Home → Forum → Komentar Bacaan → Hina Kelana
Komentar untuk Hina Kelana
#81 |
penjahat1976
13 Mei 2006 jam 1:48pm
 
lanjutin sampai tamat ya...... |
|
#82 |
Chinahasan
12 Oktober 2006 jam 5:38pm
 
saya suka banget novel ini,namanya dalam mandarin<<笑傲江湖>>.ada banyak versi di china.tapi saya lebih suka versi drama di Hongkong,kan musiknya juga bagus. chinahuangyongjin@yahoo.com.cn senang dapat tukar menukar pendapat dan informasi dng teman teman di situs ini. |
|
#83 |
Ismunandar
16 Februari 2007 jam 12:27am
 
Duh, shiro yang baik. Cepet atuh updatenya. Ditunggu nih!!!!!!! |
|
#84 |
fajarmuhasan
1 Maret 2007 jam 4:15pm
 
Tenang-tenang Shiro hanya perlu penambah semangat aja...nanti kalo dah semangat kan diupload lagi lanjutannya.............. |
|
#85 |
dodi_wirakusuma
7 Maret 2007 jam 11:44am
 
Terimakasih Shiro...excellent works...saya pun nunggu juga nih kelanjutannya. |
|
#86 |
lemba
14 Maret 2007 jam 1:52pm
 
Lhuar biasa baghus...and makasih berat buat Shiro... Btw, lanjutin dong atawa klo ada yang punya, dan mau nglanjutin kayak JLeeDoe yang nglanjutin poenya Gumaha di Suramnya bayang-bayang githo lo.. bkln trima kasih yang banyak dech..he..he...! |
|
#87 |
Agus230869
4 Juni 2007 jam 5:17pm
 
Di tengah suara perdebatan Tho-kok-lak-sian itu si tukang perahu sudah angkat sauh dan menolak perahunya. Tanpa terasa Gak Put-kun dan istrinya memandang sekejap kepada Lenghou Tiong lalu memandang pula kepada Tho-kok-lak-sian, kemudian saling pandang sendiri. Yang terpikir oleh suami istri itu adalah satu persoalan yang sama, yaitu, "Peng It-ci mengatakan dimintai orang agar mengobati Tiong-ji, dari ucapannya jelas orang yang minta pertolongannya pasti mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan terhormat di Bu-lim sehingga meski dia tidak pandang sebelah mata kepada seorang ketua Hoa-san-pay, sebaliknya berlaku sungkan terhadap seorang murid Hoa-san-pay malah. Sesungguhnya siapakah orang yang minta Peng It-ci mengobati Tiong-ji itu?" Jika hari biasa tentu sejak tadi mereka suami istri sudah memanggil menghadap Lenghou Tiong untuk dimintai keterangannya. Tapi sekarang tanpa terasa guru dan murid itu sudah timbul macam-macam prasangka, maka suami-istri itu merasa belum tiba waktunya untuk menanyai Lenghou Tiong. Karena mendapat angin buritan, pula menuju ke hilir, maka perahu itu berlayar dengan sangat lajunya. Waktu berlabuh pada malamnya sudah tidak jauh lagi dari kota Lauhong. Sementara itu si tukang perahu telah menyiapkan daharan bagi mereka. Selagi mereka hendak bersantap, tiba-tiba ada suara orang berseru lantang di daratan, "Numpang tanya, apakah para kesatria Hoa-san-pay menumpang di perahu ini?" Sebelum Gak Put-kun menjawab, di sebelah sana Tho-ki-sian sudah mendahului berteriak, "Ya, para kesatria gagah Hoa-san-pay dan Tho-kok-lak-sian berada perahu ini. Ada urusan apa?" "Syukurlah jika demikian," seru orang itu dengan girang. "Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo, lekas, lekas dibawa kemari!" Maka tertampak belasan orang laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah kotak bercat merah. Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati perahu, katanya dengan hormat, "Majikan kami mendapat tahu bahwa kesehatan Lenghou-siauhiap terganggu, beliau ikut sangat prihatin, mestinya beliau akan datang menjenguk, cuma sayang tidak keburu pulang, maka hamba sekalian disuruh mengantarkan sedikit oleh-oleh, mohon Lenghou-siauhiap sudi menerimanya." Rombongan orang-orang itu lantas berjalan ke atas perahu, belasan kotak merah itu ditaruh di geladak perahu. Lenghou Tiong menjadi heran, ia tanya, "Entah siapakah majikan kalian? Mengapa memberikan hadiah sebanyak ini, sungguh aku merasa malu dan tidak berani menerimanya." "Bila Lenghou-siauhiap sudah membuka kotak-kotak ini tentu akan tahu sendiri," sahut laki-laki baju biru tadi. "Semoga kesehatan Lenghou-siauhiap selekasnya pulih kembali, untuk itu diharap Lenghou-siauhiap suka menjaga diri baik-baik." Habis berkata mereka memberi hormat pula lalu mohon diri dan tinggal pergi. Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, katanya, "Sungguh aneh bib ajaib, entah siapakah gerangan orang yang mengantarkan oleh-oleh padaku ini." Dasar watak Tho-kok-ngo-sian itu memang tidak sabar, beramai-ramai mereka berkata. "Coba buka saja kotak-kotak itu, bukanlah orang tadi mengatakan asalkan kotak-kotak ini dibuka dan segera akan tahu sendiri siapa pengantarnya." Tanpa disuruh lagi, beramai ramai Tho-kok-ngo-sian lantas membuka tutup kotak-kotak merah itu, maka tertampaklah isi kotak-kotak itu ada penganan alias jajanan yang bagus sekali buatannya, ada panggang ayam, ham dan makanan lain yang cocok untuk minum arak. Bahkan ada pula Jinsom, Yan-oh (sarang burung), Ho-siu-oh dan lain-lain macam bahan obat yang tak ternilai harganya. Dua kotak paling akhir ternyata penuh berisi emas perak, agaknya disediakan sebagai bekal sangu perjalanan Lenghou Tiong. Melulu isi kedua kotak emas perak ini saja rasanya sudah cukup biaya orang-orang Hoa-san-pay buat beberapa tahun lamanya. Tho-kok-ngo-sian tidak tahu apa artinya sungkan-sungkan segala, tanpa disuruh lagi segera mereka comot makanan di dalam kotak itu terus dijejalkan ke mulut sambil berteriak teriak, "Enak, lezat sekali!" Akan tetapi di dalam belasan kotak makanan itu ternyata tiada sesuatu surat atau kartu nama segala, jadi siapa sebenarnya pengirim oleh-oleh itu tetap tidak diketahui. "Suhu," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun, "urusan ini benar-benar membikin bingung padaku. Pengirim oleh-oleh ini tampaknya tidak punya maksud jahat, tapi juga tidak seperti sengaja bergurau." Sambil berkata ia pun mengambilkan makanan untuk disuguhkan kepada guru dan ibu-gurunya serta para Sute dan Sumoay. "Apakah kau punya kawan Kangouw yang tinggal di daerah sini?" tanya Put-kun. Lenghou Tiong berpikir sejenak, sahutnya kemudian sambil menggeleng, "Tidak ada." Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang ramai, ada delapan penunggang kuda sedang membalap tiba. Seorang di antaranya berseru, "Apakah Lenghou-siauhiap dari Hoa-san-pay berada di sini?" "Ya, di sini, di sini!" beramai ramai Tho-kok-lak-sian menjawab. "Barang enak apa lagi yang kalian antar kemari?" "Pangcu kami mendapat tahu akan kedatangan Lenghou-siauhiap, beliau mendengar bahwa Lenghou-siauhiap gemar minum barang beberapa cawan, maka hamba disuruh mencari 16 macam arak enak terpilih dan khusus diantar kemari, mohon Lenghou-siauhiap sudi memberi penilaian atas ke-16 guci arak ini," demikian seru orang tadi. Sesudah dekat, benar juga pada kedelapan ekor kuda itu masing-masing tergantung dua guci arak. Di atas setiap guci itu ada plakat yang bertuliskan nama arak yang bersangkutan. Melihat arak sebanyak itu keruan girang Lenghou Tiong melebihi diberi hadiah paling berharga sekalipun, cepat ia memapak ke haluan perahu katanya sambil memberi salam, "Maafkan atas kebodohanku, entah dari Pang (perkumpulan) apakah saudara-saudara ini? Siapa pula nama saudara yang terhormat." Orang itu tertawa dan menjawab, "Pangcu kami telah memberi pesta wanti-wanti agar jangan menyebutkan nama Pang kami karena hanya akan membikin malu saja." Ketika ia memberi tanda komando, serentak para penunggang kuda itu mengangkat guci-guci arak itu ke atas geladak perahu. Dari dalam ruangan perahu Gak Put-kun coba mengamat-amati, dilihatnya kedelapan laki-laki itu semuanya sangat cekatan, setiap tangan mengangkat sebuah guci arak dan dapat melompat ke atas perahu dengan gesit dan enteng, hanya saja dari golongan mana kepandaian mereka itu tidak dapat diketahui, terang mereka bukan dari suatu perguruan yang sama, hanya sama-sama anggota sesuatu Pang apa. Sesudah mengusung ke-16 guci arak itu ke atas perahu, kedelapan orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong, lalu mencemplak ke atas kuda terus pergi pula dengan cepat. "Suhu, kejadian ini benar-benar sangat aneh," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun dengan tertawa. "Entah siapakah yang sengaja berkelakar dengan Tecu dan mengirim arak sebanyak ini?" "Jangan-jangan Dian Pek-kong," ujar Gak Put-kun sesudah termenung sejenak. "Atau mungkin juga Put-kay Hwesio?" "Ya, kelakuan kedua orang itu memang aneh dan sukar diduga, memang bisa jadi adalah perbuatan mereka," sahut Lenghou Tiong. "Hei, Tho-kok-lak-sian, ada arak sebanyak ini, kalian mau minum atau tidak?" "Hahaha, tentu saja minum, masakah tidak mau?" sahut Tho-kok-lak-sian berbareng. Tanpa disuruh lagi segera Tho-ki-sian dan Tho-hoa-sian mengangkat dua guci arak di antaranya, sesudah tutup guci dibuang, isinya lantas dituang dalam mangkuk. Seketika bau harum menyampuk hidung, tanpa sungkan-sungkan lagi Lak-sian lantas menenggak sendiri arak enak itu. Lenghou Tiong juga menuang semangkuk dan diaturkan kepada Gak Put-kun, katanya, "Suhu, silakan mencicipi, boleh juga baunya ini." Put-kun mengerut kening. Sebelum menerima arak itu, terdengar Tek-nau berkata, "Suhu, tiada jeleknya kalau kita berhati-hati. Arak ini entah pemberian siapa, entah di dalam arak terdapat sesuatu yang mencurigakan atau tidak?" "Ya, Tiong-ji, akan lebih baik berhati-hati sedikit," kata Put-kun mengangguk. Begitu mengendus bau arak tadi Lenghou Tiong sudah hampir mengiler, mana dia tahan lebih lama lagi, dengan tertawa ia berkata, "Umur Tecu memang sudah tidak lama lagi, jika di dalam arak ini ada racun juga tiada alangannya bagiku." Habis itu segera ia angkat mangkuk, hanya beberapa kali tenggak saja isi mangkuk itu sudah habis, ia menjilat-jilat bibir, lalu memuji, "Ehm, arak bagus, arak bagus!" Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara itu, tertampaklah di bawah pohon Liu sana ada seorang Susing (pelajar) berbaju kotor dan penuh tambalan, tangan kanan memegang sebuah kipas rusak, kepala mendongak lagi mengendus bau arak yang teruar dari perahu, terdengar pujiannya pula, "Ya, benar-benar arak yang sedap!" "Eh, saudara itu," sapa Lenghou Tiong dengan tertawa, "engkau kan belum mencicipi araknya, dari mana mengetahui baik atau jeleknya arak ini?" "Arak ini adalah Hun-ciu yang sudah tersimpan 60 tahun lamanya, begitu mengendus baunya segera kutahu rasa araknya," sahut Susing miskin ini. Lenghou Tiong sangat senang, katanya, "Jika saudara tidak menampik, boleh silakan kemari untuk minum beberapa cawan." Susing itu menggeleng kepala dan berkata, "Ah, selamanya kita belum kenal, hanya secara kebetulan bertemu di sini, dengan mengendus bau araknya saja sudah mengganggu, mana aku berani merasai arak saudara yang enak itu. Jangan, jangan!" "Di segenap penjuru lautan ini adalah saudara semua," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Dari ucapan saudara tadi jelas saudara adalah ahli arak angkatan tua, justru kuingin minta petunjuk lebih banyak, boleh silakan naik ke atas perahu dan jangan sungkan-sungkan lagi." Perlahan Susing itu menyusuri papan loncatan ke atas perahu, sesudah berhadapan ia memberi hormat, katanya, "Cayhe she Coh, Coh berarti kakek moyang, nama Jian-jiu yang berarti seribu musim, sebagai kiasan panjang umur. Mohon tanya juga nama saudara yang mulia?" "Cayhe she Lenghou dan bernama Tiong," sahut Lenghou Tiong. "Ehm, she yang bagus, namanya juga baik," ujar Coh Jian-jiu. Lenghou Tiong tersenyum, katanya di dalam hati, "Aku mengundangmu minum arah, sudah tentu segala apa kau puji dengan baik." Segera ia menuangkan semangkuk arak dan diaturkan kepada Coh Jian-jiu sambil berkata, "Silakan minum!" Usia Coh Jian-jiu itu kira-kira 50-an, kulit mukanya kuning kecokelat-cokelatan, matanya sayu, jenggotnya jarang-jarang, bajunya kotor, bagian tertentu agaknya sering dipakai untuk mengusap sehingga tampak mengilap. Kedua tangannya yang terjulur keluar dari lengan berbaju itu tertampak kesepuluh kuku jarinya hitam kotor. Coh Jian-jiu lantas menerima suguhan arak Lenghou Tiong itu, katanya, "Lenghou-heng, meski engkau punya arak bagus, tapi tidak punya wadah yang baik, sungguh harus disayangkan." "Di tengah perjalanan hanya ada mangkuk kasar dan cawan lama, harap Coh-siansing suka memaklumi," ujar Lenghou Tiong. Tapi Coh Jian-jiu telah menggeleng, katanya, "Jangan, sekali-kali tak boleh begitu. Sedemikian gegabah caramu menilai peralatan arak, nyata sekali dalam hal ini minum arak kau kurang memahami. Minum arak harus mengutamakan juga wadah araknya, arak apa yang diminum harus memakai cawan arak tertentu. Kalau minum Hun-ciu harus memakai cawan kemala. Ini terbukti pada syair di zaman kuno yang menyatakan: Mangkuk kemala dapat menambah indah warnanya arak." Karena memang tidak paham seluk-beluk uraian orang, Lenghou Tiong hanya mengiakan saja. Lalu Coh Jian-jiu menyambung pula, "Arak putih dari Kwan-gwa mempunyai rasa yang sangat enak, cuma sayang kurang berbau harum, maka paling baik kalau dipakai cawan dari tanduk badak kemudian diminum, dengan demikian rasanya dan baunya akan terasa tiada bandingannya. Hendaklah maklum bahwa cawan kemala bisa menambah cemerlang warnanya arak, cawan dari tanduk badak dapat menambah bau harumnya arak, agaknya orang zaman kuno menang tidak membohongi kita." Selama hidup Lenghou Tiong memangnya paling gemar minum arak, cuma sahabatnya kebanyakan adalah orang-orang Kangouw, yang bisa membedakan baik jeleknya arak saja sudah jarang diketemukan, dari mana ada yang paham tentang "seni minum arak" dengan cawan kemala, cawan tanduk badak segala? Sekarang sesudah mendengar cerita Coh Jian-jiu itu, Lenghou Tiong merasa dirinya seperti orang bodoh yang mendadak menjadi pintar. Begitulah Coh Jian-jiu mencerocos terus tentang cawan-cawan lain lagi yang tepat untuk wadah berbagai macam arak bagus yang dibawa oleh ke-8 orang laki-laki tadi. Katanya untuk arak anggur harus dipakai Ya-kong-pwe (cawan gemerlap di waktu malam), kalau Ko-liang-ciu harus pakai cawan tembaga hijau, bila minum Bi-ciu (arak beras) harus memakai gantang yang besar agar terasakan meresapnya seni minum arak. Sejak tadi Gak Put-kun juga memerhatikan obrolan Coh Jian-jiu itu, ia merasa ucapan orang terlalu dilebih-lebihkan, tapi rasanya ada benarnya juga dan masuk di akal. Dilihatnya pula di sebelah lain Tho-ki-sian dan kawan-kawannya sedang sibuk membuka satu guci arak, isi guci itu tercecer memenuhi meja, sama sekali mereka tidak menghiraukan betapa bernilainya arak bagus itu. Walaupun Gak Put-kun tidak gemar minum, tapi dari baunya yang harum semerbak memabukkan ia pun tahu bahwa arak itu memang benar arak bagus, sungguh sangat sayang dihambur-hamburkan secara sembrono oleh Tho-kok-lak-sian. Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus membual tentang jenis-jenis arak lain, katanya Siau-hin-ciu harus memakai cawan porselen kuno, minum Le-hoa-ciu harus memakai cawan hijau zamrud, bila minum Giok-loh-ciu lebih tepat memakai gelas karena arak Giok-loh-ciu ada buih-buih kecil seperti mutiara, di tengah gelas yang bening tembus itu dapat kelihatan letak kebagusan Giok-loh-ciu yang lain daripada yang lain. Begitulah dalam sekejap saja ia telah menguraikan delapan macam arak dengan cawan yang harus dipakai. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berolok-olok, "Huh, membual, jual jamu!" Ternyata pengolok-olok itu adalah Gak Leng-sian. Cepat Gak Put-kun berkata, "Anak Sian, jangan sembrono, apa yang diuraikan Coh-siansing tadi memang masuk di akal." "Masuk di akal apa?" ujar Leng-sian. "Minum arak sekadar membangkitkan semangat memang boleh juga, tapi kalau siang dan malam selalu menenggak arak melulu, ditambah lagi macam-macam cara yang dinamakan seni apa segala, apakah itu kelakuan seorang kesatria atau pahlawan sejati?" "Salah, salah ucapan Siocia ini," kata Coh Jian-jiu. "Dahulu Han-ko-co Lau Pang sehabis mabuk baru memulai dengan pergerakannya, akhirnya dia mendirikan kerajaan Han dan diakui sebagai pahlawan." "Jika Coh-siansing sudah tahu arak bagus, katanya pahlawan sejati harus pula minum arak bagus, tapi mengapa engkau sejak tadi tak mau minum?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa "Sejak tadi juga aku sudah bilang, kalau minum tanpa memakai wadah yang baik kan hanya menyia-nyiakan arak bagus saja?" kata Coh Jian-jiu. "Ah, kau membual tentang cawan zamrud, Ya-kong-pwe dan cawan kemala apa segala, di dunia ini mana ada cawan arak demikian?" tiba-tiba Tho-kan-sian mengejek. "Ya, seumpama ada paling-paling juga cuma satu-dua macam saja, siapa orangnya yang mampu memiliki cawan sekomplet itu?" "Ahli minum arak yang tahu apa artinya seni tentu mempunyai peralatan secara komplet," sahut Coh Jian-jiu. "Jika minum cara kerbau menyeruput seperti kalian, dengan sendirinya dapat pakai mangkuk besar dan cawan kasar seadanya." "Kau sendiri apakah terhitung ahli minum yang tahu seni?" tanya Tho-yap-sian. "Tidak banyak dan tidak sedikit, kalau tiga bagian sebagai ahli yang tahu seni kukira masih ada," sahut Coh Jian-jiu. "Hahaha, jika begitu, cawan untuk minum kedelapan macam arak bagus ini kau membawanya berapa biji?" tanya Tho-kok-lak-sian dengan gelak tertawa. "Bilang banyak tidak banyak, katakan sedikit juga tidak sedikit, tapi setiap macamnya satu sih aku membawanya," sahut Coh Jian-jiu. "Hahahaha! Tukang 'ngecap', jual jamu!" Tho-kok-lak-sian tertawa pula. "Eh, mari kita bertaruh saja," demikian Tho-kok-lak-sian mendadak. "Jika kau benar-benar membawa kedelapan macam cawan itu, biarlah aku nanti akan makan satu demi satu cawan itu ke dalam perutku. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan, lalu bagaimana?" "Jika begitu aku akan makan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku," sahut Coh Jian-jiu. "Bagus, bagus!" seru Tho-kok-lak-sian. "Coba kita lihat cara bagaimana dia ...." Belum habis teriakan mereka, tiba-tiba Coh Jian-jiu sudah memasukkan tangannya ke dalam baju yang gondrong itu, waktu tangan ditarik kembali, tahu-tahu sebuah cawan arak sudah dirogoh keluar. Cawan itu halus gilap, nyata adalah sebuah cawan kemala putih susu yang sangat indah. Keruan Tho-kok-lak-sian terkejut sehingga tidak menyambung lagi olok-olok mereka. Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawannya sebuah demi sebuah. Benar juga, ada cawan zamrud, ada cawan tanduk badak, ada cawan gelas dan lain-lain, semuanya berjumlah delapan cawan, komplet seperti apa yang dia uraikan tadi. Meskipun kedelapan cawan mestika itu sudah komplet, tapi Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawan-cawan yang lain, ada cawan emas yang gemilapan, ada cawan perak yang berukir indah, ada cawan batu yang berwarna-warni, ada lagi cawan gading, cawan kulit, cawan bumbung bambu, cawan kayu, cawan gigi harimau dan lain-lain lagi, besar dan kecil tidak sama. Keruan semua orang sama terkesima, siapa pun tidak menduga bahwa di dalam baju Susing rudin itu ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu, mereka heran apakah Susing miskin itu memiliki kantong wasiat? "Bagaimana?" tanya Coh Jian-jiu kepada Tho-ki-sian. Sahut Tho-ki-sian dengan air muka sedih, "Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu." Habis berkata ia terus comot cawan kemala putih tadi, "krak", ia keremus cawan itu, lalu dikunyah sehingga berbunyi kertak-kertuk, ia ganyang mentah-mentah cawan kemala itu dan dilalap habis ke dalam perut. Semua orang sama terkesiap melihat cara Tho-ki-sian yang nekat itu, masakah cawan kemala itu benar-benar dimakan begitu saja dan diganyang sungguh-sungguh. Segera Tho-ki-sian menjulur tangan hendak mengambil cawan zamrud pula. Tapi Coh Jian-jiu keburu ayun tangan kirinya ke bawah untuk memotong nadi orang. Cepat Tho-ki-sian menggeser tangannya, berbareng tangannya membalik hendak memegang pergelangan tangan Coh Jian-jiu. Namun Coh Jian-jiu lantas menyelentik dengan jari tengah, yang diarah adalah Lo-kiong-hiat di tengah telapak tangan. Tho-ki-sian terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, serunya, "He, kenapa kau tidak jadi memberi makan cawanmu padaku?" "Sudahlah, aku kagum padamu, kedelapan awan ini anggap saja sudah kau lalap ke dalam perutmu," ujar Coh Jian-jiu. "Kau berani makan cawan secara nekat, tapi aku yang rugi." Semua orang bergelak tertawa geli. Semula Gak Leng-sian rada takut kepada Tho-kok-lak-sian, tapi sesudah sekian lama berdampingan, ia merasa mereka toh bukan manusia jahat, malahan tingkah laku mereka sesungguhnya sangat jenaka. Dengan tabahkan hati ia lantas tanya Tho-ki-sian, "He, enak tidak rasanya cawan kemala itu?" "Rada pahit, tidak enak," sahut Tho-ki-sian dengan mulut masih berkecap-kecap. Dalam pada itu Coh Jian-jiu tampak mengerut kening, katanya, "Wah, cawan kemala telah kau makan, tapi urusanku ini bisa runyam. Ai, sekarang arak Hun-ciu ini harus ditadahi dengan cawan apa yang tepat? Ah, terpaksa memakai cawan batu saja untuk sementara." Lalu ia ambil sebuah cawan batu, ia mengeluarkan sepotong saputangan untuk mengusap cawan batu itu. Cawan batu itu mestinya cukup bersih sebaliknya saputangannya tampak sudah hitam lagi dekil, masih mendingan kalau tidak dilap, sekali dilap bukannya cawan batu itu menjadi bersih sebaliknya makin dilap makin kotor. Sesudah mengusap sekian lama barulah ia taruh cawan batu itu di atas meja, kedelapan cawan pilihan itu berjajar satu baris sedangkan cawan-cawan lain yang tidak terpakai dimasukkan kembali ke dalam baju. Lalu ia menuang delapan jenis arak ke dalam delapan cawan yang bersangkutan sesuai dengan uraiannya tadi. Selama menuang arak, ia menghela napas lega, lalu berkata kepada Lenghou Tiong, "Lenghou-heng, kedelapan cawan arak ini silakan minum satu per satu kemudian aku akan mengiringimu minum delapan cawan juga, habis itu barulah kita bertukar pikiran untuk menilai di mana perbedaan cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum dahulu." "Baik," sahut Lenghou Tiong. Ia angkat cawan batu yang berisi Hun-ciu (arak semerbak), sekali tenggak ia habiskan isinya. Ia merasa arak itu sangat pedas, begitu masuk mulut rasa pedas itu terus menyusup ke dalam perut. Keruan ia terperanjat, pikirnya, "Aneh, mengapa rasa arak ini sedemikian aneh?" Tiba-tiba Coh Jian-jiu berkata, "Cawan-cawan arakku ini benar-benar adalah benda mestika bagi kaum peminum arak. Cuma kalau kaum pengecut, bila merasa arak yang diminumnya ada rasa yang aneh, setelah minum cawan pertama lantas tidak berani minum kedua lagi. Dari dahulu kala sampai sekarang, orang yang sanggup minum delapan cawan sekaligus sesungguhnya belum ada." Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Sekalipun dalam arak ada racun, memangnya jiwaku sudah tidak lama lagi akan menemui ajal, biarpun mati diracun juga aku tidak mau kalah pamor." Maka tanpa pikir lagi ia angkat cawan dan beruntun minum dua cawan arak itu. Ia merasa arak yang satu cawan sangat pahit, sedangkan cawan yang lain rasanya pesing, daripada dibilang rasa arak enak, akan lebih tepat dikatakan rasa air kencing. Waktu Lenghou Tiong hendak mengambil cawan arak keempat, tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, "Aduh, celaka! Perutku rasanya sangat panas seperti dibakar!" "Kau telah ganyang mentah-mentah sebuah cawan kemalaku, tentu saja perutmu kesakitan?" kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. "Lekas kau banyak minum obat cuci perut agar dapat dikuras keluar, kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan kemala itu." Seketika Lenghou Tiong tergerak pikirannya, "Ah, kedelapan cawan araknya ini tentu ada sesuatu yang luar biasa. Tho-ki-sian telah makan cawan kemala itu, seumpama kemala adalah benda keras dan tak bisa dicernakan juga tidak sampai timbul rasa panas seperti dibakar? Tapi, ah, seorang laki-laki sejati pandang kematian seperti pulang ke asalnya, kenapa mesti takut? Biarlah semakin jahat racunnya semakin baik bagiku." Dan sekali tenggak kembali ia menghabiskan isi secawan arak pula. "Toasuko," tiba-tiba Leng-sian berseru, "arak itu jangan diminum lagi, jangan-jangan dalam arak itu beracun. Engkau pernah membutakan orang-orang itu, hendaknya waspada kalau orang mencari balas padamu." Lenghou Tiong tersenyum pedih, katanya, "Coh-siansing ini adalah seorang laki-laki yang suka blak-blakan, rasanya tidak sampai meracuni diriku. Pula, jika dia mau membunuh aku bisa segera dilakukannya, mengapa mesti banyak membuang waktu dan pikiran?" Tanpa pikir lagi segera ia minum pula dua cawan. Arak dari cawan keenam ini rasanya rada asam dan asin, bahkan rada berbau bacin. Waktu mengalir masuk ke perut, mau tak mau keningnya terkerut. Melihat Lenghou Tiong menenggak arak sendirian, Tho-kin-sian menjadi kepingin dan ingin mencicipi arak-arak itu. Katanya, "Sisa kedua cawan itu berikan saja padaku." Berbareng tangannya lantas hendak mengambil cawan arak ketujuh. Tapi mendadak Coh Jian-jiu mengayun kipasnya dan mengetuk punggung tangan Tho-kin-sian, katanya sambil tertawa, "Nanti dulu, bergiliran, jangan berebutan, setiap orang harus minum delapan cawan secara berurut-urutan, dengan demikian baru dapat merasakan intisari arak-arak ini yang sesungguhnya." Melihat ketukan kipas Coh Jian-jiu itu sangat keras, bila kena tentu tulang tangannya akan remuk, cepat Tho-kin-sian putar tangan dan berbalik hendak merampas kipas orang. Bentaknya, "Aku justru hendak minum dulu secawan ini, kau bisa berbuat apa?" Kipas Coh Jian-jiu itu sebenarnya terlempit menjadi satu potong, ketika jari tangan Tho-kin-sian hampir mencengkeram tiba, mendadak kipas menjepret lebar, pinggang kipas lantas menjentik ke jari telunjuk Tho-kin-sian. Kejadian di luar dugaan ini membikin Tho-kin-sian kerepotan dan lekas menarik kembali tangannya, namun tidak urung jari telunjuknya sudah keserempet dan terasa kesemutan, sambil berkaok-kaok cepat ia melompat mundur. "Lenghou-heng, lekas minum habis isi kedua cawan itu ...." belum lenyap suara Coh Jian-jiu, dari sebelah sana Tho-hoa-sian sudah menjulur tangan hendak mengambil cawan-cawan arak itu. Waktu Coh Jian-jiu mengayun tangan untuk menangkis, dari sebelah lain kembali Tho-ki-sian hendak rebut lagi cawan itu. Meski kepandaian Coh Jian-jiu tidak lemah, tapi di bawah kerubutan Tho-kok-ngo-sian yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu, terang sukar baginya untuk menahan serobotan kelima orang yang hendak rebut kedua cawan arak itu. Tangan yang satu ditangkis pergi, tangan yang lain sudah menyambar pula dari belakang. Dalam keadaan yang serbasusah untuk merintangi Tho-kok-ngo-sian itu, tiba-tiba Coh Jian-jiu mendapat akal teriaknya, "Hah, kiranya Tho-kok-lak-sian sama sekali tidak punya rasa persaudaraan, tahunya hanya berebut ini dan itu, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!" Usia di antara Tho-kok-lak-sian satu sama lain hanya terpaut satu tahun, selamanya mereka belum pernah berpisah barang satu hari pun, meski setiap hari mereka suka bertengkar dan ribut mulut, tapi sebenarnya rasa persaudaraan mereka sangat akrab. Maka demi mendengar Coh Jian-jiu menuduh mereka tidak punya rasa persaudaraan, mereka menjadi gusar dan berhenti semua sambil membentak, "Kentut! Kentutmu busuk!" “Kalian yang berbau busuk,†sahut Coh Jian-jiu. “Tho-sit-sian jelas terbaring tak bisa berkutik karena terluka sehingga tidak dapat ikut berebut minum arak enak ini, tapi kalian tidak ambil pusing dan berebut sendiri, bukankah kalian sama sekali tidak memikirkan persaudaraan sendiri?†Tho-kin-sian melengak, tapi segera ia berdebat, “Siapa bilang kami berebut arak sendiri? Kami justru hendak merampas arak ini untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian.†“Ya, Lakte kami terluka, segala arak enak dan daharan lezat sudah tentu kami suruh dia mencicipi lebih dulu,†timbrung Tho-ki-sian. “Tapi apakah kalian tahu bahwa kedelapan cawan arak bagus ini harus diminum satu per satu, dengan demikian baru dapat dirasakan betapa enaknya, baru bisa tahu bahwa di dunia ini tiada arak rasa seenak ini,†kata Coh Jian-jiu. “Tapi kalau cuma minum satu cawan saja bukannya rasa enak yang dirasakan, sebaliknya rasanya akan pahit dan kecut. Sekarang kalian ingin rebut kedua cawan arak ini, mendingan bila kalian minum sendiri, karena cuma kalian sendiri yang tertipu, namun katanya kalian merebutnya untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian, padahal dia dalam keadaan tak bisa berkutik dan kalian mencekoki arak yang rasanya pahit dan kecut ini, apakah cara kalian ini bisa dikatakan cinta pada saudara?†Kembali Tho-kok-ngo-sian melengak. Tho-hoa-sian lantas berkata, “Siapa yang bilang kami hendak rebut arak ini? Kami hanya pura-pura hendak rebut arak untuk menguji sampai di mana tinggi kepandaianmu, tahu?†“Benar, benar,†Tho-kan-sian menyambung. “Memangnya kau kira kami ini anak kecil dan tidak tahu kedelapan cawan arak itu harus diminum sekaligus baru bisa tahu rasanya yang sejati.†“Ayolah Lenghou-hengte, lekas minum habis arak-arak itu agar benar-benar merasakan enaknya.†Di tengah cerewet Tho-kok-ngo-sian itulah Lenghou Tiong telah selesai menghabiskan isi kedua cawan tadi. Arak kedua cawan ini tidak berbau lagi, tapi rasanya yang satu cawan sangat tajam, tenggorokan seperti diiris-iris pisau. Yang satu cawan lagi berbau obat, sama sekali tidak mirip arak, tapi baunya melebihi obat-obatan waktu dimasak. Melihat air muka Lenghou Tiong rada aneh, Tho-kok-lak-sian merasa heran dan ingin tahu, mereka lantas tanya, “Bagaimana rasanya sesudah kedelapan cawan arak itu kau minum habis?†“Sudah tentu enak sekali,†sela Coh Jian-jiu. Di luar dugaan, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong Tho-kan-sian berempat menubruk maju sekaligus, masing-masing memegangi sebelah tangan dan kaki Coh Jian-jiu. Biarpun ilmu silat Coh Jian-jiu amat tinggi, tapi caranya Tho-kok-lak-sian memegang kaki dan tangan orang adalah sangat aneh dan terlalu cepat sehingga sukar baginya untuk menghindar. Maka tahu-tahu tangan dan kaki Coh Jian-jiu sudah terpegang dan badan lantas terangkat ke atas. Para anggota Hoa-san-pay sudah pernah menyaksikan adegan mengerikan cara Tho-kok-si-sian menyobek tubuh manusia sehingga tanpa terasa mereka menjerit khawatir demi melihat Coh Jian-jiu kena dipegang tangan dan kakinya. Pikiran Coh Jian-jiu juga bekerja secepat kilat, ia tahu menyusul keempat orang itu pasti akan membetot sekuat-kuatnya dan itu berarti tubuh akan robek menjadi empat potong. Cepat ia berteriak-teriak, “Di dalam arak itu ada racunnya, obat penawarnya tersimpan dalam bajuku!†Tho-kok-si-sian sendiri tadi sudah cukup banyak menenggak arak, demi mendengar bahwa di dalam arak itu beracun mereka jadi melengak. Dan yang diharapkan Coh Jian-jiu adalah sedetik keragu-raguan keempat orang itu. Mendadak ia berteriak pula, “Lepas, keparat!†Tahu-tahu Tho-kok-si-sian merasa tangan mereka tergetar dan memegang tempat kosong, menyusul terdengarlah suara “blang†yang keras, wuwungan perahu itu telah jebol disundul menjadi sebuah lubang besar, Coh Jian-jiu telah melarikan diri menembus wuwungan perahu itu. Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian tidak berhasil menangkap apa-apa, sebaliknya tangan Tho-hoa-sian dan Tho-yap-sian masing-masing masih memegangi sebuah kaus kaki yang berbau bacin dan sebuah sepatu yang kotor dan butut. Gerakan Tho-kok-ngo-sian juga amat cepat serentak, mereka pun memburu ke dermaga, tapi bayangan Coh Jian-jiu sudah lenyap. Selagi mereka hendak menguber ke depan, tiba-tiba di ujung jalan sana ada suara teriakan orang, “Hai, Coh Jian-jiu, kau kutu busuk ini lekas kembalikan obatku, jika kurang satu biji saja tentu akan kubetot ototmu dan kubeset kulitmu.†Sambil berteriak-teriak orang itu pun berlari mendatang dengan cepat. Mendengar orang itu pun mencaci maki pada Coh Jian-jiu, jadi sepaham dengan mereka, maka Tho-kok-ngo-sian menjadi ingin tahu tokoh macam apakah orang ini, segera mereka berhenti di situ dan memandang ke depan. Terlihatlah sebuah bola daging sedang “menggelinding†tiba, makin menggelinding makin dekat. Kemudian barulah diketahui bahwa “bola daging†itu kiranya adalah seorang laki-laki yang sangat pendek dan sangat gemuk. Kepala orang buntak ini begitu rupa sehingga tampaknya gepeng, pipih, tapi sangat lebar. Melihat kepalanya itu orang akan menduga mungkin pada waktu dia dilahirkan kepalanya telah dipalu sehingga buah kepalanya menjadi gepeng lebar sampai muka dan hidung serta mulut pun berubah bentuk. Melihat muka sedemikian anehnya, semua orang sama merasa geli. Pikir mereka, “Peng It-ci dan Yim Bu-kiang itu sudah terhitung orang buntak tapi kalau dibandingkan orang ini boleh dikata si kerdil ketemu raksasa.†Dan memang bedanya terlalu mencolok. Kalau Peng It-ci dan Yim Bu-kiang hanya pendek dengan pundak lebar, sebaliknya orang ini jauh lebih pendek, bahkan punggung dan dada seakan-akan tergencet sehingga menonjol keluar. Ditambah lagi kaki dan tangan juga sangat pendek, tangan seakan-akan cuma ada lengan bawah tanpa lengan atas, kakinya juga seperti cuma ada betis tanpa paha. Setiba di samping perahu, dengan menolak pinggang orang itu lantas tanya, “Bangsat keparat Coh Jian-jiu itu sembunyi di mana?†“Bangsat keparat itu sudah lari,†tukas Tho-kin-sian dengan tertawa. “Dia berkaki panjang dan berlangkah lebar, caramu menggelinding demikian tentu saja tidak dapat menyusul dia!†Orang itu mendengus, matanya yang bulat kecil itu mendelik. Sekonyong-konyong ia berteriak pula, “Obatku! Obatku!†Begitu kakinya bekerja, “bola daging†itu lantas membalik dan masuk ke dalam ruangan perahu. Tiba-tiba hidungnya berkerut-kerut dan mengendus-endus, ia sambar sebuah cawan di atas meja, lalu dicium baunya. Sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Memangnya dia bertampang sangat jelek, perubahan itu semakin menambah aneh dan lucu raut mukanya itu. Tapi dari air muka orang dapatlah Lenghou Tiong melihat perasaan orang itu pasti sangat berduka. Orang buntak itu berturut-turut memeriksa dan mencium ketujuh cawan. “O, obatku!†keluhnya. Habis itu tak tertahankan lagi rasa sedihnya, ia duduk terkulai dan menangkis tergerung-gerung. Melihat si buntak menangis sedih, Tho-kok-ngo-sian semakin heran dan tertarik, beramai-ramai mereka mengelilingi si buntak dan bertanya, “He, mengapa menangis? Eh, apakah kau diakali keparat Coh Jian-jiu itu? Jangan menangis, nanti kalau kami menemukan bangsat itu pasti akan kami robek dia menjadi empat potong!†Seru orang itu sambil menangis, “Obatku telah dimakan dia bersama arak, sekalipun dia dibunuh juga tiada gunanya lagi.†Tergerak hati Lenghou Tiong, cepat ia tanya, “Obat apa maksudmu?†“Dengan susah payah selama 12 tahun aku mencari dan mengumpulkan bahan obat berharga seperti jinsom, Hokleng, Siuho, Lengci, Siahio dan lain-lain, akhirnya dapatlah kubikin delapan biji ‘Siok-beng-wan’ (pil penyambung nyawa), tapi sekarang obatku yang tiada terkira nilainya itu dicuri keparat Coh Jian-jiu dan telah diminum bersama arak.†Lenghou Tiong tambah terkejut, tanyanya pula, “Kedelapan biji pil itu apakah mempunyai rasa yang sama?†“Sudah tentu tidak sama,†sahut si buntak. “Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang rasanya panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asal sudah minum kedelapan biji Siok-beng-wan tersebut, biarpun luka dalam atau luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong.†“Wah, celaka!†seru Lenghou Tiong sambil tepuk paha. “Coh Jian-jiu itu telah mencuri obatmu Siok-beng-wan itu, tapi dia tidak makan sendiri, sebaliknya di ....†“Diapakan?†tanya orang itu. “Di ... dicampur dalam arak dan menipu aku untuk meminumnya,†sahut Lenghou Tiong. “Sesungguhnya aku tidak tahu bahwa di dalam arak teraduk obat sebaik itu, malahan aku menyangka dia hendak meracuni aku.†“Racun? Racun kentutmu!†damprat orang itu dengan gusar. “Jadi kau yang telah minum aku punya Siok-beng-wan itu?†Lenghou Tiong menjawab, “Coh Jian-jiu itu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku minum habis seluruhnya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang berbau bacin dan macam-macam lagi. Tapi obat apa segala aku sendiri tidak melihatnya.†Orang itu menatap Lenghou Tiong dengan mata mendelik, sekonyong-konyong ia berteriak, tubuhnya mencelat ke atas terus menubruk ke arah Lenghou Tiong. Sejak tadi Tho-kok-ngo-sian sudah berjaga-jaga, maka begitu tubuh si buntak membal ke atas, berbareng Tho-kok-si-sian lantas turun tangan secepat kilat, mereka pegang kedua tangan dan kedua kaki si buntak. “Jangan mencelakai jiwanya!†seru Lenghou Tiong. Namun aneh juga, biarpun kaki tangan si buntak kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, tapi anggota badannya itu malah mengkeret lebih pendek lagi sehingga badannya lebih menyerupai bola yang bulat. Tho-kok-si-sian terheran-heran, mereka membentak bersama terus menarik. Terlihat kaki dan tangan si buntak dapat dibetot keluar, makin ditarik makin panjang, lengan dan pahanya sampai ikut mulur keluar dari tubuhnya. Sungguh mirip benar dengan seekor kura-kura yang keempat kakinya kena dibetot keluar dari kulitnya. “Jangan mencelakai jiwanya!†kembali Lenghou Tiong berseru. Karena itu Tho-kok-si-sian sedikit mengendurkan daya tariknya sehingga anggota badan si buntak mengkeret lagi, tubuhnya menjadi bulat pula. Tho-sit-sian yang terbaring di atas usungnya ikut tertarik, ia berseru, “Wah, sungguh aneh dan hebat! Ilmu apakah itu?†Waktu Tho-kok-si-sian membetot lagi, kembali tangan dan kaki si buntak kena ditarik keluar. Melihat adegan yang lucu itu Gak Leng-sian dan murid perempuan Hoa-san-pay yang lain sama tertawa geli. “Hei, biar kami tarik panjang kaki dan tanganmu agar kau bertambah lebih cakap,†seru Tho-kin-sian. “Ai, jangan!†teriak orang itu. Tho-kok-si-sian melengak, tanya mereka, “Sebab apa?†Di luar dugaan mereka, sedikit lena saja mendadak si buntak meronta sekerasnya dan memberosot keluar dari pegangan Tho-kok-si-sian. “Blangâ€, tahu-tahu dasar perahu kena diterobos olehnya sehingga berlubang, secepat belut si buntak telah melarikan diri melalui sungai. Di tengah jerit kaget orang banyak terlihatlah air sungai terus memancur naik melalui lubang di dasar perahu itu. Lekas-lekas Gak Put-kun memberi perintah, “Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan lekas melompat ke daratan.†Lubang yang jebol di dasar perahu itu hampir satu meter persegi, merembesnya air sungai sangat cepat, hanya sekejap saja air di ruangan perahu itu sudah setinggi dengkul. Untung mereka sempat melompat ke daratan dengan selamat. Juragan perahunya tampak muram durja dan bingung, Lenghou Tiong menghiburnya, “Kau tidak perlu khawatir, berapa harganya perahumu akan kuganti lipat dua.†Diam-diam Lenghou Tiong juga sangat heran, selamanya tidak kenal Coh Jian-jiu itu, tapi mengapa dia sengaja mencuri obat itu untuk diminumkan padanya dengan segala tipu dayanya? Ia coba mengerahkan tenaga, terasa di dalam perut panas seperti dibakar, tapi delapan arus hawa murni itu masih terus tumbuk sini dan terjang sana, masih tetap tak bisa bergabung. Sementara itu Lo Tek-nau telah dapat menyewa sebuah perahu lain, semua barang bawaan mereka telah dipindah ke perahu itu. Sebenarnya Gak Put-kun ingin lekas meninggalkan tempat yang tidak aman itu, terutama tokoh-tokoh aneh yang susul-menyusul muncul itu. Cuma hari sudah mulai gelap, sungai di daerah itu juga berliku-liku dan tidak leluasa untuk berlayar malam hari, terpaksa ia istirahat saja di dalam perahu. Tho-kok-lak-sian juga merasa kesal, berturut-turut dua kali mereka gagal menangkap Coh Jian-jiu dan manusia bola daging itu, hal ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup mereka, walaupun mereka coba membual dan menutupi rasa malu kegagalan mereka, tapi sampai akhirnya mereka pun merasa kurang masuk di akal alasan yang mereka kemukakan. Maka sesudah minum arak sekian banyak akhirnya mereka pun tertidur. Gak Put-kun berbaring di tempat tidurnya, tapi tak bisa pulas, pikirannya bergolak. Di tengah malam sunyi itu terdengar suara air sungai yang mendampar tepian gili-gili. Pikirnya, “Coh Jian-jiu dan manusia yang mirip bola daging itu benar-benar sangat aneh, ilmu silat mereka terang juga tidak lemah, entah mengapa mereka ikut-ikutan mencari Tiong-ji ke sini?†Segera teringat pertentangan antara sekte Khi dan Kiam dalam Hoa-san-pay sendiri, lain saat terpikir pula cara Lenghou Tiong membutakan mata ke-15 tokoh lihai dengan ilmu pedang yang sakti dan aneh tempo hari itu. Sampai lama sekali pikirannya terus bergolak. Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang berjalan dari jauh dan semakin mendekat. Indra pendengaran Gak Put-kun sangat peka, begitu didengarkan lebih cermat, tahulah dia bahwa ada dua orang yang memiliki Ginkang tinggi sedang mendatang. Segera ia bangkit duduk, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah jendela, di bawah sinar bulan terlihatlah dua sosok bayangan orang sedang mendatang dengan kecepatan luar biasa. Sekonyong-konyong seorang di antaranya mengangkat tangannya memberi tanda, kedua orang lantas berhenti kira-kira beberapa meter jauhnya dari perahu. Gak Put-kun tahu jika kedua orang itu berbicara tentu juga dilakukan dengan bisik-bisik. Segera ia menarik napas dalam-dalam, ia mengerahkan “Ci-he-sin-kangâ€. Begitu ilmu sakti Ci-he-sin-kang dikerahkan, bukan saja setiap detik dapat digunakan untuk membela diri bilamana mendadak diserang, bahkan pancaindranya seketika juga bertambah lebih tajam. Maka terdengarlah seorang di antaranya sedang berkata dengan suara perlahan, “Pasti perahu ini. Di tiang layar sudah terpancang sebuah bendera kecil, rasanya takkan salah.†“Baiklah, Suko, marilah kita lekas pulang memberi lapor kepada Supek,†kata kawannya. “Aneh, entah mengapa ‘Tok-seng-bun’ kita sampai mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay sehingga Supek perlu mengerahkan segenap tenaga hendak mencegat mereka secara besar-besaran?†demikian kata orang pertama tadi. Mendengar nama “Tok-seng-bunâ€, Gak Put-kun terkejut. Dan karena sedikit lengah saja kekuatan Ci-he-sin-kang lantas menyurut sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak terdengar. Waktu ia mengerahkan ilmu sakti pula, yang terdengar adalah suara tindakan orang, nyata kedua orang tadi sudah pergi. Sudah lama Gak Put-kun mendengar nama Tok-seng-bun sebagai suatu aliran tersendiri di daerah perairan Oulam. Ilmu silat anak murid Tok-seng-bun tidak dapat dikatakan tinggi, tapi mahir memakai racun sehingga orang sukar menjaga diri. Sering orang terbunuh oleh mereka tanpa mengetahui siapa pembunuhnya. Ciangbunjin (ketua) Tok-seng-bun diketahui she Cu bernama Put-hoan dan punya julukan yang sangat aneh, yaitu “Tok-put-su-jin†(tak bisa meracun orang sampai mati). Konon julukan itu diberikan orang lantaran kepandaian Cu Put-hoan dalam hal menggunakan racun sudah terlalu hebat dan tiada bandingannya. Kalau meracuni orang hingga mati adalah soal mudah, setiap orang juga mampu melakukannya, maka tidak mengherankan, tapi cara Cu Put-hoan justru berbeda daripada orang lain. Sesudah dia memberikan racun, yang kena racun takkan binasa seketika, hanya pada tubuh terasa seperti disayat-sayat oleh senjata tajam atau seperti digigit-gigit oleh semut atau serangga lain, pendek kata rasanya sangat menderita, bagi si penderita akan merasa lebih baik mati daripada hidup tersiksa, tapi untuk mati justru sukar. Jadi mau tak mau harus pasrah nasib kepada Cu Put-hoan dan tiada pilihan lain. Sebab itulah Gak Put-kun merasa ngeri demi mendengar nama Tok-seng-bun disebut. Pikirnya, “Mengapa Tok-seng-bun bisa memusuhi Hoa-san-pay kami? Apalagi katanya Supek mereka sengaja mengerahkan segenap tenaganya untuk mencegat perahu ini, sebenarnya apakah sebabnya?†Sesudah dipikir ia menarik kesimpulan hanya ada dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh Hong Put-peng dan kawan-kawannya untuk mencari perkara pada dirinya. Kedua, mungkin di antara ke-15 orang yang dibutakan oleh Lenghou Tiong itu terdapat anak murid Tok-seng-bun. Sedang Gak Put-kun menimbang-nimbang tak menentu, tiba-tiba didengarnya pula di daratan sana ada suara seorang perempuan sedang berkata dengan suara tertahan, “Sesungguhnya di rumahmu apakah terdapat Pi-sia-kiam-boh?†Segera Put-kun mengenali suara itu adalah suara putrinya sendiri. Maka tanpa mendengarkan suara orang kedua juga dia dapat menduga tentu orang itu adalah Lim Peng-ci. Entah sejak kapan kedua muda-mudi itu telah berada di tepi dermaga. Diam-diam Put-kun dapat memahami perasaan kedua muda-mudi itu, ia tahu hubungan putrinya dengan Peng-ci makin hari makin erat, pada siang hari mereka tidak berani bergaul terlalu mencolok karena khawatir ditertawai orang lain, sebab itulah mereka sengaja mengadakan pertemuan di tengah malam sunyi. Orang persilatan seperti mereka mestinya tidak terlalu terikat oleh adat kuno, pergaulan muda-mudi yang sedang pacaran dengan sendirinya lebih bebas daripada orang biasa. Cuma Gak Put-kun sendiri berjuluk “Kun-cu-kiamâ€, selamanya terkenal sopan dan tertib, jika putrinya sekarang ternyata berbuat sesuatu yang melampaui garis kesusilaan dengan Peng-ci, bukankah akan ditertawai oleh kawan Bu-lim? Coba kalau malam ini Put-kun tidak mengerahkan ilmu sakti Ci-he-sin-kang untuk mengikuti gerak-gerik kedatangan musuh, tentu ia tidak tahu rahasia putrinya yang sedang “ada main†dengan Lim Peng-ci. Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berkata, “Keluargaku memang punya Pi-sia-kiam-hoat, aku pun sudah sering perlihatkan padamu permainan ilmu pedang itu, tapi tentang Kiam-boh apa segala sesungguhnya tidak ada.†“Jika begitu mengapa Gwakong dan kedua pamanmu mencurigai Toasuko, katanya Toasuko telah mengangkangi Kiam-bohmu?†tanya Leng-sian. “Mereka yang curiga, aku sendiri kan tidak mencurigai Toasuko,†kata Peng-ci. “O, baik juga kau ini, biar orang lain yang curiga, sebaliknya kau sendiri tidak menaruh curiga sedikit pun.†Peng-ci menghela napas, katanya, “Jika keluargaku benar-benar memiliki Kiam-boh yang hebat itu, tentu Hok-wi-piaukiok kami tidak sampai hancur dan keluargaku berantakan atas perbuatan Jing-sia-pay itu.†“Ucapanmu pun masuk di akal,†ujar Leng-sian. “Jika demikian, mengapa kau tidak membela Toasuko atas kecurigaan Gwakongmu dan paman-pamanmu itu kepada Toasuko.†“Sebenarnya ucapan apa yang ditinggalkan ayah dan ibu, karena aku tidak mendengar dengan telinga sendiri, hendak membelanya juga sukar,†kata Peng-ci. “Jadi di dalam hatimu betapa pun kau merasa curiga juga bukan?†kata Leng-sian. “Ah, jangan sekali-kali berkata demikian, kalau diketahui Toasuko bukankah akan memburukkan hubungan baik sesama saudara seperguruannya?†ujar Peng-ci. “Hm, bisa saja kau pura-pura?†jengek Leng-sian. “Kalau curiga ya curiga, kalau tidak ya tidak. Bila aku menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Toasuko secara blakblakan.†Setelah merandek sejenak lalu katanya pula, “Watakmu ternyata sangat mirip dengan ayah. Kedua orang sama-sama menaruh curiga terhadap Toasuko dan menduga dia telah menggelapkan Kiam-bohmu itu ....†“Suhu juga menaruh curiga?†Peng-ci memotong. Leng-sian tertawa, katanya, “Jika kau sendiri tidak curiga mengapa kau pakai istilah ‘juga’? Aku bilang watakmu serupa dengan ayah, ada apa-apa hanya disimpan dalam batin, tapi di mulut sama sekali tidak menyinggungnya.†Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari dalam sebuah perahu di samping perahu yang ditumpangi rombongan Hoa-san-pay itu berkumandang suara bentakan orang, “Binatang kecil yang tidak tahu malu, berani sembarangan menuduh di belakang orang. Lenghou Tiong adalah seorang kesatria sejati, masakah kalian berani memfitnahnya?†Suaranya berkumandang dari dalam perahu yang jaraknya beberapa puluh meter jauhnya, bukan saja membikin terkejut para penumpang perahu yang lain sehingga terjaga bangun, sampai-sampai burung yang bersarang di pepohonan sekitar situ juga sama kaget dan bergemeresik riuh ramai. Habis itu, dari atas perahu itu mendadak melesat sesosok bayangan raksasa terus menubruk ke tempat Peng-ci dan Leng-sian dengan amat cepat. Di bawah cahaya bulan tampaknya seperti seekor burung raksasa yang mendadak menyambar ke bawah. Keruan Peng-ci dan Leng-sian terkejut. Waktu keluar mereka tidak membawa senjata, terpaksa mereka pasang kuda-kuda dan siap melawan. Ketika mendengar suara bentakan orang, Gak Put-kun sudah lantas tahu Lwekang orang sangat tinggi dan pasti tidak di bawahnya. Sekarang melihat loncatan dan tubrukannya itu, jelas Gwakangnya juga amat lihai, keruan ia menjadi gugup melihat putrinya terancam bahaya, cepat ia berteriak, “Tahan dulu!†Segera ia pun meloncat ke tepi dermaga dengan menjebol jendela. Tapi baru saja tubuhnya terapung di udara, dilihatnya tangan raksasa tadi sudah berhasil mencengkeram Peng-ci dan Leng-sian terus dibawa lari ke depan sana. Sungguh kejut Gak Put-kun tak terkatakan, begitu kaki menginjak tanah segera ia kerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Pedang yang sudah siap lantas menusuk punggung orang itu dengan jurus “Pek-hong-koan-jit†(pelangi putih menembus sinar matahari). Karena perawakan orang itu sangat tinggi besar, dengan sendirinya langkahnya juga lebar, cukup ia melangkah satu tindak ke depan dan tusukan Gak Put-kun lantas mengenai tempat kosong. Waktu Put-kun meloncat maju dan menusuk pula, tapi lagi-lagi raksasa itu melangkah lebar ke depan sehingga serangannya kembali luput. Walaupun sangat terkejut dan cemas, tapi Put-kun dapat melihat setelah raksasa itu memegang Peng-ci dan Leng-sian, karena beban yang cukup berat itu, biarpun memiliki tenaga sakti juga tidak dapat berlari cepat dengan menggunakan Ginkang. Yang diandalkan hanya kakinya yang panjang dan langkah yang lebar, kalau diburu terus akhirnya pasti dapat menyusulnya. Maka sekuatnya Put-kun menarik napas dalam-dalam, ia mengejar terlebih cepat. Benar juga, segera jaraknya dengan raksasa itu jadi lebih dekat. Diam-diam ia berpikir, “Jika tidak kau lepaskan Peng-ci dan Sian-ji, tusukanku ini pasti akan menembus tubuhmu!†Mendadak ia bersuit nyaring dan berteriak, “Awas!†Serangannya selalu dilakukan dengan terang-terangan, selama hidup dia tak sudi menyerang secara pengecut, sebab itulah orang memberikan julukan “Kun-cu-kiam†padanya. Maka sebelum dia menusuk dengan jurus “Jing-hong-san-song†(angin meniup semilir), lebih dulu ia memperingatkan lawannya agar awas dan siap. Tak tersangka raksasa itu seakan-akan tidak mendengar dan tak menggubris padanya. Tampaknya ujung pedang hanya tinggal belasan senti saja dari sasarannya, pada saat itu juga tiba-tiba angin berkesiur, dua jari orang menyambar ke arah matanya. Keruan Put-kun terkejut. Tempat itu adalah ujung jalan yang penuh rumah penduduk di kanan-kiri, cahaya rembulan teraling oleh rumah-rumah itu. Namun reaksi Gak Put-kun cepat luar biasa, begitu mengetahui ada musuh lain bersembunyi di situ dan menyergapnya, cepat ia mendak tubuh, sebelum melihat jelas siapa lawannya kontan ia balas menusuk dengan pedang. Musuh itu menggeser samping terus mendesak maju lagi, jari kembali menyambar tiba hendak menutuk “Tiong-wan-hoat†di perut Gak Put-kun. Tanpa ayal lagi Put-kun menendang, terpaksa orang itu berputar ke sebelah lain dan kembali menyerang punggungnya. Tanpa balik tubuh segera pedang Gak Put-kun menebas ke belakang dengan cepat lagi jitu. Tapi orang itu kembali dapat menghindarkan diri, menyusul ia menubruk maju lagi hendak mengincar tenggorokan Gak Put-kun. Diam-diam Put-kun merasa gusar. Pikirnya, “Kurang ajar benar orang ini, berani dia lawan pedangku dengan tangan kosong, bahkan terus-menerus melancarkan serangan. Jika malam ini aku kecundang lagi, lalu apakah masih ada muka bagiku untuk berkecimpung di dunia persilatan?†Segera ia kumpulkan semangat, setiap jurus dan setiap gerakan dilakukannya dengan sangat prihatin, belasan jurus kemudian, sayup-sayup timbul suara mendengung. Nyata ia telah salurkan Lwekang ke dalam setiap jurus serangan pedangnya. Mendadak orang itu menyerang tiga kali sehingga Put-kun terdesak mundur, cepat orang itu melompat mundur sambil berseru, “Sampai bertemu pula kelak!†Segera ia putar tubuh terus hendak tinggal pergi. “Tunggu, ingin kuminta penjelasan dahulu,†bentak Gak Put-kun dan pedang terus menebas musuh. Tapi orang itu menundukkan kepala untuk menghindar. Tidak tersangka serangan Gak Put-kun ini hanya pancingan belaka, pedang hanya menebas sampai setengah jalan lantas diputar balik dan berubah menusuk dada orang dengan cepat. Akan tetapi orang itu menggeser ke samping menyusul ia terus mendesak maju, kedua tangan mengincar perut Gak Put-kun. Dalam keadaan demikian terpaksa Gak Put-kun harus membela diri lebih dulu, pedang berputar terus menusuk mata musuh pula. Namun orang itu pun sangat gesit, jari menyelentik pedang dan baru saja tangan lain hendak meneruskan serangannya tadi, mendadak Gak Put-kun sedikit miringkan pedangnya, dari menusuk berubah menjadi menebas. “Cretâ€, kopiah orang itu kena ditebas jatuh sehingga kelihatan kepalanya yang gundul. Kiranya orang itu adalah Hwesio. Begitu Hwesio itu menggenjot kedua kakinya, dengan cepat luar biasa tubuhnya lantas melayang ke belakang. Karena pedang kena diselentik tadi, Put-kun merasa tangannya linu kesemutan. Ketika ia hendak mengejar, mendadak jari tangan terasa kaku, hampir saja pedang terlepas dari cekalan, cepat ia pegang dengan tangan yang lain. Di bawah sinar bulan tertampaklah kelima jari tangan kanan itu sama bengkak, keruan kejutnya tak terkatakan. Dan sedikit merandek itulah Gak-hujin pun sudah menyusul tiba dengan senjata terhunus. “Bagaimana anak Sian?†tanya kepada sang suami. “Ke sana! Mari kejar!†sahut Put-kun sambil menuding ke depan dengan ujung pedang. Suami istri lantas mengudak ke jurusan lari si raksasa tadi. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu persimpangan jalan, mereka menjadi bingung entah musuh lari ke arah mana. Tentu saja yang paling gelisah adalah Gak-hujin. “Orang yang menculik anak Sian itu adalah kawan Tiong-ji, rasanya mereka takkan membikin susah padanya,†demikian Put-kun berusaha menghibur sang istri. “Marilah kita pulang menanyai Tiong-ji dan tentu akan tahu perkaranya.†“Benar, menurut orang itu tadi, katanya anak Sian dan Peng-ci sembarangan memfitnah Tiong-ji, entah apa alasannya?†“Tentu saja ada sangkut pautnya dengan Pi-sia-kiam-boh itu,†kata Put-kun. Waktu mereka pulang kembali ke perahu, terlihat Lenghou Tiong dan para murid sedang menunggu di tepi dermaga dengan rasa khawatir dan cemas. Sesudah masuk ke dalam ruangan perahu, baru saja Gak Put-kun hendak panggil menghadap Lenghou Tiong, tiba-tiba terlihat di atas meja ada secarik kertas putih yang ditindih dengan tatakan lilin, kertas itu ada tulisan yang berbunyi, “Di Ngo-pah-kang putrimu akan dikembalikan, Ci-he-sin-kang ternyata sekian saja kesaktiannya.†Tulisan itu tampaknya digores hanya dengan arang sumbu lilin saja. Put-kun meremas kertas itu dan dimasukkan ke dalam saku. Kemudian ia tanya tukang perahu di mana letak Ngo-pah-kang itu, terletak di perbatasan antara Holam dan Soatang, kalau perahu berangkat besok pagi-pagi, pada petang harinya bisa sampai di sana. Diam-diam Put-kun berpikir, “Lawan menantang aku untuk bertemu di Ngo-pah-kang, pertemuan ini mau tak mau harus dilakukan, tapi rasanya sudah pasti akan mengalami kekalahan dan tipis harapan untuk menang.†Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar pula suara teriakan orang di daratan sana, “Keparat, di mana beradanya Tho-kok-lak-kui (enam setan dari Tho-kok) itu? Inilah aku malaikat Ciong Siu (nama dewa penangkap setan) datang hendak menangkap setan-setan itu!†Mendengar itu, tentu saja Tho-kok-lak-sian sangat gusar. Kecuali Tho-sit-sian yang tak bisa berkutik, kelima orang berbareng lantas melompat ke gili-gili. Cepat Put-kun dan lain-lain juga keluar ke tepi perahu untuk melihat. Ternyata orang yang berteriak tadi memakai kopiah tinggi lancip, tangan membawa sehelai bendera putih yang berkibar-kibar, pada bendera itu jelas tertulis, “Khusus menangkap Tho-kok-lak-kui bernyali sekecil tikus, aku berani bertaruh untuk menangkap Tho-kok-lak-kui.†Tho-kin-sian berlima berjingkrak murka, secepat terbang mereka lantas mengejar. Ginkang orang berkopiah lancip itu pun sangat hebat, hanya sekejap saja sudah di kejauhan sana. “Sumoay,†kata Put-kun, “agaknya inilah tipu ‘memancing harimau meninggalkan gunung’, kita harus waspada, marilah masuk saja ke dalam.†Tapi baru saja Lo Tek-nau dan lain-lain hendak naik ke atas perahu, sekonyong-konyong dari samping sana satu gulungan bayangan manusia telah menggelinding tiba. Sekali pegang dada Lenghou Tiong, orang itu lantas berteriak, “Ikut pergi padaku!†Kiranya bukan lain daripada si buntak yang mirip bola daging itu. Sekali kena dicengkeram, sama sekali Lenghou Tiong tak mampu meronta, terpaksa ia membiarkan dirinya diseret pergi. Tapi baru saja bola daging itu hendak lari, mendadak dari pojok rumah sana menerjang luar pula seorang terus menendang si buntak. Kiranya penyerang ini adalah Tho-ki-sian. Ilmu silat Tho-ki-sian sangat tinggi, tetapi nyalinya sangat kecil. Ketika melihat tulisan pada bendera putih yang dibawa orang berkopiah lancip tadi, ia menjadi jeri dan tidak berani ikut mengejar bersama saudara-saudaranya, ia sembunyi di pojok rumah sana. Baru kemudian waktu melihat si buntak membawa lari Lenghou Tiong, terpaksa ia muncul untuk menolongnya. Melihat Tho-ki-sian menubruk tiba, cepat manusia bola daging itu melepaskan Lenghou Tiong, sekali lompat ia lantas mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, sebelah kaki terangkat dengan gerakan hendak menginjak dada Tho-sit-sian. Keruan Tho-ki-sian terkejut, teriaknya, “Jangan mencelakai saudaraku!†“Locu ingin mampuskan dia, peduli apa denganmu?†seru si buntak. Tapi secepat terbang Tho-ki-sian telah memburu maju, tanpa ayal lagi ia terus rangkul Tho-sit-sian dan diangkat bersama usungannya. Sesungguhnya si buntak tidak sengaja hendak menyerang Tho-sit-sian, tujuannya hanya untuk memancing Tho-ki-sian saja. Maka dengan cepat ia melompat balik, sekali cengkeram kembali ia bekuk Lenghou Tiong terus dipanggul dan segera dibawa lari pergi. Diam-diam Tho-ki-sian berpikir, “Wah, celaka. Peng-tayhu menyuruh kami menjaga Lenghou Tiong ini, sekarang dia diculik orang, kelak cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan?†Tapi ia tidak tega meninggalkan Tho-sit-sian yang belum sembuh itu, terpaksa ia pun angkat Tho-sit-sian lalu mengejar ke arah si buntak. Gak Put-kun memberi isyarat kepada sang istri, katanya, “Kau jaga para murid, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya.†Gak-hujin mengangguk. Mereka sama-sama tahu bahwa di sekeliling mereka sekarang penuh musuh tangguh, kalau mereka suami-istri pergi semua mungkin seluruh anak muridnya akan disergap musuh. Dalam hal Ginkang boleh dikata si buntak dan Tho-ki-sian adalah sama tingginya, tapi kedua orang sama-sama membawa beban seorang sehingga kecepatan lari mereka tidak secepat dalam keadaan bertangan kosong. Maka dengan Ginkang Gak Put-kun yang cukup tinggi, lambat laun ia pun sudah dapat menyusulnya. Didengarnya sepanjang jalan Tho-ki-sian terus berkaok-kaok menyuruh si buntak melepaskan Lenghou Tiong, kalau tidak tentu dia akan mengudak terus biar sampai ujung langit sekalipun. Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, “Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?†“Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apa-apa,†ujar Tho-ki-sian. Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur. Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen itu? Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh yang sukar dilayani. Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan. Mendadak Gak Put-kun teringat, “Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk perangkapnya.†Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok. Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok. Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, “Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan.†“Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?†demikian sahut Tho-ki-sian. “Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Masakah kau sudah lupa?†“Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?†sahut Tho-ki-sian. “Sudah tentu ada sangkut pautnya,†Tho-sit-sian. “Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula.†“Kenapa mesti khawatir, paling-paling Toako dan lain-lain memburu tiba dan membunuh habis pula segenap keluarga orang ini,†kata Tho-ki-sian. “Hm,†terdengar si buntak mendengus. “Kematian kalian sudah di depan mata, masih berani mengigau akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.†Lalu terdengar Tho-ki-sian dan Tho-sit-sian bersuara bertahan. Agaknya si buntak telah menyumbat sesuatu di mulut kedua orang itu sehingga tidak mampu membuka suara. Gak Put-kun pasang kuping pula sejenak, tapi tidak mendengar sesuatu suara. Ia coba mengitar ke belakang sana, tertampak di luar pekarangan tumbuh satu pohon besar. Ia memanjat pohon itu dan memandang ke dalam. Kiranya di dalam situ adalah sebuah rumah genting yang kecil, kira-kira dua-tiga meter jaraknya dengan pagar tembok dan rumah itu tentu ada perangkapnya. Maka ia sengaja sembunyi di atas pohon yang tertutup oleh daun lebat, ia kerahkan Ci-he-sin-kang untuk mendengarkan. Terdengarlah suara si buntak sedang bertanya, “Sesungguhnya Coh Jian-jiu si tua bangka itu ada hubungan apa dengan dirimu?†“Baru pertama kali ini aku melihat orang seperti Coh Jian-jiu itu, maka tak dapat dikatakan ada hubungan apa,†demikian suara Lenghou Tiong sedang menjawab. “Urusan sudah begini dan kau masih berdusta,†seru si buntak dengan gusar, “Apa kau tidak tahu bahwa sekali sudah jatuh dalam cengkeramanku, maka kau pasti akan mati dengan mengerikan.†“Aku tahu engkau tentu sangat marah karena obatmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja,†kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Tapi rasanya obatmu itu toh tiada tampak khasiatnya, sudah sekian lamanya kuminum obatmu itu namun sedikit pun aku tidak merasakan apa-apa.†“Memangnya kau kira begitu cepat akan tampak khasiatnya?†kata si buntak dengan gusar. “Datangnya penyakit biasanya mendadak, sembuhnya penyakit justru sedikit demi sedikit. Khasiatnya obat itu baru dapat tampak sesudah tiga hari nanti.†“Baiklah, jika kau mau membunuh aku boleh silakan, toh aku tak bertenaga dan tak mampu melawan,†kata Lenghou Tiong dengan tertawa. “Hm, kau ingin mati dengan enak, jangan harap. Aku harus menanyai lebih dulu,†damprat si buntak. “Keparat, Coh Jian-jiu adalah kawanku selama beberapa puluh tahun, sekarang ternyata mengkhianati kawan sendiri, tentu dalam hal ini ada sebab-sebabnya. Hoa-san-pay kalian tidak laku sepeser pun bagi penilaian ‘Hongho Lo-coh’ kami, sudah tentu bukan lantaran kau adalah murid Hoa-san-pay sehingga dia perlu mencuri aku punya Siok-beng-wan untuk diminumkan padamu. Ai, sungguh aneh bin ajaib, ajaib binti heran!†“O, kiranya julukanmu adalah ‘Hongho Lo-coh’ maafkan kalau aku berlaku kurang hormat,†kata Lenghou Tiong. “Ngaco-belo,†semprot si buntak dengan marah. “Seorang diri mana aku dapat menjadi Hongho Lo-coh?†“He, mengapa tidak dapat?†tanya Lenghou Tiong heran. “Hongho Lo-coh terdiri dari dua orang, yang satu she Lo, yang lain she Coh, masakah begini saja tidak paham, sungguh goblok,†omel si buntak |
|
#88 |
shiro
6 Juni 2007 jam 12:42pm
 
Eh ada yg nerusin... thank you, thank you... soalnya buku gua yg 13-15 ga tau keselip ke mana nih. Udah diubek2 dicari belon nemu. Terakhir inget bawa ke kantor buat diketik, terus abis itu lupa taro di mana... Boleh gua copy paste masukin ke chapternya ga, agus? |
|
#89 |
sinzetty
19 Juli 2007 jam 11:57pm
 
klo lama nunggu nya mendingan baca aja di serialsilat.com... |
|
#90 |
icon73
21 Juli 2007 jam 4:17am
 
ada yang tau link versi inggris yang lebih update dari lannyland.com? |
|
#91 |
Tokokiupai
14 Agustus 2007 jam 1:58am
 
|
|
#92 |
ekaputra
2 November 2007 jam 12:15am
 
|
|
#93 |
engkoh_bkd
2 Desember 2007 jam 2:07pm
 
balada hina kelana memang salah satu karya terbaik chin yung, cuma Di arena ini aku nggak ketemu yang sampai tamatnya...sayang ya ... kalo ada yang punya sampai tamat tolong dong bagi-bagi...!!! |
|
#94 |
chu
4 Januari 2008 jam 4:36am
 
kalo mao tau lanjutannya, baca aja di serialsilat.com. Disana mah udah jauh banget, udah sampai bab 107 dan kayaknya bakalan di update terus. |
|
#95 |
fajarmuhasan
16 Juli 2008 jam 12:59pm
 
Kirain dah tamat....tahunya belom ya....malah nampaknya tidak dilanjutkan. Kalo edisi bhs ingris kurang sreg bacanya...... |
|
#96 |
komrusak
17 November 2008 jam 10:11am
 
Hina Kelana sampai tamat sundah di upload tanggal 14 Nopember 2008. silahkan di download meni file di indonet.com. |
|
#97 |
fernandau
19 Februari 2009 jam 9:05am
 
kpn sambungan nya,. |
|
#98 |
anwarbasuki
21 April 2010 jam 2:32am
 
MONYET LU !!! ANJING, BANCI KALENG......... DODI WIRAKUSUMA KALO GW KETEMU ATAU BS DAPATKAN LU, LU AKAN MATI........... |
|
#99 |
ianneo
1 Juni 2011 jam 1:59am
 
|