API DI BUKIT MENOREH
SUMBER:
http://www.sontang.wordpress.com
01
Tanggul Nihon
Di penghujung senja hari keempat belas, bulan kedelapan, tahun ketiga, menurut kalender lama—era Meireki (tahun 1657)—Matsunaga Seiichiro berdiri di atas Tanggul Nihon, sepanjang parit lebar di Asakura.
Sejauh mata memandang tampak hamparan batang padi yang tersisa usai panen menyembul di permukaan sawah dan meliuk pelan terbawa hembusan angin
WARNING ~ FOR ADULT ONLY
Translated, with an introduction and notes, by Patrick Hanan
An Available Press Book
Published by Ballantine Books
Translation, notes, and introduction
copyright © 1990 by Patrick Hanan
All rights reserved under international and Pan-American Copyright Conventions. Published in the United States by Ballantine Books, a division
Tanpa penyesalan, untukmu, Tuanku, dan untuk rakyatmu, aku akan menghilang bersama embun di dataran Musashi
* Putri Kazu - 1861
"Shita ni iyo! Shita ni iyo! Shita ni … Shita ni … Berlutut! Berlutut! Tundukkan kepala…."
Seruan tadi berasal dari seberang lembah—begitu samar sampai-sampai terdengar seperti desir dedaunan yang tertiup angin—hanya didengarkan
Novel keempat karya Andrea Hirata
Jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini: sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadapi gunungan timah, mengumpulkan nafas, menghela tenaga, mencedokinya sehari suntuk, menggantikan tugas ayahku,
Kata pengantar ini khusus ditujukan pada teman-teman yang baru sekarang akan berkenalan dengan Trio Detektif. Sedang yang sudah kenal, dipersilakan langsung menikmati kisah petualangan mereka. Untung tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup dengan membalik ke halaman berikut. Dan kalau sudah mulai membaca, tanggung nanti segan berhenti sebelum buku ini selesai. Menyimak
01
PAGI yang cerah begitu terasa indah ketika panorama alam terbentang luas di depan mata, setidaknya hal itulah yang kini tengah di rasakan oleh pasangan muda mudi yang sedang berjalan jalan di sebuah bukit hijau yang sangat indah. Mereka bercanda tawa begitu riangnya sambil menikmati keindahan alam ciptaan sang
Masyarakat desa yang terbisa menjual anak gadisnya hanya demi mengangkat derajat keluarga.
Tetapi ada seorang gadis yang tidak begitu saja menerima akan hal itu.
Watik, anak itu kini tumbuh riang di antara jejalan perkampungan tripleks Cengkareng. Langkah-langkah girangnya, sebentar lagi tertahan. Kegelapan memeluk Watik begitu erat dan kaki tangan setan
Hinata sedang berdiri di ruang tengah rumahnya, menatap sendu ruang tengahnya yang menjadi sangat sepi kini. Hinata memutar-mutar badannya dengan perlahan, hanya sepi yang ia rasakan. Sofa, perabotan hias, lampu hias yang semuanya serba sederhana ditatapnya berulag-ulang. Lavender Hinata berkaca-kaca, "Tou-san, kaa-san, Hanabi...aku merindukan kalian..." setetes air mata keluar dari