Home → Bacaan → Di Tepi Sungai
DI TEPI SUNGAI
Matanya elok dibawah matahari senja. Diantara langit sekuning tembaga, terusan putih yang dipakainya melambai tertiup angin sore yang kencang, melukiskan sebuah pemandangan yang membuat hatiku bergetar bak bumi yang diguncang. Rambutnya berombak, berkibar layaknya bendera,dan sekali lagi itu cukup untuk membuatku terdiam, bisu, terbius pemandangan tak lazim namun memikat sukma.
Mulutku terkunci rapat saat mengawasinya. Dari kejauhan ia tampak begitu anggun seperti Aphrodite, tenang seperti malam, namun pada saat bersamaan begitu kelam layaknya kuburan, rapuh seperti kaca. Tapi terkadang kurasakan pula pada gadis pujaanku itu betapa kuatnya dia. Contohnya sorot matanya yang tajam nan lembut, yang hanya dengan satu lirikan matanya cukup membuatku bersembunyi dibalik tembok dengan jantung yang berdetak tak tentu. Ia begitu misterius, begitu jauh.
Terhitung sejak tiga mingguyang lalu aku bertemu dengannya, si gadis misterius itu. Sepulang dari sekolah, seperti biasa kuhabiskan waktuku untuk bermain game sampai hampir menjelang maghrib. Dan pada saat aku tengah menunggu angkutan yang biasa membawaku pulang ke rumah, ia melewatiku. Menyeberang jalan yang ramai tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku meneriakinya karena sikap bodoh dan cerobohnya itu. Tapi tak ia hiraukan suara yang membuat urat di leherku mengencang itu. Ia terus saja melenggang dengan acuhnya, melewati mobil-mobil yang lewat seperti penari balet, menghiraukan ancaman yang dapat mengakhiri nyawanya saat itu juga. Dia terus saja berjalan sampai di seberang dan menghentikan langkah kaki mungilnya lalu menyingkirkan rambut ke belakang telinganya sebelum menoleh ke arahku dan tersenyum.
Aku terbius oleh senyumannya. Duniaku seperti berputar dan hatiku bergejolak layaknya tsunami menghantam kota Aceh. Kecantikannya itu bagai bunga di musim gugur, hujan di musim kemarau, mawar di semak berduri, lampu dalam kegelapan, surga diantara neraka, keindahan yang tak tertara...ah...ah...ah...entah apalagi yang mampu mendeskripsikan kecantikannya.
Ia lalu pergi meninggalkanku begitu saja setelah membunuhku dengan senyumannya. Aku berusaha mengejarnya, namun mobil-mobil itu tak bersahabat denganku layaknya hubungan mereka dengannya. Hampir saja aku mati karena ingin meniru gerakannya yang terkesan seperti penari itu. Lantas kuawasi punggungnya dari seberang. Ingin aku berteriak dan memanggilnya, menyuruhnya untuk berhenti dan menungguku. Namun seperti ada biji salak yang tersangkut di tenggorokanku, tak ada suara yang keluar berapa kalipun aku mencoba. Aku harus berhenti merokok, pikirku.
Esoknya aku bertekad untuk mencari tahu siapa sebenarnya gadis yang mampu membuat si bocah berandal ini jatuh cinta. Kutanyai teman-temanku dan tak ada yang tahu siapa gadis yang kuceritakan itu. Mereka mengataiku lebay karena deskripsiku tentangnya berlebihan. Aku memang menggunakan kata-kata yang puitis seperti layaknya laut,bak permata, seperti oase, atau seindah matahari. Namun aku tak menggunakan kata-kata seperti itu tanpa alasan, karena seperti itulah yang terjadi ketika kau jatuh cinta. Segalanya menjadi lebih indah. Bahkan ayam kawin pun kau anggap romantis.
Setelah tak kutemukan informasi apapun, akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya di tempat kami bertemu kemarin, yaitu pinggir jalan raya. Sembari merokok, aku duduk di pinggiran toko sambil mengawasi jikalau ia lewat. Kuteliti satu per satu gadis yang lewat sambil mengingat seperti apa wajahnya. Mata yang tajam, alis yang melengkung sempurna, hidung yang mancung, lalu apalagi...kulit yang putih bersih dan punggungnya yang sempit. Kucoba memusatkan perhatianku pada gadis yang terlihat seperti ciri-ciri yang kusebutkan tadi. Dan dua jam berikutnya tak kutemui jua dirinya.
Bukan keberuntungan yang menimpaku, justru kesialan yang datang. Sekelompok geng sekolah sebelah mendatangiku dan menuduhku yang tidak-tidak. Saat kujelaskan kenapa aku berada di daerah otonomi mereka, mereka malah tertawa terbahak-bahak dan mulai meminta uang padaku. Ingin saja kuberi uang pada mereka agar cepatlah mereka pergi, tapi harga diriku terlalu besar untuk urusa seperti ini. Maka terjadilah baku hantam yang dahsyat. Aku, sendiri, melawan tujuh orang anggota mereka yang berujung pada kekalahan telak pada pihakku.
Namun Tuhan memang sungguh Maha Adil, pada saat mereka telah puas menghajarku, di sudut mataku yang bengkak dan berdarah, kulihat dia, si gadis yang telah kutunggu selama berjam-jam, si gadis yang kutunggu sampai babak belur, si gadis yang telah membuatku kehilangan seluruh uangku. Betapa bahagianya aku dapat menemukannya. Wajahnya membuat semua rasa sakit di tubuhku lenyap. Dengan susah payah aku berdiri dan hendak berjalan menghampirinya. Tapi langkahku terhenti oleh sebuah ide yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Bagaimana mungkin aku menunjukan wajah kekalahan ini pada dirinya? Setidaknya meskipun aku masih kelas 3 SMA, aku tetap saja harus menunjukan pada wanita yang kucintai sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Bukan pria comal-comel dengan wajah yang berantakan seperti ini!
Lantas kuputuskan untuk mengikutinya dari belakang. Kali ini takkan kubiarkan dia lepas dari pandanganku. Dengan masih menjaga jarak kuikuti satu per satu langkanya dari kejauhan sambil bertanya-tanya kemana dia akan pergi. Setelah melewati beberapa belokan dan gang, sampailah kami di sebuah tepian sungai. Dan sejak saat itu, selama tiga minggu penuh, setiap senja akan datang, aku menghabiskan waktuku menemaninya dalam hening, mengawasinya dalam kagum.
Hari ini ia terlihat seperti biasanya, mengenakan terusan dan menikmati matahari terbenam di tepi sungai dengan anggunnya. Semakin hari ia terlihat semakin cantik. Kulitnya yang putih merona mengeluarkan bulir-bulir keringat yang berkilauan bak permata. Matanya yang bergerak-gerak ketika ia membaca membuatku berdecak kagum. Ah, Tuhan...apakah akan kau ijinkan aku untuk berbicara padanya? Kenapa aku seperti ini? Berikanlah keberanian padaku daripada rasa malu yang tak tebendung ini.
Selagi aku sibuk dengan pikiranku sendiri, ia bangkit dari duduknya dan menoleh ke arahku.
"Hei, penguntit!"
Tak terbayang bagaimana perasaanku saat ia mengatakan itu.
"Hei! Jangan pura-pura tak dengar! Aku tahu kau ada dibalik sana!"
Keringat dingin menjalar di seluruh tubuhku.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke tempat persembunyianku. Rokok yang menyala di tanganku sudah terbakar habis, layaknya nyaliku yang sudah tinggal abu. Berbagai skenario terbayang cepat di kepalaku. Bagaimana ia akan menamparku, memaki-maki ku, mengataiku mesum dan sebagainya.Hancurlah sudah impianku. Hancurlah sudah cinta pertamaku.
"Hei,"
Suaranya begitu lembut terdengar persis di ujung telingaku.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu.
"H-Haru-n." jawabku terbata-bata.
"Namaku Balqis. Kenapa kau mengikutiku?" tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin kukatakan padanya bahwa aku mengikutinya karena aku jatuh cinta padanya.
"Kenapa diam saja? Kau itu pemalu ya. Apa kau tidak malu dengan tindikmu itu? Masa sudah bertindik, bicara dengan perempuan saja tak mampu. Kau payah."
Aku masih tak menjawab. Keringat semakin deras mengalir dan kurasa jika terus ditekan seperti ini aku akan mengencingi diriku sendiri.
"Aku tahu selama ini...eh, entah berapa lama pastinya, kau selalu mengikutiku dari seberang jalan sana ke sini. Jadi jawab saja kenapa kau mengikuti ku?"
"Eh..." Aku sungguh tak tahu harus menjawab apa!
"Kau sungguh membosankan. Padahal aku sangat berterima kasih padamu karena telah menemaniku setiap sore. Sungguh mengecewakan."
Aku berdiri cepat dan berkata,"Tidak, tidak! B-Bukan begitu!"
"Lantas?" balasnya sinis.
"Kurasa kau tahu."
"Heh! Kau pikir aku aka bertanya padamu jika aku sudah tahu?!"
"Eh...bagaimana ya, aku bingung akan menjelaskan dari mana."
Aku berdiam dalam kepanikan. Meski aku mencoba untuk menenangkan diriku, aku tetap merinding hebat! Dadaku terasa berat sampai-sampai mau meledak. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"A-aku..."
Sedikit lagi.
"Ak..."
Kutarik nafas sekali lagi seraya mataku terpejam. Kuingat sekali lagi 3 bulan yang menyenangkan itu dan kutekadkan pada diriku bahwa inilah saatnya. Tak akan ada waktu lagi.
"Aku cinta padamu."
Kukatakan hal indah itu dengan sangat tenang. Kutatap matanya ketika aku mengatakannya dan dengan keberanian entah dari mana, kuraih kedua tangannya dan kugenggam erat.
Dia tertawa pelan, tawa yang terdengar begitu sedih. Wajahnya tertunduk dan ia usap matanya. Kenapa ia menangis?
"Hei..." katanya.
"Apa?"
"Terima kasih." katanya lalu berlari pergi meninggalkanku sambil terus mengusap air mata yang menetes dari wajahnya. Aku terdiam mematung, tak bergerak dan hatiku remuk tak bersisa.
Esok harinya, tersiar kabar di televisi tentang ditemukannya mayat seorang gadis di tepi sungai di kotaku. Dikabarkan gadis itu bunuh diri karena tak tahan lagi dengan perlakuan bejat ayahnya. Dari bukti yang berasal dari buku hariannya, gadis itu setiap malam dijual kepada laki-laki hidung belang untuk mengisi kantong rumah tangga mereka yang kosong. Si Ayah menjadi pengangguran dan agak tak waras setelah ditinggal mati istrinya. Kesedihan ayahnya menjadi malapetaka bagi si anak yang lantas menjadi sumber penghasilan keluarga. Ia yang sudah muak memilih untuk mengakhiri hidupnya 3 minggu yang lalu.
| Pengarang | Al R. Albar |
|---|---|
| Tamat | Ya |
| HitCount | 121 |
| Nilai total | ![]() |