Post 2 dari 9 dalam Tiga Raja Dari Tengah
Home → Forum → Books → Tiga Raja Dari Tengah → Post-2265
#2 | ![]() |
andrea7974
16 April 2004 jam 3:20pm
 
Tokoh: Tangan kanan Harlan: Mertua Harlan : Budianto Tjandra dan Restu Tjandra == Semarang, 1970 Siang itu Harlan pulang kuliah dengan bercucuran keringat. Sepeda yang biasa ditumpanginya kempes kedua bannya. Dia terpaksa harus mendorong sepedanya di tengah panasnya cuaca di Semarang. ?Papa, mama,? sapa Harlan kepada ayahnya yang sedang duduk menunggui toko kelontong kecil milik keluarga mereka, sementara ibunya sedang menidurkan adiknya yang paling kecil, Henry yang baru berumur empat tahun sambil mengawasi adiknya Hardy yang berumur tujuh tahun sedang mengerjakan PR. ?Sepedamu kenapa lagi Harlan?? tanya ayahnya sambil melayani pembeli yang sedang membeli rokok. ?Kempes bannya, Papa! Sepertinya ban dalamnya perlu diganti!? kata Harlan pelan. ?Ganti..ganti! Gundulmu! Kamu pikir murah apa beli ban dalam?? kata ayahnya dengan suara menggerutu. Harlan diam tidak menjawab. Dia tahu keadaan keluarganya sangat pas-pasan. Untunglah kakak pertamanya sudah bekerja dan menikah sehingga orang tuanya hanya perlu membiayai empat orang anak ketimbang lima orang anak. Harlan sendiri sering merasa bersalah karena orang tuanya harus bekerja mati-matian seperti itu, bahkan kadang berhutang hanya demi untuk membiayai kuliahnya. ?Pa, kalau ban dalam sepeda tidak diganti, Harlan akan kesulitan pergi kuliahnya. Belum lagi Harlan kan sekarang aktif di Persekutuan Mahasiswa,? kata Harlan. ?Kalau boleh....Harlan mau ke rumah Om Martin untuk membantu Om Martin merawat anjing-anjingnya lagi. Setidaknya uang yang Harlan dapat bisa untuk beli ban dalam,? kata Harlan pelan. Sebenarnya dulu Harlan pernah membantu Om Martin merawat anjing-anjing rottweilernya dengan diberi imbalan yang cukup. Dengan uang yang didapatnya Harlan tidak perlu lagi meminta uang saku dari orang tuanya. Tapi Harlan terpaksa menghentikan kerja sampingannya dua bulan yang lalu karena tiba-tiba salah satu dari ketiga anjing rottweiler Om Martin yang sedang dalam masa kawin, menyerang Harlan saat anjing tersebut sedang dibawa Harlan untuk dimandikan. Anjing itu menggigit Harlan sampai tangan kiri dan paha kiri Harlan robek dan terpaksa dijahit. Sejak itulah orang tua Harlan tidak mengijinkan anaknya bekerja sampingan di tempat Om Martin. ?Kamu mau dimakan anjing-anjing ganas itu lagi ya?? teriak ayahnya dengan suara keras karena marah. ?Kayaknya itu luka di badanmu itu juga baru saja kering. Sekarang kamu mau kerja lagi menjaga anjing-anjing itu?! Huh... kalau saja bisa...papa sudah racun itu anjing tak beradab!? ?Sudahlah Pa! Jangan marah-marah seperti itu! Diam..jangan keras-keras!? Ibu Harlan mendesis sambil mengelus-elus Henry yang tidur di pangkuannya. Harlan tidak melanjutkan percakapannya dengan ayahnya. Ia segera memasukkan sepedanya ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Sebenarnya yang disebut dengan kamar adalah sebuah ruangan kecil berukuran tiga kali empat meter yang diberi kasur seadanya. Disanalah dia tidur bertiga dengan Hartawan kakaknya dan Hardy adiknya. Henry kadang tidur bersama orang tuanya, kadang tidur juga di kamar itu berempat dengan kakak-kakaknya. Harlan menghela nafas. Ia merasa sedih tapi juga tidak berdaya. Sejak masuk kuliah satu semester lalu, ia telah aktif di berbagai kegiatan mahasiswa. Ia ditunjuk sebagai ketua kelas, ketua team basket, aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen, aktif di Himpunan Mahasiswa, dan sebagainya. Mobilitasnya sangat tinggi dan tanpa sepeda tuanya itu, ia seolah-olah seperti kehilangan kaki. Sampai ia mendapatkan uang untuk mengganti ban dalam sepedanya, maka berarti ia harus berjalan untuk pergi ke kampus. Sesampai di kampus, dan apabila dia ada kegiatan di luar kampus, mungkin dia bisa menumpang teman-temannya. Tapi untuk pergi ke kampus, dia tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki. ?Hitung-hitung olahraga.... 5 kilometer sekali jalan...kalau apes pulang pergi jalan kaki...10 kilometer!? Harlan menyengir membayangkan kemungkinan itu. ?Kakak kok cengar-cengir sih?? kata suara kecil di sampingnya. Harlan menengok dan tersenyum melihat Hardy adiknya yang ternyata sudah ada di kamar itu mengamatinya. ?Iya...besok kakak akan olahraga jalan kaki. Nantinya berarti kakak tidak perlu pemanasan kalau main basket. Haha...tapi yang pasti berarti kakak harus bawa baju cadangan kalau tidak mau berkeringat dan bau pas masuk kelas,? kata Harlan tertawa ringan. ?Kak!? kata Hardy pelan. ?Kenapa? Kamu sudah kerjain PR kamu belum? Kalau nggak ngerti, tanya kakak yah! Kamu harus sekolah yang pinter! Jangan bikin papa dan mama menyesal!? kata Harlan mengelus rambut adiknya yang halus itu. ?Sudah kok! Dan jangan khawatir deh soal pelajaran di sekolah. Kakak sendiri tahu kalau Hardy selalu nomer satu di kelas!? kata Hardy. ?Baguslah. Ada apa lagi? Kakak ngantuk nih. Tidur siang aja yuk!? kata Harlan sambil membaringkan tubuhnya di atas kasur yang tergelar di lantai. ?Kakak, harga ban dalam berapa sih?? tanya Hardy dengan suara pelan tapi serius. ?Hardy punya uang Rp 625,00! Cukup nggak kalau dibuat beli ban dalam?? tanya Hardy dengan polos. ?Hah? Kamu dapat uang dari mana?? tanya Harlan terkejut. ?Ya pasti cukuplah uang segitu untuk beli dua ban dalam!? ?Kalau gitu uang Hardy buat kakak beli ban dalam saja!? kata Hardy sambil tersenyum. Cuping hidungnya kembang-kempis karena ia sangat gembira. ?Hardy...jawab pertanyaan kakak dulu...Hardy dapat uang dari mana?? tanya Harlan serius. Ia khawatir kalau-kalau adiknya itu mencuri uang orang lain. ?Hardy diberi Kak Hari uang Rp 200,00 pas Hardy ulang tahun 2 bulan yang lalu. Kata Kak Hari, uangnya untuk dipakai sewaktu-waktu kalau papa nggak punya uang untuk bayar uang sekolah Hardy. Sisa uangnya...itu tabungan Hardy. Hardy nggak pernah jajan kalau di sekolah!? kata Hardy dengan polos. Wajahnya terlihat gembira karena ia dapat membantu kakaknya. ?Hardy..itu kan uang kamu. Hardy simpan saja uangnya. Nanti kalau Natal buat beli hadiah buat papa dan mama. Dan yang Rp 200,00 itu buat simpanan kalau nanti papa terlambat memberi uang untuk membayar uang sekolah!? kata Harlan mengelus-elus rambut adiknya. Tiba-tiba dirasakannya rasa sayang yang mendalam kepada adiknya ini. Harlan berumur 12 tahun saat Hardy lahir. Waktu pertama kali melihat adiknya yang masih bayi, ia merasa jijik melihat bayi yang kecil, dengan kulit kemerahan itu. Tapi kemudian ia melihat bahwa adiknya yang bayi itu adalah bayi yang sangat manis. Dan sejak itulah ia sangat sayang kepada adiknya itu. ?Kalau Hardy menabung lagi...pasti Hardy bisa mengumpulkan uang untuk membeli hadiah Natal. Tapi untuk sementara ban dalam sepeda kakak kan perlu diganti. Ambil saja uang ini dulu. Nanti kalau kakak sudah bekerja seperti Kak Hari, barulah Kak Harlan belikan Hardy mainan yang bagus seperti punya si China pelit si Roy itu!? kata Hardy. ?Hush! Kok ngomong gitu sih! Siapa yang mengajari kamu ngomong China-China gitu?? kata Harlan setengah membentak adiknya. ?Semua anak-anak di sini juga panggil Roy si China pelit kok!? kata Hardy. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya membentak ia seperti. ?Hardy....ingat ya. Kakak nggak mau dengar kamu ngomong gitu lagi. Biar dia China memangnya kenapa? Juga...kita itu juga China loh! Jadi kalau kamu ikut-ikutan teman-temanmu itu..itu berarti kamu juga memperolok dirimu sendiri. Memangnya kamu mau dipanggi ?Hardy China pelit?? Juga, si Roy nggak pernah ganggu kamu kan? Dia anak yang baik dan sopan kok. Kamu nggak boleh tuh mengolok-olok orang karena dia China atau apapun dia. Ingat itu yah!? kata Harlan. ?Memang kita China? Siapa yang bilang?? tanya Hardy. ?Bukannya kalau China itu pasti kaya...dan kulitnya putih serta matanya sipit?? ?Haha... Nggaklah! Nggak semua China kaya. Kayak keluarga kita biar China juga nggak kaya. Buktinya ..hanya mama di rumah ini yang kulitnya putih. Yang lainnya hitam-hitam semua kan?? Harlan tertawa menanggapi pertanyaan adiknya yang sangat jujur dan polos itu. ?Wah...ternyata kita China juga toh? Lha kalau kita China...kok kita nggak pernah seperti si Roy yang sering pegang batang merah-merah itu sambil manggut-manggut di depan foto kakeknya? Juga si Roy itu kan keluarganya sering taruh makanan dan buah-buahan di depan foto kakeknya itu. Kok keluarga kita nggak gitu kalau kita China?? tanya Hardy penasaran. ?Itu karena keluarga kita Kristen. Kita sudah nggak gitu-gitu lagi. Hanya orang Konghucu yang begitu,? kata Harlan. ?Sudah deh. Kakak ngantuk. Kakak tidur siang dulu deh yah! Capek tadi jalan kaki pulang sambil dorong sepeda!? ?Terus gimana...uangnya mau tidak?? tanya Hardy. Harlan membuka matanya dan duduk di kasurnya. ?Kakak mau cari kerja aja besok. Andai kakak nggak bisa dapat kerja sampingan...kakak pinjam deh uang kamu. Tapi doakan saja kakak besok dapat kerjaan, supaya kakak nggak perlu pinjam uang kamu!? Malam itu toko keluarga Hartanto tutup jam sembilan malam. Hari itu pembeli sedikit sekali, sehingga walaupun toko tutup larut malam tetap saja uang yang terkumpul sangat sedikit. ?Sudahlah. Toh Tuhan selalu mencukupkan kita kok. Buktinya biarpun ngutang, makan seadanya, Hartawan dan Harlan bisa kuliah! Hardy juga bisa bayar sekolah tiap bulannya!? kata Bu Hartanto. ?Iya. Semoga aja dua anak itu bisa cepat kelar kuliahnya dan kerja yang bener. Sudah gitu...semoga mereka ingat pengorbanan kita sebagai orang tua!? kata Hartanto dengan suara pelan. ?Si Heri sudah nggak ingat lagi sama orang tuanya. Yang dipikir cuma istrinya aja,? kata Hartanto lagi. ?Terus maumu apa? Kamu tahu sendiri kan, kalau si Heri itu sama mertuanya dibatasi gerak-geriknya. Biarpun dia kerja dapat uang yang lumayan pun tidak bakal dia bisa membantu kita. Keluarga istrinya sendiri tidak lebih kere dari kita kok!?kata Bu Hartanto. ?Lagian sebagai orang tua apa tidak malu kalau kamu dikasih duit sama anakmu?? ?Ngapain malu? Aku sudah 25 tahun bekerja membanting tulang hanya untuk keluargaku. Kalau aku tua..aku ya pingin kalau anakku bisa ngasih aku uang pensiun. Hitung-hitung aku selalu memberi mereka nafkah sampai mereka mentas dan jadi orang!? kata Pak Hartanto. ?Aku nggak setuju dengan cara pikirmu seperti itu. Namanya anak..punya rejeki sendiri-sendiri. Dia mau jadi kaya..ya itu urusan dia. Kalau dia miskin..toh juga belum tentu kita bisa bantu dia kan?? kata Bu Hartanto. ?Kamu tahu apa? Selama ini kamu nggak pernah kan merasakan susahnya cari duit? Kamu bisanya cuma di rumah, melahirkan anak, jaga anak, masak! Apa kamu pernah tahu bagaimana pusingnya kepalaku ini mikir uang sekolah, uang untuk beli makanan, dan lain sebagainya? Dari dulu juga aku bilang kita cukup punya anak dua saja. Eh..kamu sudah tua malah nambah anak pula!? kata Pak Hartanto dengan suara tinggi. ?Eh kalau ngomong dijaga dong. Kalau bukan kamu yang bikin, bagaimana aku bisa melahirkan anak? Kamu tahu sendiri kalau aku jaga baik-baik supaya aku aku tidak hamil lagi. Kamu kan yang paksa-paksa aku sampai aku hamil lagi? Tahu diri dong! Dasar laki-laki egois! Maunya enaknya saja, tanggung resikonya gak berani!? Bu Hartanto marah-marah tersinggung mendengar perkataan suaminya. ?Kan aku sudah bilang waktu dulu kamu baru telat dua bulan. Aku sudah suruh kamu untuk gugurin aja itu orok. Kamu ngotot...Iya kamu enak...tinggal lahirin, jagain...Lha aku? Aku itu loh yang harus tiap hari mikir caranya menghidupi anak-anak!? kata Pak Hartanto dengan suara keras. ?Enak udelmu bilang gugurin aja. Anak itu kan pemberian Tuhan! Apa kamu sudah lupa ajaran Tuhan untuk tidak membunuh?? teriak Bu Hartanto. Hartawan dan Harlan yang sedang belajar hanya dapat menundukkan kepala mereka mendengarkan pertengkaran kedua orang tua mereka. Selalu saja mereka bertengkar karena masalah uang dan uang. Harlan tanpa sadar meneteskan air mata. Baru hari itulah ia tahu bahwa ia tidak pernah diharapkan kehadirannya di rumah itu. Papanya hanya menginginkan dua orang anak. Ia tidak diinginkan. Hatinya terasa hancur. Dengan langkah gontai ia menuju kamarnya untuk segera tidur dan berharap dirinya tidak perlu bangun lagi keesokan harinya. Saat memasuki ruangan kamarnya, Harlan melihat, adiknya Hardy ternyata belum tertidur. Ia sedang duduk di atas kasurnya dengan mata basah dan merah. Rupanya ia juga telah mendengarkan perkataan papa mereka dan juga menjadi sedih. ?Hardy...kamu kenapa?? tanya Harlan berpura-pura. Dalam hati ia berdoa supaya Hardy tidak mengeri atau tidak mendengar perkataan papa mereka yang melukai hati itu. ?Kakak....andai kalau papa kaya dan punya uang...pasti papa tidak akan bilang begitu bukan?? tanya Hardy terisak-isak dalam tangisnya. Harlan tidak menjawab. Ia mendekap adiknya erat-erat. Sejak saat itulah Harlan bersumpah bahwa ia tidak mau menjadi orang yang miskin. |