Post 30 dari 30 dalam Pedang Sinar Emas ( Kim Kong Kiam )
Home → Forum → Komentar Bacaan → Pedang Sinar Emas ( Kim Kong Kiam ) → Post-91464
#30 | ![]() |
deddett
20 Juni 2020 jam 6:32am
 
Jilid XX + .......... "Puteri Thian-te Kiam-ong, kau mau apa?†Sin-tung Lo-kai membentak makin marah. "Sin-tung Lo-kai, sebelum aku menjawab, akupun mempunyai pertanyaan yang sama, yakni kau mau apakah bermain-main dengan tongkatmu di atas kepala Liem-siucai ini?" Siauw Yang masih tersenyum simpul manis sekali, akan tetapi siapa saja yang sudah mengenal baik watak gadis ini, senyum yang semanis-manisnya dari gadis ini membayangkan bahaya besar, karena setiap saat Siauw Yang marah dan bersiap untuk bertempur, keluarlah senyumnya yang paling manis. "Bocah lancang. Kau sudah pergi tanpa pamit, berarti kau sudah menjadi orang luar. Mengapa kau hendak mencampuri urusan pribadiku dengan tamuku ini?" "Kalau Liem-siucai masih duduk di dalam rumahmu, berarti dia tamumu. Akan tetapi dia sudah keluar dari rumahmu dan dia seperti aku pula, telah menjadi orang luar atau orang di jalan. Aku seujung rambutpun tidak perduli akan urusan pribadimu, tidak perduli kepada siapa kau hendak memberikan puterimu itu. Akan tetapi, melihat orang tak berdosa hendak dibunuh begitu saja, ah, aku terpaksa harus mentaati pelajaran ayahku, bahwa kalau aku melihat seorang lemah tak berdosa ditindas oleh yang kuat dan jahat. aku harus turun tangan membelanya.†"Bagus, puteri Tian-te Kiam-ong kurang ajar dan tak tahu malu. Jadi kau tidak setuju kalau pemuda ini menjadi mantuku, bahkan hendak mencegahnya menjadi suami Leng Li dan hendak membela dan melindunginya? Agaknya kau lebih suka kalau ayahmu yang mengambilnya sebagai mantu, bukan?†Hinaan yang keluar dari hati yang sedang panas ini membuat sepasang mata Siauw Yang yang indah itu berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan bunga api. Tangan kiri gadis ini bertolak pinggang dan tangan kanannya menudingkan pedang ke arah hidung Sin-tung Lo-kai, dan suaranya nyaring sekali, "Setan tua Sin-tung Lo-kai. Jagalah lidahmu yang kotor itu! Pemuda ini akan menjadi mantu siapapun juga bukan urusanku dan kau akan menjodohkan puterimu dengan siapapun juga aku tidak ambil pusing. Pendeknya kau tidak boleh membunuh siapapun juga tanpa bersalah. Tak mungkin kau dapat berlaku sewenang-wenang pada saat aku berada di hadapanmu. Kau mau melepaskan Liem-siucai dengan aman baik, aku takkan ambil perduli selanjutnya. Akan tetapi kalau kau tetap mau membunuhnya, juga baik, pedangku sudah siap menanti tongkatmu." Inilah tantangan secara berdepan, Sin-tung Lo-kai memang berwatak berangasan dan biarpun dia amat kagum dan segan kepada Thian-te Kiam-ong, namun ditantang oleh seorang gadis muda seperti Siauw Yang. tentu saja dia menjadi mata gelap. "Bocah masih bau pupuk, kau kurang ajar sekali, harus diberi hajaran keras!" Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar cepat sekali dan tongkat ular itu seperti hidup menusuk ke arah leher Siauw Yang. "Lihiap, hati-hati..........!" Tak terasa pula Pun Hui yang berdiri menjauhi gelanggang pertempuran itu berseru. Dia amat gelisah, takut kalau kalau gadis yang gagah dan jelita itu akan menjadi korban hanya karena membelanya, dia benar-benar merasa serba susah. Dalam keadaan seperti ini teringatlah dia kepada gurunya dan ingin sekali dia memiliki ilmu silat tinggi agar dia dapat berjuang sendiri mempertahankan hidupnya, tidak mengandalkan dan membahayakan keselamatan lain orang, apalagi orang seperti nona ini yang amat menarik hatinya. Namun, walaupun baru hanya menguasai dua pertiga saja dari ilmu pedang ini, kepandaian Siauw Yang sudah demikian hebat sehingga agaknya dengan mudah dia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw di antara orang-orang muda sebaya dengan dia. Hal ini harus diakui pula oleh Sintung Lo-kai, jago tua yang sudah banyak sekali menghadapi pertempuran pertempuran besar. Dengan tongkat ular merahnya, Sin-tung Lo-kai sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan kecuali tokoh-tokoh besar yang merupakan sederetan orang-orang berilmu tinggi dan sakti serta menduduki tingkat tertinggi seperti Mo-bin Sin-kun, Lam-hay Lo-mo dan akhir-akhir ini Thian-te Kiam-ong dan lain-lain. Dengan mereka ini, biarpun dia masih kalah tinggi kepandaiannya, namun boleh dibilang sudah sama tingkatnya. Akan tetapi, setelah kini dia menghadapi permainan pedang dari Siauw Yang, terpaksa dia harus mengakui bahwa ilmu pedang yang diturunkan oleh mendiang Bu-tek Kiam-ong Si Raja Pedang tanpa tandingan, benar-benar semacam ilmu pedang yang aneh dan sukar sekali dilawan. Kemana saja tongkatnya menyambar, selalu bertumbuk pada sinar pedang yang kuatnya seperti dinding baja dan amatlah sukar membobolkan benteng pertahanan sinar pedang kuning emas itu. Sebaliknya, baru sekarang Siauw Yang mengalami pertandingan yang hebat. Belum pernah dia bertemu dengan lawan yang sekuat Sin-tung Lo-kai. Ilmu tongkat lawannya ini biarpun amat lihai, namun dia tidak jerih menghadapinya. Yang membuatnya sukar mendapat kemenangan adalah kenyataan bahwa selain dalam hal tenaga Iweekang dia kalah jauh sekali, juga dia kalah matang dalam gerakan-gerakannya, serta tidak memiliki kembangan gerakan sebanyak yang dimiliki kakek pengemis ini. Dengan kekalahan pengalaman serta kematangan ilmu silat, berarti bahwa untuk dua jurus gerakan lawan, dia harus mengimbanginya dengan tiga jurus. Hal ini tentu saja makan banyak tenaga. Dia kalah tenang dan kalah ulet. Baiknya kekalahannya ini ditutup oleh kemenangannya dalam hal ilmu pedang karena memang ilmu pedangnya benar-benar dapat menguasai dan menindih ilmu tongkat dari Sin-tung Lo-kai yang sebetulnya juga merupakan ilmu pedang yang dirobah gerakannya, disesuaikan dengan tongkat yang berbentuk ular itu. Serang-menyerang terjadi amat sengitnya. Pun Hui sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya silau karena kini dia tidak dapat melihat lagi mana. Siauw Yang dan mana Sin-tung Lo-kai. Yang terlihat olehnya hanya dua gundukan sinar merah dan kuning emas, yang kadang-kadang panjang seperti ular terbang dan kadang-kadang pendek ganas seperti harimau mengamuk. Tidak terdengar sedikit pun suara dalam pertandingan ini melainkan suara nyaring dari beradunya kedua senjata dibarengi dengan muncratnya bunga-bunga api. ********* Next Chapter Jilid XXI |