Anak Berandalan

HomeForumKomentar BacaanAnak Berandalan

Komentar untuk Anak Berandalan


#21 avatar
jims_gun 9 Januari 2007 jam 9:18am  

Mantap.... baru "di tinggal" sebentar aja, udah beres

thanks atas kerja kerasnya ya...

bravo....

:D

#22 avatar
ansari 9 Januari 2007 jam 10:27am  

Aku punya cuplikan jilid 1 lanjutannya nih. Barangkali nanti ada yang mau nerusin di sini... hehehe:

BENTROK PARA PENDEKAR
Oleh : Gan K.H
I. Tujuh Orang Buta
Awal musim rontok, cuaca panas.
Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas jendela menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air, dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat menyorot telapak kaki. Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.
Hong Su-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah, Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari yang paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran seperti Hong Su-nio saat itu, rasanya tiada sesuatu persoalan apa pun yang dapat menggembirakan hatinya.
Hong Su-nio bukan cewek yang mau dikendalikan perasaan, kelihatannya hari ini ia benar-benar risau, bimbang dan cemas. Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu, batu-batu berserakan.
Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.
Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam ingatannya, wak.tu itu hatinya amat riang gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.
Secara umum keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih kencang montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya tetap mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan, menggiurkan begitu.
Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati kehidupan ini. Ia masih senang menungang kuda yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang tinggi, makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling keras, memainkan golok yang tercepat, membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya menikmati hidup, sepuasnya menikmati kehidupan.
Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya, memburu. Kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan, namun ia tidak mampu mengusir rasa 'sepi' hatinya; rasa sepi yang meresap sungsum, ibarat kayu yang keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong,
Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti 'rindu'. Rindu akan masa remaja, rindu masa lalu, dari segala rindu nan rindu semua bertumpu pada seseorang.
Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada seorang lain yang dapat mengisi posisi orang itu di relung hatinya.
Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.
Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar penganten.
Terbayang muka Nyo Khay-thay yang kotak, sikapnya yang sopan penuh aturan, cinta kasihnya yang tulus. Hong Su-nio merasa bersalah, tidak semestinya ia mengingkari suami yang baik hati lagi jujur, namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia lakukan.
Satu hal ia akui, ia tidak bisa melupakan Siauw Cap-it Long.
Tak peduli ia berada di ujung langit, masih hidup atau sudah mati, ia tidak bisa melupakan neraka itu, selamanya takkan terlupakan.
Seorang perempuan kalau pujaan hatinya tidak berada didampingnya, umpama tiap hari ia hidup berbaur di tengah ribuan orang, ia masih akan tetap merasa kesepian.
Apalagi Hong Su-nio sudah tiga puluh lima tahun, rasanya tiada rasa 'sepi' dan 'rindu' di dunia ini yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak tertahan lagi. .
Dengan terlongong ia mengawasi paha nan indah mulus, kulit badan yang halus lembut, tanpa terasa air mata berkaca-kaca di pelupuk mata ...
"Blang".
Dalam waktu yang sama, jendela, pintu dan dinding papan jebol diterjang dari luar, berlobang tujuh delapan bagian. Bukan kaget, Hong Su-nio malah tertawa.
Dua tahun lalu, juga saat ia mandi, terjadi peristiwa yang sama. Seperti dua tahun lalu, ia sedang rebah nikmati air hangat dalam baskom bessar, de­ngan handuk sedang menggosok lengan.
Mendadak air mukanya berubah, sungguh hatinya merasa aneh lagi bingung. Karena orang-orang yang mengintip dirinya mandi tenyata semuanya buta. .
Dari tujuh lobang besar itu, tubuh orang melangkah masuk. Rambut panjang menghitam gelap, pakaian serba hitam pula, kelopak matanya juga bolong gelap, tangan kiri mereka memegang sebatang tongkat putih, tangan kanan memegang kipas.
Begitu melangkah masuk tujuh orang buta berdiri mengelilingi Hong Su-nio yang sedang mandi dalam baskom bessar, wajah-wajah mereka tarnpak pucat, memutih tanpa expresi.
Hong Su-nio cekikik geli, "Wah, sipicak juga menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini menarik?"
Tujuh orang itu pasti buta, mulut mereka juga bungkam, entah bisu. Agak lama kemudian, baru satu diantaranya buka suara, "Kay tidak berpakaian?" Hong Su-nio ngakak, "Waktu kalian mandi apa berpakaian?"
"Baik," ujar si buta tadi, "kami tunggu kau berpakaian."
"Kalian buta kan tidak bisa melihat aku," jengek Hong Su-nio, "buat apa aku berpakaian, matanya mengerling, lalu menyambung, "terus terang aku merasa sayang buat kalian, wanita cantik yang sedang mandi seperti diriku kalian tidak bisa menyaksikan, sungguh sayang, sungguh kasihan."
"Tidak perlu sayang," dengus si buta.
"Tidak merasa sayang?" Hong Si-nio menegas.
"Si buta juga orang," kata si buta, "Tidak bisa melihat, tapi bisa meraba, bisa berbuat macam-macam." si buta bicara kotor, jelasnya porno, tapi wajahnya kaku nadanya serius. Sebab dia bicara jujur.
Mendadak Hong Su-nio menggigil meski tidak kedinginan, ia tahu orang macam apa mereka, berani bicara berani melakukan.
Si buta berkata lagi, "Makanya jangan petingkah, kusuruh pakai baju, lekas kenakan pakaianmu."
"Kalian mencari aku untuk apa?" tanya Hong Si-nio
"Kami datang menjemputmu,"
"Lho," mataku melek, memangnya ikut orang buta malah?"
"Ya, benar."
"Kemana pun kalian pergi aku harus ikut?"
"Betul."
"Kalau kalian jatuh ke dalam sapiteng aku juga harus ikut,"
"Betul."
Melihat sikap si buta serius, Hong Si-nio tertawa geli marah.
"Omonganku bukan untuk ditertawakan," nada si buta mulai mengancam.
"Tapi aku merasa geli."
"Amat geli?"
"Berdasar apa kalian mengira aku pasti patuh nurut omonganmu."
"Tidak perlu dasar apa-apa."
"Kalian buta tapi tidak tuli. Memangnya kalian tidak pernah dengar, bila Hong Si-nio sedang mandi, senjata tajam selalu tersedia dan siap membunuh orang,"
"Kami pernah dengar."
"Sepertinya kalian tidak takut?"
"Buat kami bertujuh, tiada sesuatu di dunia ini yang menakutkan."
"Mati juga tidak takut?"
"Kami tidak takut mati,"
"Kenapa?"
Muka si buta menampilkan mimik yang aneh, suaranya dingin,"Sebab kami pernah mati sekali."
Tidak ada manusia mati dua kali.
Omongan brutal. Tapi kalau yang ngomong si buta, pasti tiada orang bilang omongannya brutal, karena dia bicara jujur, omongan nyata.
Kembali Hong Si-nio menggigil, seperti kedinginan rebah dalam air es yang, hampir membeku.
Tapi perasaannya berontak, kalau takut digertak dan nurut perintah. mengenakan pakaian, cewek ini bukan Hong gu-nio.
Hong Su-nio menghela napas, "Orang yang mengintip aku pandai, pasti kubuat buta matanya, sayang kalian memang buta."
"Ya, sungguh sayang" jengek si buta.
"Untungnya aku tidak bisa membuat kalian buta sekali lagi, tapi aku bisa mernbuat kalian mampus sekali lagi."
Entah bagaimana jari-jari tangannya menepuk air, di antara air yang muncrat, dari tengah jari jemari yang lentik beterbangan belasan sinar perak gemerdep.
Biasanya Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, dikala kepepet dan harus bertindak tegas, tidak segan ia membunuh lawan.
Jarum peraknya memang tidak selihay dan terkenal seperti jarum emas keluarga Si namun jarang ia gagal menyerang musuh,
Sekali sambit empat belas batang jarum perak, menyebar ke tenggorokan tujuh orang buta yang mengelilingiinya.
Kipas lempit di tangan para buta serempak dikembangkan, empat belas jarum perak mendadak lenyap tak karuan paran.
Di tengah kipas lempit ketujuh buta itu semua bertulis "Siauw Cap-it Long harus mampus." Warna merah, merah darah yang menjijikkan.
"Sungguh kasihan Siauw Cap-it Long," kata Hong Su-nio, "kenapa banyak orang ingin kematianmu?"
"Memang dia pantas mati."
"Kalian ada dendam dengannya?"
Muka si buta menampilkan rasa benci lagi dendam. Tidak perlu dijawab, diantara mereka jelas ada permusuhan mendalam.
"Jadi kalian buta lantaran perbuatannya?"
"Sudah kujelaskan, kami pernah mati sekali."
"Begitu."
"Sekarang kami sudah bukan orang-orang yang dahulu, sekarang kami hanya orang-orang cacat yang buta."
"Dahulu kalian siapa?"
"Paling tidak kami punya nama yang disegani, sekarang orang-orang buta yang tidak berguna."
"Jadi kalian berusaha membunuhnya."
"Harus mampus."
Hong Si-nio masih bisa tertawa, "Kalau gitu carilah dia, kenapa melurukku? Akukan bukan bininya"
"Kedatanganmu di sini untuk apa?"
"Bukit berbatu di sini adalah sarang penyamun. Kebetulan seorang temanku adalah brandal."
"Kwi-to Hoa Ping maksudmu?"
"Kalian mengenalnya?"
"Pentolan umum dari kawanan brandal di Kwan-tiong, tokoh mana di Kangouw yang tidak mengenalnya?"
Hong Su-nio menghela napas lega, "Kalian tahu seluk beluknya, nah, pergilah cari dia."
"Tidak perlu."
"Tidak perlu? Apa artinya tidak perlu?"
"Maksudnya, kalau kau ingin bertemu dengan dia, kapan saja aku bisa memanggilnya kemari."
Hong Si-nio tertawa lebar, "Apa dia patuh kepada kalian?"
"Sebab dia tahu si buta juga bisa membunuh orang," mendadak ia mengulap tangan suaranya kereng, "Antar Hoa Ping masuk."
Baru lenyap suaranya, dari luar pintu terbang masuk suatu benda, Hong Si-nio mengulur tangan, ternyata sebuah kotak kayu.
"Kelihatannya hanya sebuah kotak."
"Ya, sebuah kotak."
"Kurasa Hoa Ping bukan sebuah kotak."
"Kenapa tidak kaubuka kotak itu?"
"Oh, Hoa Ping sembunyi dalam kotak ini?" suara Hong Su-nio berubah kecut, ia sudah membuka kota kayu, isinya bukan orang, tapi sebuah tangan, tangan kanan berlepotan darah. Tangan Hoa Ping.
Tangan Hoa Ping buntung.
Gagang golok harus digenggam oleh jari-jari tangan. Seorang yang terkenal karena ilmu goloknya, kalau tangannya buntung, bagaimana ia mampu mempertahankan hidup.
"Selama hidup aku takkan bisa bertemu orang ini."
"Sekarang kau harus mengerti," tukas si buta, "kalau kau sendiri ingin mati, tidak harus memenggal kepalanya."
Hong Si-nio manggut-manggut, ia mengerti, cukup paham.
"Maka kalau kurusak wajahmu, berarti kau juga sudah mati."
"Maka aku harus patuh nurut dan lekas berpakaian ikut kalian."
"Ya, memang demikian."
Hong Si-nio tertawa ngakak, "Kalian kawanan buta sontoloyo, apa tidak salah lihat, kenapa tidak cari tahu dulu. Hong Si-nio sudah hidup tiga puluh, tahun, kapan pernah diperintah orang?"
Waktu memaki orang wajahnya masih tertawa, kawanan buta itu sepertinya tertegun kaku.
"Kalau kalian ingin mengundangku kesuatu tempat, sedikitnya harus tepuk-tepuk pantat, menjilat-jilat ludah, lalu siapkan sebuah tandu mungkin aku masih mau pikir-pikir" sampai di sini ia tidak melanjutkan omongannya.
Karena pada saat itu, dari lembah bukit arah selatan kumandang suara sempritan bambu yang aneh, Dia usul suara "Ting" yang kumandang di luar pintu.
Kawanan buta mengerut alis, empat orang diantaranya mendadak menggerakkan tongkat putih "Trap", empat tongkat itu menusuk amblas ke baskom yang terbikin dari kayu, secara silang menyilang berempat mereka mengangkal baskom gede itu.
Seperti memikul tandu layaknya, empat buta ini memikul Hong Si-nio yang masih rebah dalam baskom keluar. Gerak gerik mereka serempak, kaki tangan berbareng terayun, mendadak mereka sudah berada di luar pintu.
Di luar pintu ada seorang berdiri menghadap ke bukit dengan batu-batu yang berserakan, tangannya juga memegang sebatang tongkat pendek. Tapi orang ini tidak buta, namun si pincang karena kakinya yang satu buntung Tongkat pendek di tangan mengetuk sekali di tanah berbatu, "Ting" dibarengi lelatu api. Tongkat pendek itu terbuat dari besi. Begitu tongkat menutui tanah., badannya melejit jauh ke sana delapan kaki, dia tetap menghadap ke sana, seperti malu melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas, suaranya seperti mengigau, "Sungguh tak sangka di sini aku bertemu seorang Kuncu. Lelaki tulen yang tidak pernah melihat perempuan mandi."
Di tengah semilir angin lalu, pakaian si pincang tampak melambai-lambai. Hanya sekejap bayangannya sudah meluncur jauh. Seorang cacat yang pincang dengan kaki satu, ternyata dapat berjalan begitu cepat melebihan orang normal biasa.
Dua orang buta di kanan, dua yang lain di kiri memikul Hong Su-nio yang rebah dalam baskom kayu, mengikuti si pincang dengan kecepatan tinggi, jalan pegunungan yang tidak rata tidak menjadi halangan, air dalam baskom sedikit pun tiada yang muncrat keluar
Tiap kali si pincang menutul tongkat besi di tanah "Ting" sigap sekali empat orang buta melejit ke sana tanpa halangan.
Akhirnya Hong Si-nio paham. "Ternyata si pincang sebagai penunjuk jalan Padahal ia tahu cewek cantik yang berendam di air hangat dalam baskom dalam keadaan bugil, jangankan menoleh dan memandang dirinya, melirik saja tidak. Lelaki macam ini boleh diagulkan sebagai Kuncu yang susah di cari dalam mayapada. Atau mungkin demi gengsi, tidak sudi melakukan perbuatan yang bisa mengundang celoteh orang banyak.
Memangnya si pincang tokoh yang punyca kedudukan? Mungkin juga dia pema mati sekali?
Angin pegunungan di pertengahan musim rontok mulai terasa dingin.
Hong Su-nio mulai menyesal memang mestinya tadi ia berpakaian lebih dulu, Sekarang ia benar-benar kedinginan, dalam kondisi seperti sekarang memangnya ia harus lompat keluar dari baskom dalam keadaan bugil. Apakah ia mulai ketarik dan ingin tahu orang-orang buta yang aneh ini, sebetulnya hendak membawa dirinya kemana? Apa yang akan dilakukan dimana? Minat ingin tahu bergolak dalam sanubarinya. Memangnya Hong Si-nio suka kejutan, senang menampuh marabahaya.
Orang-orang buta itu berjalan cepat cekatan tanpa bersuara.
Setelah hening sekian lama, Hong Su-nio buka suara pula, "Hei, tuan kaki satu di depan itu, kalau kau seorang kuncu tulen, copotlah baju luarmu untuk kupakai."
Si pincang tetap tidak berpaling, bukan saja pincang, seperti juga tuli umpama Hong Si-nio kepandaian setinggi langit, menghadapi orang-orang buta lagi bisu, pincang lagi tuli, apa boleh buat, tak bisa apa-apa. Jalan yang ditempuh ini menjuru turun ke bawah, setelah membelok di tikungan tajam, jalan mulai berputar naik. Puluhan langkah lagi mereka tiba di depan hutan bambu.
Memangnya kewalahan menghadapi orang-orang ini, Hong Si-nio malah. ditarik suara bersenandung; Menghentikan kereta di waktu malam, saka duduk di luar hutan. Daon merah berguguran, bulan mekar di bulan dua ...."
Mendadak kumandang suara tawa merdu dari dalam hutan, suara runcing semerdu kelinting berkata, "Hong Su-nio adalah Hong Si-nio, dalam kondisi seperti ini, ternyata masih punya selera bersenandung segala." yang ia bicara pasti seorang gadis muda belia.
Si pincang sudah melangkah ke dalam hutan, mendadak tubuhnya melejit ke atas lalu bersalto balik, "Siapa di sana?" suaranya berat.
Waktu kakinya menginjak bumi. Tubuhnya masih menghadap ke sana membelakangi Hong Si-nio. Entah tidak berani melihat Hong Si-nio mengenali dirinya.
Langkah para buta ikut berhenti, sikap mereka seperti tegang.
Diiringi cekikik tawa merdu, dari dalam hutan muncul seorang gadis muda dengan dua kuncir rambut panjang, langkahnya ringan.
Cahaya mentari menjalang magrib menyoroti wajahnya, wajah putih bulat telur yang rupawan mirip bunga mekar dimusim semi
"Halo nona cilik yang manis," seru Hong Su-nio,
Gadis cilik itu pandai bicara, "Sayangnya dibanding Hong Su-nio, gadis cilik macamku ini menjadi jelek mirip babi."
Mekar senyum Hong Su-nio, "Gadis cilik yang ayu lagi pintar seperti kamu pasti tidak satu golongan dengan mahluk-mahluk aneh ini bukan."
Gadis itu maju ke depan memberi hormat, "Aku bernama Sim-sim, sengaja mengantar pakaian untuk Hong Si-nio."
"Sim-sim, nama yang bagus, sebagai orangnya.
Entah kenapa Hong Su-nio menadak menjadi senang. Sebab tak jauh di belakang Sim-sim muncul pula dua gadis bersanggul masing-masing membawa nampan emas, di atas nampan itulah pakaian sutra dengan warna dan corak yang serba baru.
Sambil mendekat Sim-sim tertawa pula, "Kami tidak tahu ukuran badan Hong Su-hio, namun dilihat potongan nan semampai, pakaian model apa pun rasanya tetap cocok dan pas."
Makin mekar senyum Hong Su-nio, "Gadis cilik yang baik hati, kelak pasti dapat jodoh yang gagah lagi ganteng,"
Merah jengah selebar muka Sim-sin, katanya dengan geleng kepala, "Yang baik hati bukan aku, tapi Hoa-kongcu dari keluarga...."
"Hoa-kongcu?" tukas Hong Si-nio
"Hoa-kongcu tahu, Hong Si-nio datang tergesa-gesa, tidak sempat berpakaian, manalagi angin pegunungan kencang lagi dingin, kuatir Su-nio masuk angin, aku sengaja disuruh mengantar pakaian."
"Kelihatannya Hoa-kongcu itu pemuda yang pengertian."
"Memangnya, sudah pengerten, lemah lembut lagi."
"Rasanya aku belum pernah kenal Hoa-koncumu itu."
"Sekarang belum kenal, sebentar lagi juga akan bertatap muka."
Hong Su-nio menepuk paha, "Betul, memangnya siapa bisa kenal kalau belum pernah bertemu. Bisa kenal pemuda romantis seperti dia, perempuan macam apa pun akan merasa senang."
Tawa Sim-sin makin manis, "Memang Hoa-kongcu berharap Su-nio tidak lupa di dunia ini ada pemuda seromantis seperti dia."
"Pasti tidak akan kulupakan."
Dua gadis membawa nampan sudah mendekat.
"Berhenti." mendadak di pincang membentak.
Dua gadis itu berhenti tanpa bersuara. Hong Su-nio melotot kearahnya.
"Berdasar apa kausuruh mereka berhenti?"
Si pincang tidak hiraukan ocehan Hong Su-nio, matanya mengawasi Sim-sin,
"Hoa-kongcu yang kausebut tadi, apakah Hoa Ji-giok?" suaranya serak lagi rendah, nadanya tidak enak didengar .
"Kecuali Hoa Jik-giok Hoa-kongcu kita di dunia mana ada Hoa-kongcu yang lemah lembut lagi pengertian?"
dst dst dst

#23 avatar
ansari 9 Januari 2007 jam 10:30am  

Kalau Siauw Cap-it-long II versi English boleh dilihat di sini: http://wuxiamania.phorumz.com/wuxiama...ut255.html

#24 avatar
bu_tek_kiam 9 Januari 2007 jam 10:53am  

:(( akhir yg menyedihkan,tak kirain panjang ceritanya.ternyata cm 15 jilid, :) para cianpwee makasih atas upload nya.bener2 cerita yg menghibur.besok2 upload cerita laen lagi yach,yg lebih bagus :))

#25 avatar
bigboy 11 Januari 2007 jam 4:14am  

Just to say THANKSSSS
buat Kkabeh & Contributor

#26 avatar
kkabeh 12 Januari 2007 jam 11:42am  

sama sama...
saya juga terimakasih pada para enghiong yang berlelah mengetik...

#27 avatar
butason 17 Februari 2007 jam 7:41am  

Suhu KKabeh , mo tanya kalo mo di-download kemudian disave dgn Word , caranya bagaimana ??
Untuk menghemat list dan mudah menyimpannya.
thx untuk bantuannya.
Ngomong-2 ikut acara Lampion di TIM , Jkt ?