Post 68 dari 174 dalam Sekedar Renungan
Home → Forum → General discussions → Sekedar Renungan → Post-10502
#68 | ![]() |
eeyore
28 September 2004 jam 5:38am
 
Meluruskan Sejarah Siapa pun yang sebentar lagi akan memimpin bangsa ini, saya hanya minta satu hal. Mari kita luruskan sejarah. Saya sendiri bukan ahli sejarah. Siapa pun rezim yang memegang kekuasaan, mereka selalu mempunyai versi sejarahnya masing-masing. Sampai hadir rezim lain yang membawa sejarahnya sendiri. Karena itu, setiap pergantian rezim selalu membuka peluang untuk mengubah sejarah - kalaupun bukan untuk meluruskannya. Salah satu sejarah "kecil" yang saya minta diluruskan adalah tentang peran kaum Tionghoa dalam kehidupan kebangsaan kita. Misalnya, mengapa sampai terjadi pembunuhan besar-besaran ( massacre ) terhadap kaum Tionghoa di Indonesia - setidak-tidaknya dua kali dalam era kolonial Hindia-Belanda, dan masih terjadi pula dalam masa kemerdekaan ? Mengapa kejadian itu hanya disebut secara sambil lalu dalam pelajaran sejarah kita ? Apakah karena yang terbunuh itu "hanyalah" orang-orang Tionghoa ? Contoh yang lain adalah tentang peran kaum Tionghoa dalam menyebarluaskan agama Islam di Tanah Jawa. Kebetulan tahun depan akan diselenggarakan perayaan 600 tahun muhibah Laksamana Cheng Ho. Berbagai catatan sejarah menyebut bahwa Cheng Ho melakukan public diplomacy dalam tujuh ekspedisinya ke negara-negara Asia dan Afrika - jadi, tidak hanya sekadar berdagang - dan membawa serta ulama-ulama Islam dalam lawatannya itu. Kalau hal ini benar, maka sejarah yang selama ini hanya menyebut para saudagar dari Gujarat sebagai pembawa syi'ar Islam haruslah dikoreksi. Telah beberapa kali, dalam berbagai kesempatan, saya mencoba meminta perhatian orang terhadap peran - kalau bukan keperintisan dan kepeloporan - kaum Tionghoa dalam mempromosikan bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tahun 1928, salah satu butir bahasan adalah tentang perlunya menetapkan bahasa Indonesia sebagai medium pendidikan. Ironisnya, pembicaraan berlangsung alot, karena ternyata para pemuda yang hadir pada kongres itu - notabene : semuanya pribumi - tidak banyak yang lancar berbahasa Indonesia. Kebanyakan pidato politik tentang kebangsaan justru disampaikan dalam bahasa Belanda. Hanya Mohamad Yamin yang ketika itu dianggap paling piawai dalam menggunakan bahasa Indonesia. Maka, lahirlah Sumpah Pemuda ! Tetapi, di kalangan etnis Tionghoa djadoel ( djaman doeloe ), ternyata bahasa Melayu justru sudah luas dipakai. Berbagai karya sastra pengarang etnis Tionghoa bertarikh akhir abad ke-19 sudah banyak yang memakai bahasa Indonesia. Sejak hilangnya huruf Arab dan aksara Jawi ( huruf Arab gundul ) digantikan oleh huruf Latin pada pertengahan abad ke-19, etnis Tionghoa di Indonesia justru menjadi pendahulu dalam penggunaan bahasa Melayu. Beberapa buku cerita berbahasa Melayu karangan para penulis Tionghoa mulai bermunculan. Demikian pula suratkabar berbahasa Melayu mulai dicetak di percetakan-percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, antara lain Soerat Kabar Bahasa Melaijoe ( 1856 ), Soerat Chabar Betawi ( 1858 ), Selompret Melajoe ( 1860 ), dan Bintang Soerabaja ( 1860 ). Proliferasi kesastraan Melayu dan suratkabar dalam bahasa Melayu semakin mekar pada awal abad ke-20. Buku-buku cerita silat Tionghoa dalam bahasa Melayu yang diterbitkan langsung laris manis. Tetapi, banyak pula cerita roman yang ditulis sastrawan Tionghoa dengan nuansa lokal, seperti Boenga Roos dari Tjikembang, Dengen Doea Cent Djadi Kaja, Tjarita Njai Soemirah, Tjerita Tjan Yoe Hok atawa Satoe Badjingan Millioenair, dan banyak lagi. Di awal abad ke-20 itu terjadi pula proliferasi koran yang sebagian terbesar diselenggarakan oleh kaum Tionghoa. Beberapa jurnalis kawakan kita yang sekarang masih hidup bisa dirunut sejarahnya dari dua koran besar pada masa itu, Keng Po dan Sin Po. Pada masa gerakan kebangsaan, Sin Po yang nasionalis ( berorientasi pada paham Dr Sun Yat Sen ) bahkan menjadi penyemangat para nasionalis Indonesia meraih kemerdekaan sebagai bangsa berdaulat. Sin Po bahkan adalah surat kabar pertama yang memakai istilah Indonesia untuk menggantikan nomenklatur Nederlandsch-Indie atau Hindia-Olanda. Tetapi, mengapa dalam kitab-kitab yang dipakai sebagai bahan pengajaran di sekolah-sekolah kita saat ini peran etnis Tionghoa dalam kesastraan dan jurnalistik tidak pernah tersurat ? Seolah-olah sastra dan pers Indonesia muncul begitu saja dari sebuah ruang hampa ? Dalam kaitan dengan keperintisan para penulis Tionghoa, saya baru saja selesai membaca sebuah buku yang diterbitkan ulang atas prakarsa Ben Anderson baru-baru ini. Buku itu berjudul Indonesia dalem Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri baca : Cambuk Berduri, seterusnya TB ). Buku itu aslinya terbit pada tahun 1947 di Malang. Siapa Tjamboek Berdoeri itu ? Ia terkejut ketika membaca betapa kritisnya si TB itu. Hampir 40 tahun, melalui sebuah penelitian yang pantang menyerah, akhirnya Ben Anderson menemukan bahwa TB adalah seorang yang bernama asli Kwee Thiam Tjing ( KTT ). Sayangnya, ketika "ditemukan", KTT sudah lama meninggal. Ia meninggal pada tahun 1974, tanpa seorang pun tahu bahwa seorang kolumnis besar telah tiada. Maklum, kecuali kepada keluarganya yang sangat dekat, KTT merahasiakan jatidiri si TB. TB yang lahir pada tahun 1900, mulai menulis kolom secara freelance pada sekitar tahun 1922. Ia kemudian sempat beberapa kali bekerja secara full time sebagai redaktur surat kabar, bahkan pernah pula menerbitkan koran sendiri dengan nama Pembrita Djember. Anehnya lagi, beberapa tahun sebelum kematiannya, ia sempat pula menjadi kolumnis di harian Indonesia Raya. Pertanyaan besarnya di sini adalah : mengapa seorang besar seperti KTT ini bisa lenyap begitu saja dari perhatian kita ? Seolah-olah tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini ? Salah satu penyebabnya adalah karena KTT terlalu kritis. Ia bahkan sangat kritis terhadap kaumnya sendiri. Alangkah ironisnya ! * |