Mas Roony ini potongan yang terpenggal dari bab XII mohon maaf buat Mas Anuraga sy ikut menambahkan yang terselip :
dadanya, dia berkata, "Keris ini harus dikembalikan kepadapemiliknya!"
Setelah berkata demikian, dia menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap Keris itu dan sekali renggut, keris itu telah terlepas dari tangan Ni Dewi Durgomala. Wanita ini terkejut bukan main. Hampir tidak percaya bahwa ada orang berani menangkap keris pusaka ampuh itu dengan tangannya begitu saja dan merenggutnya lepas dari tangannya, ia marah akan tetapi juga jerih, maklum bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian serba putih itu. Sambil berteriak ia lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu hitam yang tadi terselip di pinggangnya.
"Haittt ... tar-tar!"
Kebutan itu digerakkan sedemikian rupa sehingga ujung bulu-bulunya dapat meledak di atas kepala Bagus Seto. Namun pemuda itu tenang-tenang saja dan ketika ia menangkis ke atas, beberapa helai bulu kebutan putus! Ni Dewi Durgomala kini hanya berputar-putar dan menyerangkan kebutannya ke arah muka Bagus Seto dan selalu dielakkan oleh pemuda itu.
Sementara itu, pertandingan antara Retno Wilis melawan Ki Shiwananda berjalan seimbang. Ki Shiwananda memang tangguh sekali. Raksasa ini selain memiliki tenaga yang tidak lumrah manusia, juga dapat bercorak cepat biarpun tubuhnya demikian besarnya. Sepak terjangnya seperti seorang raksasa saja, kasar dan keras. Kadang dia bergulingan dan menyerang lawan dari bawah. Kedua lengannya yang panjang besar itu mencuat dan menyambar-nyambar ke arah segala bagian tubuh Relno Wilis.
Namun,Retno Wilis segera mainkan ilmu silat Pancaroba dan tubuhnya berkelebat melebihi burung walet cepatnya, sukar diraih tangan yang besar itu. Akan tetapi, Retno Wilis juga mengalami kesukaran untuk dapat merobohkan lawannya. Sudah dua kali tangan dan kakinya mengenai tubuh lawan, akan tetapi hanya membuat lawan terhuyung saja, tidak merobohkannya. Kiranya raksasa itupun memiliki tubuh yang kebal sekali. Karena kesal sampai sekian lamanya tidak mampu merobohkan lawannya, Retno Wilis mencabut pedang pusakanya, yaitu pedang Sapudenta! Tampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika pedang itu berada di tangan kanannya.
"Babo-babo keparat, belum lecet kulitmu sudah mengeluarkan pusaka!" bentak Ki Shiwananda dan diapun mengeluarkan senjatanya yang berat, yaitu sebatang ruyung yang tadi tergantung di pinggangnya.
Ruyung ini terbuat dari baja hitam, berat dan kuatnya bukan main. Sebongkah batu besar-pun akan pecah berantakan kalau sekali kena pukulannya dengan ruyung ini, apa lagi kalau mengenai kepala manusia! Akan tetapi begitu dia menggerakkan ruyungnya, Retno Wilis telah mengerahkan aji Wisolangking di tangan kirinya. Aji Wisolangking ini membuat tangan kirinya panas sekali dan kalau mengenai tubuh lawan dapat menghanguskan bagian yang terkena pukulan!
Melihat sepak terjang adiknya yang begitu menggiriskan, Bagus Seto lalu menyambut serangan Ni Dewi Durgomala. Ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, ia menyambut dengan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia telah berhasil merampas kebutan dari tangan Ni Dewi Durgomala! Wanita ini memekik marah dan juga gentar.
"Ki Shiwananda, sudah saatnya kita pergi!" bentaknya kepada raksasa itu yang sedang bertanding seru melawan Retno Wilis.
Bagus Seto juga melompat ke dekat adiknya. "Diajeng, hati-hati dengan pusakamu!" Dia menggerakkan tangan menahan ruyung Ki Shiwananda yang dihantamkan.
"Plakkkkk!" Ki Shiwananda merasa betapa tenaga pada tangan kanannya seperti tenggelam dan lenyap.
Dia terkejut sekali. Menarik kembali ruyungnya dan maklumlah dia bahwa seruan Ni Dewi Durgomala tadi benar. Baru melawan Retno Wilis saja dia ke repotan dan tidak mampu menang, apa lagi kalau Bagus Seto maju. Tangan pemuda itu dapat menyambut ruyungnya! Dia merasa gentar dan segera mengayun dan memutar ruyungnya. Ketika Bagus Seto dan Retno Wilis mundur, mereka berdua melompat dan lenyap di kegelapan malam.
Harjadenta masih mengamuk, merobohkan para pengeroyok. Melihat ini, Bagus Seto lalu melompat ke atas atap candi dari berseru, "Saudara sekalian, hentikan pengeroyokan itu!"
Lalu dia melayang ke bawah. Melihat ini, apa lagi melihat betapa dua orang pemimpin mereka telah melarikan diri, merekapun menghentikan pengeroyokan dan berdiri bingung seperti sekawanan domba kehilangan penggembalanya. Harjadenta juga berhenti mengamuk dan melompat kebelakang, dekat Bagus Seto dan Retno Wilis. Dia menjadi semakin kagum kepada dua orang kakak beradik ini, yang demikian mudah mengalahkan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda sehingga dua orang sakti itu melarikan diri. Dan dia girang bukan main ketika Bagus Seto menyerahkan keris pusaka Ki Carubuk kepadanya.
"Ini keris gurumu, kembalikanlah kepadanya," kata Bagus Seto.
"Terima kasih banyak, kakangmas Bagus Seto," katanya sambil menerima dan menyelipkan keris pusaka itu di pinggangnya.
"Kakang, kenapa kita tidak basmi saja perkumpulan agama ini?" kata Retno Wilis sambil memandang kepada para anggauta agama baru itu dengan alis berkerut.
"Jangan, diajeng. Agama mereka itu sama sekali tidak bersalah. Sang Hyang Bathara Shiwa yang mereka sembah adalah Yang Kuasa Membasmi di alam mayapada ini, dan sudah selayaknya kalau disembah dan dipuja. Adapun Bathari Durgo adalah isterinya dan Bathara Kala adalah puteranya. Tidak ada salahnya dengan mereka yang disembah-sembah. Semua kesalahan terletak kepada manusianya yang menyelewengkan pelajaran agama itu untuk tujuan buruk. Mereka bebas menentukan agama mereka sendiri. Kita tidak boleh menentangnya dan mereka boleh mendirikan candi seperti yang mereka kehendaki. Yang kita tentang adalah manusianya yang melakukan tindakan menyeleweng dan jahat. Para anggauta agama inim tidak bersalah. Mereka bahkan menja di korban, korban penyelewengan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Setelah kekalahan mereka malam ini, kurasa mereka tidak akan berani lagi melakukan kejahatan mereka di antara penduduk Bulumanik."
Harjadenta yang mendengarkan ucapan Bagus Seto ini, menjadi semakin kagum.
"Saya rasa apa yang diucapkan kakangmas Bagus Seto itu benar, diajeng Retno. Orang-orang itu tidak berdosa. Mereka melakukan segala itu karena mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan jahat. Mereka seperti mabuk atau terbius, seperti yang kualami tadi. Aku sendiri tidak sadar bahwa aku ikut menari-nari seperti orang yang gila. Mereka tidak salah bahkan patut dikasihani."
"Kalau begitu kesalahan ini selain terletak pada pundak kedua orang pimpinan agama itu, juga terletak di pundak Demang Kebolinggo. Sebagai seorang kepala daerah, dia tidak seharusnya memberi ijin kepada orang-orang seperti Ni Dewi Durgomala dan Ki Suwananda itu untuk membangun candi dan mempengaruhi penduduk. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu apa yang telah terjadi di candi ini," kata pula Retno Wilis dengan gemas.
"Orang seperti dia tidak patut menjadi pemimpin dan harus mendapat peringatan keras!"
Bagus Seto mengangguk-angguk. "Pendapatmu itu ada benarnya, diajeng. Silakan saja kalau engkau ingin memperingatkan dia, akan tetapi ingat, jangan menggunakan kekerasan, apa lagi membunuhi orang."
"Diajeng Retno Wilis memang benar, dan kalau boleh, aku akan senang kalau menemanimu pergi ke rumah demang dan memberi peringatan kepadanya."
"Kalau begitu lebih baik lagi agar Demang Kebolinggo lebih terkesan dan menaati nasihat kalian," kata Bagus Seto.
Retno Wilis terpaksa tidak dapat menolak permintaan Harjadenta. Ia sendiri memang kagum juga kepada pemuda yang berani dan telah membantu ia dan kakaknya menghadapi pimpinan agama baru itu.
"Baiklah, dan sebaiknya kita lakukan itu malam ini juga," kata Retno Wilis.
"Pergilah kalian, aku akan lebih dulu pulang ke pondokan Mbok Rondo Gati."
Tiga orang itu lalu berpisah. Retno Wilis dan Harjadenta pergi meninggalkan Bagus Seto dan mencari rumah Demang Kebolinggo, penguasa di Bulumanik. Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan rumah yang paling besar di Bulumanik itu. Mereka berdua melihat bahwa ada tujuh orang penjaga di gardu penjagaan depan gedung itu. Akan tetapi Retno Wilis dan Harjadenta tidak mengganggu mereka. Mereka lalu mengambil jalan dari belakang rumah besar itu. Dengan mudah mereka melompat pagar tembok yang mengitari rumah itu dan menyusup ke arah gedung melalui taman bunga yang berada di bagian belakang.
Malam telah larut dan suasana sunyi sekali. Agaknya semua penghuni gedung itu sudah tidur nyenyak. Akan tetapi mereka menemui kesulitan untuk mencari di mana kamar tidur sang demang.
"Biar aku yang mencari keterangan," bisik Harjadenta kepada Retno Wilis.
Gadis itu mengangguk. Harjadenta mengintai dari lubang di jendela sebuah kamar dan melihat seorang laki-laki tidur dalam kamar itu. Melihat kamar itu hanya kecil dan sederhana, maka dia dapat menduga bahwa laki-laki yang berada di dalam kamar seorang diri itu tentulah hanya seorang pelayan.
Dengan mudah dia dapat membuka jendela itu dan melompat ke dalam. Retno Wilis hanya menanti di luar kamar, bersembunyi di balik tikungan dinding. Setelah berada di dekat pembaringan laki-laki, setengah tua itu, Harjadenta lalu mengguncang tubuhnya. Laki-laki itu terbangun dan sebelum dia dapat membuka mulut, Harjadenta telah menempelkan keris pusaka Ki Mengeng di leher orang itu.
“Jangan bergerak dan jangan berteriak kalau engkau sayang nyawamu!" bisiknya. Laki-laki itu ketakutan dan membelalakkan matanya, menggeleng kepala menyatakanbahwa dia tidak akan berteriak atau bergerak.
"Aku hanya ingin engkau menunjukkan di mana kamar Sang Demang Kebolinggo!" kembali Harjadenta menggertak, dan menempelkan kerisnya lebih ketat ke leher orang itu.
"Ampunkan saya ... kamar ... kamarnya berada di ruangan tengah ... jangan bunuh saya ...†kata orang itu dengan tubuhmenggigil dan suara gemetar.
"Hayo turun dan tunjukkan aku kamar itu!" kembali Harjadenta berkata, dan dengan tubuh gemetar ketakutan orang itu lalu turun dari pembaringannya.
Dia didorong ke pintu oleh Harjadenta, membukapintu dan mereka keluar. Retno Wilis melihat mereka, lalu ia mengikuti dari belakang. Setelah tiba di ruangan tengah dan orang itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pintu kamar yang besar, tiba-tiba Harjadenta mengetuk tengkuknya dengan tangan kiri. Orang itu mengeluh lirih dan roboh pingsan.
"Sekarang giliranku untuk memasuki kamar sang demang lebih dulu," kata RetnoWilis dan Harjadenta mengangguk.
Dengan mudah sekali Retno Wilis juga membuka daun jendela kamar itu dan bagaikan seekor kucing saja ia melompat kedalam tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Kamar itu remang-remang karena hanya diterangi sebuah lampu gantung yang kecil. Akan tetapi penglihatan Retno Wilis yang tajam dapat melihat sesosok tubuh yang tinggi kurus rebah seorang diri di atas sebuah pembaringan yang lebar dan berukir indah. Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia tidur telentang dan mendengkur.