Utun Inji: Aliran Wangsit Karuhun

HomeForumKomentar Cerita PendekUtun Inji: Aliran Wangsit Karuhun

Komentar untuk Utun Inji: Aliran Wangsit Karuhun


#1
Nurslamet 14 Maret 2021 jam 1:39pm  

Cerita ini telah lama saya buat dan tidak saya publikasikan karena belum ada platform yang cocok. Selain itu ini adalah awal saya belajar menulis 'carita pondok'. Jadi kalimatnya masih amburadul.

Setelah sekian lama disimpan dan tidak diunggah di media manapun saya akan menghapusnya. Namun dirasa rasa sayang sekali kalau dihapus begitu saja. Karena dibuang sayang, saya unggah saja di sini. Semoga ada para Suhu yang bisa memahami bahasa yang saya tulis.

#2
Nurslamet 14 Maret 2021 jam 6:38pm  

Utun Inji: Aliran Wangsit Karuhun

Cerita ini hanya fiktif. Jika ada nama, tempat atau peristiwa yang sama itu hanya kebetulan. Bila ada Suhu yang akan menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Indonesia, silakan. Maaf, saya masih belajar. Jika ada kalimat yang kurang tepat, tidak sesuai dengan kaidah bahasa, saya mohon maaf.

******

Ringkasan cerita

Utun Inji adalah seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang kepercayaan yang ada di Tatar Sunda. Penelitian Utun membawanya ke desa terpencil. Ada aliran kepercayaan yang dipimpin oleh ki Darta atau ki Sancang. Ki Darta memberi nama alirannya Wangsit Karuhun.

Sebelum datang ke sana, Utun Inji sering bermimpi didatangi seorang wanita. Dari wanita itulah Utun mendapat informasi bahwa jika ingin mengetahui siapa dirinya Utun harus mencarinya melalui ajaran kepercayaan yang ada di Tatar Sunda.

Mulanya Utun tidak setuju karena berita yang berkembang menyatakan bahwa aliran kepercayaan yang ada masuk ke aliran sesat yang bertolak belakang dengan akidah. Tapi semakin lama Utun semakin penasaran siapa dirinya.

Utun Inji sejak ingat sudah berada di panti asuhan. Dari mulai sekolah sampai kuliah dia belum tahu wajah kedua orangtuanya. Pengasuh yang ada di panti asuhan juga tidak bisa menjelaskan siapa orang tuanya.

Terdorong oleh rasa penasaran akhirnya Utun memutuskan untuk datang ke desa Cijulang. Di desa itu Utun bertemu dengan pemimpin aliran Wangsit Karuhun. Dari ki Darta atau ki Sancang Utun menemukan penjelasan yang mengejutkan dirinya...

*****

"Anakku, kehidupan di dunia ini tidak lama. Ada tempat yang akan didiami. Tempat yang nyata. Tempat kembali. Desa yang kekal. Dunia adalah tempat persediaan. Banyaklah menanam kebaikan agar kelak bisa menuai kebahagiaan."

Saya mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan wanita itu. Meski wajahnya terlihat masih remaja tapi saya merasa ada ikatan batin yang kuat antara saya dan dia. Secara alami saya menyadari bahwa ini hanyalah mimpi. Iya. Saya berada di dunia mimpi. Saya sedang bermimpi. Tapi kenapa wanita itu sangat sering datang dalam mimpi saya dan selalu menyebut saya anak.

"Dunia ini penuh dengan tipu daya. Berhati-hatilah agar tidak terpedaya. Teliti dalam mencermati agar tidak salah dalam menilai dan mengambil kesimpulan. Hati-hati sebelum melangkah. Jangan bicara jika Ananda tidak tahu kebenarannya karena itu akan mengundang bencana."

"Maaf, sebenarnya Anda ini siapa?" tanya saya dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya pertanyaan itu sering dilontarkan kepada wanita itu.

"Anakku kelak kamu akan menemukan jawabannya. Sekarang belum saatnya karena bulan masih terang. Hanjuang masih mekar. Nanti kalau bulan tertutup awan dan hanjuang berguguran daunnya kamu akan menemukan jawabannya."

Jawaban yang sama. Penuh seloka. Bertabir kiasan. Entah apa artinya. Otak saya tidak dapat mencapai arti kalimat itu.

“Anakku tidak semua yang terlihat merah itu merah. Periksalah dirimu sendiri. Jangan-jangan Ananda menggunakan kacamata merah sampai putih terlihat merah. Segera lepaskan kacamata itu agar ananda bisa melihat yang sebenarnya. Kosongkan hati dari urusan dunia. Jika hati sudah bersih dari duniawi maka Tuhan akan mengisinya dengan ilmu sejati. Ilmu kehidupan. Hanya ada dua, pencipta dan ciptaan. Hidup akan bebas dari segala kepentingan kecuali selalu bersamaNya."

“Pergilah ke desa tujuan. Berangkat sekarang. Sudah waktunya keluar dari persembunyian. Temukan jati diri. Tapi setelah ketemu jangan lupa diri. Ingatlah dari mana ananda berasal dan apa tujuan ananda diciptakan. Orang zaman sekarang sudah melupakan adat dan tradisi leluhur. Mereka hanya bisa menghakimi dan menyalahkan tanpa tahu apa arti makna tersembunyi dibaliknya. Itulah akibat hanya melihat luarnya saja tanpa menyingkap dalamnya. Mereka belajar hanya setengah. Bagai bunga mekar tak jadi. Belut bukan, ular bukan. Mereka lebih berbahaya daripada orang bodoh. Orang seperti itu bila menjadi nahkoda jarang yang bisa membawa penumpangnya sampai tujuan. Kebanyakan tersesat dan menyesatkan. Ananda jangan mengikuti jejak mereka. Kukuhlah pada keyakinan. Teguhlah pada pendirian. Ingat selalu pada jati diri maka hidup tidak akan tersesat."

"Den, Aden!" Suara paman Karta dari luar membuyarkan mimpiku. Aku menggeliat dan perlahan membuka mata. Cahaya matahari yang masuk melalui lubang bilik bambu menyentuh mataku. Silau. Saya menutupi wajah dengan telapak tangan. Kesadaranku belum pulih. Sebagian masih di dunia mimpi.

"Den, bangun sudah siang!" Bunyi ketukan di pintu yang terbuat dari anyaman bambu.

"Iya, paman...." kataku sambil menyingkap selimut kemudian bangun. Duduk sebentar di tepi tempat tidur yang juga terbuat dari bambu. Kesadaranku telah pulih sepenuhnya. Aku bangkit dan berjalan membuka pintu. Paman Karta berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat pucat.

"Ada apa, paman?" tanyaku sambil menatap wajah paman Karta yang terlihat gelisah.

"Si Lilis, Den ...."

"Emang Lilis kenapa?" tanyaku sambil tetap menatap paman Karta yang terlihat semakin gelisah seperti ada masalah berat yang membebani hatinya.

"Dibawa si Usep ke air terjun Cikidang ...."

"Mau apa Usep membawa Lilis ke air terjun Cikidang?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

“Katanya diperintah gurunya untuk melakukan ritual 'Pemurnian Jiwa'. Tapi paman khawatir karena paman dengar perkumpulan itu dikabarkan masuk ke aliran sesat,” kata paman Karta.

Sesaat aku menghela nafas. Sejak datang ke desa Cijulang, aku sering mendapat kabar bahwa di desa ini ada kelompok yang meresahkan warga. Kelompok mistik yang masih memegang teguh kepercayaan nenek moyang. Mereka sering mengadakan ritual di air terjun Cikidang.

Kampung Cijulang merupakan salah satu desa yang masih terisolir dari dunia luar. Di desa ini tidak ada listrik. Jalan menuju desa ini harus melalui hutan. Tebing terjal dan curam. Di kiri dan kanan jalan terdapat jurang yang dalam. Masyarakat dari luar desa butuh perjuangan ekstra untuk melewatinya. Masuk desa disambut jalan setapak. Tanah merahnya keras dan licin. Musim kemarau saja tetap licin karena terkena air embun, apalagi musim penghujan. Bebatuan besar teronggok dimana-mana. Pepohonan yang pucuknya hampir menyentuh awan berderet rapat. Daunnya yang rimbun menaungi jalan. Meski tengah hari keadaan tetap sejuk. Sinar matahari tidak bisa menembus lebatnya dedaunan. Jalan setapak tidak pernah terkena sinar matahari. Hal itu yang membuat jalan tetap licin. Kehidupan masyarakat desa Cijulang masih tradisional. Jauh dari sifat modern. Masih kental dengan budaya mistik. Peralatan modern di desa ini tidak bisa berfungsi. Ponsel tidak ada sinyal. Peralatan listrik tidak dapat digunakan. Sepeda motor tidak bisa masuk. Jangankan menggunakan sepeda motor, berjalan kaki saja sulit. Jalannya licin. Masyarakat yang tinggal di kota atau di desa modern tidak akan kerasan tinggal di desa tersebut. Bagaimana mau betah kalau tidak ada listrik, tidak ada sinyal seluler, dan semua serba tradisional. Kehidupan di desa ini seperti kembali ke zaman ratusan tahun yang lalu. Zaman kerajaan.

"Kapan Lilis dibawanya?" tanyaku.

"Barusan, Den. Tolong paman, Den. Paman khawatir jika Lilis diperlakukan tidak senonoh oleh Usep ...."

Aku menghela nafas. Kecemasan paman Karta bisa dimaklumi karena aku juga telah mendengar kabar bahwa perkumpulan Usep sering mengadakan ritual aneh yang bertolak belakang dengan akidah. Salah satu ritualnya adalah hubungan suami istri dengan yang bukan muhrimnya. Hal ini yang membuat resah warga Cijulang.

“Paman kumpulkan beberapa warga. Kita pergi ke air terjun Cikidang,” kataku membulatkan hati untuk menyelidiki apa yang sebenarnya dilakukan oleh anggota kelompok Wangsit Karuhun yang dipimpin oleh Ki Darta atau para muridnya menyebutnya Ki Sancang.

"Baik, Den!" paman Karta segera pergi menemui teman-temannya.

Aku masih berdiri di depan pintu. Hati sudah bulat untuk mencari tahu apa yang dilakukan Ki Darta cs di air terjun Cikidang. Hari ini aku harus mendapatkan kepastian berita yang ku dengar. Fakta atau hoaks. Aku harus selektif menyaring setiap informasi karena saat ini banyak berita yang tidak sesuai dengan fakta. Sangat mudah untuk mempercayai berita sebelum benar-benar jelas. Selain itu rasa penasaran yang berdenyut di dalam dada sulit untuk diabaikan. Aku harus mendapatkan penjelasan motif atau 'benang merah' dari semua ajaran yang diajarkan ki Darta untuk aku pelajari dan diproses lebih lanjut untuk menentukan sesat atau tidaknya ajaran tersebut. Dan yang lebih penting mudah-mudahan ada titik terang yang bisa mengungkapkan identitasku ....
.
.
.