Post 9 dari 27 dalam Silat ala Khoo Ping Hoo dan Gan KL
Home → Forum → Books → Silat ala Khoo Ping Hoo dan Gan KL → Post-9
#9 | ![]() |
pepe haliwell
4 November 2003 jam 3:20am
 
Gan KL, Setelah Cerita Silat Usai... RUMAH di Jalan Purwosari, Semarang itu cukup besar. Oleh si empunya, Gan KL (72), bagian depan rumah digunakan untuk kantor, yang kegiatannya antara lain menjual jasa pengurusan naturalisasi kewarganegaraan. Sedangkan di pekarangan belakang, istrinya, Tan Bie Nio (64) dan anak-anaknya menyelenggarakan kolam pemancingan dan restoran seafood alias masakan laut. Ukuran rumah tersebut bisa menggambarkan masa lalu Gan Kok Liang yang lebih dikenal dengan sebutan Gan KL, yang pada suatu masa terutama pada tahun '60-an meramaikan dunia bacaan pop di Indonesia dengan kegemparan cerita dunia persilatan. Boleh dikata, dialah salah satu tokoh yang mengenalkan cerita-cerita silat Tionghoa, selain OKT alias Oey Kim Tiang pada masa itu. Pembaca cerita silat dari buku-buku yang ukurannya kecil dan tipis pada masa itu pasti masih ingat misalnya karya berjudul Pedang Pembunuh Naga (To Liong To). Itulah salah satu saduran atau terjemahan Gan KL atas karya-karya silat Tionghoa waktu itu dari pengarang-pengarang Tionghoa seperti Tjien Joeng (Jin Yong), Koh Liong (Gu Long), atau Jang Ih Tzen (Liang Yusheng). Menurut Gan KL, Tjien Joeng maupun Ih Tzen adalah pengarang-pengarang yang “membumikan” cerita silat. Sebelumnya, cerita silat Tionghoa sangat berbau dongeng dan penuh mistik. Jagoan bisa terbang di atas awan dan melawan segala macam siluman. Pada Tjien Joeng maupun Ih Tzen cerita silat “dibumikan” dengan cerita manusia biasa, dengan jurus-jurus silat yang lebih masuk akal. “Cerita silat yang ditayangkan televisi maupun video sekarang hanya petilan-petilan dari cerita yang panjang,” komentar Gan KL pada kisah-kisah silat Tionghoa di layar kaca. Di zaman ini, cerita silat dari buku-buku kecil tadi memang sudah habis ditelan rengat zaman. Sebagai gantinya, muncul serial-serial silat di televisi. Dalam format media audio-visual, tekanan cerita silat itu lebih kapada action, pertarungan para pendekar. "Watak masing-masing tokoh kurang teruraikan," kata Gan KL. *** GAN KL, kelahiran Xiamen, anak pertama dari delapan bersaudara, dibawa mengungsi ke Indonesia oleh orangtuanya pada tahun 1938 ketika tentara Jepang menguasai Xiamen. Waktu itu keluarga ini mendarat di Surabaya. Di Surabaya, Gan KL dijemput pamannya yang sudah terlebih dulu tinggal di Indonesia, dan dibawa ke kota kecil di Jawa Tengah, Kutoarjo. Jepang sepertinya menguber-uber ke mana saja. Sekitar tahun 1948, Jepang menguasai Kutoarjo, dan keluarga ini pun mengungsi dan masuk Kota Semarang. Di kota pengungsiannya, Gan KL bekerja apa saja, dari pedagang keliling, sopir, dan kemudian bekerja di sebuah kantor konsultan pajak milik orang Belanda. Masa itu ia sudah keranjingan cerita silat. Tahun 1958, ia mengirimkan ke Harian Sin Po di Jakarta karya sadurannya yang pertama berjudul Pahlawan Padang Rumput (Tjhau Goan Eng Hiong). Cerita itu mengisahkan perjuangan suku minoritas di Sin Kiang melawan kaum penjajah. Ternyata kisah saduran itu digemari. Melihat kemungkinan bisa hidup dari pekerjaan menerjemahkan cerita silat tadi, Gan KL meninggalkan pekerjaannya dan sepenuh waktu “berbisnis” cerita silat. Ia menerjemahkan cerita silat bukan hanya untuk diterbitkan di koran, tetapi juga menerbitkannya sendiri, bahkan ia edarkan sendiri ke toko-toko buku. Dari bisnis cerita silatnya, Gan KL memperoleh imbalan materi memadai. Ia bisa membeli mobil bak terbuka Chevrolet. Dengan mobil itu ia melakukan perjalanan ulang-alik Semarang-Jakarta untuk mengambil uang dari agen-agen di Jakarta. "Perjalanan Semarang-Jakarta saya tempuh tujuh jam. Waktu itu jalanan masih sepi, kendaraan yang lewat belum sebanyak sekarang," kenangnya. Dia menyebut dirinya sebagai "Tionghoa goblog." Ceritanya, "Tahun 1960-an buku-buku cerita silat saduran saya laku keras. Setiap pergi menagih uang hasil penjualan buku-buku saya pada agen-agen di Jakarta, uang tagihan mencapai jutaan rupiah. Akan tetapi apa yang saya lakukan dengan uang sebanyak itu? Karena saya Tionghoa goblog, uang sebanyak itu saya bawa pulang ke Semarang dalam bentuk uang tunai, bukannya saya belanjakan barang-barang di Jakarta untuk dijual di Semarang." Yang dia tidak habis pikir, mengapa pula waktu itu ia juga tidak berpikir, misalnya, mendirikan toko buku di Jakarta, sehingga dia tidak perlu membayar komisi kepada agen-agen. “Uang hasil penjualan buku-buku malah saya belikan rumah yang sekarang saya tempati ini. Padahal waktu itu saya sebetulnya sudah mempunyai rumah,” ucapnya lagi. “Akan tetapi kebodohan saya ini juga menggambarkan ketulusan watak saya, tidak bisa berlika-liku, tidak bisa banyak berpikir hal-hal yang ruwet.” *** SAMPAI kini, perhatiannya pada masalah bahasa masih cukup besar. Sebagai praktisi bahasa Indonesia, ia sering memprihatinkan penggunaan bahasa Indonesia yang kacau. Menurut dia, bahasa Indonesia harus terus diperkaya dengan kosa-kosa kata yang digali dari bahasa daerah antara lain bahasa Jawa. “Kosa kata bahasa daerah yang kita ambil bukan asal comot. Dalam penyaduran dulu, satu kata bahasa daerah yang mau saya pakai saya lihat dulu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia apakah kata itu ada dalam kamus tersebut. Kalau kata itu bisa dipertanggungjawabkan dalam kamus tersebut, baru saya gunakan dan populerkan,” katanya. “Bahasa Indonesia yang diperkaya dengan masukan-masukan dari bahasa daerah bisa menjadi lebih plastis daripada bahasa negara lainnya. Contohnya, cerita berbahasa Mandarin banyak diterjemahkan dalam bahasa asing lainnya, tetapi tidak ada terjemahan bahasa asing yang seberhasil terjemahan bahasa Indonesia.” Ditanya apakah ia masih berminat membikin cerita saduran lagi, ia menjawab sudah tak sanggup lagi. “Tenaga saya sudah mundur. Sebelah mata saya ini juga sudah cacat,” katanya sambil menunjuk mata kirinya. “Saya sudah tidak berkonsentrasi lagi dalam dunia tulis-menulis,” tambah ayah lima anak dan kakek tujuh cucu itu. Ia berhenti menulis cerita silat sejak tahun 1986. Sejak saat itu ia beralih profesi, terjun ke bidang hukum, khususnya dalam pengurusan kewarganegaraan. Usahanya itu katanya diawali dengan usahanya sendiri untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1975/1976. “Untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia saya mengurusnya sendiri. Sebelumnya saya bayangkan sulit, ternyata tidak begitu sulit kalau kita tahu prosedurnya. Lalu, setelah berhasil dengan diri saya sendiri, saya ikut mendorong para warga negara asing untuk menjadi warga negara Indonesia lewat naturalisasi. Sejak tahun 1980 sampai saat ini sudah sekitar 4.000 orang berhasil memperoleh kewarganegaraan Indonesia lewat naturalisasi yang saya urus," tuturnya bangga. “Saya berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku, tidak pakai suap-suapan.” (SNW/IM) |