DENGAN muka merah, Hwe-thian Mo-li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus, “Siapakah kau yang sombong dan lancang ini? Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong? Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-thian Mo-li dapat mengampuni
Tiong San teringat akan keadaan orang-orang yang menganggap diri sendiri “waras†dan nampak olehnya betapa banyak sekali kepalsuan dan keburukan terdapat pada orang-orang yang tidak gila ini. Seperti dia sendiri, ia bersenang selagi hatinya murung, selagi banyak sekali hal mengganggu ketentraman jiwanya, tentang kegagalan mendapat pangkat, tentang keadaan ibunya yang
"Suhu (guru) ......," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk
"Husssh, Sin Wan, jangan bicara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."
Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu ..... Apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan menyayangku, dan ibupun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian
Te-gak Suseng berkelana di dunia Kang-ouw dengan segala kebrutalannya. Berbagai kejadian dialaminya penuh dengan teka-teki. Pelajar Tangan Buntung ini mengalami kesulitan dan kepahitan untuk membina hubungan dengan para wanita, karena tangannya mengandung racun yang mematikan bila tersentuh.
Benteng tempat tinggalnya telah dihancurkan lawan yang tidak dikenal. Sang Ayah ikut-ikutan menjadi tokoh
Ong Tiang Houw, terkenal sebagai seorang pendekar sakti dan memiliki nama harum selaku pembela rakyat miskin dengan memimpin Kay-si-tin. Keinginan pribadi mengalahkan prilaku seorang pendekar. Pada awalnya sang pendekar merahasiakan terbunuhnya Kwee-wangwe, seorang hartawan dermawan karena jatuh cinta kepada janda Kwee-wangwe dan mengambilnya sebagai isteri tercinta. Namun rahasia ini akhirnya
Bila membaca cerita ini, akan anda jumpai beberapa kejadian yang menurut logika, tidak masuk akal atau mustahil, tetapi jangan berprasangka bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terjadi.
Seseorang yang telah mencapai derajat
mumpuni (insan kamil), lebih banyak menggunakan akal batin (intuisi) dari pada akal lahir (ratio), karena kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Maka
Khu Liok dan Ma Eng tinggal di Kotaraja bahkan bertetangga. Mereka seringkali mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap dan keduanya memiliki jiwa patriot, merasa marah sekali melihat ketidakadilan Kaisar dan kelaliman para pembesar. Diam-diam mereka mengutuk para pembesar, terutama para Thaikam dan akhirnya, karena sudah tidak tahan lagi menyaksikan penderitaan rakyat kecil,
Para hamba tani bersorak dan semua mengacungkan tangan yang kini sudah berlumur darah, darah empat orang centeng dan darah Thiat-tung Hwesio, di mana mereka bercucuran air mata.
Wang Sin membawa kepalan tangan kirinya ke muka untuk menghapus dua butir air matanya sendiri. “Bagus, mari kita serbu tuan tanah Yang Can dan
Dengan niat untuk menyatukan dan mengamankan dunia persilatan, maka Sang Mahaguru berusaha untuk menciptakan perpaduan ilmu-ilmu sakti dari berbagai partai. Setelah upaya tersebut berhasil dan dunia persilatan telah dapat dipersatukan, maka dibuatlah Panji Sakti sebagai pelambang pemersatuan dunia persilatan. Untuk melindungi Panji Sakti dari unsur kejahatan, pemegang Panji dibekali dengan