Home → Bacaan → NagaBumi I - Jurus Tanpa Bentuk [versi lengkap]
Sebuah karya besar Seno Gumira Ajidarma.
Pertama kali di sajikan dalam bentuk Cerita Bersambung di Harian Umum Suara Merdeka, Semarang [7 Januari 2007 – 11 Maret 2008].
Diterbitkan dalam bentuk buku [edisi Lux dan Hard Cover] oleh Gramedia Pustaka Utama [Nopember 2009].
Pendekar tua itu tahu ajalnya sudah dekat, tetapi ia tidak ingin mati sebelum menuliskan riwayat hidupnya, sebagai cara membongkar rahasia sejarah.
Nagabumi, sebuah cerita tempat orang-orang awam menghayati dunia persilatan sebagai dunia dongeng, tentang para pendekar yang telah menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari, karena tujuan hidupnya untuk menggapai wibawa naga.
Nagabumi adalah drama di antara pendekar-pendekar, pertarungan jurus-jurus maut, yang diwarnai intrik politik kekuasaan, maupun pergulatan pikiran-pikiran besar, dari Nagasena sampai Nagarjuna, dengan selingan kisah asmara mendebarkan, dalam latar kebudayaan dunia abad VIII-IX.
AKU sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan–tapi mereka terus memburuku bahkan sampai ke dalam mimpi. Apakah yang belum kulakukan untuk menghukum diriku sendiri, atas nama masa laluku yang jumawa, dan penuh semangat penaklukan, setelah mengasingkan diri begitu lama, dan memang begitu lama sehingga semestinyalah kini tiada seorang manusia pun mengenal diriku lagi?
Demikian Seno Gumira Ajidarma membuka novel silat Nagabumi– Buku Kesatu Jurus Tanpa Bentuk. Sebuah pembuka dengan kalimat khas Seno yang segera membetot pembaca untuk terus mengikuti kisah sampai tuntas. Kalimat-kalimat panjang tapi sama sekali tidak bertele-tele sehingga amat efektif untuk sebuah novel silat berketebalan lebih dari 800 halaman yang sebelumnya dimuat secara bersambung di sebuah harian lokal Semarang.
Jurus pembuka yang tidak hanya indah secara gaya bahasa, tapi juga langsung menghidupkan imajinasi kita tentang dunia persilatan yang tak pernah kita lihat dalam dunia keseharian tapi entah bagaimana caranya terasa begitu nyata seolah kita pernah mengalaminya langsung.
Meski tidak pernah mengalami dunia persilatan, bagi kita yang pernah hidup di era populernya sandiwara radio Saur Sepuh, Tutur Tinurlar, Babad Tanah Leluhur, dan sejenisnya tentulah “akrab†dengan dunia persilatan. Sandiwara radio dengan latar cerita masa kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara, tak syak lagi telah menghidupkan imajinasi kita tentang kehidupan di dunia rimba persilatan.
Apalagi bagi yang gemar dengan bacaan cerita silat yang juga populer kala itu, macam karya Asmaran S. Kho Ping Ho, Wiro Sableng, Panji Wungu, dan lain-lain. Adegan pertarungan seru, kejar-kejaran dengan ilmu meringkan tubuh, melenting dari bubungan rumah ke ranting pohon. Sabetan dan benturan pedang, luncuran anak panah, ledakan api dari benturan tenaga dalam, serta rangkaian ketegangan lainnya, bagai tertanam abadi dalam imajinasi kita.
Kisah-kisah persilatan tidak melulu mengetengahkan pertarungan-pertarungan seru, tapi juga intrik politik, bahkan ungkapan-ungkapan filsafat tak sedikit berhamburan di sana secara bersahaja. Maka, manakala membaca novel ini, kita seperti kembali pada masa-masa itu. Imajinasi kita tentang dunia persilatan mekar lagi dengan riang gembira. Kita seperti menemukan dunia yang sempat hilang itu. Dan kini ia hadir makin mengasyikkan, bukan saja lantaran logika ceritanya yang terjalin baik dengan kompleksitas yang meyakinkan, tapi juga ditulis dengan sentuhan bahasa sastra yang menghanyutkan.
Kisahnya berpusat dari Pendekar Tanpa Nama yang terpaksa harus turun gunung dari pertapaanya lantaran sepasukan rajya-pariraksa atau pengawal kotaraja memburu dan hendak membunuhnya di dalam gua pertapaan. Bahkan pendekar-pendekar top dari sungai telaga dunia persilatan turut mengejarnya dengan maksud sama. Rajya-Pariraksa dengan mudah dilumpuhkannya cuma dengan ludahnya yang semprotkan ke mata mereka.
Dalam buku pertama ini belum terungkap apa sebenarnya yang melatarbelakangi para pendekar dan pasukan khusus istana memburunya. Bahkan asal usul Pendekar Tanpa Nama pun masih gelap. Selain bahwa ia diselamatkan oleh pasangan pendekar bernama Sepasang Naga dari Celah Kledung dalam gendongan perempuan yang diduga bukan orang tuanya yang dirampok di tengah perjalanan menggunakan pedati.
Melalui perjalanan menyusuri ingatan di masa muda sang Pendekar Tanpa Nama itu pula kita mengetahui karut marut perpolitikan masa itu yang penuh intrik, perebutan pengaruh dan kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Kedatangan kepercayaan baru yang menyisihkan kepercayaan lama.
Novel ini terdiri dari 100 bab. Setiap bab rata-rata terdiri dari 6 sampai 8 halaman. Strategi pembagian bab ini kiranya sangat efektif sebagai jeda untuk memberi napas pada pembaca. Halaman akhir setiap bab nyaris selalu menyisakan adegan pertarungan atau kelebat bayangan yang sungguh-sungguh seru, menegangkan dan bikin penasaran. Sampai tanpa terasa sampai di halaman terakhir. Dan mendapati diri kita tak tahan menunggu buku kedua.
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Pada usia 17 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.
Pada tahun 1977 Seno pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini IKJ, Insitut Kesenian Jakarta). Pada tahun yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai.
Pada awal tahun 1992 Seno dibebastugaskan dari jabatan redaktur pelaksana Jakarta-Jakarta berkaitan dengan pemberitaan tentang insiden Dili pada tahun 1991. Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi. Buku-bukunya, antara lain, adalah sebagai berikut.
Mati Mati Mati (sajak, 1975), Bayi Mati (sajak, 1978), Catatan-Catatan Mira Sato (sajak, 1978); Manusia Kamar (cerpen, 1988), Penembak Misterius (cerpen, 1993), Saksi Mata (cerpen, 1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (cerpen, 1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (cerpen, 1996), Negeri Kabut (cerpen, 1996), Insiden (novel, 1966); Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (esai, 1997); dan Cara Bertutur dalam Film Indonesia: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra FFI 1973--1992 (skripsi, IKJ, 1997).
Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda (1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight Express (1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Selain itu, Seno juga memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Saksi Mata (1995) dan Penghargaan South East Asia (S.E.A.) Write Award untuk kumpulan cerpen Dilarang Mennyanyi di Kamar Mandi (1997).
Ada beberapa posting Naga Bumi I di indozone tapi sepertinya tidak sampai tamat.
Saya coba up load lagi dari awal dan kali ini diusahakan akan selesai sampai akhir.
Terdiri 5 [lima] Kitab:
Kitab 1: Jurus Tanpa Bentuk
Kitab 2: Catatan Seorang Pendekar
Kitab 3: Kesempurnaan dan Kematian
Kitab 4: Dua Pedang Menulis Kematian
Kitab 5: Pendekar Tujuh Lautan
Keseluruhannya terdiri dari 100 [seratus] Episode.
Sumber: dari situs koran Suara Merdeka plus situs Tirai Kasih [trims buat kang Zusi dan mBak Dewi].
Ada beberapa bagian yang berbeda dengan edisi cetak terutama tidak adanya catatan kaki [foot note] yang berguna untuk mendapatkan informasi tambahan atau mengetahui rujukan yang dipergunakan oleh pengarang Nagabumi.
Jadi saya sarankan sebaiknya kita memiliki juga edisi cetaknya.
Semoga berkenan, dan jika Anda senang dengan kisah ini tolong juga di rating ya
Pengarang | Seno Gumira Ajidarma |
---|---|
Tamat | Ya |
HitCount | 105.762 |
Nilai total |
Baca semua komentar (38) Tulis Komentar
#34 |
andinov
23 September 2015 jam 10:51pm
 
Mantaap jaya |
|
#35 |
armanpaluta
24 September 2015 jam 9:51am
 
trims sekali... hanya ini yang bisa diungkapkan.. |
|
#36 |
sandrasopian
7 Februari 2016 jam 8:23pm
 
Waaah. baru saya ketemukan arsip cerbung Naga Bumi-nya Seno Gumira. keren, mas. salutteee! konsistennya itu loh. Top. saya merasa terbantu sekali, khususnya sebagai penggemar karya-karyanya SGA, karena di toko buku sudah agak jarang malah gak ada sama sekali. Terimakasih yang banyak sekali lagi. |
|
#37 |
pincilo
11 Juni 2016 jam 2:23am
 
Ceritanya ada kemiripan dengan perjalanan miyamoto musashi setelah bertarung sendirian melawan 70 orang yoshioka |
|
#38 |
Apringendut
23 November 2017 jam 2:12pm
 
haiyaa malah baru sempat baca ini, setelah menamatkan membaca sengatan 1 titik, seruling sakti, KPNDPB, TLNS, TLKH, saya "khatamkan" dulu ni cersil,, |