Post 70 dari 174 dalam Sekedar Renungan
Home → Forum → General discussions → Sekedar Renungan → Post-11318
#70 | ![]() |
eeyore
20 Oktober 2004 jam 6:37am
 
Orang Beragama atau Orang Baik ? Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang. Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Si nenek memutuskan untuk mengujinya dengan seorang gadis cantik. " Masuklah ke dalam pondok. Maka gadis itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Laki-laki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir gadis itu keluar dari pondoknya. Ketika gadis itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. " Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun," Si nenek berkata kepada si gadis, Apa yang menarik dari cerita di atas ? Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang. Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan di sini. Seorang kawan yang berbusana sangat sopan, dengan menutup rapi seluruh aurat, ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut kebaktian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan ibadah ke tanah suci tetapi terus melakukan korupsi di kantornya. Lantas di mana letak kesalahannya ? Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan kegiatan ritual peribadatan dan membaca - bukan mengkaji - kitab suci. Padahal esensi beragama bukan di situ. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia. Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum ( outside-in ), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen ( inside-out ). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup ( way of life ), apalagi cara berpikir ( way of thinking ). Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka, tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita berbuat baik bukan karena takut, tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat. Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram. Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan : Bobby. Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, saya pun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor kepolisian setempat. Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Saking gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan, " Ambil saja kembalinya." Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya. Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. *** Sumber : |