Home → Forum → Komentar Bacaan → Pedang Ular Emas
Komentar untuk Pedang Ular Emas
#1 | ![]() |
balikpapan
14 Oktober 2008 jam 7:34am
 
Thx berat, Mr. Dino, atas usahanya. Really apreciate it. |
#2 | ![]() |
ansari
14 Oktober 2008 jam 10:04am
 
Wah, wah, cerita ini udah lama ditunggu tamatnya. Makasih bung Dino karena sudah melanjutkannya. Bung Dino memang nggak ada matinya.... hehehe. Apakah ini bung Dino yang dulu banyak mem-posting cersil-cersil itu? |
#3 | ![]() |
andri_ruskandi
14 Oktober 2008 jam 1:50pm
 
bung dino dengan bung rifki sama ya....??? |
#4 | ![]() |
dino
15 Oktober 2008 jam 12:28am
 
Rifqi and Dino adalah satu orang. yaitu Dino. Salam Dino |
#5 | ![]() |
Liong
15 Oktober 2008 jam 1:19pm
 
Makasih banget dino.. |
#6 | ![]() |
Agam
16 Oktober 2008 jam 7:39pm
 
cerita'a enak.. tapi kosakata'a ambruradul bikin bingung baca'a. |
#7 | ![]() |
tirta
17 Oktober 2008 jam 7:09am
 
Terima kasih atas usaha anda. |
#8 | ![]() |
tingsen
18 Oktober 2008 jam 8:48pm
 
hi dino, bab 8 di sini, isinya sama dengan bab 7. thanks. |
#9 | ![]() |
dino
26 Oktober 2008 jam 8:14am
 
Ok... Bab 8 sudah saya rubah, sorry |
#10 | ![]() |
boen
2 November 2008 jam 6:03am
 
Bab 36 dan bab 35 isinya sama |
#11 | ![]() |
dino
8 November 2008 jam 9:03am
 
Sudah saya rubah bang boen, thanks yach |
#12 | ![]() |
Agam
27 November 2008 jam 10:57am
 
INI SAMBUNGAN YA..... Si uwah jelek berhenti sebentar, untuk menghela napas, guna entengi hatinya. “Begitu aku dapat tahu dia ambil tiga-tiganya mustika, segera aku merasakan firasat jelek,†dia melanjuti selang sesaat. “Maka aku lantas desak dia supaya dia tinggalkan Kim-tjoa-tjoei dan peta bumi itu….†“Peta apakah itu?†Tjeng Tjeng memotong. “Ayahku cuma berniat keras mencari balas, mustahil dia kehendaki juga peta bumi kamu?†“Aku sendiri tidak tahu, peta itu ada peta apa,†sahut Ho Ang Yo. “Apa yang kami tahu itu adalah mustika yang telah diwariskan sejak beberapa puluh turunan. Hm! Dia benar-benar kandung maksud tidak baik! Dia tidak perdulikan permintaanku, dia cuma awasi aku sambil tertawa. Sudah disebutkan, adalah aturan Ngo Tok Kauw kita, siapa memasuki guha Tok-liong-tong, kita dilarang mengenakan pakaian meski cuma selembar, maka bisalah dimengerti keadaan kita berdua pada waktu itu. Demikian aku, tanpa aku sadar, aku telah lantas serahkan diri kepada dia. Sejak itu, aku tidak tanyakan suatu apa lagi terhadapnya. Secara demikian, kita telah curi ketiga mustika. Dia sudah bilang padaku, setelah selesai mencari balas, dia bakal kembali, untuk kembalikan tiga mustika itu. Setelah dia pergi, setiap hari aku harap-harap kembalinya, tetapi, sampai dua tahun, dari dia tidak ada kabar-ceritanya. Baharu belakangan aku dengar cerita antara kaum kang-ouw bahwa di Kanglam telah muncul satu pendekar luar biasa yang bersenjatakan sebatang pedang aneh serta bor emas, karena mana, dia dijuluki Kim Tjoa Long-koen, Pendekar Ular Emas. Aku percaya betul, pendekar itu mesti dianya. Aku terus pikiri dia, aku menduga-duga, sudahkah dia menuntut balas atau belum. Lewat lagi sekian lama, kauwtjoe bercuriga, dia lantas periksa guha Tok-liong-tong, dengan kesudahannya pecahlah rahasia pencurian ketiga mustika. Atas itu, kauwtjoe wajibkan aku menghukum diriku sendiri. Dan sebagai kesudahan beginilah jadinya rupaku…..†“Kenapa kau jadi begini?†Tjeng Tjeng tegasi. Ho Ang Yo ada sangat murka, tak sudi ia menjawabnya. Tapi Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan dia kata kepada ahliwarisnya Kim Tjoa Long-koen: “Ketika itu yang menjadi kauw-tjoe ada ayahku, Ayah sangat berduka yang adiknya sendiri melakukan pelanggaran hebat itu, saking malu dan berduka, ia dapat sakit, terus dia menutup mata. Bibi telah jalankan aturan agama kita, ia hukum diri dengan masuk ke dalam guha ular, hingga ribuan ular gigiti dia. Begitulah, rusaknya muka bibi.†Tjeng Tjeng menggigil, dia jeri sendirinya, akan tetapi berbareng, terhadap si uwah dia tidak lagi membenci seperti tadinya. “Setelah bibi obati diri dan sembuh,†Ho Tiat Tjhioe terangkan lebih jauh, “ia lantas bikin perjalanan sebagai pengemis. Adalah aturan perkumpulan kita, siapa lakukan pelanggaran hebat, dia mesti hidup sebagai pengemis lamanya tiga-puluh tahun, selama mana dia dilarang mencuri uang baik satu boen atau mencuri nasi satu butir, malah dia dilarang juga menerima tunjangan dari sesama kaum Rimba Persilatan.†Ho Ang Yo perdengarkan suara di hidung. “Mulanya masih saja aku ingat dia, maka itu sembari mengemis di sepanjang jalan, aku susul dia di Kanglam,†cerita terus uwah ini. “Begitu lekas aku memasuki wilayah Tjiatkang, aku lantas dengar kabar hal dia sudah bunuh orang di Kie-tjioe, untuk pembalasannya. Ingin aku menemui dia, maka aku cari padanya. Tapi ia tidak punyakan tempat kediaman yang tentu maka adalah sulit untuk cari ketemu padanya. Ketika akhirnya aku bertemu juga dengannya di Kim-hoa, waktu itu dia telah kena ditawan orang. Beberapa kali aku mencoba menolongi dia, selalu aku tidak berhasil. Musuh-musuhnya telah jaga dia kuat sekali hingga tak bisa aku turun tangan. Dia telah dibawa ke Utara. Aku merasa sangat heran, aku tidak tahu, kenapa dia ditangkap dan dibawa pergi. Baharu kemudian aku dengar kabar, orang hendak paksa dia supaya dia serahkan peta yang dicurinya. Nyata peta itu ada peta lukisan dari suatu tempat simpan harta besar. Pada satu wkatu, bisa juga aku dapatkan ketika akan bicara sama dia. Dia kasi tahu aku bahwa orang telah bikin putus semua urat-uratnya, hingga ia jadi seorang yang bercacat. Menurut dia, semua pengantarnya ada orang-orang liehay, maka sendirian saja, tidak nanti aku bisa tolongi dia. Dia bilang, dia punya cuma satu harapan untuk bisa hidup terus. Ialah kapan ia bisa pancing musuh-musuhnya pergi ke puncak gunung Hoa San. Dan itu waktu, dia sedang memancingnya.†“Bibi,†tanya Ho Tiat Tjhioe, “kejadian selanjutnya lebih-lebih aku tidak tahu. Apa maksud sebenarnya memancing musuh ke gunung Hoa San itu?†“Dia bilang di kolong langit ini cuma satu orang yang bisa tolong dia,†sahut Ho Ang Yo. “Orang itu ada Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan dari Hoa San Pay.†Gegetun Sin Tjie akan dengari penuturan orang itu, sampai ia tak tahu, berhubung sama sepak-terjangnya Kim Tjoa Long-koen itu, ia mesti membencinya atau mengasihaninya. Di lain sebelah, ia jadi sangat ketarik akan dengar disebut-sebutnya nama gurunya. Juga Tjeng Tjeng sangat ketarik mendengar namanya Bok Djin Tjeng, gurunya pemuda pujaannya itu. Demikian semua orang pasang kuping mendengari Ho Ang Yo mulai pula dengan perlanjutan penuturannya: “Aku tanya dia, siapa itu Bok Djin Tjeng. Dia bilang, orang she Bok itu ada ahli pedang yang di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Menurut dia, sebenarnya dia tidak kenal Bok Djin Tjeng, dia belum pernah menemuinya juga, dia melainkan dengar, orang she Bok itu ada satu orang jujur dan pembela keadilan, Dia percaya, asal Bok Djin Tjeng dapat tahu bagaimana dia telah dipersakiti, pendekar itu pasti akan suka tolongi dia. Katanya Ngo Heng Tin dari lima persaudaraan Oen ada sangat liehay, sudah begitu, mereka dibantu oleh imam-imam dari Ngo Bie Pay, maka kecuali Bok Djin Tjeng, lain orang tak dapat mengalahkan mereka. Maka itu dia suruh aku lekas-lekas pergi ke Hoa San, akan cari Bok Tayhiap, untuk minta bantuan. Ia anjurkan aku untuk memohon sambil menangis, supaya Bok Tayhiap suka menolong. Aku telah terima baik permintaannya itu, aku malah sudah lantas ambil putusan, umpama kata Bok Tayhiap tidak sudi meluluskan, akan membantu, aku hendak bunuh diri di depannya. Aku telah berkeputusan akan tolongi dia. Karena penjagaan kuat sekali, tidak berani aku bicara lama dengannya. Ketika aku hendak berlalu, aku rangkul dia. Dengan tiba-tiba aku dapat cium bau harum pada dadanya, bau dari wewangian orang perempuan, maka aku merogo ke dalam sakunya, hingga aku tarik keluar satu kantong sulam hiang-ho-pauw dalam mana ada termuat segumpal rambut wanita serta sebuah tusuk konde emas yang mungil. Tubuhku sampai menggigil saking ku gusar. Aku tanya, siapa yang berikan itu kepadanya, dia tidak mau memberitahukan. Aku telah ancam dia, apabila dia tetap tidak mau beritahu, aku tidak mau cari Bok Tay-hiap, tapi dia tetap tutup mulutnya. Dia telah perlihatkan sikapnya yang angkuh. Dan, lihat, lihat! Sikapnya bocah ini juga sama angkuhnya dengan dia!†Dan si uwah jelek ini tuding Tjeng Tjeng. Ia bicara dengan suara keras, akan tetapi pada itu ada tercampur irama kedukaan hebat. Habis itu, ia melanjuti: “Tadinya aku hendak desak dia, untuk paksa dia memberitahukannya, apamau orang Tjio Liang Pay yang menjaga dia telah keburu balik, dengan terpaksa, aku tinggalkan dia. Bukan main masgulnya hatiku. Aku telah menderita untuk dia, siapa tahu, dia justru siasiakan aku dan punyakan lain kekasih. Ketika kemudian dia telah sampai di Hoa San, aku tidak pergi cari Bok Tayhiap. Dengan bisaku sendiri, aku telah racuni dua imam yang jagai dia. Rupanya pihak Oen tidak menyangka bahwa diam-diam ada orang mencoba tolongi orang tawanannya itu. Begitulah, selagi mereka beralpa, aku bawa dia lari, aku sembunyikan dia di dalam sebuah guha. Ketika keluarga Oen mendapat tahu dia terhilang, mereka jadi heran dan sibuk, mereka mencari ubak-ubakan tanpa hasil, hingga kesudahannya mereka saling curigai orang sendiri, sampai mereka berselisih. Di akhirnya, mereka memencar diri, untuk geledah seluruh gunung Hoa San. Kesudahannya, mereka membangkitkan amarahnya Bok Tay-hiap, hingga Tay-hiap telah gunai akal, membikin mereka ketakutan sendiri dan lantas lari kabur. Pada malam itu, aku desak dia untuk beritahu aku she dan namanya kekasihnya itu. Dia tetap menolak, mungkin dia insaf, satu kali aku mendapat tahu, aku bisa pergi cari kekasihnya itu, untuk dibunuh. Dia sendiri sudah tidak punya guna, tidak nanti bisa susul aku, dia kuatir nanti tak dapat dia melindungi kekasihnya itu. Karena dia terus tutup mulut, aku jadi sangat murka, beruntun selama tiga hari, setiap pagi aku rangket dia dengan rotan, begitupun setiap tengah-hari dan sore….†“Hai, perempuan jahat!†teriak Tjeng Tjeng. “Bagaimana kau tega menyiksa ayahku!...†“Dia yang berbuat, dia mesti terima bagiannya!†kata Ho Ang Yo dengan sengit. “Makin lama aku hajar dia, makin aku sengit, akan tetapi dia, dia tertawai aku, dia tertawa makin besar. Dia bilang, sejak mulanya dia tidak menyukai aku, bahwa kekasihnya ada cantik sekali, manis dan lemah-lembut, orangnya jelita, lebih memang seratus kali daripada aku! Setiap patah kata dia ucapkan, setiap rotan aku berikan, tetapi setiap kali aku rangket dia, setiap kali juga dia banggai kekasihnya itu, si perempuan hina! Aku telah hajar dia sampai akhirnya tidak ada tubuhnya yang utuh, akan tetapi terus-terusan ia tertawa, terus saja ia masih puji dan banggai kekasihnya itu…. Sampai di hari ketiga, selagi dia jadi sangat lemah, aku sendiri pun jadi sangat lelah, lelah karena terlalu mendongkol, sebab habis tenaga. Kemudian aku pergi keluar, untuk cari bebuahan. Ketika aku pulang, dia tunggu aku di mulut guha, dia larang aku masuk. Dia mengancam, satu tindak berani aku melangkah, dia akan tikam aku. Aku tidak berani sembarang masuk. Aku kasi tahu padanya, asal dia beritahukan aku she, nama dan alamat kekasihnya, aku suka maafkan dia untuk tak berbudinya, tetapi dia tertawai aku, dia tertawa terbahak-bahak. Dia bilang, dia cintai kekasihnya melebihi jiwanya sendiri! Secara demikian, kami bentrok. Aku ada punya bebuahan untuk dimakan, dia sendiri, dia mesti menahan lapar. Aku dapat tahu, Bok Tay-hiap telah pergi turun gunung, mungkin dalam satu-dua tahun, dia tidak akan kembali, maka itu, tidak nanti ada orang yang tolongi dia….†“Secara demikian, bibi, kau bikin dia mati kelaparan?†tanya Ho Tiat Tjhioe. “Hm, tidak secara demikian gampang aku membikin dia mati!†sahut sang bibi. “Lagi beberapa hari, setelah dia habis tenaganya, aku masuk ke dalam guha, aku bikin patah kedua kakinya…†Tjeng Tjeng menjerit, dalam sakitnya, dia berlompat untuk bangun, akan serang uwah itu. Ho Tiat Tjhioe tekan pundak orang, akan bikin anaknya Kim Tjoa Long-koen tak dapat bangun. “Kau dengari sampai bibi berceritera habis,†katanya. “Puncak Hoa San ada sangat tinggi dan berbahaya, dengan kedua kakinya patah, tidak nanti dia bisa turun gunung lagi,†demikian Ho Ang Yo meneruskan ceritanya. “Begitulah aku pergi turun gunung, akan cari kekasihnya itu. Adalah keputusanku, apabila aku berhasil mendapatkan kekasih itu, aku bakal bikin rusak mukanya hingga jadi jauh terlebih jelek daripada mukaku, setelah itu, aku nanti gusur dia ke Hoa San, untuk dipertemukan dengannya, aku ingin lihat, dia masih memuji-muji dan membanggai atau tidak! Setengah tahun sudah aku mencari, tidak pernah aku peroleh endusan. Aku niat kembali ke Hoa San, untuk tengok dia, aku kuatir, mungkin Bok Djin Tjeng sudah pulang ke gunungnya, mungkin Bok Tay-hiap dapat menemukan dia dan menolongnya. Aku telah saksikan sendiri liehaynya Bok Tay-hiap ketika ia usir keluarga Oen, maka apabila Bok Tay-hiap nanti bantu dia, bisa celaka aku. Maka aku segera balik ke gua gunung. Di luar sangkaanku, aku tidak dapat ketemukan dia di dalam guha, aku cari dia di puncak, tidak juga aku menemukannya. Entah dia telah ditolongi Bok Tay-hiap atau oleh orang lain. Seterusnya, selama dua-puluh tahun, tidak pernah aku dengar pula tentang dia, percuma saja aku cari dia di segala penjuru, hingga tak tahu aku manusia tidak punya liangsim itu sudah mati atau masih hidup….†Mendengar sampai di sini, tahulah sekarang Sin Tjie sebabnya kenapa Kim Tjoa Long-koen keram diri di dalam guhanya yang istimewa itu, terang dia menyingkir dari orang Ngo Tok Kauw ini yang dia tidak sanggup lawan karena dia sudah tidak berdaya lagi, dia lebih suka terbinasa daripada mesti minta bantuannya lain orang. Selagi pemuda ini berpikir, tiba-tiba ia dengar bentakannya Ho Ang Yo. “Aku tidak sangka dia justru tinggalkan kau sebagai keturunan celaka!†demikian uwah itu, yang tuding Tjeng Tjeng, suaranya sangat bengis. “Mana ibumu? Aku tahu shenya she Oen tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana! Hayo bilang, dimana adanya ibumu sekarang. Jika tidak, aku nanti korek biji matamu!†Diancam begitu, Tjeng Tjeng justru tertawa besar. “Kau jahat! Jahat!†jawabnya. “Benar apa yang ayahku bilang, ibuku ada jauh terlebih baik daripada kau, bukan cuma seratus kali, hanya seribu kali, selaksa kali!†Tak kepalang murkanya Ho Ang Yo hingga ia ulur kedua tangannya, untuk dengan sepuluh jarinya cakar muka orang! Tjeng Tjeng tarik kepalanya, sedang Ho Tiat Tjhioe tahan tangan bibinya itu. “Kau mesti bikin dia kasi tahu tempat kediaman ibunya, baharu aku suka kasi ampun padanya!†dia menjerit terhadap pemimpin dari Ngo Tok Kauw. “Sabar, bibi,†kata ketua itu. “Bukankah kamis edang punya urusan besar? Kenapa untuk urusan pribadi kau ingin ciptakanonar? Bukankah urusan dengan Boe Tong Pay juga disebabkan gara-garamu?†“Hm, itu disebabkan Oey Bok Toodjin ngaco-belo sendiri!†kata si uwah jelek. “Kenapa dia sebut-sebut bahwa dia kenal Kim Tjoa Long-koen? Kenapa dia bikin aku dapat dengar ocehannya itu? Tentu saja karena ocehannya itu aku paksa dia mesti sebutkan tempat sembunyinya itu manusia tak berbudi!†“Kau telah kurung dia begitu lama, dia tetap tidak hendak memberitahukannya,†kata pula Ho Tiat Tjhioe, “Mungkin dengan sebenar-benarnya dia tidak tahu orang punya alamat. Sama sekali tidak ada faedahnya untuk kau menambah musuh….†Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut. “Jadi inilah sebabnya bentrokan Ngo Tok Kauw dengan Boe Tong Pay,†pikir dia. “Menurut dia ini, jadinya Oey Bok Toodjin masih belum terbinasa, dia cuma masih ditahan.†Ho Ang Yo sengit ditegur kauwtjoenya itu. Maka dia kata pada pemimpinnya ini: “Binatang she Wan itu sudah kangkangi pedang Kim Tjoa Kiam kita, dengan Kim-tjoa-tjoei dia binasakan anjing kita, dia pun masih simpan peta kita – tiga-tiga pusaka kita berada di dalam tangannya! Kau sebagai kauwtjoe, kenapa kau tidak hendak berdaya untuk dapat pulang itu semua?†Ho Tiat Tjhioe tertawa. “Cukup, bibi!†kata dia. “Aku ketahui semua itu! Sekarang silakan kau keluar dulu, untuk beristirahat….†Masih si bibi penasaran. “Aku telah bilang semua!†katanya. “Kau suka turut rencanaku atau tidak, kau suka tolong lampiaskan kemendongkolanku atau tidak, semua terserah pada kau!†Kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw lawan tertawa pada bibinya itu, ia tidak mengiakan atau menampik. “Mari keluar, aku hendak bicara denganmu!†kata Ho Ang Yo. “Bukankah di sini sama saja?†tanya si nona kauwtjoe. “Tidak! Mari kita keluar!†Ang Yo desak. Kalah juga Tiat Tjhioe, ia suka keluar. Sin Tjie lihat dua orang itu berlalu, ia tunggu sampai rasanya orang sudah pergi jauh, lantas ia merayap keluar dari kolong pembaringan. “Adik Tjeng, mari kita pergi!†katanya. Tjeng Tjeng tidak lantas menjawab, hanya dengan muka perongosan ia awasi Wan Djie, rambut siapa kusut, muka siapa berlepotan debu. “Hm!†katanya. “Untuk apa kamu berdua bersembunyi?†Wan Djie tercengang, mukanya merah, sampai ia diam saja. “Lekas bangun,†Sin Tjie bilang, tanpa menjawab pertanyaan itu. “Mereka itu kandung maksud tidak baik, mereka sedang memikir daya untuk celakai kau….†“Lebih baik lagi jikalau mereka bikin aku mati! Aku tidak mau pergi!†“Apa juga adanya urusan, di rumah nanti kita damaikan,†Sin Tjie membujuk. “Di waktu begini apa kau masih hendak mensiasiakan ketika? Kau hendak mengacau?†“Aku justru hendak mengacau!†Sibuk juga Sin Tjie. Ia ingat orang punya adat berandalan. Ia tahu, asal mereka berayalan, sulit untuk mereka keluar dari istana itu. Di lain pihak urusan raja ada penting sekali. “Adik Tjeng, kau kenapa?†ia tanya. Ia ulur tangannya, dengan niat tarik pemudi itu. Tjeng Tjeng sedang sengit, ia sambuti tangan orang, untuk dibawa ke mulutnya, untuk digigit! Sin Tjie tidak menyangka, hampir saja tangannya itu kena tergigit, baiknya ia dapat kesempatan untuk tarik pulang. Ia tapinya heran. “Kau angot?†tanya dia. “Habis?†Tjeng Tjeng singkap selimut, untuk tungkrap kepalanya. Sin Tjie mendongkol berbareng bingung, hingga ia banting-banting kaki. “Wan Siangkong,†kata Wan Djie, “kau tunggu bersama Nona Hee, aku hendak keluar sebentar.†“Kau hendak pergi kemana?†Wan Djie tidak menjawab, ia tolak daun jendela, untuk loncat keluar. Sin Tjie duduk di tepi pembaringan, ia masgul. Tjeng Tjeng membalik tubuh, akan madap kedalam. Pemuda kita kuatir sekali Ho Tiat Tjhioe nanti kembali. Tiba-tiba ada terdengar suara tindakan di arah pintu, tidak tempo lagi, Sin Tjie enjot tubuhnya, akan loncat naik ke penglari di mana ia lintangkan tubuhnya. Itulah Ho Kauwtjoe, yang telah balik. Dia ini palang pintu, lantas dengan tindakan pelahan, dia dekati Tjeng Tjeng. Sin Tjie siapkan dua batang bor, asal kauwtjoe itu turun tangan, ia hendak menyerang. “Hee siangkong,†katanya dengan pelahan, sambil ia awasi tubuh orang. “Aku hendak bicara sama kau…†Tjeng Tjeng berpaling. “Bibiku sangat menyintai ayahmu, coba bilang, adalah dia seorang rendah?†tanya Tiat Tjhioe. Ditanya begitu, Tjeng Tjeng menjadi heran. Inilah pertanyaan yang ia tidak sangka. Maka ia tercengang. “Itu berarti cinta yang sangat, bagaimana bisa dibilang rendah?†ia jawab. Lantas ia menambahkan dengan suara tinggi: “Siapa tidak berpribudi, dia baharulah rendah!†Tiat Tjhioe heran. Tak tahu ia, kata yang belakangan ini ditujukan kepada Sin Tjie. Tapi ia girang. “Ayahmu itu tidak berjodo dengan bibiku, dia tak dapat dipersalahkan,†kata kauwtjoe ini. “Dia pun rela mati daripada menyebutkan tempat kediaman ibumu, dia tetap melindunginya, sebenarnya dia ada seorang yang menyinta sangat, dia setia.†“Sayang jarang ada orang semacam ayah!†bilang Tjeng Tjeng. “Umpama ada seorang semacam dia, yang tidak hiraukan jiwa sendiri untuk lindungi kau bisakah kau ingat dia untuk selamanya?†Ho Tiat Tjhioe tanya pula. “Aku tidak punyakan itu macam rejeki!†“Dulu tak mengerti aku mengapa bibi demikian tergila-gila terhadap seorang lelaki,†kata pula Tiat Tjhioe. “Aku….aku…..ya, sudahlah, aku tidak ingin kau bilang apa-apa lagi…. Sukur jikalau kau ingat aku, tidak ingat juga tidak apa….†Ia balik tubuhnya, untuk pergi keluar pula. Tjeng Tjeng berbangkit, akan duduk dengan bengong. Tidak mengerti ia sikapnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Sin Tjie melayang turun. “Nona tolol, dia menyintai kau!†katanya sambil tertawa. “Apa?†tanya Tjeng Tjeng dengan heran. Sin Tjie tertawa. “Dia menyangka kau lelaki!†katanya. Perkataan pemuda ini membikin sang pemudi insaf. Pantas selama tertawan, sikapnya Ho Tiat Tjhioe terhadapnya ada baik, malah manis-budi. Untuk sementara ia telah melupakan dandanan penyamarannya itu. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. Itulah lucu! “Bagaimana sekarang?†ia tanya. “Kau menikah dengan Ngo Tok Hoedjin itu!†Sin Tjie bergurau. (“Ngo Tok Hoedjin†berarti “Nyonya dari Ngo Tok Kauwâ€.) Di saat Tjeng Tjeng hendak berkata pula, daun jendela terpentang dengan tiba-tiba dan Tjiauw Wan Djie lompat masuk, di belakangnya turut Lo Lip Djie, yang bertangan satu. Melihat nona itu, kembali air mukanya Nona Hee guram, lenyap senyumannya yang manis. “Wan Siangkong,†berkata Wan Djie dengan sikapnya sungguh-sungguh tetapi tenang. “Aku bersukur sangat yang kau telah berikan bantuanmu yang besar hingga berhasil aku mencari balas, maka sekarang ingin aku memberitahukan bahwa besok pagi aku berniat pulang ke Kimleng. Di masa hidupnya ayah, ia ada sangat kagumi kau, sedang Lo Soeko ini sangat berterima kasih kepadamu yang sudah ajarkan dia ilmu silat golok bertangan satu, hingga kau mirip dengan gurunya….†Sin Tjie awasi nona itu, kata-kata siapa membuat ia heran. “Sekarang, siangkong,†kata Wan Djie meneruskan, “kami berdua hendak memohon sesuatu kepadamu….†“Jangan kesusu,†berkata pemuda kita, walaupun ia belum mengerti maksud orang. “Mari kita berlalu dulu dari istana ini, baharu kita bicara.†“Tidak, Wan Siangkong,†Nona Tjiauw mendesak. “Aku Cuma mau minta supaya kau menjadi wakil kami, supaya kau ijinkan perjodoanku dengan Lo Soeko ini!†Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie terperanjat mendengar perkataan nona itu, bukan terperanjat karena kaget tetapi saking heran. Malah Lo Lip Djie sendiri tidak menjadi kecuali. “Soe…soemoay!†kata ini kakak seperguruan, “Apakah kau bilang?†“Apakah kau tidak suka aku?†Wan Djie tanya sambil ia awasi soeheng itu. Lip Djie kembali tercengang. “Aku….aku…..†katanya, tergandat. Mendadak saja, Tjeng Tjeng menjadi sangat gembira. “Bagus!†seru dia. “Aku kasi selamat pada kamu berdua!†Sin Tjie cerdik, segera ia insaf maksudnya Nona Tjiauw. Ialah Wan Djie hendak buktikan, dia tidak ada punya hubungan apa-apa sama ia, bahwa pergaulan dan persahabatan mereka berdua ada putih-bersih, maka itu tanpa likat lagi, nona ini kemukakan perjodoannya dengan Lo Lip Djie. Dengan cara ini, Wan Djie hendak singkirkan kecurigaan dan cemburunya Tjeng Tjeng, untuk sekalian juga membalas budinya. Maka itu, tak kepalang bersukurnya ia kepada nona yang cerdas ini. Tjeng Tjeng juga cerdik, ia bisa menduga hatinya Nona Tjiauw, walaupun ia memberi selamat, ia jengah sendirinya. Tapi ia polos, ia jujur, malah lantas ia jabat tangan Wan Djie. “Adik, aku berlaku tidak pantas terhadapmu,†katanya, mengakui. “Aku minta kau tidak berkecil hati.†“Mana bisa aku berkecil hati terhadapmu, enci,†Wan Djie kata. Meski ia mengucapkan demikian, puteri almarhum Tjiauw Kong Lee toh melinangkan air mata. Ia bersedih karena orang telah curigai ia, hingga sebagai satu nona, ia bertindak di luar garis. Sebenarnya tidak tepat ia yang meminta perkenan dari Sin Tjie untuk perjodoannya dengan Lip Djie. Tetapi keadaan memaksa, ia terpaksa tebali muka. Tjeng Tjeng insaf kekeliruannya, ia turut berduka, hingga ia pun ikut menangis. Ketenteraman mereka berempat segera terganggu oleh suara tindakannya tujuh atau delapan orang, yang lagi mendatangi ke arah mereka. Sin Tjie segera geraki tangannya, selaku tanda. Sebat luar biasa, Lip Djie lompat ke jendela, untuk menolak daunnya. Berbareng dengan itu, di pintu terdengar suara membentak dari Ho Tiat Tjhioe: “Sebenarnya siapa menjadi kauw-tjoe?†Lalu terdengar suara Ho Ang Yo: “Kenapa kau tidak mau bertindak menuruti aturan kita? Baiklah kita bersembahyang kepada Tjouwsoe, untuk angkat satu kauwtjoe baru!†Segera terdengar suara seorang laki: “Binatang itu ada musuh besar dari Ngo Tok Kauw, kenapa Kauwtjoe terus-terusan hendak melindungi dia?†Terdengarlah suara tertawa dari Ho Tiat Tjhioe, yang kata: “Aku larang kamu masuk ke dalam kamar ini! Siapa berani maju?†Kauwtjoe ini tertawa tetapi dia menantang, suaranya keren. “Mari kita bereskan dulu itu binatang!†kata seorang lelaki lain. “Urusan kita, kita boleh bereskan belakangan!†Suara tindakan kaki berat dan sebat terdengar maju ke arah pintu, menyusul itu terdengarlah satu jeritan hebat, disusul sama suara terbantingnya satu tubuh ke lantai. Rupanya orang itu telah jadi korbannya Ho Tiat Tjhioe. Sin Tjie lantas beri tanda pula kepada tiga kawannya. Lo Lip Djie lompati jendela, disusul oleh Wan Djie, di belakang siapa, Tjeng Tjeng pun menyusul. Itu waktu, di muka pintu terdengar bentrokan pelbagai senjata. Teranglah, perang saudara telah terjadi di dalam Ngo Tok Kauw – Ho Tiat Tjhioe telah tempur saudara-saudaranya separtai. Setelah sedikit lama, Sin Tjie dengar dupakan pada pintu kamar, hingga daun pintu menjeblak, tubuh seorang nerobos masuk. Sin Tjie lantas saja lompat ke jendela, untuk angkat kaki. Orang yang baharu masuk itu lihat satu bebokong berkelebat dan lenyap, hingga tak sempat ia untuk mengenalinya bebokong siapa. “Lekas, lekas!†dia berteriak-teriak. “Binatang itu kabur!†Ho Tiat Tjhioe terkejut, juga kawan-kawannya, hingga pertempuran berhenti seketika, semuanya lantas memburu ke dalam kamar, hingga mereka lihat kamar kosong dari manusia dan daun jendela menjeblak terpentang. Tanpa ayal lagi, Ho Tiat Tjhioe lompat ke luar jendela, Ia bermata tajam, masih ia dapat lihat satu bayangan nyelusup masuk ke tempat banyak pepohonan, segera ia menyusul. Tapi menyusul dengan kandung maksud sendiri-diri. Dia kira bayangan itu ada dari Tjeng Tjeng, ingin dia lindungi “pemuda†itu, untuk cegah ia terjatuh ke dalam tangan kawan-kawannya. Bayangan di depan itu berlari-lari teurs, dia putari beberapa pekarangan, akhirnya dia melenyapkan diri di tembok merah dari keraton. Sin Tjie sengaja menyingkir paling belakang, ia pun ambil jurusan lain daripada yang diambil Tjeng Tjeng bertiga. Ia lihat bagaimana Ho Tiat Tjhioe terus susul padanya, ia sengaja lari untuk segera lenyap dari pandangan mata kauwtjoe itu. Adalah setelah menduga Tjeng Tjeng bertiga sudah keluar jauh dari istana, baharu ia lenyapkan diri di belakang tembok keraton tadi. Selagi menghampirkan sebuah pintu, Sin Tjie lantas mencium bau harum berkesiur-siur halus. Ia tolak daun pintu, untuk sembunyikan diri di lain sebelah dari pintu itu, sembari sembunyi ia mengawasi ke sekitarnya. Kapan ia telah melihat nyata, ia jadi jengah sendirinya, kupingnya ia rasai panas tak keruan-ruan…. Nyatalah ia berada di dalam sebuah kamar yang indah dan lengkap perabotannya. Kelambu ada kelambu sulam, permai sepre dan selimutnya. Permadani kuning telur juga ada tersulam bunga mawar merah yang besar. Di meja dekat jendela ada terdapat pelbagai rupa alat berhias dari seorang perempuan. Perabotan lainnya adalah barang-barang kuno. “Mungkin ini kamarnya satu selir….†Pikir anak muda ini. “Tidak seharusnya aku berdiam di sini…..†Selagi ia hendak bertindak ke pintu, lantas kupingnya dengar pelbagai tindakan halus disusul sama orang-orang perempuan bicara sambil tertawa-tawa. Maka ia merandak. “Jikalau aku paksa keluar, aku bakal bersomplokan dengan nona-nona keraton ini,†ia pikir. “Satu kali aku kepergok, keraton bakal jadi kacau, mungkin aksinya Tjo Thaykam jadi terganggu dan tertunda. Maka lebih baik aku sembunyikan diri, untuk melihat selatan.†Karena ini ia lompat ke belakang sekosol yang bergambar seorang wanita cantik serta bunga bouw-tan. Sebentar saja, daun pintu telah ditolak terpentang, empat dayang bertindak masuk sambil iringi satu perempuan muda. “Thianhee ingin beristirahat atau hendak membaca buku dulu?†tanya satu dayang. Mendengar itu, Sin Tjie terkejut. “Jadinya ini ada kamarnya puteri raja,†pikirnya. “Ah, baiklah kau tidur saja, tak usah baca buku lagi…..†ia harap-harap. Si nona, atau kiongtjoe, puteri raja, tidak menyahuti tegas, ia hanya jatuhkan diri di atas pembaringan. “Apakah perlu membakar dupa?†satu dayang tanya pula. Kembali puteri itu perdengarkan jawaban tak nyata. “Ehm….†Terdengarnya. Selang tidak lama, Sin Tjie dapat cium bau dupa yang wangi-halus, hingga tanpa merasa, ia jadi lesu dan ingin tidur…. “Bawa kemari akupunya pit dan gambar, habis kamu semua pergi keluar,†kemudian berkata si puteri raja. (Pit adalah alat menulis.) Sin Tjie terperanjat. “Satu suara yang aku kenal baik….†pikirnya. Berbareng ia pun sibuk. Kalau puteri ini melukis gambar, pasti dia akan ambil banyak tempo. Bagaimana dapat ia berdiam lama-lama di dalam kamar ini? Dayang-dayang telah lantas siapkan perabot-tulis dan alat melukis lainnya, setelah itu, semuanya segera undurkan diri. Kamar menjadi sunyi pula, cuma kadang-kadang saja terdengar suara meretak di dalam pendupaan, dari kayu cendana yang terbakar. Tidak berani Sin Tjie berkutik. Tidak lama terdengarlah elahan napas dari si puteri, yang terus menyanyikan sebuah syair dengan pelahan: “Musim semi dari berlaksa lie membawa tetamu datang Bunga dari sepuluh tahun membuat si cantik menjadi tua Tahun yang lampau di masa bunga mekar, aku jatuh sakit Tapi tahun ini, menghadapi sang bunga, masih terlalu pagi.†Itulah suara halus dan merdu akan tetapi sifatnya sedih. Sin Tjie heran. Kenapa satu puteri raja mesti berduka? Ia pun heran, mengapa suara itu seperti ia kenal baik. Sementara itu, ia merasa lucu untuk kedudukannya ini. “Aku ada seorang kang-ouw, kecuali kali ini, belum pernah aku datang ke kota raja, maka dimana pernah aku bertemu sama puteri raja seperti dia ini? Tidak, aku tidak kenal dia….. Dia mungkin mirip dengan salah satu kenalanku….†Si puteri telah bertindak ke dekat meja, lantas terdengar suara ia menggerak-geraki alat tulisnya, rupanya ia sudah mulai melukis. Sin Tjie menantikan dengan pikiran terbenam. Itu waktu, pintu telah ditutup dan daun jendela pun sudah dirapatkan. Tanpa menggunai kekerasan, tak dapat ia keluar dari kamar ini…. Sang puteri masih terus melukis, sampai terdengar ia lempangkan pinggangnya, mungkin ia merasa letih. “Lagi dua-tiga hari, gambar ini akan selesai,†kata dia seorang diri. “Setiap hari aku memikirkanmu, apakah kau juga setiap saat mengingat-ingat aku?†Ia berbangkit, ia pindahkan gambarnya ke kursi, lalu kursi itu dipindahkan ke depan pembaringan. “Kau diam di sini, untuk temani aku….†katanya pula. Kemudian ia buka baju luarnya, untuk naik ke pembaringan. Keheranan Sin Tjie bertambah-tambah. Siapa itu yang dilukis puteri ini, yang dibuat ingat-ingatan? Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, ia geraki kepalanya, untuk memandang ke depan pembaringan, ke arah kursi, guna lihat gambar buatannya si puteri. Apabila ia telah lihat gambar itu, keheranannya memuncak, hingga ia terperanjat. Itulah gambarnya Wan Sin Tjie! Gambar itu sudah berpeta jelas walaupun katanya belum sempurna. Di situ ia terlukiskan sedang bersenyum riang-gembira. Inilah tidak disangka si anak muda, tanpa merasa, ia perdengarkan suara herannya: “Ah!....†Kuping si puteri terang luar biasa, ia dapat dengar suara sangat pelahan, tangannya mencabut tusuk konde, tanpa memutar tubuh lagi, tangannya itu dikasi melayang! Sin Tjie terkejut, menyusul suara angin menyambar, ia angkat tangannya, akan tanggapi tusuk konde itu. Menyusul serangannya itu, si puteri telah putar tubuhnya, maka sekarang kedua orang jadi saling mengawasi, dengan kesudahannya dua-duanya tergugu melongo! Sebab segera mereka saling mengenali. Sin Tjie kenali A Kioe, muridnya Thia Tjeng Tiok. Memangnya ia curigai nona itu, yang dilindungi oleh siewie, ia menduga kepada seorang tak sembarangan, ia hanya tidak sangka, si nona adalah satu puteri raja. Muka A Kioe pucat, lalu bersemu merah. “Wan Siangkong, mengapa kau ada di sini?†akhirnya dia tanya. Dengan cepat ia dapat tenteramkan diri. Sin Tjie lantas memberi hormat. “Siauwdjin bersalah,†ia mengakui. “Dengan lancang aku telah menerobos masuk ke dalam kamar kiongtjoe ini….†Mukanya A Kioe bersemu merah. “Silakan duduk,†ia mengundang. Puteri ini sadar yang baju luarnya telah dilolosi, dengan sebat ia sambar itu, untuk dipakai. Di pintu lantas terdengar ketokan pintu yang pelahan. “Thian-hee memanggil?†tanya satu dayang. “Tidak, aku lagi baca buku!†sahut sang puteri dengan cepat. “Pergilah kamu tidur, tidak usah kamu menunggui di sini.†“Baik, thianhee. Silakan thianhee beristirahat siang-siang.†A Kioe tidak jawab dayangnya itu, ia goyangi tangan kepada Sin Tjie, lantas ia tertawa dengan pelahan. Tapi, kapan ia menoleh ke arah gambar lukisan, mukanya menjadi merah, ia jengah sendirinya. Lekas-lekas ia geser kursi itu ke pinggir. Kemudian, keduanya kembali berdiri berhadapan dengan diam saja. “Apakah kau kenal orang-orang Ngo Tok Kauw?†akhirnya Sin Tjie tanya. A Kioe manggut. “Tjo King-kong bilang Lie Giam telah kirim banyak pembunuh ke kota raja, untuk mengacau,†jawabnya, “maka itu Tjo Kong-kong undang serombongan orang gagah masuk ke keraton, untuk melindungi Sri Baginda. Katanya kauwtjoe Ho Tiat Tjhioe dari Ngo Tok Kauw liehay sekali.†“Gurumu, Thia Loo-hootjoe, telah dilukai mereka, apakah thianhee ketahui?†tanya Sin Tjie. A Kioe kaget, hingga air mukanya berubah. “Apa?†tanyanya. “Kenapa mereka lukai soehoe? Apakah soehoe terluka parah?†“Tidak, tidak seberapa,†sahut Sin Tjie, yang terus berbangkit. “Sekarang sudah jauh malam, baik kita tidak bicara terlalu banyak. Kami tinggal di gang Tjeng-tiauw-tjoe. Apa bisa besok thianhee datang melongok gurumu itu?†“Baik!†A Kioe jawab. “Dengan menerjang bahaya kau telah datang menyambangi aku, aku berterima kasih…..†Ia bicara dengan pelahan sekali ketika ia menambahi: “Kau telah lihat bagaimana aku sudah lukiskan gambarmu, maka tentang hatiku, kau sudah ketahui jelas…..†“Inilah hebat,†pikir Sin Tjie. “Rupanya dia telah menyintai aku, kedatanganku sekarang membuat ia dapat kesan yang keliru. Ini perlu penjelasan…†Tapi ia belum sempat bicara, atau A Kioe sudah kata pula: “Sejak pertemuan kita di Shoa-tang-too, dimana kau rintangi Tie Hong Lioe melukai aku, aku senantiasa ingat saja budi-kebaikanmu….. Coba lihat lukisan ini mirip atau tidak?†Sin Tjie manggut. “Thianhee,†katanya, “aku datang kemari karena….†Tapi A Kioe segera memotong. “Jangan panggil aku thianhee,†katanya. “Aku pun tidak akan panggil siangkong lagi kepadamu. Pada mula kalinya kita bertemu, kau kenal aku sebagai A Kioe, maka itu untuk selamanya, aku tetap ada A Kioe. Aku dengar enci Tjeng panggil kau toako, aku pikir, umpama itu hari aku pun bisa panggil toako padamu, itu baharulah tepat. Di saat aku dilahirkan, menteri tukang tenung telah ramalkan aku bahwa apabila aku hidup tetap di dalam keraton, aku tidak bakal panjang usia, karena itu, Sri Baginda Ayah perkenankan aku pergi berkelana.†“Pantas kau belajar silat pada Thia Loo-hoetjoe dan ikut dia berkelana,†kata Sin Tjie. “selama berada di luar, pengetahuan dan pengalamanku jadi tambah banyak,†A Kioe bilang. “Aku tahu yang rakyat sangat menderita. Umpama kata aku pakai uang di istana akan tolong rakyat, masih tidak seberapa jumlahnya yang bisa ditolong.†Sin Tjie kagum mendengar puteri ini bersimpati kepada rakyat. “Karena itu wajiblah kau nasihati Sri Baginda dan minta Sri Baginda menjalankan pemerintahan secara bijaksana,†ia kata. “Asal rakyat dapat makan dan pakai cukup, tidak kelaparan dan kedinginan, pasti negara aman-sentausa.†Puteri itu menghela napas. “Jikalau Sri Baginda Ayah sudi dengar perkataan orang, itulah bagus,†katanya. “Sekarang Sri Baginda Ayah dikitari segala dorna, yang kata-katanya sangat dipercayai benar.†“Kau berpengetahuan luas melebihi Sri Baginda,†Sin Tjie puji. Tadinya pemuda ini pikir, baik atau tidak ia beber rahasia Thaykam Tjo Hoa Soen, akan tetapi sebelum ia ambil putusan, A Kioe sudah tanya dia: “Apakah Thia Loo-hoetjoe pernah omong tentang diriku?†“Tidak. Dia bilang dia pernah bersumpah, dari itu tak dapat dia omong tentang kau. Tadinya aku menyangka kau mempunyai dendaman yang hebat, yang mengenai kaum kang-ouw, tidak tahunya kau ada puteri raja.†A Kioe bersenyum. “Thia Soehoe ada pahlawan Sri Baginda Ayah, dia sangat setia kepada junjungannya,†ia beritahu. “Oh, jadinya dia pun ada satu sie-wie?†kata Sin Tjie dengan heran. A Kioe manggut. “Ketika dahulu Sri Baginda Ayah masih tinggal di istana pangeran Sin Ong-hoe, Thia Soehoe menjadi kepala sie-wie,†ia menerangkan lebih jauh. “Kemudian setelah Sri Baginda marhum wafat, Sri Baginda Ayah adalah yang menggantikan naik di tahta. Pada masa itu, semua orang di dalam istana ada orang-orang kepercayaan Goei Tiong Hian. Maka juga Thia Soehoe bilang, waktu itu, keadaan ada sangat berbahaya, sampai Sri Baginda Ayah dan sekalian pahlawannya, siang dan malam tak bisa tidur dengan tenang. Semua barang makanan diantar dari istana Sin Ong-hoe. Beberapa kali Goei Tiong Hian si dorna niat celakai Sri Baginda Ayah, saban-saban Thia Soehoe serta Tjo Kong-kong dan lainnya yang menggagalkannya, hingga bahaya dapat dihindarkan. Itulah sebabnya kenapa sampai sekarang ini Sri Baginda Ayah tetap percaya Tjo Kong-kong.†“Meski begitu, tak dapat dia dipercayai sepenuhnya!†Sin Tjie bilang. “Itu benar. Di antara Thia Soehoe dan Tjo Kong-kong tidak terdapat kecocokan.†“Jadi itulah sebabnya kenapa Thia Soehoe jadi keluar dari istana?†Sin Tjie tegaskan. “Bukan. Katanya karena urusan Wan Tjong Hoan.†Terperanjat juga Sin Tjie mendengar disebutkan nama ayahnya. “Bagaimana itu?†tanya dia. “Di waktu kejadian, aku masih belum terlahir,†jawab A Kioe, “baharu belakangan aku dengar hal itu dari soehoe. Soehoe bilang Wan Tjong Hoan ada panglima perang besar di Kwan-gwa yang menolak serangan bangsa asing, dia telah dirikan banyak sekali jasa, hingga bangsa asing jeri bukan main akan lihat dia. Adalah belakangan, bangsa Boan sudah gunai tipu-daya merenggangkan, cerita-burung disiarkan bahwa Wan Tjong Hoan berniat berontak. Sri Baginda Ayah percaya itu, tanpa pikir panjang lagi, Wan Tjong Hoan dihukum mati. Thia Soehoe tahu Wan Tayswee difitnah, dia pernah melindunginya, hingga karenanya, soehoe jadi bentrok sama Sri Baginda Ayah. Sri Baginda Ayah sedang panas hati, dia lupa, dia telah gaplok soehoe, maka saking gusar, soehoe lantas meninggalkan istana, dia sumpah untuk selamanya tak sudi menemui pula Sri Baginda Ayah.†Sin Tjie terharu berbareng bersukur, ia tahan keluarnya air mata, matanya menjadi merah. “Thia Soehoe bilang, Sri Baginda Ayah tak dapat membedakan orang setia dan dorna,†A Kioe melanjuti. “Soehoe kuatirkan, akhir-akhirnya negara bakal runtuh di tangan Sri Baginda Ayah. Beberapa tahun kemudian, Sri Baginda Ayah menyesal. Karena katanya tak dapat aku hidup di istana, aku lantas dikirim kepada soehoe, untuk terus ikuti soehoe. Aku tidak tahu, kenapa soehoe bentrok sama Ngo Tok Kauw.†Hampir saja Sin Tjie bilang: “Ngo Tok Kauw berniat bikin celaka ayahmu, sebab mereka tahu Thia Loo-hoetjoe setia kepada Sri Baginda, jadi Thia Loo-hoetjoe hendak dibinasakan.†Tiba-tiba ia tampak lilin, yang tinggal sepotong pendek, hingga ia ingat: “Keadaan ada begini mendesak, kenapa aku mesti bicara begini banyak sama dia ini?†Maka ia lantas berbangkit. “Masih banyak yang mesti dibicarakan, besok saja kita teruskan lebih jauh,†katanya. Mukanya A Kioe merah, ia tunduk, terus dia manggut. Hampir di waktu itu, pintu kamar diketok secara kesusu dan di luar kamar terdengar suaranya beberapa orang: “Thianhee, thianhee, lekas buka pintu!†A Kioe kaget. “Ada apa?†dia tanya. “Oh, thiangee tidak kurang suatu apa?†tanya satu dayang. “Aku lagi tidur. Ada apakah?†“Katanya ada orang lihat ada penjahat nyelusup masuk ke dalam keraton….†“Ngaco-belo! Penjahat apa sih?†“Thianhee,†kata satu suara lain, “ijinkan kami masuk untuk melihat-lihat….†Sin Tjie segera bisiki sang puteri: “Itulah Ho Tiat Tjhioe!†“Jikalau ada penjahat, cara bagaimana aku bisa tenang seperti ini?†kata A Kioe. “Lekas pergi, jangan bikin berisik di sini!†Orang-orang di luar itu lantas diam, mereka tahu sang puteri gusar. Dengan berindap-indap, Sin Tjie pergi ke jendela, niatnya untuk tolak jendela, buat nerobos pergi. Baharu saja ia pegang kain alingan jendela dan menyingkapnya sedikit, ia lihat cahaya api terang-terang, hingga ia tampak juga belasan thaykam, ialah orang-orang yang menyekal obor. “Jikalau aku nerobos, siapa bisa rintangi aku?†pikir pemuda ini. “Dengan aku berlalu dengan paksa, nama baiknya puteri bakal tercemar. Tidak dapat aku berbuat demikian….†Maka ia balik pada A Kioe, akan bisiki bahwa tak bisa ia berlalu dengan paksa atau sang puteri bakal dapat malu. Puteri itu kerutkan alis. “Jangan takut,†katanya kemudian. “Kau diam saja di sini untuk sekian lama lagi.†Sin Tjie terpaksa, ia menurut. Tidak terlalu lama, kembali ada suara mengetok pintu. “Siapa?†tanya A Kioe. Kali ini datang penyahutan Thaykam Tjo Hoa Soen. “Sri Baginda dengar ada orang jahat nyelusup ke istana, Sri Baginda berkuatir, dari itu budak diperintah menanyakan keselamatan thianhee,†sahut thaykam itu, yang membahasakan diri “budakâ€. “Tidak berani aku membikin kong-kong banyak cape,†kata A Kioe. “Silakan kong-kong kembali, tolong sampaikan bahwa aku tidak kurang suatu apa.†“Thianhee ada orang penting, tak dapat thianhee menjadi kaget,†kata pula orang kebiri itu. “Baik ijinkanlah budak masuk untuk memeriksa kamar.†A Kioe mendongkol kepada orang kebiri itu. Ia percaya, waktu Sin Tjie datang, mesti ada orang lihat padanya, kalau tidak, thaykam itu tidak nanti berani demikian mendesak. Dugaan ini benar separuhnya. Memang Tjo Hoa Soen dapat kisikan dari Ho Tiat Tjhioe bahwa ada orang nyelusup masuk ke keraton puteri, Tiang Peng Kiongtjoe. Sebab lainnya adalah Tjo Hoa Soen tahu puteri pandai silat, dia bercuriga, dia curiga puteri ini punya hubungan sama orang kang-ouw sedang dia berniat celakai baginda Tjong Tjeng. Maka ingin dia mendapat kepastian. Dia berpengaruh, dari itu, dia berani memaksa. Puteri pun memang tak dapat terlalu rintangi orang kebiri itu. Maka akhirnya, setelah berpikir, Tiang Peng Kiongtjoe gerak-geraki kedua tangannya kepada Sin Tjie, untuk beri tanda agar si anak muda naik ke atas pembaringannya, untuk sesapkan diri di bawah selimut. Dalam keadaan seperti itu, Sin Tjie sangat terpaksa, maka ia pergi ke pembaringan, setelah lolosi sepatunya, ia naik, terus ia tutupi diri dengan selimut sulam, hingga ia dapat cium bau sangat harum. Ia kerebongi tubuh, dari ujung kaki sampai di kepala. Kembali terdengar suaranya Tjo Hoa Soen, yang mendesak minta dibukai pintu. “Baiklah,†kata Tiang Peng Kiongtjoe akhirnya, “kau boleh periksa!†Puteri ini loloskan baju luarnya, ia bertindak ke pintu, untuk angkat palangan, setelah mana, tanpa buka pintu lagi, ia lompat naik ke atas pembaringan, untuk segera kerebongi diri sebatas leher. Hatinya Sin Tjie memukul ketika A Kioe rebahkan diri berdampingan dengan dia, pakaian mereka nempel satu dengan lain, sedang hidungnya dapat cium bau lebih wangi lagi. Tapi ia berdiam terus, tidak berani dia berkutik, apalagi setelah ia merasa Tjo Hoa Soen dan Ho Tiat Tjhioe sudah masuk ke dalam kamar. Ia merasakan bagaimana tubuhnya sang puteri sedikit bergemetar. Ting Peng Kiongtjoe berpura-pura masih lungu-lungu, ia pun berlagak menguap, tetapi toh ia tertawa. “Tjo Kong-kong, kau baik sekali. Terima kasih!†katanya. Tjo Hoa Soen memandang ke sekelilingnya, ia tak lihat ada orang lain dalam kamar itu. Ho Tiat Tjhioe turut memeriksa, ia berpura-pura bikin jatuh saputangannya, untuk pungut itu, ia membungkuk, dengan begitu ia jadi bisa melongok ke kolong pembaringan. “Aku pun telah periksa kolong pembaringan, aku tidak sembunyikan orang jahat!†tertawa A Kioe. “Harap thianhee ketahui, Tjo Kongkong kuatir thianhee kaget,†kata ketua Ngo Tok Kauw itu. Ketika kauwtjoe ini melihat ke kursi, dimana ada gambar Sin Tjie, ia kaget sekali, sukur ia masih bisa tetapkan hati, maka ia lantas berpaling. Tjo Thaykam kedipi mata, ia kata: “Mari kita periksa lain-lain bagian lagi.†Tapi kepada empat dayang, ia pesan: “Kamu berempat temani thianhee di sini, jangan kamu tinggal pergi. Umpama kata thianhee titahkan kamu, masih kamu tidak boleh malas dan mencuri tempo dan keluar. Mengerti?†“Kami akan dengar titah kongkong,†jawab empat dayang itu. Tjo Hoa Soen beramai minta perkenan dari puteri, lantas mereka keluar dari kamar. A Kioe pun segera perintah turunkan kelambu. “Aku hendak tidur,†katanya. Dua dayang kasi turun kelambu dengan hati-hati, yang satu tambahkan kayu cendana, setelah buang ujung lilin, mereka pergi ke pojok tembok untuk numprah sambil menyender. Lega hatinya A Kioe, akan tetapi ia bergirang berbareng malu. Di luar sangkaannya, di luar keinginannya, sekarang ia rebah berdampingan sama orang yang ia buat kenangan setiap saat. Pikirannya jadi terbenam, tidak berani ia buka suara, tidak berani ia geraki tubuhnya. Ia seperti sedang mimpi. “Bagaimana?†Sin Tjie berbisik, selang sekian lama. “Mesti dicari daya untuk aku keluar dari sini….†“Oh….†Si nona bersuara, dengan pelahan sekali. Ia bergerak sedikit, lengan dan kaki digeser. Tiba-tiba saja ia terperanjat. Ia telah bentur barang dingin. Kapan ia meraba, ia kena pegang pedang, yang diletaki nyelang di antara mereka berdua. “Apa ini?†ia tanya. “Aku nanti terangi, tapi kau jangan kecil hati.†“Aku masuk kemari di luar keinginanku. Aku menyesal telah mesti rebah di sini bersama-sama kau. Tapi ini karena sangat terpaksa. Aku bukan seorang ceriwis dan kurang ajar.†“Aku tidak persalahkan kau,†A Kioe bilang. “Singkirkan pedangmu itu, nanti aku kena dilukai.†“Aku kenal adat sopan-santun, tetapi tetap aku ada satu anak muda, aku sekarang rebah berdampingan sama kau, satu gadis rupawan dan cantik sekali, aku kuatir nanti tak dapat atasi diriku….†A Kioe tertawa. “Jadi kau palangkan pedangmu? Ah, tolol, toako tolol!....†Dua-dua mereka kuatir suara mereka nanti terdengar empat dayang, selain mereka bicara dengan pelahan, kepala mereka pun digeser dekat sekali satu dengan lain. Maka Sin Tjie dapat cium harumnya hawa segar dari mulutnya si nona, hingga hatinya goncang. Sebisa-bisa ia tenangkan diri. “Adik Tjeng sangat menyintai kau, jangan kau tersesat!†demikian ia peringati dirinya sendiri. “Seng Ongya itu siapa?†kemudian ia tanya. Ingin ia simpangkan perhatian. “Dia adalah pamanku,†jawab A Kioe. “Tepat!†kata Sin Tjie pula. “Mereka hendak tunjang dia menjadi kaisar, kau tahu tidak?†A Kioe terkejut. “Apa? Siapa mereka?†“Tjo Hoa Soen telah bikin perhubungan rahasia sama Kioe Ongya dari Boantjioe, dia niat pinjam tentera Boan untuk tindas pemberontakan Giam Ong.†“Foei! Apakah artinya tentara Boan? Negara kita toh lebih kuat!†“Benar! Sri Baginda tidak setujui usul pinjam tentara asing itu. Karena ini, Tjo Hoa Soen beramai niat tunjang Seng Ongya, untuk diangkat jadi kaisar pengganti….†“Ini memang mungkin. Seng Ongya ada bangsa tolol, pasti dia suka pinjam tentara asing untuk tindas pemberontak.†“Yang aku kuatirkan mereka nanti bekerja malam ini….†A Kioe kembali terkejut. “Ah, kenapa kau tidak omong dari siang-siang? Kita mesti lekas tolongi Sri Baginda Ayah!†Sin Tjie rapatkan kedua matanya, ia ragu-ragu. Kaisar Tjong Tjeng justeru ada musuh besarnya, yang sudah hukum mati ayahnya! Selama belasan tahun, tidak ada satu hari dilewatkan tanpa ia tak ingat permusuhan itu, adalah keinginannya akan dengan tangan sendiri membunuh musuhnya. Sekarang timbul ini suasana genting. Sebenarnya ini ada ketika yang bagus sekali. Bukankah, tanpa berbuat sesuatu apa, ia bisa saksikan musuh besarnya itu terbunuh mati? Tidakkah itu akan memuaskan hatinya? Tapi di sebelah itu, jikalau Tjo Hoa Soen berhasil, dan dia pinjam tentara Boan, untuk tumpas gerakannya Giam Ong, tidakkah itu hebat? Bagaimana kalau Giam Ong gagal? Bagaimana kalau tentara Boan menduduki seluruh Tionggoan? Tidakkah negara menjadi musna dan cucu Oey Tee semua menjadi budak? A Kioe tidak tahu apa yang orang pikirkan, ia menyenggol dengan pundaknya pada pemuda itu. “Kau pikirkan apa?†tanya dia. “Lekas bantui aku tolongi Sri Baginda Ayah!†Sin Tjie berdiam, masih ia bersangsi. “Asal kau tidak melupakan aku, aku tetap ada kepunyaan kau,†A Kioe bilang. Nona bangsawan ini menduga keliru. “Di belakang hari masih ada saat-saatnya untuk kita berkumpul seperti ini…†Lagi-lagi Sin Tjie terkejut. “Ah, kiranya dia menyangka aku tak mau bangun karena terpengaruh oleh keadaan seperti ini….†Pikirnya. “Baiklah, biar aku lihat keadaan….†Maka ia bisiki puteri raja itu: “Pergi kau totok semua dayang itu, habis kau tutupi mereka dengan selimut supaya mereka tak dapat melihat, supaya kita bisa keluar dari sini.†“Aku tidak mengerti tiam-hiat-hoat. Di bagian mana aku mesti totok mereka?†A Kioe tanya. Menyesal Sin Tjie. Ia tak tahu, puteri ini tidak mengerti tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Terpaksa ia mesti mengajarinya dahulu. Maka terpaksa ia cekal tangannya puteri itu, untuk dibawa ke dadanya sendiri, ke ujungnya tulang iga yang ke sebelas. Ia telah pegang tangan yang halus dan lemas. “Ini dia yang dinamai jalan darah tjiang-boen-hiat,†katanya. “Dengan jari tangan, kau totok ujung tulang mereka, mereka bakal lantas tidak mampu bergerak. Jangan totok terlalu keras, nanti mereka kehilangan jiwa mereka….†A Kioe ingat letak anggauta yang ditunjuk itu. Untuk tolongi ayahnya, ia tidak bisa berpikir banyak lagi. Ia lantas turun dari pembaringan. Melihat puteri itu bangun, keempat dayang itu berbangkit, untuk tanya: “Thianhee perlu apa?†“Kemari kau!†ia panggil satu dayang sambil ia pergi ke samping pembaringan, hingga ketiga dayang lainnya tidak lihat ia berdua dayang yang pertama itu. Menuruti ajaran Sin Tjie, A Kioe totok dayangnya ini. Karena ia mengerti ilmu silat, ia bisa menotok dengan baik. Ketika dayang itu sudah rubuh dengan tidak bersuara, ia panggil yang kedua dan ketiga, untuk ditotok semua. Ketika ia totok yang keempat, kenanya kurang tepat, dayang itu menjerit, maka lekas-lekas ia bekap mulutnya, untuk ditotok buat kedua kalinya, baharu orang pingsan. Sin Tjie sudah pakai sepatunya dan telah turun dari pembaringan ketika A Kioe telah selesai dengan tugasnya, sama-sama mereka hampirkan jendela, akan singkap sero. Begitu lekas dapati di luar tidak ada orang, keduanya menolak jendela, untuk lompat keluar. “Mari ikut aku!†A Kioe mengajak. Puteri ini ajak kawannya ke kamar Kaisar Tjong Tjeng, ayahandanya. Selagi mendekati kamar, dari jauh sudah kelihatan bayangan dari banyak orang, jumlah mereka itu mungkin beberapa ratus jiwa. “Kawanan dorna sudah kurung Sri Baginda Ayah!†kata A Kioe. “Mari lekas!†Keduanya berlari-lari. Baharu kira belasan tumbak, kedua orang ini berpapasan sama satu thaykam. Orang kebiri itu kaget kapan ia kenali Tiang Peng Kiongtjoe, tetapi karena puteri ini cuma bersama satu pengiring, ia tidak buat kuatir. “Thianhee masih belum tidur?†tanyanya sambil menjura. “Minggir!†membentak Tiang Peng Kiongtjoe. Bersama-sama Sin Tjie, puteri ini telah melihat nyata, di depan dan belakang kamar ayahnya telah berkumpul thaykam-thaykam dan siewie-siewie, yang semua memegang senjata, suatu tanda keadaan sangat mengancam. Dengan satu tolakan tangan yang keras, A Kioe bikin thaykam di depannya itu terpelanting, lantas ia maju terus. Di muka pintu keraton menjaga beberapa siewie, akan tetapi mereka ini kena ditolak minggir oleh Sin Tjie. Semua orang kebiri tidak berani turun tangan apabila mereka tampak tuan puteri itu. Satu diantaranya sebaliknya lari kepada Tjo Thaykam untuk melaporkan hal kedatangannya puteri itu. Tjo Hoa Soen ada satu dorna yang cerdik tetapi licik, nyalinya kurang cukup besar, walaupun sekarang ia yang kepalai gerakan menjunjung Seng Ong, ia tidak berani muncul sendiri, ia cuma berikan titah-titah saja. Kapan ia dengar laporan, ia tidak kuatir, Ia anggap, Tiang Peng Kiongtjoe sendirian saja, apa puteri itu bisa bikin. “Tetap perkuat penjagaan!†ia ulangi titahnya. A Kioe ajak Sin Tjie maju terus, sampai ke kamar dimana biasanya kaisar Tjong Tjeng memeriksa surat-surat negara. Di pintu kamar terdapat belasan thaykam dan siewie, di situpun terdapat tujuh atau delapan mayat yang telah bermandikan darah. Rupa-rupanya korban-korban ini ada mereka yang setia kepada raja. Semua siewie dan thaykam melongo kapan mereka lihat tuan puteri. A Kioe tidak perdulikan mereka itu, ia tarik tangannya Sin Tjie, untuk diajak menerobos masuk ke dalam kantor raja itu. “Tahan!†berseru satu siewie sambil ia maju memegat, goloknya diangkat naik untuk dipakai membacok pemuda kita. Sin Tjie berkelit sambil tangannya terus menyambar dada, maka siewie itu terpelanting jatuh., Begitu berada di dalam kantor, Sin Tjie lihat api lilin terang sekali, di situ berdiri belasan orang. “Hoe-hong!†seru A Kioe sambil ia lari untuk tubruk satu orang dengan jubah kuning. (Hoe-hong adalah panggilan untuk ayah yang menjadi raja.) Sin Tjie awasi orang itu, muka siapa putih bersih dan perok, akan tetapi dalam keadaan kaget dan gusar. “Inilah dia kaisar Tjong Tjeng musuh ayahku….†pikir pemuda ini. Belum sampai Tiang Peng Kiongtjoe dapat tubruk ayahnya, dua orang yang tubuhnya besar menghalang di depan raja, golok mereka dibalingkan. Kaisar lihat puterinya itu. “Perlu apa kau datang kemari?†tegurnya. “Lekas pergi!†Dekat kaisar berdiri seorang umur kurang-lebih empat-puluh tahun, tubuhnya gemuk terokmok, mukanya penuh berewok. Dia kata dengan keren: “Pemberontak sudah pukul pecah Hoen-tjioe dan Thaygoan, segera juga mereka bakal sampai ke kota raja ini! Kau tidak hendak minta bala-bantuan bangsa asing, apa maksudmu?†Kata-kata kasar itu ditujukan kepada kaisar. “Siok-hoe!†seru A Kioe kepada si terokmok itu, yang sikapnya keren. “Kau berani berlaku begini kurang ajar terhadap Junjunganmu?†Mendengar si nona, Sin Tjie tahu, dia itu adalah Pangeran Seng Ong. Pangeran ini lantas tertawa berkakakan. “Kurang ajar?†dia mengulangi. “Dia hendak bikin ludas negara indah warisan leluhur kita, maka kami, setiap anggauta keluarga Tjoe, tidak dapat antapkan dia!†Kata-kata jumawa ini dibarengi sama terhunusnya pedang, yang cahayanya berkilauan, hingga semua orang di kiri-kanannya terkejut. Kemudian, dengan roman sangat bengis, pangeran ini bentak raja: “Lekas bilang, bagaimana putusanmu!†Kaisar menghela napas. “Apa Tim kurang bijaksana hingga negara jadi kacau,†kata dia, “sampai tentara pemberontak hendak menuju ke kota raja buat bikin terbalik pemerintah, akan tetapi meminjam tentara Boan juga bakal sama membahayakan untuk negara…. Jikalau Tim mesti mati untuk rakyat, itu tak usah dibuat menyesal, tetapi yang harus disesalkan adalah kalau nanti negara indah dari leluhur kita ini mesti diserahkan kepada lain bangsa….†Dengan acungi pedangnya, yang panjang, Seng Ong maju satu tindak. “Jika begitu, lekas kau keluarkan maklumat untuk undurkan diri, untuk serahkan kedudukanmu kepada pengganti yang bijaksana!†dia berseru dengan sikapnya sangat mengancam. Tubuhnya raja bergemetar. “Apakah kau hendak bunuh rajamu?†dia tanya. Seng Ong menoleh ke belakangnya, ia kedipi mata. Di belakang pangeran ini ada satu opsir dari Kim-ie Wie-koen, pasukan istimewa dari raja, dia ini cabut goloknya yang panjang, dengan suara nyaring, dia bilang: “Jikalau raja sudah gelap pikiran dan boe-too, setiap orang dapat membinasakan dia!†Artinya “boe-too†adalah “tidak adil†(tidak bijaksana). Sin Tjie awasi opsir itu, karena ia ingat suara orang itu. Segera juga ia kenali, orang itu ada An Kiam Tjeng, suami An Toa-nio, ayah dari An Siauw Hoei. A Kioe jadi sangat gusar, hingga ia menjerit dengan bentakannya. Ia sembat sebuah kursi, ia lompat ke depan ayahnya, untuk menghalangi opsir itu. Dan ketika An Kiam Tjeng toh terusi membacok raja, ia menangkis, terus-terusan sampai tiga kali beruntun. Sampai di situ, lain-lainnya siewie lantas maju, untuk turut kepung raja atau tuan puteri itu. Dari tadi Sin Tjie masih diam saja, akan tetapi setelah tampak A Kioe keteter, ia tidak bisa berdiri terus sebagai penonton, maka ia lompat maju, untuk ceburkan diri dalam pertempuran itu. Begitu lekas ia geraki tangan kirinya, dua siewie kena dibikin terpelanting, hingga ia bisa dekati A Kioe, untuk serahkan pedang Kim Tjoa Kiam kepada puteri itu, kemudian ia sendiri maju ke samping kaisar, akan lindungi raja ini yang menjadi musuhnya…. Belasan siewie menerjang raja, sesuatu dari mereka lantas dihajar ini anak muda, yang gunai kedua tangan dan kakinya, hingga bukan saja mereka tak dapat maju, mereka sendiri yang rubuh dengan urat putus atau tulang-tulang patah! A Kioe sendiri, dengan pedang mustika Ular Emas di tangan, hingga ia tidak membutuhkan lagi kursinya, sudah lantas unjuk kegagahannya. Baharu saja beberapa jurus, ia sudah tabas kutung golok besar dan panjang dari An Kiam Tjeng. Seng Ong terperanjat. Tidak ia sangka, kaisar bisa dapat bantuan tangguh di saat yang sangat terjepit itu. “Orang-orang di luar, semua maju!†ia lantas berteriak-teriak. Teriakan itu disambut dengan munculnya Ho Tiat Tjhioe, Ho Ang Yo dan Lu Djie Sianseng berikut empat jago tua anggauta Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay. Tapi mereka ini tercengang kapan mereka saksikan kaisar Tjong Tjeng dilindungi oelh Sin Tjie, si anak muda yang liehay, yang sedang labrak beberapa sie-wie yang masih bandel. Akhir-akhirnya Oen Beng Tat mendelik dengan matanya mengeluarkan sinar tajam bagaikan api menyala, dia terus menjerit: “Lebih dahulu bereskanlah binatang ini!†Lalu, bersama tiga saudaranya, dia lompat maju. A Kioe sendiri sudah lantas lompat ke samping ayahnya, dengan bersenjatakan pedang mustika, ia bisa pukul mundur setiap penyerang yang maju merangsek, sampai pahlawan-pahlawannya Seng Ong jeri juga. Karena ini ia dapat kesempatan akan tampak Sin Tjie sedang dikerubuti enam sie-wie, hingga ia merasa, dalam keadaan seperti itu, pemuda itu pasti sukar bantu ia. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Selagi tuan puteri ini pasang mata sambil berpikir keras, mendadak ia lihat si orang perempuan tua, yang romannya sangat jelek, yang dandan sebagai pengemis, mata siapa bersinar sangat tajam, lompat ke arahanya sambil angkat kedua tangannya, untuk perlihatkan sepuluh jarinya yang tajam bagaikan kuku garuda. Si jelek dan begis ini berseru dengan suaranya yang menyeramkan: “Lekas kembalikan Kim Tjoa Kiam padaku!†Pada waktu itu, Sin Tjie sudah ambil keputusan. Sekarang ia hendak tolongi kaisar Tjong Tjeng supaya gagallah usaha dorna-dorna mengundang masuk angkatan perang Boantjioe, supaya kerajaan Beng dapat dihindarkan dari kemusnaan. Ia pikir, baik ia tunggu sampai tentaranya Giam Ong masuk ke kota raja, baharu ia wujudkan pembalasan sakit hatinya. Jadi, urusan negara dulu, baharu kepentingan pribadi. Sementara itu, ia sudah lantas dikepung oleh empat Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, siapa sudah liehay tetapi sekarang dibantu pula oleh Lu Djie Sianseng dan Ho Tiat Tjhioe, hingga tak sempat ia membantu A Kioe siapa, dengan rambut riap-riapan, lagi putar pedangnya secara hebat akan layani penyerang-penyerangnya. Sebab anggauta-anggauta Kim-ie Wie-koen desak si nona dari tiga jurusan. Dalam saat segenting itu, tiba-tiba saja pemuda ini dapat satu pikiran. Sambil berkelit disusl sama lompatan, ia loloskan diri dari hoentjwee yang liehay dari Lu Djie Sianseng dan sapuan berbahaya dari tongkat panjang Oen Beng San, lantas ia melejit ke depan Ho Tiat Tjhioe. “Menyesal; kami terpaksa mengerubuti!†kata kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw sambil tertawa seraya dengan gaetannya ia sambuti si anak muda. Sin Tjie berkelit. “Apakah kau sudah tidak sayangi lagi jiwanya beberapa puluh anggautamu?†tegur Sin Tjie. Tercengang Ho Tiat Tjhioe kapan ia ingat orang-orangnya yang lagi terancam bahaya itu. Justru itu, Sin Tjie gunai ketikanya untuk loncat keluar dari kepungan. Oen-sie Soe Loo, empat ketua Keluarga Oen, tidak mau lepaskan musuh lawas ini, mereka maju untuk mengepung pula. Oen Beng Tat dengan siang-kek, sepasang tumbak cagaknya, serang bebokongnya Sin Tjie sebagai sasaran. Tapi ia ini egos tubuhnya. “Kau gantikan aku menahan mereka!†tiba-tiba saja Sin Tjie kata pada Ho Tiat Tjhioe. “Apa?†tanya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw. Si anak muda tidak lantas menjawab, ia kelit dulu dari serangannya Oen-sie Soe Loo dan Lu Djie Sianseng. “Aku nanti ajak kau pergi lihat adik Tjeng she Hee!†kata dia kemudian. Memang sejak melihat Tjeng Tjeng kauwtjoe ini sudah runtuh hatinya, maka mendengar katanya Sin Tjie, hatinya sekarang memukul keras. Hampir tidak berpikir lagi, ia angkat tangan kirinya, akan dengan itu gaet Oen Beng Go, orang yang berada paling dekat dengannya. Ngo yaya tidak pernah sangka kawan ini bakal berkhianat, dia kaget bukan main melihat datangnya serangan secara demikian tiba-tiba, tetapi ia masih bisa geraki cambuk kulitnya, untuk menangkis gaetan. Akan tetapi Ho Tiat Tjhioe gesit dan telengas, setelah gagal bokongannya itu, ia mendesak dengan hebat sekali, sama sekali ia tidak hendak memberi ketika kepada Tjio Liang Pay itu, tidak perduli orang liehay. Baharu tiga desakan berulang-ulang, ujung gaetannya telah mampir di bahu kiri dari Beng Go, hingga bahu itu tergurat. Oleh karena gaetan itu ada racunnya, dalam sesaat itu, mukanya Ngo yaya menjadi pucat, bahunya membengkak dengan cepat, hingga di lain saat, tubuhnya menjadi limbung, tangan kanannya dipakai mengucak-ucak kedua matanya. “Aku tak dapat melihat apa-apa! Aku…. Aku terkena racun!....†Ia berseru. Oen-sie Sam Loo bingung melihat saudara muda itu, dengan tidak perdulikan lagi kepada musuh, mereka lompat menghampirkan, untuk menolongi. Lebih dahulu mereka pepayang saudara itu. Sin Tjie menjadi senggang karena berkurangnya desakan tiga jago Oen itu, di lain pihak, hatinya bercekat kapan ia ingat bagaimana telengasnya kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu. Tapi juga ia tidak punya kesempatan akan berlengah, sebab tempo ia mencuri lihat kepada A Kioe, ia dapatkan puteri itu sedang terdesak hebat oleh Ho Ang Yo dan An Kiam Tjeng, yang berlompatan gesit di kiri dan kanannya. |
#13 | ![]() |
ovet
2 Desember 2008 jam 1:29pm
 
Terimaksih Dino, salut unutk anda yang telah posting ini di tengah-tengah kesibukan, maju terus Dino jangan terpengaruh sama komentar yang membuat seolah-olah anda tidak bernilai, terus terang saya tidak membaca komentar yang isinya tentang kelanjuatan bab 43, saya selalu menunggu posting anda. |
#14 | ![]() |
Atim
8 Juli 2013 jam 12:01pm
 
Good ..... |
#15 | ![]() |
Atim
8 Juli 2013 jam 12:05pm
 
Good ..... |
#16 | ![]() |
Atim
8 Juli 2013 jam 12:05pm
 
Good ..... |
#17 | ![]() |
Atim
8 Juli 2013 jam 12:33pm
 
Good..... |
#18 | ![]() |
juliannst
13 November 2014 jam 9:54am
 
seruuu... |
#19 | ![]() |
Aganwidodo
31 Oktober 2022 jam 10:09pm
 
ijinkan cayhe baca ulang, cianpwe, soja... |