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak sekali gadis yang ngantri
untuk mendapatkan Jason. Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri
mendengar cerita-cerita lucu tentang gadis-gadis itu. Mulai dari yang
mengiriminya foto sampai yang mengirimkannya lagu lewat radio tiap
weekend.
Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu sempurna.. Hingga tidak
terasa aku sudah menyelesaikan kuliahku.
PART 15
Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan banyak hal selain
membantu papa sedikit-sedikit di perusahaannya.
Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti, ia sudah berjanji..
namun aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya karena wisudaku
masih dua bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan bisa
jadi seperti penantian tanpa batas. Maka kuberanikan diriku untuk
meminta ijin ke Sydney.
"Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?" ledek papa waktu aku
mengutarakan niatku.
"Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.." ucapku manja.
"Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja tiketnya.."
"Beneran pa?" ucapku girang.
"Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu balik ke Jakarta-nya
sama-sama dia." tambah mama lagi.
"Aduh, mama memang mama paling baik sedunia.." aku memeluk mama
erat-erat.
"Oh ya, aku mau bkin surprise loh buat Jason dan Rosa jadi mama papa
jangan sampe keceplosan yah.." tambahku lagi.
Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang kekanak-kanakan itu..
Kupandangi refleksi wajahku di cermin. Aku tersenyum puas melihat
penampilanku. Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang. Aku
teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih cantik bila rambutku
panjang.
Mungkin itulah alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku
semenjak aku mendengar kata-katanya itu. Aku tersenyum membayangkan
dirinya melihatku sekarang. Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami
sebentar lagi, melihat ekspresi terkejut di wajah tampannya..
Kubayangkan juga hari-hari yang akan aku lewati dengannya,
menyusuri tempat-tempat indah yang selama ini selalu
ia ceritakan padaku.. Kurapihkan diriku lagi sebelum keluar dari kamar
kecil itu. Kulangkahkan kakiku dengan mantap.
"Sydney, say hi to me.." pekikku girang dalam hati. Aku memandang
bangunan tinggi yang menjulang dihadapanku. Taksi yang mengantarku
sudah berlalu dari tadi. Kulihat lagi kertas bertuliskan
alamat apartment Jason dan Rosa.
Memang benar ini yang aku cari. Ketika aku sudah hendak menekan interkom
apartment mereka, kulihat sepasang suami istri berjalan keluar dari
pintu utama. Lalu ide iseng muncul di benakku.
Sebelum pintu itu tertutup, aku buru-buru menyelinap masuk..
"Kalau aku langsung muncul di depan pintunya tentu lebih mengejutkan
lagi.."
pikirku nakal. Kutekan tombol lift yang sesaat kemudian mengantarku ke
lantai teratas dari bangunan tersebut.
Sewaktu aku mengetuk pintu itu, aku merasa jantungku yang justru
terketuk.
Lama tak terdengar jawaban. "Mungkin mereka masih tidur.." aku melirik
jam tanganku yang menunjukkan jam sembilan pagi lewat sedikit.
Hari ini hari minggu jadi wajar saja kalau mereka bangun agak siang.
Kucoba lagi mengetuk pintu itu, agak lebih keras kali ini.. Tak lama,
Rosa membuka pintu itu, masih dengan pakaian tidur dan rambut yang
agak berantakan.
Matanya terbelalak ketika melihatku
PART 17
"Bianca!!" teriaknya tertahan. Aku tersenyum dan langsung memeluknya.
Lalu kulihat Jason muncul, hanya mengenakan celana boxer pendek. Aku
tersenyum dan hampir memanggilnya ketika aku sadar ia sedang merangkul
seorang perempuan yang tidak pernah aku kenal. Perempuan itu juga hanya
mengenakan pakaian tidur seadanya. Jason masih mengucek-ucek matanya.
"Siapa Sa? Kok bisa masuk sini?" tanyanya pada Rosa.
Sementara yang ditanya tidak berani menoleh ke belakang.
Tersentak, kulepaskan pelukanku. Jason juga rupanya segera menyadari
kehadiranku di situ dan buru-buru melepaskan rangkulannya. Terlambat..
aku sudah melihatnya.. Belum sempat seseorang mengucapkan sepatah kata
pun, aku langsung berbalik dan berlari pergi, menekan-nekan tombol lift
dengan tidak sabar.
"Bianca! Tunggu!" kudengar Jason berlari dan mengejarku. Ia lalu
mencengkeram lenganku keras, membuatku tak mampu berontak. Aku berbalik
menatapnya namun pandanganku kabur, tertutup oleh air mata yang sudah
siap mengalir. Ia tidak mengucapkan apa-apa.
Ia menarikku ke pelukannya dengan paksa.
Aku hanya bisa menangis seraya sesekali memukul bahunya yang bidang itu.
Perempuan itu beranjak mendekati kami. Ia berdiri di belakangku, tepat
berhadapan dengan Jason.
"Ini pacarmu?" tanyanya sinis.
"Bukan." Jason menjawab mantap.
"Ia tunanganku.." Sambungnya seraya mempererat pelukannya seolah ingin
melindungiku. Tangisku makin menjadi mendengar jawaban Jason itu.
Perempuan itu mendegus marah. "Kalau begitu, kau dalam masalah besar
sekarang.. Bagus, kau rasakanlah akibat dari perbuatanmu sendiri!"
bentaknya setengah berteriak.
Lalu aku mendengar suara tamparan. Aku menolehkan wajahku dan melihat
Jason sedang memegang sebelah pipinya. "Tamparan itu untukku.
Dan ini untuk tunanganmu." Ia lalu menampar Jason lagi.
Kulihat mata perempuan itu menyala oleh api amarah namun aku tahu ia
juga tengah menahan air mata yang sudah mulai membahasi matanya.
Aku tahu, ia sama sedihnya denganku.
Hanya saja, ia sedikit lebih kuat dariku..
Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kurasa kau pun
tahu, jahanam ini tidak pantas untukmu.." ucapnya sebelum berlalu.
Kulihat ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka sambil menenteng
pakaian dan tasnya. Ia sama sekali tidak menoleh lagi ke arah kami..
PART 18
Mataku menerawang kosong. Aku sudah lelah menangis. Rosa sedari tadi
merangkulku. Jason juga hanya duduk memandangku. Belum ada di antara
kami yang bicara semenjak Rosa mengajakku masuk ke apartment mereka
untuk menenangkan diriku. Mereka berdua seolah menungguku untuk bicara
terlebih dahulu.
Aku bangkit dari dudukku. "Aku mau pulang." Ucapku mantap. Sebelum ada
di antara mereka yang mencegahku, aku menoleh ke arah Rosa,
"Kamu mau antar aku ke airport kan?"
Rosa menoleh ke arahku dan kakaknya bergantian.
"Kalau kamu tidak mau, aku bisa pergi sendiri."
Ucapku akhirnya sambil mengangkat barang-barangku.
"Tunggu." Kudengar akhirnya Jason bersuara. Entah mengapa, air mata ini
ingin mengalir lagi ketika mendengar suaranya. Aku tidak menoleh. Ia
berjalan menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut. "Jangan pergi
dulu.
Kita harus bicara."
Aku menoleh, menatapnya tajam dan kusentakkan lenganku. "Tidak ada yang
perlu dibicarakan lagi, Jason."
Akupun membuka pintu apartment itu dan melangkah pergi.
Rosa buru-buru mengambil kunci mobilnya. "Ca, aku antar kamu.." ia
membantuku membawa tasku dan berjalan bersamaku, meninggalkan Jason
sendirian.
Ketika pintu lift itu terbuka, kudengar Jason memanggilku sekali lagi.
Aku masih tetap tidak menoleh. Aku tetap melangkah masuk
ke dalam lift itu.
"Bianca, aku akan menunggumu.. walaupun harus seribu tahun.."
kudengar suaranya bergetar saat mengucapkannya.
Aku tak menjawab. Pintu lift itu tertutup dan
barulah aku mulai menangis lagi.. Rosa terus memelukku..
Hening.. itulah yang aku butuhkan..
PART 19
"Ca, maafkan aku.." ucap Rosa sesaat sebelum aku hendak masuk ke bagian
imigrasi.
Aku tersenyum kecil. "Aku mengerti Sa.. Kamu ada dalam posisi yang
sulit."
"Ca.. kamu masih sahabatku kan?" ia meraih tanganku dan menggengamnya
erat.
Aku mengangguk. "Tentu Sa.. tapi beri aku waktu dulu ya.. Aku ingin
melupakan semua ini.."
Rosa mengangguk dan memelukku sebelum akhirnya kami berpisah. Kupandangi
awan-awan putih yang menutupi bumi dari balik jendela pesawat.
Percakapanku di mobil dengan Rosa tadi masih terngiang jelas di benakku.
"Sudah berapa lama, Sa?" tanyaku getir.
Rosa diam sebentar, seolah bimbang haruskah ia berkata jujur atau
haruskah ia membela kakaknya.
"Kita sahabat, kan?" desakku.
"Paling hanya dua minggu, Ca.. Kakakku tidak pernah serius dengan
mereka.." jawab Rosa akhirnya.
"Mereka?" aku tersentak kaget.
Rosa jadi gelagapan. "Maksudku.. bukan begitu.." ia lalu memukul
setirnya kesal. "Baiklah, aku katakan sejujurnya Ca..
Aku pikir kamu berhak tahu semuanya." Rosa berhenti sesaat,
menunggu reaksiku. Aku diam, membiarkannya melanjutkan kalimatnya.
"Seumur hidupnya, selain dirimu, ia hanya pernah mencintai satu
perempuan lagi. Namanya Sarah. Mereka sudah berpacaran cukup lama
ketika kakakku tahu kalau Sarah ternyata sudah hampir menikah
dengan orang lain. Kakakku hanya dijadikan pacar gelapnya.
Kakakku pun tidak tahu apakah Sarah pernah benar-benar
mencintainya seperti ia pernah mencintai perempuan itu.
Sarah meninggalkannya begitu saja. Ia hampir jadi gila saat itu.
Semenjak itu ia berubah." Rosa berhenti sesaat.
"Ia terus mempermainkan perempuan. Ia memacari mereka,
meniduri mereka lalu meninggalkan mereka begitu saja.
Ia ingin menyakiti selayaknya ia pernah disakiti.
Baginya cinta sejati itu sudah tidak ada.."
Aku tertegun. Ternyata ada begitu banyak tentang Jason yang tidak pernah
aku tahu. Apakah karena aku terlalu takut kehilangan dirinya
sehingga aku tidak pernah bertanya tentang masa lalunya..
Apakah ini salahku semata?
"Ia berubah sewaktu ia berkenalan denganmu. Ia benar-benar jatuh cinta
lagi.. Tapi ia takut.. Ia pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi..
lagipula perkenalan kalian terlalu cepat.."
Jadi itu sebabnya ia sempat menolak pertunangan kami.. Itulah juga
sebabnya ia pernah mengatakan padaku, "Aku suka cewek yang
bisa membuatku jatuh cinta..". Aku yang telah membuatnya jatuh cinta,
sesuatu yang ia benci..
"Kalau ia memang mencintaiku, kenapa ia melakukan ini padaku?" tanyaku
pilu.
Rosa menghela napasnya. "Kamu tahu kenapa ia bersikeras ingin tetap ke
Sydney? Karena ia tahu ia belum siap dengan komitmen.. karena ia takut
ia berharap terlalu banyak darimu.. Terlalu banyak pertimbangan yang
membuatnya memilih untuk berpisah sementara darimu..
Ia telah mencoba sebisa mungkin untuk setia padamu namun..."
Rosa terdiam sesaat. "Ia masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang Sarah.
Terutama belum lama ini seorang teman lama kembali menguhubungi dia..
Mengungkit Sarah lagi.. dan ternyata Sarah mengetahui
pertunangannya denganmu.. Aku tidak begitu tahu apa yang mereka
bicarakan tapi yang pasti emosi Jason langsung jadi labil..
Ia kembali seperti dulu.."
"Kalau ia merasa belum pasti dan belum bisa melepas kehidupan lamanya,
kenapa ia tetap mau bertunangan denganku?" potongku.
Rosa membalas tatapan mataku. "karena di sisi lain, ia tidak mau
kehilanganmu.. karena jauh di lubuk hatinya, ia masih percaya kalau
Tuhan memberikanmu untuknya.. Itulah sebabnya ia terus berupaya
terlihat seperti Jason yang kamu dulu kenal sekalip.. "
"Tidak usah diteruskan.." Aku membuang mukaku, menggigit bibirku
sendiri..
Mengapa aku merasa ini semua tidak begitu adil bagiku.. Aku tak ingin
mendengar apa-apa lagi..
Rosa meremas tanganku lembut. "Beri Jason waktu.. Hanya itu yang ia
butuhkan.. Aku tahu, ia memilihmu lebih daripada Sarah walau ia sendiri
tidak menyadarinya.."
Aku terus diam seribu bahasa. Bagiku semuanya sudah jelas. Terlalu jelas
sehingga hati ini begitu sakit rasanya..
PART 20
Orang tuaku begitu marah dan kecewa ketika aku ceritakan semuanya.
Mereka langsung menghubungi orang tua Jason dan
membatalkan pertunangan kami.
Orang tua Jason tidak banyak berkomentar selain meminta maaf kepada
orang tuaku dan aku.
Jason pernah mencoba menghubungiku semenjak kejadian itu.
Setelah dua kali telponnya tidak aku angkat,
ia hanya sekali mengirimku e-mail yang tidak pernah aku balas.
Dear Bianca,
Ca, aku sudah mencoba menelponmu tapi tampaknya kamu menghindari aku..
Jadi aku rasa tidak ada gunanya terus mencoba. Aku lalu terpikir untuk
mengirim e-mail ini.. Sekalipun kamu tidak akan membalasnya,
setidaknya kamu membacanya dan itu sudah cukup bagiku.
Aku tahu kata maaf tidak akan berarti banyak setelah apa yang terjadi.
Aku juga tahu, aku sudah tidak pantas dimaafkan. Aku terlalu menyakitimu..
Tapi aku ingin kamu tahu, aku juga menderita di sini.. Aku sangat menyesal
atas semuanya..
Aku rasa Rosa sudah menceritakan semuanya kepadamu.. namun biarlah aku
menceritakannya lagi supaya kau tahu siapa diriku yang sebenarnya.
Sarah. Dia cinta pertamaku. Kami berkenalan sewaktu aku baru masuk
kuliah.
Waktu itu aku adalah laki-laki yang naif, yang percaya
akan cerita-cerita cinta yang selalu berakhir bahagia.
Aku merasa kisahku dengan Sarah akan berlangsung tanpa akhir.
Namun aku salah, sangat salah. Ternyata Sarah sudah
punya tunangan di Jakarta dan mereka akan segera menikah.
Waktu aku menanyakan kebenarannya, ia meninggalkanku begitu saja.
Aku terus menerus mencoba menghubunginya namun ia tak pernah peduli padaku.
Cintaku terbuang begitu saja, harapanku kandas..
Aku tidak percaya lagi akan adanya cinta.
Selanjutnya, aku mengisi hari-hariku dengan perempuan-perempuan yang
datang silih berganti. Aku tak pernah mencintai mereka,
aku hanya menjadikan mereka objek kesenanganku saja..
Sama seperti Sarah pernah memperlakukanku.
Ketika bertemu denganmu, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda di
dirimu.
Kamu begitu polos, begitu naif, seperti aku dulu.
Melihatmu mengingatkanku akan diriku yang dulu.
Membuatku mengingat indahnya cinta yang pernah aku
nikmati dengan Sarah. Dan seperti yang bisa kau tebak,
aku jatuh cinta padamu. Namun bukannya bahagia, aku malah takut.
Aku takut terluka lagi..
Aku ingin pergi meninggalkanmu tapi aku juga ingin memilikimu.
Aku tak bisa memilih di antara keduanya. Jadi itulah yang aku lakukan,
aku pergi setelah berhasil menjadikanmu tunanganku.
Setelah kembali ke Sydney, aku mencoba untuk kembali menjadi seperti aku
yang dulu. Mencintaimu seperti aku pernah mencintai Sarah. Setia tanpa
syarat kepadamu.. Namun aku tidak bisa, Ca.. Entah kenapa halnya begitu
sulit bagiku. Aku terus mencintaimu walau pada saat yang bersamaan aku
juga tidak bisa merubah diriku untuk menjadi pria yang pantas untukmu..
Kuteruskan permainanku dengan harapan akan tiba saatnya di mana kita
menikah dan barulah aku bisa meninggalkan semua itu,
Lalu kau muncul tiba-tiba di depanku. Semua kebohonganku terbongkar
dalam hitungan detik. Semua cinta dan kepercayaan
yang kau pupuk sirna begitu saja. Melihatmu menangis, hati ini
seperti ditusuk-tusuk. Aku tidak bisa berhenti memaki diriku sendiri.
Tapi itulah kenyataannya, aku telah kehilanganmu karena
kesalahanku sendiri..
Dan entah mengapa, ini lebih sakit daripada
sewaktu aku kehilangan Sarah.
Aku tahu, mungkin hanya waktu yang bisa mengembalikan cinta dan
kepercayaan yang telah aku hilangkan itu.
Berapa lama pun waktu itu, aku akan terus setia
menunggu di sini. Kamu telah berhasil membuatku jatuh cinta lagi,
dan sekarang kamu telah mengembalikan diriku seperti dulu.
Jika saatnya tiba,
aku harap kamu sudi memberiku satu kesempatan lagi.
Dan bila saat itu tiba, kita takkan terpisahkan lagi.
Love you still,
Jason
Hanya itu satu-satunya e-mail yang ia kirimkan padaku. Ia sama sekali
tidak
menyebutkan tentang kejadian yang Rosa ceritakan padaku.. Ia sama sekali
tidak menceritakan tentang percakapannya mengenai Sarah yang merubah
dirinya, yang merubah kesetiaannya padaku.. Ia membuat kesan seolah-olah
semua ini tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Sarah.. Aku kecewa.
Setelah itu ia tidak pernah mencoba menghubungiku dengan cara apapun
juga. Aku agak sedikit lega karenanya namun aku juga jadi kecewa.
Entah mengapa aku ingin ia terus menerus menghubungiku,
setidaknya mengirimiku e-mail menceritakan
keadaannya sekarang. Bodoh memang, tapi itulah aku..
Lain halnya dengan Rosa. Ia selalu mengirimiku e-mail yang menceritakan
tentang kehidupannya sendiri. Ia sama sekali tidak pernah menyinggung
tentang Jason. Sedikitpun tidak. Terkadang aku membalas e-mailnya walau
hanya singkat dan sebatas formalitas. Aku juga tidak pernah menceritakan
diriku sendiri terlalu mendetail karena aku tahu Rosa pasti menyampaikan
isi e-mailku kepada Jason. Harus kuakui, aku sempat berpikir bahwa dunia
ini sudah berakhir. Aku sudah tidak ingin lagi hidup. Berminggu-minggu
aku mengurung diri di rumah, tenggelam dalam kesedihan dan kesepian..
Aku merasa tercampakkan dan tak berguna. Walaupun Jason mengatakan
ia masih mencintaiku tapi apakah itu masih ada gunanya setelah
ia menyia-nyiakan kepercayaan yang aku berikan?
Walaupun aku mengerti keadaannya, tapi salahkah aku apabila aku
menjadi sedikit egois dalam hal ini? Aku hanya ingin dicintai selayaknya
aku mencintai.. Sejujurnya, aku juga merasa sangat cemburu dengan yang
namanya Sarah.
Baik dari cerita Rosa maupun e-mail Jason, Sarah terdengar begitu
berarti bagi Jason. Perempuan yang berhasil mengubah kehidupan Jason
begitu drastis tentulah bukan sembarang perempuan bagi Jason. Aku yakin,
ia masih memiliki tempat di hati Jason, tempat yang selamanya
tidak pernah tergantikan olehku.
Aku merasa terkalahkan.. dan putus asa.
Lalu aku tersadar. Aku tidak boleh jatuh selamanya. Justru aku harus
buktikan pada Jason bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa dirinya
disisiku.
Atau aku hanya sekedar ingin menguji kesungguhan cintanya? Aku sendiri
tidak mengerti.. Sebagian hatiku menginginkan dirinya,namun sebagian lagi
tertahan oleh egoku. Aku tak ingin ia memiliku lagi dengan mudah setelah
apa yang ia lakukan padaku..
Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di luar negeri. Ingin
mencoba suasana baru dan memulai hidup yang baru. Aku bukannya ingin
mencari cinta yang lain karena bagiku, Jason lah satu-satunya cintaku.
Cintaku hidup dan mati bersamanya.
Maka, berangkatlah aku ke San Fransisko dengan sejuta
harapan tersimpan dalam diri ini.
PART 22
Sudah lebih dari dua tahun aku menghabiskan kehidupanku di sini. Aku
tidak pernah pulang ke Jakarta, untuk liburan sekalipun.
Walaupun sebenarnya sekolahku sudah selesai,
berkat rekomendasi dan praktek kerjaku dulu,
aku berhasil memperoleh pekerjaan sementara di sini.
Sebentar lagi batas waktunya habis dan
aku harus pulang ke Jakarta, mulai membantu usaha papa.
Sejujurnya, aku tidak rela melepaskan apa yang aku miliki di sini.
Aku menikmati pekerjaan dan pergaulan yang aku miliki di sini.
Budaya orang-orang di sini membuatku merasa lebih bebas dan
tidak tertekan. Bagaimana Jason sekarang?
Apakah ia masih bekerja di Sydney atau apakah ia
sudah pulang dan membantu usaha papanya di Jakarta?
Ah.. ingin rasanya aku bertanya tentang Jason kepada Rosa
namun ego ini terlalu besar.
Aku perhatikan lagi detail di undangan Rosa.
Pernikahannya masih tiga bulan lagi.
Pestanya akan diselenggarakan di Jakarta.
Hmm.. itu berarti aku harus pulang agar
dapat hadir di pesta itu. Tiba-tiba aku tersentak.
Bukankah itu berarti aku akan bertemu dengan Jason?
Jantungku berdebar-debar sendiri.
Bodohnya diriku.. Tak lama kudengar ada yang membuka pintu depan.
Kuintip sedikit siapa yang datang, ternyata Stanley.
Ia muncul dengan mendekap bungkusan besar penuh belanjaan.
"Kok nggak tiduran? Ngapain bengong di ruang tamu?" tanya Stanley sambil
terus berjalan ke arah dapur. "Pusingnya udah mendingan?" sambungnya
lagi sambil membereskan belanjaannya.
Aku berjalan malas-malasan dan duduk di dapur kering seraya menatapnya
yang masih sibuk sendiri dengan barang-barangnya.
"Udah lumayan lah.." jawabku sambil menguap.
"Kalau udah mendingan, sini bantuin aku masak.."
"Nggak jadi Stan.. pusingnya kumat lagi ngeliat kamu.."
jawabku sambil ngeloyor pergi ke kamar.
Aku hanya tersenyum mendengar Stanley ngomel-ngomel sendiri. Stanley.
Sahabat baikku. Kami berkenalan dalam suatu acara yang diadakan oleh
komite anak-anak indonesia di kampus. Waktu itu ia juga sedang
melanjutkan masternya, namun jurusannya berbeda dariku.
Rupanya rumah kami di Jakarta berdekatan,
dan dari situ pembicaraan kami mulai berlanjut.
Aku merasa cocok sekali bergaul dengan Stanley. Aku tidak pernah merasa
risih untuk menceritakan apapun padanya walaupun ia laki-laki. Mungkin
karena gayanya yang seperti perempuan membuatku tidak pernah
menganggapnya sebagai seorang laki-laki. Walaupun begitu,
aku yakin ia juga bukan seorang gay karena
ia pernah menceritakan kisah cintanya dulu padaku.
Hanya kepada Stanley aku bisa leluasa menceritakan masa laluku dengan
Jason, sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh teman-temanku di sini.
Hanya dengan dia aku bebas melakukan apa yang aku mau.
Marah.. menangis.. berteriak.. semuanya..
PART 23
Setiap aku sakit, Stanley-lah yang menjagaku.
Seperti yang ia lakukan sore ini.
Ia tahu aku agak tidak enak badan sehingga harus pulang lebih cepat
dari kantor. Ia langsung berbelanja bahan-bahan untuk memasakkanku
makanan, sesuatu yang sangat sering ia lakukan.
Stanley bukan hanya sahabatku, ia juga adalah saudaraku. Aku sering
memanggilnya, 'my sister' karena ia lebih cerewet dari mamaku sekalipun.
Kalau sudah begitu ia pasti pura-pura marah dan mulai bersikap sok
seperti gentleman. Tapi itu tidak pernah bertahan lama.
"Biancaaaaaa.." Kudengar ia berteriak memanggil namaku.
Kulihat jam weker di samping tempat tidurku.
Sudah 30 menit berlalu, ia pasti sudah selesai masak.
Stanley adalah koki tercepat dan terhebat yang pernah aku kenal.
Tidak ada yang bisa menyaingi masakannya.
Waktu aku keluar dari kamar, kulihat ia sedang menata piring
di meja makan.
Aku segera menghampiri dan membantunya.
"Ini ravioli dengan cheese cream-nya tuan putri.."
ucapnya sambil menghidangkan makanan kesukaanku itu.
Seperti biasa, Stanley tidak langsung makan.
Ia selalu menyalakan musik.
Katanya, kalau sambil mendengarkan musik yang romantis,
makan apapun akan jadi enak.
Malam ini ia memasang lagu First Love-nya Nikka Costa.
"Stan, malem ini kamu nggak jemput kakakmu?"
tanyaku sewaktu ia sudah duduk bersama-samaku di meja makan.
"Tadi dia juga pulang cepet soalnya mesti jemput temennya yang baru
datang dari Jakarta."
"Oh ya? Kenalin donkkk. cewek atau cowok?"
"Eh.. ganjennya kumat nih anak. Yang ini cewek, pokoknya jatahku.."
balas Stanley tak mau kalah.
"Ambil gih.. Dianya juga belum tentu mau sama kamu.."
aku mencibirkan bibirku.
"Udah.. serius nih.. Weekend ini kita disuruh temenin dia jalan-jalan
soalnya kakakku ada tugas di luar kota."
"Oke, aku juga free kok.." jawabku senang.
"Ngomong-ngomong, siapa namanya?
Tau nggak?"
"Sarah." Jawaban Stanley langsung membuat suasana hatiku kacau.
Sarah.. Mungkinkah Sarah yang itu? Aku melirik Stanley.
Ia tampak biasa saja, sibuk mengunyah makanan di mulutnya
yang penuh itu sambil sesekali bersenandung.
PART 24
Weekend yang aku tunggu-tunggu pun tiba.
Aku tidak sabar ingin bertemu dengan yang namanya Sarah.
Aku ingin tahu apakah ia adalah Sarah yang selama
ini membakar kecemburuan dalam diriku.
Sarah yang selama ini membuatku ingin
melupakan Jason selamanya. Ia muncul di hadapanku.
Tepat seperti yang aku bayangkan, ia begitu cantik..
Jika ia adalah Sarah yang selama ini aku ingin temui,
maka tidak salah Jason begitu tergila-gila padanya.
Tubuhnya begitu sempurna, membuatku merasa minder
seketika itu juga. Semua gerak-geriknya begitu sopan
dan feminin, mencerminkan wanita yang sesungguhnya..Jika
aku bukan wanita, mungkin aku juga akan jatuh cinta padanya..
Ketika Stanley meninggalkan kami berdua saja, kuberanikan diri
untuk memancing-mancingnya menceritakan masa lalunya.
"Kamu berapa lama rencananya di sini?" tanyaku membuka percakapan.
"Sampai semua tempat sudah aku kunjungi.." jawabnya sambil menyibakkan
rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan ke belakang dan tersenyum
manis padaku.
"Kalau kamu? Apa sudah pasti menetap di sini?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Rasanya aku harus kembali ke Jakarta."
"Oh.. udah ada yang nungguin di sana yah?" senyumnya nakal.
Kebetulan.. pikirku. "Wah.. nggak ada lah.. Emangnya kamu ada yah?"
Air wajahnya berubah sedikit, terlihat agak sedih. "Tidak ada yang
menungguku.." jawabnya.. misterius..
Aku terdiam, otakku berputar keras, mencari pertanyaan lain yang bisa
aku ajukan padanya.
"Kenapa kamu ama Stanley nggak pacaran aja? Kalian keliatannya cocok
sekali.." ia berbicara lagi.
Aku tertawa. "Stanley dan aku sudah seperti kakak adik. Kami nggak
mungkin pacaran.."
"Atau apakah karna kamu masih mencintai orang lain?" tanyanya, tidak
dengan nada yang terlalu serius.
Aku terhenyak. Tidak kusangka ia akan bertanya hal seperti itu pada
perjumpaan pertama kami walaupun aku tahu ia tidak bersungguh-sungguh
dengan pertanyaannya.
Ia tersenyum. "Tidak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya.."
Aku menatapnya heran. Ia tidak membalas tatapanku.
"Kalau kamu?" tanyaku memberanikan diri.
"Aku? Semua orang pasti memiliki seseorang yang dicintai.." kini ia
menatapku. Tatapan matanya begitu tajam, namun indah..
"Ohh.." jawabku kikuk. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa kenal
dengan kakaknya Stanley?" tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Mungkin lain kali baru aku coba membahas hal ini lagi.
"Kami berkenalan waktu aku sekolah di Sydney."
Jantungku mulai berdetak cepat. "Oh ya, kapan kamu lulus?"
"Aku tidak pernah lulus kuliah.. Aku harus menikah." matanya menerawang.
Ia lalu tertawa kecil. "Jangan pikir aku menikah karna sudah hamil
duluan yah.."
"Kalau begitu, kenapa kamu menikah?"
"Dijodohkan.."
Tidak salah lagi.. Dia pasti adalah Sarah yang mantan kekasih Jason.
Belum aku sempat bertanya lagi, Stanley sudah muncul.
Percakapan kami terputus..
PART 25
"Kamu yakin?" tanya Stanley sewaktu aku memberitahukannya tentang
kesimpulan yang aku dapatkan tentang Sarah.
"Ya abisnya kan aneh kalau bisa ada dua kejadian mirip seperti itu.."
"Tapi dari yang aku dengar, dia masih single kok.. Lihat aja, emangnya
dia kelihatan kayak orang udah nikah? masih seksi begitu.."
Stanley bersuit.
Aku melemparkan bantalku ke kepalanya.. Kesal dengan sikapnya yang tidak
serius. Ia malah membalas lemparanku dan perang bantalpun dimulai. Belum
sampai lima menit..
"Nyerah.. nyerah.." ucap Stanley akhirnya dengan napas terengah-engah.
"Makanya.. diettt!! Kegendutan sih.." aku tertawa lepas.
"Ca.." panggil Stanley serius. "Aku akan tanyakan pada kakakku tentang
Sarah."
"Thank you, Stan.. You are the best!" aku memelukku sahabatku itu.
Menurut Tania, kakaknya Stanley, Sarah batal menikah dengan pria yang
dijodohkan oleh orang tua mereka. Alasannya simple saja, pihak pria yang
memutuskan perjodohan tersebut. Selebihnya Tania tidak pernah bertanya
banyak, takut hal tersebut akan membuatnya sedih. Sarah juga agak
tertutup.
Tania bahkan tidak pernah mendengar nama Jason.
Aku agak sedikit kecewa karena tidak banyak informasi yang bisa
diberikan oleh Tania. Namun aku belum menyerah.
PART 26
Malam ini house mate-ku menginap di rumah temannya jadi Stanley akan
datang dan masak makan malam untukku.
Ia juga akan mengundang Sarah untuk bergabung bersama kami.
Menurut Stanely, aku bisa manfaatkan kesempatan ini untuk
bertanya lebih banyak tentang masa lalunya. Stanley dan Sarah datang
bersama. Stanley langsung mulai memasak sementara aku diminta menemani
Sarah ngobrol. Aku mengajak Sarah untuk berbincang-bincang di kamarku.
"Wah, kamarnya rapih ya.." puji Sarah. Ia lalu duduk di dekat meja
belajarku.
Belum aku sempat berbicara, kudengar Stanley memanggilku. Aku memutar
bola mataku. 'Ada apa lagi sih..' gumamku. "Bentar yah Sar.." aku
meninggalkan dia sendirian. Ketika aku kembali ke kamar,
aku terkesiap melihat Sarah sedang memegang undangan pernikahan Rosa.
"Kamu kenal yang pengantin pria atau pengantin wanita?" tanyanya tajam.
"Aku sahabat Rosa. Kamu?" Entah mengapa,
aku tidak suka dengan sikapnya yang
menurutku agak sedikit kurang sopan.
"Jadi kamu yang bekas tunangannya Jason.." gumamnya pelan.
Aku merasa agak tersinggung ketika mendengarkannya mengatakan
kata 'bekas'.
"Jadi kamu yang bekas pacarnya Jason.." balasku tak mau kalah walaupun
tetap kuusahakan agar nada bicaraku tetap terdengar bersahabat.
Ia berdiri dan menghampiriku. "Ya, tepatnya, aku cinta pertama Jason."
Aku membalas tatapannya. Aku merasa marah, terluka dan terkalahkan..
"Kamu memang cinta pertamanya.. Namun apakah ia masih mencintaimu
sekarang?" balasku.
"Aku rasa kamu pun tahu jawabannya." Ia tersenyum. "Kamu dulu bisa
mendapatkannya karena aku pergi dari hidupnya."
"Ia tidak pantas mencintaimu setelah kamu meninggalkannya begitu saja."
Aku merasa emosiku sudah naik ke ubun-ubun.
"Terserah kalau kamu mau menyalahkanku. Namun satu hal yang pasti, aku
masih mencintainya dan akan kubuktikan padamu,
aku bisa memilikinya kembali.." ucapnya sinis.
Suasana makan malam itu menjadi dingin. Aku tidak mengucapkan sepatah
katapun. Stanley yang sibuk mengajak Sarah ngobrol dan mencoba
mencairkan suasana. Tampaknya Stanley sudah bisa menduga apa yang terjadi.
Sarah sendiri bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Aku tidak
menyangka Jason bisa menyukai orang seperti dia.. Sungguh munafik..
Atau mungkin Jason tidak pernah mengetahui sisi lain dari
perempuan ini?
Setelah mengantar Sarah pulang, Stanley kembali lagi ke rumahku untuk
menanyakan apa yang terjadi.
"Aku nggak nyangka deh anaknya rese begitu.." ucapku setelah aku
menceritakan percakapanku dengan Sarah tadi.
"Jadi gimana donk? Sekarang kamu sudah tahu dengan pasti, dia adalah
Sarah yang mantan pacarnya Jason.. Lalu?"
Aku termenung mendengar pertanyaan Stanley. "Aku nggak tahu Stan.. Aku
hanya tidak rela melihatnya merebut Jason dariku..
Dia tidak pantas mendapatkan Jason lagi.." ucapku dengan mata menerawang.
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Kalau begitu, buktikan padanya, Jason lebih memilih kamu.."
Aku menatap Stanley lama sekali.. Sejujurnya aku agak ragu apakah Jason
akan memilih diriku. Aku tahu, seberapa besar pun luka yang pernah
ditinggalkan ditinggalkan Sarah, Jason akan selalu memaafkannya.
Aku pun pernah terluka karena alasan yang sama.
Benarkan Jason akan memilihku?
Seperti bisa membaca pikiranku, Stanley menggenggam tanganku erat.
"Ambillah
cinta yang menjadi hak kamu sebelum kamu menyesal.." ia meyakinkanku.
Ucapan Stanley seperti memberiku sebuah keyakinan. Aku mengangguk, "Kamu
benar, Stan.. Mungkin ini sudah saatnya.."
Esoknya, aku memutuskan untuk menelpon Sarah.
"Ini aku, Bianca.." ucapku dingin.
"Oh.. ada apa?" tanyanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara
kami.
"Katamu, kamu bisa merebut Jason kembali. Aku minta kamu buktikan itu.."
Ia terdiam sebentar. "Bagaimana kalau kita ubah permainannya. Kalau kamu
bisa buktikan, Jason lebih memilihmu daripada aku, aku yang akan
pergi.."
"Caranya?" tanyaku.
"Simple saja. Aku tunggu kamu di pesta pernikahan Rosa.."
"Apa kamu bilang? Kamu juga diundang?" tanyaku kaget.
"Bukan urusanmu.." jawabnya dingin.
Kini aku yang terdiam sebentar. "Baik.. Aku harap kamu tepati
ucapanmu.." Ia
lalu menutup telpon itu begitu saja.
Tidak lama setelah kejadian itu, aku dengar dari Stanley, Sarah kembali
ke Jakarta. Aku sendiri tidak pernah berbicara lagi dengannya.
Aku tidak pernah merasakan kebencian yang begitu dalam terhadap
seseorang sebelumnya.
Bukan hanya karena aku merasa ia adalah sainganku,
namun juga karena sikapnya yang terlalu meremehkanku.
"Ca, kamu yakin, kamu akan back for good?" tanya Stanley selagi kami
makan malam bersama. Lagu Forever Love-nya Gary Barlow menemani kami.
"Cepat atau lambat aku tetap harus kembali kan?" aku memain-mainkan nasi
di piringku dengan tidak selera.
"I'll miss you.." ucapnya. Aku tertawa.
"Ca.." panggilnya lagi. "Apakah kamu dah siap bertemu dengan Jason?"
Aku spontan mengangkat bahuku. "Aku agak takut Stan.. Tapi kehadiran
Sarah
seperti mendorong aku untuk menerima kenyataan bahwa aku masih mencintai
Jason.. Ia seperti memberi aku keberanian untuk mengambil keputusan yang
tidak pernah berani aku ambil sebelumnya.." aku menatap Stanley kosong.
"Bagaimana kalau nanti Jason ternyata memilih Sarah?" tanya Stanley
seketika.
Aku agak kaget dengan pertanyaan Stanley. Aku selalu takut memikirkan
kemungkinan itu.
"Aku doakan ia bahagia dengan Sarah.."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Entahlah.."
Stanley menggenggam tanganku hangat. "Kalau itu terjadi, kamu harus
ingat, aku selalu di sini, mendukungmu.."
"Terima kasih Stan.."
Stanley tersenyum. "Jangan khawatir. Hal itu takkan terjadi karena Jason
pasti memilihmu.."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
"Karena aku tahu, Jason bukan laki-laki bodoh yang mau melepaskanmu
begitu
saja.."
Aku tersenyum. Aku mempererat genggaman tangan kami. Saat bersama
Stanley,
aku menemukan apa yang disebut orang sebagai suatu ketenangan..
"Jadi Stan.. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku? Yah begini-begini saja.." jawabnya dengan gayanya yang lucu..
"Kamu nggak cari pacar? Aku tahu kok ada beberapa bule yang demen sama
kamu.." ledekku.
"Wah.. males aku ama bule, nanti kalo dah nikah pasti pada melar.. Aku
butuh yang kurus donk, supaya nggak berebut makanan..
Sekalian memperbaiki keturunan..
Masa dari generasi ke generasi keluarga besar-besar semua sih??"
Aku tertawa mendengar komentarnya. "Stan, kayaknya yang jadi istri kamu
pasti lama-lama juga gendut soalnya dimasakin yang enak-enak terus
sih.."
"Ah.. tuh kamu aja makan dari tadi kaga abis-abis.. Nggak enak yah?"
gaya sok ngambeknya mulai keluar.
"Maap deh.. Abisnya lagi nggak enak badan nih.. Tau sendiri kan?" aku
mengedipkan mataku.
"Nggak, nggak tahu.. Aku kan LAKI-LAKI!" lagi-lagi ia membuatku tertawa.
"Aduh Stan.. aku nggak bisa bayangin nih.. di Jakarta nanti bakalan
nggak ada kamu.." ucapku serius..
"Siapa bilang?"
"Hah? Kamu juga ke Jakarta?" tanyaku kaget.
Ia tersenyum nakal, namun aku tahu, senyumannya itu berarti 'iya'. Aku
langsung berteriak kegirangan dan memeluknya.
"Eh, jangan kesenengan dulu.. Aku cuma liburan di sana.."
"Nggak pa-pa.. Pokoknya kamu mesti nemenin aku pas pestanya Rosa.."
paksaku.
"Memang itu tujuanku kok.. Aku mau kamu berbagi kebahagiaan denganku..
Pokoknya, jangan mentang-mentang dah jadian lagi ama Jason, aku
ditelantarkan yah! Awas!" ancamnya sambil sok mengacung-acungkan
tinjunya.
"Beres boss!" sorakku gembira..
Stanley memang selalu tahu kapan aku membutuhkannya..
PART 29
Waktu kepulanganku ke Indonesia semakin mendekat. Sudah dari jauh-jauh
hari
aku mempersiapkan semuanya. Karena kali ini kepulanganku adalah untuk
selamanya, aku mempersiapkan semuanya dengan begitu cermat.
Dengan dibantu Stanley, aku sudah siap pulang sekarang.. Ia bukan hanya
membantuku secara fisik, ia juga menguatkan diriku, terus menerus
meyakinkanku bahwa ini adalah keputusan yang benar..
Di saat aku takut dan bimbang, pelukannya terbuka lebar untuk
menenangkanku.. Di saat aku mulai membayangkan perpisahanku yang
menyakitkan
dengan Jason, tawa dan lelucuon konyolnya akan membuat semua itu sirna
seketika.
Di saat aku sedih karena akan berpisah darinya, senyum dan genggaman
tangannya meyakinkanku bahwa ia selalu ada di setiap langkahku.. Bahwa
ia
selalu berdiri di sampingku dan siap menopangku kapan saja aku
terjatuh..
Aku tak tahu mengapa, semuanya itu malah membuatku semakin sedih dan
takut..
Membayangkan perpisahanku dengannya, aku merasa seperti anak kecil yang
akan dipisahkan dari mainan kesayangannya.. Aku tahu ini adalah
perasaan yang bodoh.. Aku akan memulai hidupku yang baru, bersama
dengan cinta pertamaku, sesuatu yang aku pendam dan
aku nantikan selama ini..Aku harus bahagia kali ini.. Harus....
Tiba di Jakarta, semuanya terasa familiar. Seperti déj?Evu rasanya
ketika aku melihat tempat-tempat yang aku datangi dulu.
Saat-saat ini begitu menyenangkan.
Ditambah dengan kehadiran Stanley di sampingku, aku merasa
begitu bisa gembira bisa pulang ke rumah.
Papa dan mama langsung menyukai Stanley, terutama mama. Ia dan Stanley
langsung jadi akrab. Mereka sering masak dan shopping bersama. Kadang
aku jadi geli sendiri melihatnya. Untung saja papa tidak cemburu..
Akhirnya saat itu tiba. Besok adalah pernikahan Rosa. Rosa tidak tahu
kalau aku sudah ada di Jakarta. Ia berpikir aku tidak akan datang
karena aku tidak bisa mendapat cuti dari kantor tempat aku bekerja..
Mungkin begitu lebih baik, jadi kalau Jason memilih Sarah,
aku bisa pulang begitu saja tanpa Rosa
perlu tahu bahwa aku pernah datang..
tanpa perlu ada masalah lagi tercipta..
PART 30
"Ca, gaun buat besok udah disiapin?" tanya Stanley ketika ia masuk ke
kamarku.
"Bingung nih Stan.. Gaunku nggak banyak.. Pilihin donk.." aku menunjuk
ke lemari baju tempat aku menyimpan semua gaun pestaku. Stanley langsung
menyortir isi lemari tersebut.
"Aduh Ca.. seleramu jelek banget sih.. Harusnya kita beli pas shopping
sama mama kamu kemaren.." ucapnya setengah mengomel.
Aku hanya tersenyum mendengar komentarnya.
"Eh, yang ini bagus.. Simple tapi anggun.." Stanley mengeluarkan sebuah
gaun dan menunjukkannya padaku.
Aku terdiam.. Gaun itu.. "Itu gaun pertunanganku dulu Stan.." sahutku
pelan.
Raut wajah Stanley langsung berubah. Hening sesaat.. Lalu raut wajahnya
kembali ceria, "Ya nggak pa-pa.. Sekalian sebagai tanda bahwa kamu jadi
tunangan dia lagi.." sambungnya setengah bercanda.
"Norak ah.." balasku dengan senyum dipaksakan.
Stanley mengembalikan gaun itu ke tempatnya. Ia lalu menghempaskan
dirinya, duduk di sebelahku. "Jangan bete gitu donk.."
ia mencoba membuatku tersenyum.
"I'm ok, Stan.." aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia berbalik
menyadarkan kepalanya di atas kepalaku.
"Gini aja.. Besok kita coba cari gaun yang bagus yah tapi aku yang
pilihin..
Dijamin nggak kalah dari gaun pilihan dia deh.." Aku hanya mengangguk
tak bersemangat.
Aku hanya berharap aku dapat melewati semua ini secepatnya.. Itu saja..
Saat itupun tiba. Mobilku berhenti di depan pintu lobby utama hotel megah
itu.
Aku turun ragu-ragu. Aku bisa merasakan jantung ini berdebar kencang.
Bodoh sekali.Tidak lama Stanley sudah berdiri di samping