Post-22058

Post 132 dari 174 dalam Sekedar Renungan

HomeForumGeneral discussionsSekedar RenunganPost-22058

#132
yinyeksin 28 Oktober 2005 jam 11:22am  

Sebuah Pelajaran Dari Ayah

Anda dapat mempertahankan hidup dengan apa yang Anda dapatkan, tetapi Anda menciptakan kehidupan dengan apa yang Anda berikan. (anonim)

Kehidupan berbisnis merupakan hal yang wajar dalam keluarga kami. Kami tujuh bersaudara, dan semuanya pernah bekerja di toko milik ayah saya, "Toko Perabotan Kita", di Mott, Dakota Utara, sebuah kota kecil di padang rumput yang maha luas. Kami mulai bekerja dengan melakukan pekerjaan sehari-hari seperti beres-beres, menata rak dan membungkus barang, kemudian dinyatakan lulus jika sudah diizinkan melayani pembeli. Sambil bekerja dan memperhatikan, kami belajar bahwa bekerja lebih dari sekedar bertahan hidup dan berhasil menjual sesuatu.

Ada satu pelajaran yang terpatri kuat dalam benak saya.

Peristiwanya terjadi beberapa waktu menjelang Natal. Saya masih duduk di kelas dua SMP dan bekerja di sore hari, menangani bagian mainan. Seorang anak laki-laki berusia sekitar lima atau enam tahun masuk ke toko. Dia
mengenakan mantel lusuh bertambalan dengan manset yang sudah usang.

Rambutnya acak-acakan, kecuali sebuah jambul yang mencuat di ujung kepalanya. Sepatunya sudah menganga dan salah satu talinya sudah putus. Anak lelaki itu tampak seperti anak miskin. Begitu miskinnya sehingga tak bisa
membeli sesuatu. Dia melihat-lihat ke sekeliling bagian mainan dan mengambil sebuah mainan, meletakkannya kembali dengan hati-hati ke tempatnya semula, lalu mengambil mainan yang lain, dan begitu seterusnya.

Ayah menuruni tangga dan melangkah menghampiri anak itu. Mata birunya yang seperti baja tampak tersenyum dan lesung pipinya tampak jelas ketika ia bertanya kepada si anak apakah yang bisa dia lakukan untuknya.

Anak itu menjawab bahwa dia sedang mencari hadiah Natal untuk saudara lelakinya. Saya sangat terkesan melihat cara ayah memperlakukan anak kecil itu seakan-akan dia seorang pembeli yang sudah dewasa. Ayah mengatakan agar si anak melihat-lihat saja dulu. Anak itu menuruti saran ayah.

Setelah 20 menit berlalu, dengan hati-hati anak kecil itu mengambil sebuah kapal-kapalan. Dia melangkah menghampiri ayah dan bertanya, "Berapa harganya, Pak?"

"Kamu punya uang berapa?" tanya ayah kembali.

Si anak mengulurkan tangannya dan membuka telapaknya. Garis-garis tangannya tampak kotor dan basah karena mengepal uangnya. Di telapak tangannya ada dua keping uang 10 sen, sekeping 5 sen, dan 2 keping 1 sen.

27 sen semuanya. Harga kapal-kapalan yang diambilnya adalah $3,98.

"Wah, uangmu pas sekali," kata ayah, dan menjual mainan itu pada si anak.

Jawaban ayah masih terus terngiang di telinga saya sampai sekarang. Saya memikirkan apa yang baru saja saya saksikan sambil membungkus hadiah itu. Ketika si anak melangkah keluar dari toko, saya tidak lagi melihat seorang anak bermantel kotor dan lusuh, berambut acak-acakan, atau bersepatu dengan tali putus sebelah. Yang saya lihat adalah seorang anak yang bercahaya karena memiliki harta yang sangat berharga. (LaVonn Steiner)

Manusia Kepiting

Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah. Kepiting itu ukurannya kecil, namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu ditangkap pada malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom, tanpa diikat. Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus, lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari.

Yang menarik, tentu saja kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat. Namun, seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri.

Jurusnya hanya satu, si penangkap tahu betul sifat para kepiting itu. Jika ada seekor kepiting yang nyaris meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Bila ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan menariknya turun. Begitu seterusnya, sampai akhirnya tak seekor kepiting pun yang berhasil kabur dari baskom.

Keesokan harinya, sang penangkap tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting yang dengki itu.

Begitu pula dalam kehidupan ini, tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.

Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita meraih keberhasilan, kita malahan berprasangka buruk: jangan-jangan keberhasilan itu diraihnya dengan jalan yang tidak benar.

Apalagi dalam bisnis atau bidang lain yang mengandung unsur kompetisi. Sifat iri, tak mau kalah, atau munafik, akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari, tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.

Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bahkan bisa juga kalah dalam suatu persaingan, namun yang pasti: kita menang dalam kehidupan ini.

Gelagat seseorang adalah "kepiting" antara lain:
1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) dan menjadikannya sebagai acuan dalam bertindak.

2. Hobi membicarakan kelemahan orang lain, tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk merintangi orang lain yang akan sukses dan melupakan usaha mensukseskan dirinya dengan cara yang positif.

Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom, namun yaah... dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya….

Coba renungkan, berapa waktu yang kita pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi "pemenang" dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Seandainya kita bisa menggunakan waktu tersebut untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri yang positif, niscaya kita akan berkembang menjadi pribadi yang lebih sehat dan dewasa.