PENGANTAR HINDU, BUDDHA & SINKRETISME
Hinduisme
Ajaran Hindu bersumber pada wahyu Hyang Widhi, diturunkan di India sekitar abad 25 SM.
Perkembangan awal Hinduisme diwarnai dengan dinamika turunnya atau munculnya Weda kepada sejumlah Maha-Rsi dalam kurun waktu maupun di tempat yang berbeda-beda. Periode perkembangan ini disebut zaman Weda. Dalam perkembangan lebih lanjut, zaman Upanisad, bermunculan filsafat-filsafat yang mengakarkan pertumbuhan aliran-aliran yang disebut paksa atau sekte, antara lain: sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Brahma, sekte Tantrayana dan lain-lain. Di antara sekte-sekte pun mengemuka persaingan. Sebagaimana membayang dalam jejak-jejak serangkaian kisah mitologinya, cukup terasa adalah persaingan di antara Sekte Saiwa dan Sekte Vaisnava. Persaingan merupakan dinamika lumrah alamiah.
Ajaran Buddha
Buddha lahir pada abad ke-6 SM. Setelah mencapai Penerangan Sempurna pada umur 35 sampai Mahaparinibbana pada umur 80, Dia menghabiskan seumur hidupnya untuk berkhotbah dan menyebarkan ajarannya. Selama 44 tahun, beliau mengajar dan berkhotbah siang dan malam, hanya tidur 2 jam sehari. Buddha berbicara dengan semua kalangan manusia: raja dan pangeran, brahmana, petani, pengemis, kaum terpelajar dan orang biasa. Ajarannya disesuaikan dengan pengalaman, tingkat pemahaman dan kapasitas mental pendengarnya. Apa yang diajarkannya dinamakan Buddha Vacana. Semasa Buddha masih hidup telah terbentuk persekutuan Biku dan Bikuni. Di antara mereka, Buddha menggariskan aturan-aturan disiplin tertentu yang disebut Vinaya sebagai pedoman bagi persekutuan tersebut. Semua ajarannya termasuk juga wacana, sutra, khotbah kepada Biku, Bikuni dan orang biasa disebut Dhamma. Jadi di tahap awal ajaran Buddha sudah terjadi perkembangan terkait ajaran Buddha dari Buddha Vacana menjadi Dhamma (dokrin) dan Vinaya (etika dan disiplin hidup).
Theravada – Mahayana, bukan Mahayana – Hinayana
Satu abad setelah parinibbana-nya Buddha berlangsung Persamuan Agung kedua. Di sana mengemuka perbedaan pandangan terhadap kebutuhan untuk mengubah beberapa hal berhubungan dengan Vinaya. Sekelompok Biku yang menginginkan perubahan atas sebagian Vinaya kemudian meninggalkan persamuan dan mendirikan Mahasanghika (Kelompok Besar). Perbedaan pandangan pada Persamuan Agung kedua hanya menyangkut Vinaya tidak pada Dhamma.
Pada abad ke-3 SM kembali dilangsungkan Persamuan Agung ketiga. Dibahas mengenai perbedaan-perbedaan tidak hanya menyangkut Vinaya tetapi juga Dhamma. Dari persamuan ini dikukuhkan ajaran Theravada sebagai pengembangan atas ajaran Buddha (Buddhisme). Tentu ada juga yang tidak puas terhadap hasil yang dikukuhkan pada Persamuan Agung ketiga. Disebut-sebut mereka pun menggelar persamuan Agung tandingan.
Baru pada abad 1 SM dan abad 1 M, istilah Mahayana (harafiah: kendaraan besar) dan Hinayana (harafiah: kendaraan kecil) muncul di Sutra Saddharma Pundarika atau Sutra Teratai Ajaran Kebajikan sekalipun apa yang dimaksu dengan hal itu samar. Lewat Madhyamika-karika (Nagarjuna), Mahayana didefinisikan secara jelas dengan mengacu pada filsafat “kekosongan†dan membuktikan bahwa segala sesuatunya adalah “Kosongâ€. Abad ke-4 merupakan fase subur dari pengembangan ajaran Mahayana dan mendudukkan ajaran Mahayana sebagai alter (berdiri sebagai yang lain) dari Theravada.
Lalu, Hinayana? Tidak ada rujukan jelas mengenai Hinayana kecuali apa yang dikatakan I-Tsing (abad ke-7): “Siapapun yang memuja Bodhisattva dan mempelajari sutra Mahayana disebut Mahayanist, sedangkan yang tidak disebut Hinayanist..." Entah apa maksud I-Tsing menyatakan distingsi Mahayana-Hinayana, bukan distingsi mengenai Theravada-Mahayana.
Tentang perbedaan Dhamma (dokrin) dari ajaran Theravada dengan Mahayana tidak terlalu tegas. Keduanya menekankan perlunya seseorang menempuh jalan mencapai penerangan sempurna melalui jalan Arahat (Theravada) dan jalan Bodhisattva (juga disebut jalan Prateka-Buddha dan Sravakayana). Hanya ada kesan keraguan dari ajaran Mahayana terhadap jalan Arahatnya Theravada, karena mengganggap jalan Arahat cenderung egois, mengajarkan orang untuk menyelamatkan diri sendiri. Ajaran Mahayana justru menekanan perlunya orang mencapai pencerahan demi menolong semua mahkluk mencapai pencerahan. Sebaliknya, ajaran Theravada pun mengajukan pertanyaan: bagaimana mungkin dapat mencerahkan mahkluk lain, tanpa diri sendiri mencapai pencerahan terlebih dahulu?
Tantrayana: Mantrayana, Vajrayana dan Sahajayana
Perkembangan Buddhisme ke dalam ajaran Theravada dan ajaran Mahayana mengemuka sejak abad ke-4 dan terus berkembang. Saat ajaran Mahayana sudah semakin berkembang dan matang, di dalamnya muncul ajaran Tantrayana yang memadukan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Pada Tantrayana, bukan hanya dibicarakan teori, akan tetapi praktek pelaksanaannya. Tantrayana memadukan puja bhakti dengan praktek meditasi lewat kombinasi unik antara mantra, upacara, dan pemujaan secara total.
Definisi Tantra dijelaskan dalam kalimat ini: “shasanat tarayet yastu sah shastrah parikirt-titah, yang berarti, “yang menyediakan petunjuk sangat jelas (clear-cut guidelines) dan oleh karena itu menuntun ke jalan pembebasan spiritual pengikutnya, disebut sastra.†Akar kata trae diikuti sufiks da menjadi tra, yang berarti ‘yang membebaskan’. Kita melihat penggunaan yang sama akar kata tra dalam kata mantra. Definisi mantra adalah: “mananat tarayet yastu sah mantrah parikirt-titah†yang berarti: “Suatu proses yang, ketika diulang-ulang terus menerus dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra.â€
Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra terdapat juga dalam Hinduisme. Dalam pengertian tertentu, Tantra merupakan suatu teknik mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisasi sang Diri dengan menggunakan berbagai medium, seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain, meditasi, dan berbagai cara pemujaan, serta praktik yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan praktik lain. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam Tantra Hindu maupun Buddha.
Tantrayana sendiri berkembang ke dalam tiga jurusan atau tahapan. Pertama disebut Mantrayana, dimulai pada abad ke-4 dan mencapai kemajuan setelah tahun 500 M. Tahap ini memperkaya Buddha, melalui tradisi yang bersifat gaib, serta memanfaatkannya sebagai alat atau perlengkapan yang mempermudah mencapai tujuan Pencerahan. Dengan cara ini banyak mantra, mudra, mandala, dan makhluk-makhluk luhur baru diperkenalkan ke dalam agama Buddha walau belum secara sistematis. Setelah tahun 750, terjadi perkembanagn yang sistematis yang disebut Vajrayana, yang mengkoordinasikan ajaran-ajaran terdahulu dalam suatu kumpulan yang berisi Lima Tathagata. Dengan berlalunya waktu, kecenderungan-kecenderungan dan perkembangan sistem berikutnya memperbaharui penampilan mereka. Hal yang patut diperhatikan di antaranya adalah Sahajayana menekankan pula praktik-praktik meditasi dan pengembangan intuisi yang diajarkan melalui teka-teki, paradoks-paradoks, dan patung-patung, serta menghindari kemungkinan berubah menjadi sistem filasafat yang statis dengan mempertahankan ajaran-ajaran atau prinsip-prinsip yang tidak tegas. Menjelang akhir periode ini, ada Kalacakra, “Roda Waktu†yang ditandai dengan luasnya sinkretisme berbagai aliran, dan penekanan pada astrologi.
Persaingan vs Penyatuan
Panggung sejarah umat manusia di mana faham-faham berkembang subur selalu diwarnai persaingan, baik di antara suatu faham dengan faham lain maupun di dalam faham-faham itu sendiri. Begitu yang terjadi dengan faham Hinduisme dan faham Buddhisme berlangsung di antara keduanya. Atas dorongan persaingan itu pula, faham-faham yang semula mengakar dan berkembang pada daerah tertentu, kemudian berkeinginan menegaskan eksistensi jauh ke luar sehingga mendorong terjadinya proses “go internasional†atau “diekspor ke luar†menembus batas-batas negeri. Sudah pasti persaingan di antara faham-faham bukan sekedar persaingan yang bersifat religius-budaya pada ruang vakum (kosong). Berpilin kelidan dalam persaingan itu, persaingan kekuasaan politis-ekonomis. Nah, selanjutnya persaingan meretas dalam wujud persaingan bermuatan kepentingan yang kompleks (religius-budaya-politis-ekonomis). Dengan adanya muatan politis-ekonomis yang menempel dicangkokkan, masing-masing faham pun memiliki sumberdaya untuk “go internasionalâ€. Artinya, persaingan antara faham Hinduisme dan Buddhisme berkembang tidak hanya terjadi di negeri asal melainkan berkembang keluar ke “tanah misi atau tanah syiarâ€.
Sudah dikatakan persaingan mewujud tidak hanya antar-faham melainkan juga intra-faham (di dalam faham itu sendiri). Apa yang terjadi pada persaingan antar-faham juga berlangsung pada persaingan intra-faham. Di dalamnya juga terdapat muatan politis-ekonomis dan merambah jauh“go internasional†hingga ke“tanah misi atau tanah syiarâ€.
Tidak sepenuhnya orang menyukai dan nyaman dengan persaingan. Tidak sedikit yang justru menginginkan penyatuan baik intra-faham maupun antar-faham. Mereka memilih untuk mendekatkan diri satu sama lain, dengan cara entah menghormati keberadaan masing-masing atau dengan cara yang lebih dalam mencoba “meleburkan satu ke dalam yang lainâ€. Yang terakhir ini mengemuka berupa sinkretisme (penyatuan). Menurut cara dan jalan yang unik sinkretisme ternyata pun terlihat mendominasi perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di luar fenomena persaingan.
Sinkretisme Hinduisme-Buddhisme: Sivabuddha
Percampuran Hinduisme-Buddhisme mengemuka agak belakangan seiring mapannya ajaran Tantrayana (yang di dalamnya telah bergerak ke arah Mantrayana, Vajrayana dan Sahajayana). Diakui kehadiran Tantrayana mendorong wujudu penyatuan Hinduisme-Buddhisme. Kesamaan-kesamaan dalam ajaran Tantra telah menyatukan Hinduisme (Siwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab keagamaan tunggal: Sivabuddha. Di India, percampuran Åšiva-Buddha mulai menunjukkan jati dirinya bersamaan dengan berkembangnya ajaran Tantra pada dinasti Pala (dari abad 8-11 Masehi) di Bengal dan Bihar pada dinasti Bhumakaras (736-940 M) di Orissa. Tanda-tanda awal percampuran antara Åšaktisme, Åšivaisme dan Buddhisme bisa ditemukan di Mandir Vetal, yaitu tempat suci untuk memuja Sakti. Menurut R.C. Sharma (2004: 10) percampuran antara mazab Åšiva and Buddha di India merupakan hasil dari interaksi yang diinginkan (interaction of willing), sehingga unifikasi tersebut menghasilkan hubungan yang damai dan harmonis.
Cukup aneh, di beberapa negeri percampuran Hinduisme-Buddhisme justru sudah mengemuka jauh sebelum itu terjadi di tanah asal dari dua faham tersebut. Di Nepal, gejala percampuran Åšiva-Buddha, dapat ditelusuri melalui tempat suci Pasupathinath Mandir. Ini adalah salah satu tempat suci terbesar di Nepal, dimana Åšiva dipuja sebagai pelindung semua makhluk hidup atau Pashupati. Sejarah pemujaan Pashupati di lembah Himalaya ini suduh ada sejak abad ke 3-4 M, sebagaimana dijelaskan dalam prasasti dan sumber-sumber sastra. Pada bagian uttama mandala (sanctum sancturium) dari Pashupatinath Mandir terdapat Åšivalingga. Pada setiap bulan Juli, yaitu pada Srawana Purnima, umat Buddha Newar di Lembah Kathmandhu, memuja Pashupatinath sebagai Bodhisattvaevalokitesvara. Mereka memuja Åšivalingga dengan menghiasi bagian kepala Åšivalingga tersebut dengan mahkota. Mahkota tersebut umumnya berbentuk pendeta Buddha tantrik.
Sivabuddha Di Nusantara
“Road show†Hinduisme dan Buddhisme pun ternyata berlangsung jauh sampai ke nusantara. Faham Hinduisme yang dominan masuk ke nusantara adalah Sekte Saiwa, sementara faham Buddihisme yang dominan adalah Mahayana (baca: Mantrayana, Vajrayana dan Sahajayana di dalamnya). Sekalipun pada awalnya terdapat demarkasi (pembatasan) antara dua faham tersebut di nusantara, pada akhirnya dua faham tersebut mengalami kristalisasi ke dalam penyatuan faham Sivabuddha sebagaimana melintas sepanjang masa Mataram Kuno hingga Majapahit. Di nusantara perjalanan Hinduisme-Buddihisme justru berjalan dalam suasana pluralistik dalam kurun waktu panjang.
Mas Gigih yang terhormat, memang wangsa Syailendra (di Suarnadwipa maupun di Yawadwipa) adalah penganut Buddha. Saya meragukan bahwa mereka merupakan penganut Buddha Mahayana, mengapa? Saat wangsa Syailendra muncul sebagai wangsa berkuasa berlangsung pada abad ke-7 atau kurang sedikit dari abad ke-7. Nah, pada abad itu telah terjadi metamorfosa terhadap Mahayana ke dalam Tantrayana, entah Mantrayana entah Vajrayana (Sahajayana?). Tentu, Tantrayana (entah Mantrayana entah Vajrayana) saat itu jauh lebih mengemuka atau tenar ketimbang hanya sekedar Mahayana… karenanya, lebih baik atau cocok menafsirkan wangsa Syailendra sebagai penganut Buddha Mantrayana atau Buddha Vajrayana ketimbang penganut Buddha Mahayana!
Mengacu padan trend yang saat itu mengemuka… abad ke-6 dan ke-7 hingga memuncak pada tahun 750-an… Buddha Vajrayana sedang “hot†di banyak negeri. Nah, setting kisah Jalan Naga ada pada tahun 786 M, sementara kisah Naga Bhumi Mataram ada pada tahun 877M… maka merupakan suatu common sense, faham Buddhisme yang mengakar pada dua kisah tadi dikaitkan dengan faham Buddha Vajrayana…
Buddha Vajrayana mengalami perkembangan dan kemapanannya di Tebet, dengan munculnya tidak terbilang sekte, biasanya digolongkan ke dalam sekte besar dan kecil. Sekte besar antara lain Nyimapa (merah), Sakyapa (kembang), Kagyudpa (putih), dan Gelugpa (kuning). Sedangkan sekte kecil, antara lain Shijepa, Zhibyepa, Chonangpa, Shalupa, dan Bonpa (hitam). Mengingat banyaknya sekte, ajaran Buddha Vajrayana sebenarnya sangat kompleks dengan berbagai variasi. Pada dasarnya, ajaran Vajrayana tertuju pada upaya mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa seseorang ke sana.
Apa yang Mas Gigih sebutkan… di mana Vajrayana mengutamakan kekuatan batin dengan meditasi dan pencapaian Jhana2 dari Jhana 1-4 lalu Arupa Jhana 1-4. Pencapaian Jhana2 itu akan membuat kita bahkan kebal terhadap senjata tajam, dll. Bermacam kesaktian bisa diperoleh… merupakan satu bentuk dari ajaran faham Buddha Vajrayana.
Raja dan pemerintah Sriwijaya di Suarnadwipa mempunyai hubungan yang rapat dengan pendita-pendita dan sami-sami Buddha pada zamannya. Bukan itu sahaja, pemerintah Srivijaya turut memainkan peranan membina kuil-kuil bukan hanya di dalam kawasan pemerintahannya, malah ada kuil yang dibina khusus untuk orang-orang Srivijaya yang menyambung pelajaran ke Nalanda, sebuah pusat pengkajian agama Buddha yang amat terkemuka dan sangat terkenal sejak abad kelima hingga ke-12 dengan perpustakaannya yang menyimpan beribu-ribu manuskrip dan kitab-kitab suci berkaitan dengan agama Buddha. Ketika Nalanda berkembang sebagai pusat pendidikan agama Buddha, banyak biksu dari berbagai negari mengunjunginya, termasuk dari negeri Tibet, Cina dan Sriwijaya (nusantara). Saya menyakini bahwa Buddha Vajrayana yang sedang “hot†pada periode abad ke-7 dan ke-9 M pun menjadi buah bibir di Nalanda… yang keberadaannya kemudian “go internasional†hingga ke Sriwijaya. Jika semua mengemuka tafsiran bahwa wangsa Syailendra sebagai penganut Buddha Mantrayana atau Buddha Vajrayana ketimbang penganut Buddha Mahayana… kini tafsiran itu pun bergeser bahwa wangsa Syailendra di Suarnadwipa lebih cocok menganut Buddha Vajrayana yang sedang menjadi buah bibir di Nalanda…
Apakah ada pergeseran aliran Buddha dari Mataram ke Sriwijaya? Ini tergantung bagaimana menganalisa dan menafsirkan asal usul Wangsa Syailendra yang dikatakan sebagai penguasa penganut Buddhisme. Istilah Sailendrawangsa di jumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan (778 M). Kemudian istilah itu muncul pula di dalam prasasti dari desa Kelurak (782 M) di dalam prasasti Abhayagiriwihara dari bukti Ratu (792 M), dan di dalam prasasti (824 M). Yang amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa itu muncul pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B, Nalanda dan Leyden plates. Ditambah dengan kenyataan bahwa ada beberapa nama wangsa di India dan daratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan Syailendra, yaitu raja gunung, kemudian menimbulkan beberapa teori tentang asal usul wangsa Syailendra di Yawadwipa. Pendapat pun mengemuka, salah satunya teori nusantara. Teori Nusantara mengajukan pandangan wangsa Syailendra berasal dari kepulauan Nusantara, terutama Suaranadwipa atau Yawadwipa sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Sailendra mungkin berasal dari Suaranadwipa yang kemudian berpindah dan berkuasa di Yawadwipa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Yawadwipa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya. Jika wangsa Sailendra dianggap berasal dari Suaranadwipa, maka tidak terjadi pergeseran… sebaliknya jika wangsa Sailendra asli Yawadwipa bisa jadi terjadi pergeseran sekalipun kecil kemungkinan itu terjadi.
Salam