Post-23224

Post 137 dari 174 dalam Sekedar Renungan

HomeForumGeneral discussionsSekedar RenunganPost-23224

#137 avatar
yinyeksin 6 Desember 2005 jam 12:10pm  

Ingat Peraturan No. 5

Suatu hari Sang Guru sedang rapat dengan seorang rekan bisnisnya. Di tengah-tengah rapat, tiba-tiba seorang anak buah Sang Guru masuk ke ruang rapat sambil tersengal-sengal dan dengan kalut dia melaporkan sesuatu kepada Sang Guru.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Sepenanak nasi kemudian, seorang anak buah lainnya dari Sang Guru menginterupsi rapat dan dengan resah mengeluhkan suatu masalah yang tampaknya membuatnya berbeban berat.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Sejenak berlalu, lagi-lagi seorang anak buah yang lain dari Sang Guru menerobos ke ruang rapat dan dengan penuh kekesalan menyampaikan uneg-unegnya kepada Sang Guru.

Sang Guru menjawab: "Ingat peraturan nomor 5." Mendengar ini, anak buahnya kontan jadi tenang, meminta maaf, dan mohon diri.

Menyaksikan peristiwa itu, rekan bisnis Sang Guru tidak tahan lagi untuk mengungkapkan rasa penasarannya. Ia bertanya: "Apa sih peraturan nomor 5 itu?"

Sang Guru menjawab: "JANGAN SERIUS-SERIUS AMAT LAH."

"Ooo, itu peraturan yang bagus," ujar rekan bisnisnya seraya mengangguk-angguk, "lalu, apa bunyi peraturan-peraturan lainnya?"

"Nggak ada sih, itu aja!" sahut Sang Guru sambil tersenyum lebar.

Cerita di atas mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai kelapangan hati. Dalam keseharian hidup, kita senantiasa berkecimpung dengan hal-hal yang membuat kita cemas dan kesal. Andaikata kita bisa meletakkan
setiap permasalahan kita dalam perspektif yang benar-benar esensial dan bernilai, kita akan bisa berpikir dengan lebih jernih.

Sebuah studi menunjukkan bahwa "penyebab kecemasan" orang-orang adalah:
- hal-hal yang tak pernah terjadi: 40%
- hal-hal yang silam dan tak bisa diubah: 30%
- perasaan takut sakit: 12%
- hal-hal sepele atau kurang beralasan: 10%
- masalah yang nyata/betulan: 8%

Jadi, survei membuktikan: 92% adalah kecemasan semu nan sia-sia!

Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan spiritual kita, kita akan semakin menyadari kenyataan bahwa sehebat apa pun, kita dan segala atribut kita bukanlah pusat dari alam semesta. Dengan pemahaman ini, tatkala kita
menghadapi kecemasan atau kekesalan, kita bisa mengingatkan diri bahwa apa yang terjadi pada kita bukanlah hal yang bersifat "personal".

Alam dan kehidupan berjalan secara tidak memihak. Semakin kita mampu menyelaraskan diri dengan jalannya kehidupan, akan semakin damai dan bahagialah kita. Kalau kita senantiasa ingat "peraturan nomor 5", kita akan lebih mudah untuk terus bangkit dan melenggang dalam segala terpaan hidup.

Beginilah Jika Bersaudara

Dua orang bersaudara bekerja bersama menggarap ladang milik keluarga mereka. Yang seorang, si kakak, telah menikah, dan memiliki keluarga yang cukup besar. Si adik masih lajang, dan berencana tidak menikah.

Ketika musim panen tiba, mereka selalu membagi hasil sama rata. Selalu begitu.

Pada suatu hari, si adik yang masih lajang itu berpikir, "Tidak adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang dan kebutuhanku hanya sedikit." Maka, demi si kakak, setiap malam, dia akan mengambil sekarung padi miliknya, dan dengan diam-diam, meletakkan karung itu di lumbung milik kakaknya. Sekarung itu ia anggap cukuplah untuk mengurangi beban si kakak dan keluarganya.

Sementara itu, si kakak yang telah menikah pun merasa gelisah akan nasib adiknya. Ia berpikir, "Tidak adil jika kami selalu membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri dan anak-anak yang akan mampu merawatku kelak ketika tua. Sedangkan adikku, tak punya siapa-siapa, tak akan ada yang peduli jika nanti dia tua dan miskin. Ia berhak mendapatkan hasil lebih daripada aku."

Karena itu, setiap malam, secara diam-diam, ia pun mengambil sekarung padi dari lumbungnya, dan memasukkan ke lumbung mulik adik satu-satunya itu. Ia berharap, satu karung itu dapatlah mengurangi beban adiknya, kelak.

Begitulah, selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu saling menyimpan rahasia. Sementara padi di lumbung keduanya tak pernah berubah jumlah.

Sampai..., suatu malam, keduanya bertemu, ketika sedang memindahkan satu karung ke maring-masing lumbung saudaranya. Di saat itulah mereka sadar, dan saling menangis, berpelukan. Mereka tahu, dalam diam, ada cinta yang sangat dalam yang selama ini menjaga persaudaraan mereka. Ada harta, yang justru menjadi perekat cinta, bukan perusak. Demikianlah jika bersaudara.